OPERASI KONTRAINSURJENSI AMERIKA SERIKAT SEBAGAI

OPERASI KONTRAINSURJENSI AMERIKA SERIKAT TERHADAP
INSURJENSI DI FILIPINA PADA MASA PENDUDUKAN AMERIKA
SERIKAT DI FILIPINA TAHUN 1899-1902

UJIAN AKHIR SEMESTER
COUNTER-INSURGENCY POLICY AND STRATEGY

Oleh:
Annisa Mutiara Damayanti Ariohudoyo
(120150102001)

FAKULTAS STRATEGI PERTAHANAN
PROGRAM STUDI PEPERANGAN ASIMETRIS
UNIVERSITAS PERTAHANAN INDONESIA
2016
0

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada awalnya, pasukan tentara Amerika Serikat (AS) berhasil
mengusir tentara Spanyol keluar dari tanah Filipina dan menyerahkan Manila
kepada Amerika Serikat. Pada saat yang bersamaan, pasukan tentara
Filipina juga telah berhasil mengusir Spanyol dari seluruh wilayah Filipina,
tetapi Spanyol akhirnya menyerahkan ibu kota Filipina, yaitu Manila ke
tangan pasukan tentara AS dibawah Mayjen Wesley Merrit. Pasukan Tentara
Filipina berada dibawah perintah Emilio Agunaldo, seorang pemuda berusia
29 tahun yang berpendidikan, serta dikenal sebagai illustrados. Aguinaldo
telah memimpin

berbagai pemberontakan terhadap kekuasaan Spanyol

pada tahun 1896. Aguinaldo yang mengklaim dirinya sendiri sebagai seorang
presiden pernah berharap kepada AS bahwa AS akan memfasilitasi
kemerdekaan bagi rakyat Filipina.
Presiden AS saat itu, William McKinley memutuskan untuk mencaplok
pulau-pulau tersebut menjadi milik AS atas dasar faktor missionaris dan fakor
kepentingan

AS.


Salah

satu

misinya

adalah

untuk

melakukan

pengkristenisasian terhadap penduduk Filipina serta untuk mendidik rakyat
Filipina. Saat itu, AS menganggap bahwa rakyat Filipina merupakan rakyat
yang terbelakang secara akademis maupun non akademis sehingga presiden
AS meragukan kapabilitas Filipina dalam menjalankan pemerintahannya
sendiri (Deady, 2005).
Awal Mula Pemberontakan di Filipina dimulai saat penduduk Filipina
sangat terkejut dengan adanya Perjanjian Paris yang dibuat untuk AS dalam

rangka pembelian pulau-pulau yang dulu dikuasai oleh Perancis senilai 20

1

juta dollar Amerika. Atas berita tersebut, maka penduduk asli Filipina merasa
berang dan dengan adanya pengalaman atas kesuksesan mereka dalam
melawan pendudukan Spanyol, pada akhirnya mereka mulai menyerukan
aksi insurjensi dan berusaha untuk menyerang tentara AS dibawah pimpinan
Aguinaldo di Manila pada tanggal 4 Februari 1899. Tetapi pada akhirnya,
serangan tersebut gagal,yang menyebabkan kelompok insurjensi tersebut
membubarkan pasukan lapangannya dan memulai untuk melakukan operasi
gerilya pada bulan November 1899.
Kondisi geografis Filipina memiliki keuntungan yang sangat signifikan
bagi pelaksaan operasi gerilya. Filipina merupakan negara kepulauan yang
memiliki 7.000 pulau dengan beragam suku dan budaya. Pada tahun 1900,
penduduk Filipina pada saat itu sebanyak 7,4 juta jiwa, yang tinggal di 74
provinsi berbeda, dimana 34 diantaranya tidak pernah ada aktivitas
pemberontakan (Linn, 2000). Luzon, merupakan pulau terbesar di negara
kepulauan tersebut yang merupakan tempat berdiamnya ibu kota dari
Filipina, yang juga merupakan tempat tinggal bagi setengah dari keseluruhan

penduduk yang ada di Filipina. Dengan demikian, operasi militer di Luzon
sering kali dilakukan dalam menghadapi pemberontakan.
Komunikasi antar pasukan bersenjata insurjen tidak pernah berjalan
dengan mulus tanpa adanya kepemimpinan dari Aguinaldo. Pada akhirnya,
kepempimpinan dari gerakan insurjensi ini dibagi berdasarkan wilayahwilayah agar dapat lebih terkoordinasi. Jenderal Vincente Lukban memimpin
aksi insurjensi yang berlokasi di tanah Samar, dan Jenderal Miguel Malvar
memimpin di selatan wilayah Luzon. Sebagian besar dari pemimpin tersebut
berbahasa dan bersuku Tagalog, sedangkan Aguinaldo sendiri merupakan
keturunan Tagalog dan Cina. Pemberontakan ini dilakukan secara berbeda di
beberapa wilayah yang berbeda. Kelompok perlawanan ini terbagi-bagi dan
tersebar dari pulau satu ke pulau yang lainnya.

2

Jumlah anggota dari kelompok insurjen sangatlah beragam, mulai dari
80.000 hingga 100.000 orang, dengan didukung oleh kurang lebih 10.000
pelengkap lainnya (May, 1897). Masalah yang terbesar yang selalu dihadapi
oleh kelompok insurjen ini adalah mereka kekurangan persenjataan beserta
amunisinya. Komandan AS sudah memiliki inisiatif untuk memfokuskan
rencana pengamanan terhadap penduduk Filipina. Pada tahun 1900,

Aguilando mulai menyerukan kepada para pengikutnya mengenai pentingnya
untuk meningkatkan serangan pemberontakannnya terhadap pasukan
Amerika.
Tujuan dari Aguinaldo adalah untuk mengalahkan AS dan memastikan
kemenangan atas William Jennings Bryan yang merupakan seorang antiimperialisme pada pemilihan presiden saat itu (Gates, 1973). Pada akhirnya,
melalui perang gerilya, Aguilando berhasil memenangkan perang tersebuut
dengan melibas habis pasukan AS. Tidak berakhir sampai disitu, selanjutnya
pasukan AS dibawah pimpinan Jenderal Arthur MacArthur memberlakukan
peraturan-peraturan yang ketat terhadap penduduk Filipina, termasuk untuk
mengharuskan para kombatan yang tidak berseragam, termasuk para
pendukungnya untuk dieksekusi. Strategi ini juga memaksa penduduk sipil
untuk memihak AS dan bersedia untuk membantu dalam pengisolasian
operasi gerilya yang dilakukan oleh insurjen. Setelah kegiatan tersebut
berlangsung selama lebih dari satu tahun, pada bulan Maret 1901, Aguinaldo
berhasil ditangkap oleh pasukan AS.
Di wilayah selatan Luzon, Jenderal J. Franklin, salah satu komandan
pasukan AS, juga memulai untuk mengisolasi operasi gerilya yang dibantu
oleh tentaranya yang ditugaskan untuk memburu para insurjen dan
menghancurkan segala jalur atau pun aliran logistiknya. Di kepulauan Samar
yang menyebabkan 48 tentara AS terbunuh. Walaupun pada akhirnya,

Jenderal Jacob Smith melakukan pembalasan yang membuat penyebaran
terhadap para anggota insurjensi ini perlahan-lahan mulai semakin sedikit.
3

Pada Februari 1902, Lukban, salah satu pemimpin gerakan insurjensi
berhasil ditangkap yang membuat gerakan insurjensi ini dapat dihentikan.
Pemberontakan tersebut membunuh lebih dari 350 tentara AS, serta melukai
lebih dari 4.000 tentara AS. Dalam makalah ini, Penulis akan memaparkan
mengenai strategi dan taktik yang digunakan oleh AS pada zaman
pendudukan AS di Filipina, yang menjadikan AS sebagai aktor kontra
insurjensi, dan kelompok insurjensi Filipina, yang ingin mempertahankan
wilayahnya dari AS sebagai aktor insurjensi. Selain itu, dibahas juga
mengenai keberhasilan AS dalam mengimplementasikan strateginya untuk
menumpas gerakan insurjensi di Filipina dan mengambil pelajaran yang
dapat dipetik dari keberhasilan tersebut

yang dapat digunakan sebagai

strategi dan taktik insurjensi di masa depan.


4

BAB II
PEMBAHASAN KONTRA INSURJENSI AMERIKA SERIKAT
TERHADAP GERAKAN INSURJENSI FILIPINA

2.1 Center of Gravity Amerika Serikat
Terdapat sebuah konsep, yaitu “Center of Gravity” merupakan sebuah
konsep yang sangat penting untuk memberikan pengertian mengenai
bagaimana dan dimana untuk mengerahkan elemen-elemen kekuatan suatu
negara.

Konsep

ini

diusung

oleh


Carl

von

Clausewitz,

yang

mengindentifikasikan konsep itu sebagai suatu sumber dari kekuatan dan
pergerakan musuh yang bergantung satu sama lainnya (Clausewitz, 1976).
Doktrin AS memperluas konsep mengenai belligerent, baik dalam
ruang lingkup konflik serta membedakan antara level strategis dan
operasional dalam center of gravity (US Departement of Defense, 2002). Inti
dari konsep ini adalah untuk mengaplikasikan elemen-elemen kekuatan untuk
menyerang titik episentrum milik musuh. Secara akurat,insurjen Filipina lebih
menargetkan warga-warga yang memberikan dukungannya kepada AS,
karena kemauan warga untuk memenangkan pihak AS merupakan suatu
kunci yang dapat memperkuat kekuasaan AS di Filipina.
Pada umumnya, kebijakan AS terhadap Filipina sangat tidak menentu.
McKinley menunjuk Merritt untuk mengatur segala hal menyangkut soal

keamanan mengenai kepemilikan pulau-pulau di Filipina Tanpa menentukan
bagaimana akhir dari kepemilikannya tersebut. Presiden AS membuat suatu
pertemuan dengan sebuah komisi di Filipina untuk mengevaluasi dan
melaporkan

mengenai

kondisi

pulau-pulau

tersebut

dan

meminta

rekomendasi serta sebuah disposisi. Ketua dari komisi tersebut, Jacob
Schurmann, telah menyimpulkan bahwa penduduk asli Filipina belum
5


memiliki kapabilitas untuk melakukan pemerintahannya secara mandiri tetapi
pada akhirnya, penduduk asli Filipina harus bisa untuk melakukan hal
tersebut, dan menjadi sebuah negara yang tidak lagi bergantung dengan AS.
Tujuan akhir dari komisi ini adalah dengan membuat kebijakan untuk
menjadikan Filipina sebagai negara yang stabil, damai, demokratis, merdeka
yang tetap memiliki hubungan kerjasama dengan AS yang walaupun pada
akhirnya pun masih tetap ada gerakan perlawanan Muslim di wilayah
Mindanao yang hingga sekarang masih bergerak dibawah kekuasaan Abu
Sayyaf. Kunci dalam mencapai tujuan akhir tersebut adalah dengan
menghindari berhentinya suatu kekuatan yang bisa saja memicu terjadinya
penjajahan yang dilakukan oleh negara-negara maju lainnya. Selain itu,
pembangunan

di

bidang

pendidikan


dan

infrastruktur,

serta

mengimplementasikan, mengawasi perkembangan proses demokrasi di
Filipina.
Strategi

merupakan

sebuah

tindakan

dimana

sebuah

negara

mengerahkan kekuatan nasionalnya untuk mencapai suatu kebijakan yang
akan memuluskan tujuan dari negara itu sendiri. Sumber dari kekuatan
operasional AS ialah tentara AS yang ditempatkan di kota-kota kecil di
wilayah Filipina. Hal tersebut dilakukan untuk menyingkirkan para resistance
yang mendiami kota-kota tersebut. Pasukan AS yang ditempatkan di kotakota kecil tersebut dibagi dalam kelompok-kelompok komunitas, yang
diantaranya bertugas untuk mengejar dan mengekseskusi para insurjen,
melakukan pendekatan terhadap warga setempat, mengumpulkan informasi
intelijen serta mengimplementasikan aktivitas-aktivitas sipil. Walaupun proses
dalam pengimplementasian strategi tersebut dinilai lambat, tetapi saat kotakota tersebut berhasil di taklukan, maka insurjensi tidak akan lagi tumbuh di
wilayah tersebut.

6

2.2 Center of Gravity Filipina
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh para insurjen Filipina adalah
sebuah kedaulatan, kemerdekaan, serta keadaan yang stabil yang dipimpin
oleh Aguinaldo. Para kepala suku, pemilik tanah, serta pebisnis merupakan
orang-orang penting yang mengontrol keadaan politik di wilayahnya.
Kelompok insurjensi ini dulu merupakan gerakan insurjensi yang kuat saat
Aguinaldo, beserta para orang-orang penting tersebut serta para budaknya
bersatu dalam menolak terjadinya pencaplokan wilayah Filipina oleh AS.
Tetapi, karena wilayah Filipina berupa kepulauan maka usaha dalam
menyatukan persamaan visi merupakan tantangan yang sulit bagi kelompok
insurjensi Filipina saat itu. Selain itu, para budak yang merupakan sumber
daya utama dalam membentuk suatu pasukan insurjen, pada akhirnya
memiliki visi yang berbeda dari pemimpin insurjen serta orang-orang penting
dibalik gerakan tersebut. Tantangan tersebut lah yang merupakan titik
episentrum bagi Aguinaldo dan jenderal-jenderalnya dalam upaya untuk
memperoleh persatuan untuk membentuk suatu kelompok insurjensi dalam
mempertahankan wilayah Filipina dari pencaplokan oleh AS.
Kekuatan

utama

Filipina

adalah

kemampuannya

untuk

mengumpulkan 100.000 tentara tanpa seragam di medan-medan perang
untuk melakukan perang gerilya (13). Insurjensi Filipina masih menggunakan
taktik-taktik konvensional, termasuk dengan meningkatkan korban jiwa AS
untuk menggagalkan upaya McKinley dalam pemilu tahun 1900.

2.3 Strategi Kontra Insurjensi Amerika Serikat Terhadap Filipina
Amerika Serikat menjadikan titik-titik krusial yang dimiliki oleh
kelompok insurjen sebagai target untuk semakin melemahkan

mereka.

Seperti yang diungkapkan oleh Mao Zedong, bahwa penduduk merupakan
7

sebuah lautan, dimana ikan-ikan merupakan insurjen yang terus berenang
untuk

membangun

kekuatannya

ditengah-tengah

lautan

tersebut.

Berdasarkan ilmu Mao tersebut, AS membuat program pengamanan dengan
menargetkan lautan tersebut dimana para insurjen berada dengan cara
menurunkan volume air sampai pada titik dimana lautan tersebut menjadi
danau-danau. Setelah itu, pasukan AS yang terbagi di kota-kota kecil
tersebut mulai untuk menurunkan kembali volume danau di wilayahnya,
dengan demikian ikan-ikan akan lebih mudah untuk di isolasi dan pada
akhirnya di tangkap. Saat insurjen berada pada kondisi dimana ia tidak
mampu untuk membangun lagi pasukannya, maka mereka kehilangan
kepercayaan diri bahwa mereka dapat memenangkan aksi insurjensinya.
Elemen-elemen kekuatan yang dibuat oleh AS di Filipina ialah berupa
kekuatan diplomatik, legalitas dari pencaplokan wilayah Filipina serta
tindakan-tindakannya di Filipina, pengumpulan informasi, kekuatan militer
serta pertumbuhan ekonominya. Instrumen-instrumen tersebut diadaptasikan
pada wilayah-wilayah yang dikuasai yang terkadang tanpa didahului oleh
pemberitahuan kepada kantor gubernur setempat. Di saat terdapat suatu
kebijakan yang memperbolehkan AS untuk membuat suatu tindakan hukum
secara internasional, seperti usaha dalam melakukan kesepakatan dengan
Vatikan yang menyangkut soal kekuatan diplomatik dan ekonomi, maka hal
tersebut telah menunjukkan bahwa AS telah sukses untuk menggunakan
kekuatannya dalam menggoyahkan titik episentrum kelompok insurjensi
Filipina.
AS juga membuat suatu Piagam Kepresidenan yang isinya adalah
dengan mengubah sifat-sifat militeristik di Filipina menjadi lebih ‘ramah’ bagi
penduduk sipil. Pada saat akan diadakan pemilu bagi pejabat-pejabat Filipina
tetap harus dengan pengawasan AS (Bark, 1974). Tentara-tentara AS ikut
berkontribusi dalam bidang diplomatik dan ekonomi serta ikut dalam
pekerjaan-pekerjaan sipil. Bahkan di wilayah-wilayah terpencil, tentara AS
8

juga mengawasi pembangunan jalan raya. Pasukan militer AS juga
membangun sekolah dan klinik berserta vaksin-vaksinnya, serta mengadakan
acara-acara yang berhubungan dengan amal, seperti penyuluhan kebersihan
air, dan lain-lain (Boot, 2002).
Dengan gaya peperangan yang seperti itulah, AS berhasil untuk
mendominasi

kekuatan

ekonominya

di

wilayah

Filipina.

Kemajuan

infrastruktuk seperti pembangunan jalan raya, serta pengadaan telegram
sebagai alat komunikasi untuk penggunaan militer maupun ekonomi. Dalam
kurun waktu dua bulan, 1000 mil jalan raya telah berhasil di bangun (Linn,
2000). Selain itu juga, penyakit-penyakit menular seperti malaria, smallpox,
kolera dan tifus berhasil untuk dikurangi sehingga militer AS maupun
penduduk sipil Filipina merasakan perubahan baik yang dilakukan oleh AS
selama pendudukannya di Filipina.
Kebijakan-kebijakan lainnya seperti gaji yang tinggi bagi para pegawai
sipil serta kebersihan air dan sistem pembuangan limbah yang beroperasi
dengan baik telah meyakinkan para penduduk Filipina bahwa AS memiliki
niat yang baik dan tulus dalam memajukan dan mensejahterakan penduduk
Filipina. Di sisi lain, faktor keberhasilan strategi kontra insurjensi AS juga
disebabkan oleh kelompok insurjen Filipina yang membuat beberapa
kesalahan dalam ruang lingkup politik maupun militer yang secara tidak
langsung memudahkan AS dalam melancarkan operasi COIN di Filipina.
Pendukung dari gerakan insurjensi Filipina dinilai sangat sempit, dimana
pendukung-pendukungnya hanya mengerti bahasa Tagalog dan juga prinsipprinsip mengenai sistem pemerintahan oligarki yang dielu-elukan sangat
dangkal (Linn, 2000). Selain itu, dari sisi militer, aksi insurjensi tersebut gagal
dalam merebut kota Manila dari tangan AS. Padahal mereka hampir
mendapatkan kekuasaan di seluruh wilayah Filipina yang pada akhirnya
malah menerapkan perang yang dilakukan secara konvensional.

9

Mereka juga menunda pengimplementasian taktik yang bersifat
asimetris seperti perang gerilya yang akhirnya gagal dan menghabiskan
seluruh sumber daya logistik maupun manusia. Pasukan tentara AS telah
memindahkan ratusan ribu penduduk sipil Filipina ke kamp-kamp yang dibuat
oleh AS dalam rangka melakukan pemisahan antara penduduk sipil dengan
para insurjen dan pasukan gerilya. Pemisahan dilakukan untuk mengurangi
sumber kekuatan para pasukan gerilya, yaitu para penduduk sipil itu sendiri.

10

BAB III
LESSON LEARNED

AS secara umum memperlakukan Filipina dengan baik, hal ini pul
telah diakui oleh penduduk sipil Filipina sendiri. Manual Quezon, dulunya
adalah seorang aktivis pendukung gerakan insurjensi yang diusung oleh
Aguinaldo, yang pada akhirnya menjadi seorang presiden Filipina di kala itu.
Ia membeberkan keluh kesahnya saat masih menjadi insurjen untuk
mengembangkan ideologi nasionalis dibawah kolonial AS. Intinya adalah,
kehendak dari penduduk sipil itu bisa berubah sewaktu-waktu, dimana AS
berhasil untuk memanfaatkan perubahan tersebut dengan cara memisahkan
antara penduduk sipil dengan pasukan gerilya, serta mereka bertindak lebih
manusiawi dalam memperlakukan penduduk sipil Filipina dengan melakukan
berbagai pembangunan infrastruktur yang cukup pesat sehingga penduduk
Filipina dapat meningkatka kualitas hidupnya berkat upaya-upaya yang
sebenarnya bentuk strategi AS dalam melakukan kontrainsurjensi.
Dalam level strategis, pengalaman para pentolan kelompok insurjensi
di Filipina ini mudah untuk ditebak dan dihindari. Pasukan AS dapat dengan
mudah memprediksikan tujuan-tujuan dari kelompok insurjen tersebut. Di sisi
lain, pada level operasional, AS memiliki 3 strategi yang setidaknya satu
diantara ketiga tujuan tersebut harus dapat dengan sukses dilaksanakan.
Strategi tersebut adalah, (1) memisahkan pasukan gerilya dan penduduk
sipil, (2) mengalahkan pasukan gerilya itu sendiri, dan yang terakhir ialah
dengan mendapatkan kerjasama dengan penduduk sipil itu sendiri.
Pada akhirnya, prinsip-prinsip tersebut dipakai dan diterima sebagai
strategi dasar dalam melakukan COIN (Tomes, 2004). Tomes menjelaskan
bahwa prinsip-prinsip dalam melakukan kontra insurjensi seperti memisahkan

11

antara pasukan gerilya dengan penduduk sipil adalah untuk menghindari
penduduk sipil dari pengaruh-pengaruh pasukan gerilya, memperkecil
kesempatan bagi para pasukan gerilya untuk mendapatkan tempat
persembunyian dari penduduk sipil serta untuk mencegah adanya dukungandukungan dari luar (Filiberti, 1998). AS tidak semata-mata memperlakukan
dengan baik para penduduk Filipina tanpa ada aturan mainnya. AS tetap
memberlakukan pajak atau denda, penangkapan, penghancuran properto
serta melakukan deportasi terhadap penduduk yang tetap melakukan
dukungan terhadap insurjensi, yang membantu AS dalam mengurangi
dukungan terhadap paukan gerilya. Taktik-taktik dan teknik dalam melakukan
hal tersebut juga sangat berbeda-beda di tiap daerah di Filipina, sesuai
dengan kondisi dan situasi wilayah setempat (Linn, 2000).
Dapat diambil kesimpulan berdasarkan strategi dan taktik yang
digunakan AS dalam melakukan kontrainsurjensi di Filipina, bahwa prinsip
utama dalam melakukan kontrainsurjensi adalah dengan cara memisahkan
penduduk sipil dari para kelompok insurjensi, memberikan penduduk sipil
tersebut

alasan-alasan

mengapa

mereka

harus

mendukung

upaya

kontrainsurjensi serta menolak untuk memberikan tempat perlindungan
maupun tempat persembunyian bagi para kelompok insurjensi yang sedang
bergerilya di mana saja mereka berada.
Hal tersebut juga, masih satu pemikiran dengan teori yang menjadi
pisau analisis paling tajam dalam membahas upaya kontrainsurjensi, yaitu
teori yang dikemukakan oleh David Galula, bahwa pada dasarnya untuk
dapat mencapai operasi kontrainsurjensi yang sukses, hal utama yang harus
dilakukan dan harus berhasil dilakukan adalah dengan merebut heart and
minds of people. Populasi, dalam hal ini ialah penduduk sipil yang tidak
terlibat aksi insurjensi merupakan senjata utama dan parameter utama dalam
menentukan berhasil atau tidaknya gerakan insurjensi maupun operasi
kontrainsurjensi di suatu wilayah tertentu.
12

Dengan demikian, pelajaran yang dapat dipetik ialah dalam mencegah
lahirnya

gerakan

insurjensi

maupun

mencapai

keberhasilan

operasi

kontrainsurjensi, khususnya di Indonesia, dengan kembali kepada prinsipprinsip Pancasila. Persatuan, kesejahteraan serta keadilan bagi seluruh
rakyat Indonesia.

13

DAFTAR PUSTAKA

Boot, M. (2002). The Savage Wars of Peace: Small Wars and the Rise of
American Power. New York: Basic Books.
Clausewitz, C. v. (1976). On War. New Jersey: Princeton University Press.
Deady, T. K. (2005). Lesson from a Successful COIN: The Philippines, 18991902. Parameters, 54.
US Departement of Defense (2002). Joint Doctrine for Campaign Planning.
Joint Publication.
Filiberti, E. J. (1998). The Roots of US Counterinsurgency Doctrine. Military
Review.
Gates, J. M. (1973). Schoolbooks and Krags: The United States Army in the
Philippines, 1898-1902. Westport: Greenwood Press.
Linn, B. M. (2000). The Philippine War 1899-1902. Kansas: Lawrence:
University of Kansas Press.
May, G. A. (1897). A Past Recovered . Manila: New Days Publishers.
Oscar Theodore Bark Jr., N. M. (1974). Since 1990: A History of the United
States in Our Times. New York: MacMillan.
Tomes, R. R. (2004). Relearning Counterinsurgency Warfare. Parameters.

14