MAKALAH MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF (1)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk individual, berbeda satu sama lain, karena sifatnya yang
individual maka manusia yang satu membutuhkan manusia yang lainnya sehingga sebagai
konsekuensi logisnya manusia harus menjadi makhluk sosial, makhluk beriteraksi dengan
sesamanya, selain itu manusia memiliki potensi, latar belakang historis, serta harapan masa
depan yang berbeda-beda. Dari adanya perbedaan, manusia dapat silih asah (saling
mencerdaskan), saling membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih asih (saling
menyayangi atau saling mencintai). Perbedaan antarmanusia yang tidak terkelola secara baik
dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antarsesamanya. Agar manusia
terhindar dari ketersinggungan dan kesalahpahaman maka diperlukan interaksi yang silih asuh
(saling tenggang rasa). Dalam dunia pendidikan, khususnya pada jenjang pendidikan formal
banyak dijumpai perbedaan-perbedaan mulai dari perbedaan gender, suku, agama, dan lainlain. Dari karakter yang heterogen tersebut, timbul suatu pertanyaan bagaimana guru dapat
memotivasi seluruh siswa mereka untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama lain?
Bagaimana guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan
berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan keterampilan sehingga
siswa benar-benar memahami ide, konsep dan keterampilan tersebut? Bagaimana guru dapat
memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu besar di dalam kelas untuk
kegiatan-kegiatan pembelajaran roduktif? Bagaimana guru dapat mengorganisasikan kelas
sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling mengambil tanggung jawab satu sama

lain, dan belajar untuk menghargai satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau
ketidakmampuan karena cacat?
Model pembelajaran kooperatif nampaknya merupakan jawaban atas pertanyaan tersebut.
Pembelajaran kooperatif adalah kerja kelompok yang terkelola dan terorganisasikan
sedemikian sehingga peserta didik bekerja sama dalam kelompok kecil untuk mencapai
tujuan-tujuan akademik, effektif dan sosial (Johnson dan Johnson,1989). Dalam model
pembelajaran kooperatif terdapat lima prinsip yang harus tercermin didalamnya.. lima prinsip
tersebut adalah : 1) saling ketergantungan positif; 2) tanggung jawab perseorangan; 3) tatap
muka; 4) komunikasi antar anggota; dan 5)evaluasi proses kelompok (Lie, 2000). Dalam
1

menyelesaikan tugasnya, peserta didik yang satu membutuhkak peserta didik yang lain,
karena mereka bekerja dalam satu team. Masing-masing peserta didik memiliki tanggung
jawab untuk memberikan kontribusi pada kelompoknya. Peserta didik yang paham terhadap
salah satu tugas harus membantu peserta didik lain yang belum memahami tugas tersebut.
Demikian pula peserta didik yang belum paham harus meminta penjelasan kepada yang telah
paham. Mereka juga harus berinteraksi satu sama lainnya melalui tatap muka dan komunikasi.
Evaluasi dilakukan baik secara individual maupun kelompok. Prinsip-prinsip pembelajaran
demikian akan mengeliminasi kompetisi yang menimbulkan krisis kepribadian seperti
frustasi, kecemasan yang berlebihan, dan rasa rendah diri yang berujubg pada motivasi belajar

yang rendah. Dari uraian diatas, nampak bahwa model pembelajaran koopertif dapat menjadi
solusi alternatif dalam mengurangi dampak krisis kepribadian sebagaiman yang dikemukakan
oleh Erikson.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian pembelajaran kooperatif
2. Teori-teori apa sajakah yang mendukung model pembelajaran kooperatif.
3. Langkah – langkah pembelajaran kooperatif
4. Kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif
5. Model- model pembelajaran kooperatif
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian pembelajaran kooperatif
2. Mengetahui teori yang mendukung model pembelajaran kooperatif.
3. Mengetahui Langkah – langkah pembelajaran kooperatif
4. Mengetahui Kelebihan dan kelemahan pembelajaran kooperatif
5. Mengetahui Model- model pembelajaran kooperatif

2

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Posamentier secara sederhana menyebutkan cooperative learning atau belajar secara
kooperatif adalah penempatan beberapa siswa dalam kelompok kecil dan memberikan
mereka sebuah atau beberapa tugas.
Model pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang didalamnya
mengkondisikan para siswa bekerja bersama-sama didalam kelompok-kelompok kecil untuk
membantu satu sama lain dalam belajar. Pembelajaran kooperatif didasarkan pada gagasan
atau pemikiran bahwa siswa bekerja bersama-sama dalam belajar, dan bertanggung jawab
terhadap aktivitas belajar kelompok mereka seperti terhadap diri mereka sendiri.
Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang menganut paham
konstruktivisme.
Model pembelajaran kooperatif adalah rangkaian kegiatan belajar yang dilakukan oleh
siswa dalam kelompok-kelompok tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan.
Slavin dalam Isjoni (2009: 15) pembelajaran kooperatif adalah suatu model
pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara
kolaboratif yang anggotanya 5 orang dengan struktur kelompok heterogen. Sedangkan
menurut Sunal dan Hans dalam Isjoni (2009: 15) mengemukakan bahwa pembelajaran
kooperatif merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus
dirancang untuk memberi dorongan kepada siswa agar bekerja sama selama proses

pembelajaran.
Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang berfokus pada penggunaan
kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk
mencapai tujuan belajar (Sugiyanto, 2010: 37).
Agus Suprijono (2009: 54) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah
konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk bentuk-bentuk yang
lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Secara umum pembelajaran kooperatif
dianggap

lebih

diarahkan

oleh

guru,

di

mana


guru

menetapkan

tugas

dan

pertanyaanpertanyaan serta menyediakan bahan-bahan dan informasi yang dirancang untuk
3

membantu siswa menyelesaikan masalah yang dimaksudkan. Guru biasanya menetapkan
bentuk ujian tertentu pada akhir tugas.
Menurut Slavin menyatakan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pengajaran secara
khusus membuat belajar kooperatif ekstensif, secara teori siswa akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikannya dengan temannya.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kooperatif
merupakan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok yang didasari dengan

kerja sama dan setiap anggota kelompok harus bertanggung jawab atas pembelajarannya
agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang mengutamakan kerjasama antar
siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menggunakan pembelajaran kooperatif merubah
peran guru dari peran yang berpusat pada Model Pembelajaran Kooperatif 3 gurunya ke
pengelolaan siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Menurut teori konstruktivis, tugas guru
(pendidik) adalah memfasilitasi agar proses pembentukan (konstruksi) pengetahuan pada
diri sendiri tiap-tiap siswa terjadi secara optimal.
B. Teori-Teori Pendukung Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif memiliki basis pada teori psikologi kognitif dan teori
pembelajaran sosial (Arends, 1997). Fokus pembelajaran kooperatif tidak saja tertumpu pada
apa yang dilakukan peserta didik tetapi juga pada apa yang dipikirkan peserta didik selama
aktivitas belajar berlangsung. Informasi yang ada pada kurikulum tidak ditransfer begitu saja
oleh guru kepada peserta didik, tetapi peserta didik difasilitasi dan dimotivasi untuk
berinteraksi dengan peserta didik lain dalam kelompok, dengan guru dan dengan bahan ajar
secara optimal agar ia mampu mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Dari uraian di atas
nampak bahwa guru bukanlah sebagai pusat pembelajaran, sumber utama pembelajaran,
serta pentransfer pengetahuan sebagaimana terjadi pada pembelajaran konvensional. Pusat
pembelajaran telah bergeser dari guru ke peserta didik. Dalam model pembelajaran
kooperatif, guru berperan sebagai fasilitator, penyedia sumber belajar bagi peserta didik,

pembimbing peserta didik dalam belajar 4 kelompok, pemberi motivasi peserta didik dalam

4

memecahkan masalah, dan sebagai pelatih peserta didik agar memiliki ketrampilan
kooperatif.
Teori yang menjadi pendukung model pembelajaran kooperatif ini adalah:
a) Teori Psikologi Kognitif-Konstruktivistik (Piaget dan Vygotsky)
b) Teori Psikologi Sosial (Dewey, Thelan, Allport, dan Lewin).
1. Teori Psikologi Kognitif -Konstruktivistik
Jean Piaget dan Lev Vygotsky merupakan dua ahli psikologi kognitif yang besar
sumbangannya

dalam

mendukung

pengembangan

pembelajaran


kooperatif

(http://.users.muohio.edu/shermanlw/wolf_chapter-draft3-25.html).
Sumbangan pemikiran dan penelitian dari kedua ahli tersebut serta kaitannya dengan
model pembelajaran kooperatif dijelaskan dalam uraian berikut.
a.

Teori Piaget
Piaget (dalam Slavin, 2000) memandang bahwa setiap anak memiliki rasa ingin tahu
bawaan yang mendorongnya untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Baik
lingkungan fisik maupun sosialnya. Piaget meyakini bahwa pengalaman secara fisik
dan pemanipulasian lingkungan akan mengembangkan kemampuannya. Ia juga
mempercayai bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya dalam
mengemukakan ide dan berdiskusi akan membantunya memperjelas hasil
pemikirannya dan menjadikan hasil pemikirannya lebih logis.(Slavin, 2000). Melalui
pertukaran ide dengan teman lain, seorang anak yang sebelumnya memiliki
pemikiran subyektif terhadap sesuatu yang diamati akan merubah pemikirannya
menjadi obyektif Aktivitas berpikir anak seperti itu terorganisasi dalam suatu
struktur kognitif (mental) yang disebut dengan "scheme" atau pola berpikir (patterns

of behavior or thinking).
Berkaitan dengan pandangan Piaget dalam hal pembelajaran, Duckworth (Slavin,
1995) mengemukakan bahwa pedagogi yang balk harus melibatkan anak pada situasi
di mana anak mandiri melakukan percobaan, dalarn arti anak mencoba segala
sesuatu untuk melihat apa yang terjadi, memanipulasi tandatanda, memanipulasi
simbol, mengajukan pertanyaan dan menemukan sendiri
jawabannya, mencocokkan apa yang la temukan dan membandingkan temuannya
dengan anak lain.
5

b. Teori Vygotsky
Lev Semionovich Vygotsky, seorang ahli psikologi Rusia memiliki kesamaan
dengan Piaget (ahli psikologi dan biologi dari Switzerland) dalam memandang
perkembangan kognitif anak Vygotsky memandang bahwa akuisisi "system isyarat"
(sign system) terjadi dalam sekuen tahapan yang invarian untuk setiap anak
sebagaimana disampaikan oleh Piaget. Namun, Vygotsky berbeda dalam
memandang "pemicu" perkembangan kognitif anak. Ia meyakini bahwa
perkembangan kognitif anak terkait sangat kuat dengan masukan dari orang lain.
Vygotsky mendasarkan karyanya pada dua ide utama. Pertama, perkembangan
intelektual dapat dipahami hanya bila ditinjau dari konteks pengalaman historis dan

budaya anak. Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat (sign
system) di mana ia tumbuh. Sistem isyarat mengacu kepada simbol-simbol yang
diciptakan oleh budaya untuk membantu orang bertikir, berkomunikasi dan
memecahkan masalah. Teori Vygotsky di atas mempunyai dua implikasi utama
dalam pembelajaran, yaitu, perlunya pengelola pembelajaran secara kooperatif
dengan pengelompokkan peserta didik secara heterogen dari sisi kemampuan 5
akademik, dan kedua, pendekatan pembelajaran yang menekankan pentingnya
scaffolding, dengan menekankan pentingnya tanggung jawab peserta didik pada
tugas belajarnya. (Slavin, 2000). Vygotsky menekankan pentingnya peranan
lingkungan kebudayaan dan interaksi sosial dalam perkembangan sifat-sifat dan
tipe-tipe manusia. Menurut Vygotsky (Slavin, 2000), peserta didik belajar melalui
interaksi dengan orang dewasa dan teman sebaya yang lebih mampu. Interaksi
sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan
intelektual peserta didik. Pada setting kooperatif, peserta didik dihadapkan pada
proses berpikir teman sebaya mereka. Tutorial oleh teman yang lebih kompeten
akan sangat efektif dalam mendorong petrtumbuhan daerah perkembangan
proximal (Zone of Proximal Development) anak.
Vygotsky yakin bahwa tujuan belajar akan tercapai jika anak belajar menyelesaikan
tugas-tugas yang belum dipelajari tetapi tugas-tugas tersebut masih berada dalam
daerah perkembangan terdekat mereka. Daerah perkembangan terdekat adalah

tingkat perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangan orang saat ini. Zone of
6

Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara tingkat perkembangan aktual,
yang ditentukan melalui penyelesaian masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial anak, yang ditentukan melalui pemecahan masalah dengan
bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya. Menurut Vygotsky, pada
saat peserta didik bekerja didalam daerah perkembangan terdekat mereka, tugastugas yang tidak dapat mereka selesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan
dengan bimbingan (scaffolding) orang dewasa atau teman sebaya.
2. Teori Psikologi Sosial
a. Teori John Dewey dan Herbert Thelan
Menurut Dewey (Arends, 1997), kelas seharusnya merupakan cermin dari
masyarakat luas dan berfungsi sebagai laboratorium belajar dalam kehidupan nyata.
Dewey menegaskan bahwa guru perlu menciptakan sistem sosial yang bercirikan
demokrasi dan proses ilmiah dalam lingkungan belajar peserta didik dalarn kelas.
Tanggung jawab utama guru adalah memotivasi peserta didik untuk belajar secara
kooperatif dan memikirkan masalah-masalah sosial yang penting setiap hari.
Bersamaan dalam aktivitasnya rnemecahkan masalah di kelompoknya, peserta didik
belajar prinsip-prinsip demokrasi melalui interaksi dengan peserta didik lain.
Beberapa tahun setelah Dewey, Thelan (dalam Arends, 1997) berpendapat bahwa
kelas haruslah merupakan laboratorium atau miniatur demokrasi yang bertujuan
mengkaji masalah-masalah sosial dan masalah antar pribadi. Thelan tertarik dengan
dinamika kelompok dan rnengernbangkan bentuk yang lebih rinci dan terstruktur
dari

penyelidikan

kelompok,

dan

mempersiapkan

dasar

konseptualuntuk

pengembangan pembelajaran kooperatif (Arends, 1997).
b. Teori Gordon Allport
Aliport (Arends, 1997) berpandangan bahwa hukum saja tidaklah cukup untuk
mengurangi kecurigaan dan meningkatkan penerimaan secara baik antar kelompok.
Pandangan Allport dikenal dengan "The Nature of Prejudice". Untuk mengurangi
kecurigaan dan meningkatkan penerimaan satu sama lain adalah dengan jalan
mengumpulkan mereka (antar suku atau ras) dalam satu lokasi, kontak langsung
dan bekerjasama antar mereka. Shlomo Sharan dan koleganya menyimpulkan
adanya tiga kondisi dasar untuk memformulasikan pandangan Allport untuk
7

mengurangi kecurigaan antar kelompok dan meningkatkan penerimaan antar
mereka. Tiga kondisi tersebut adalah: 1) kontak langsung antar suku atau ras; 2)
dalam seting tertentu, mereka bekerjasama dan berperan aktif dalam kelompok; 3)
dalam seting tersebut, mereka secara resmi menyetujui adanya kerjasama (Arends,
1997).
c. Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin yang lahir pada tahun 1890 di Polandia ini dapat dipandang sebagai
Bapak Psikologi Sosial. (http://.users.muohio. edu/shermanlw/wolf_ chapter-draft325.html). Lewin sangat tertarik pada masalah-masalah pergerakan yang dinamis
dalam kelompok (group dynamics movement), terutama tentang resolusi konflik
sosial yang terjadi di antara para peserta didik. Dalam suatu kelompok, ada
duakernungkinan yang dapat terjadi, yaitu: mendorong penerimaan sosial
(promotesocial acceptance) atau meningkatkan jarak/ketegangan sosial (increase
social distance). Pandangan-pandangan Lewin tentang dinamika kelompok ini
kemudian dikembangkan oleh para peserta didikpeserta didiknya. D. Johnson, E.
Aronson, R. Schmuck dan L. Sherman adalah generasi ke-tiga dari Lewin (peserta
didik dari peserta didik Lewin) yang turut mengembangkan pandangan-pandangan
Lewin tersebut di atas.
Para penerus Lewin mencari cara bagaimana memfasilitasi integrasi dan
memajukan hubungan antar manusia, mendorong demokrasi dan mengurangi
timbulnya konflik. Dari sini muncul berbagai strategi pembelajaran kooperatif. Para
penerus Lewin (terutama generasi kedua dan ketiga Lewin) mengembangkan
berbagai teknik pembelajaran kooperatif yang menggabungkan pandangan
teoripsikologi sosial dari Lewin dan psikologi kognitif. Deutsch (dalam Slavin,
1995)mengembangkan prinsip "ketergantungan" (interdpendence), yang kemudian
ia bagi menjadi ketergantungan positip dan negatif. Johnson & Johnson
mengembangkan "creative conflict" dan Slavin dengan "group contingencies".
Banyak hasil penelitian Lewin yang mengetengahkan pentingnya partisipasi aktif
dalam kelompok untuk mempelajari ketrampilan baru, mengembangkan sikap baru,
dan memperoleh pengetahuan. Hasil penelitiannya juga menunjukkan betapa

8

produktifnya kelompok bila anggota-anggotanya berinteraksi dan kemudian saling
merefleksikan pengalaman-pengalamannya. (Johnson & Johnson, 2000).
C. Langkah- langkah Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan
kerjasama diantara siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pembelajaran kooperatif
memiliki ciri-ciri:
 untuk memuntaskan materi belajarnya, siswa belajar dalam kelompok secara bekerja
sama
 kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah
 jika dalam kelas terdapat siswa-siswa yang heterogen ras, suku, budaya, dan jenis
kelamin, maka diupayakan agar tiap kelompok terdapat keheterogenan tersebut.
 penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan.
Tujuan Pembelajaran Kooperatif


Hasil belajar akademik , yaitu untuk meningkatkan kinerja siswa dalm tugas-tugas
akademik. Pembelajaran model ini dianggap unggul dalam membantu siswa dalam
memahami konsep-konsep yang sulit.



Penerimaan terhadap keragaman, yaitu agar siswa menerima teman-temannya yang
mempunyai berbagai macam latar belakang.



Pengembangan keterampilan social, yaitu untuk mengembangkan keterampilan social
siswa diantaranya: berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat orang lain,
memancing teman untuk bertanya, mau mengungkapkan ide, dan bekerja dalam
kelompok.

9

Fase-fase Model Pembelajaran Kooperatif :
FaseIndikator
1 Menyampaikan tujuan dan

Aktivitas Guru
Guru menyampaikan semua tujuan pelajaran yang

memotivasi siswa

ingin dicapai pada pelajaran tersebut dan memotivasi

Menyajikan informasi

siswa
Guru menyajikan informasi kepada siswa dengan

Mengorganisasikan siswa ke

jalan demonstrasi atau lewat bahan bacaan
Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya

dalam kelompok-kelompok

membentuk kelompok belajar dan membantu setiap

4

belajar
Membimbing kelompok

kelompok agar melakukan transisi efisien
Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada

5

bekerja dan belajar
Evaluasi

saat mengerjakan tugas
Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang

2
3

telah dipelajari atau masing-masing kelompok
6

Memberikan penghargaan

mempresentasikan hasil kerjanya
Guru mencari cara untuk menghargai upaya atau
hasil belajar siswa baik individu maupun kelompok.

D. Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
1. Kelebihan Pembelajaran Kooperatif


Kelebihan model pembelajaran kooperatif terdiri atas:
Dapat mengurangi rasa kantuk dibanding belajar sendiriJika belajar sendiri sering kali
rasa bosan timbul dan rasa kantuk pun datang. Apalagi jika mempelajari pelajaran yang
kurang menarik perhatian atau pelajaran yang sulit.Dengan belajar bersama, orang punya
teman yang memaksa aktif dalam belajar.Demikian pula ada kesempatan bersenda gurau
sesedikit mungkin untuk mengalihkan kebosanan.



Dapat merangsang motivasi belajar
Melalui kerja kelompok, akan dapat menumbuhkan perasaan ada saingan. Jika udah
menghabiskan waktu dan tenaga yang sama dan ternyata ada teman yang mendapat nilai
lebih baik, akan timbul minat mengejarnya. Jika sudah berada di atas, tentu ingin
mempertahankan agar tidak akan dikalahkan teman-temannya.

10



Ada tempat bertanya
Kerja secara kelompok, maka ada tempat untuk bertanya dan ada orang lain yang dapat
mengoreksi kesalahan anggota kelompok. Belajar sendiri sering terbentur pada masalah
sulit terutama jika mempelajari sejarah.Dalam belajar berkelompok, seringkali dapat
memecahkan soal yang sebelumnya tidak bisa diselesaikan sendiri.Ide teman dapat
dicoba dalam menyelesaikan soal latihan. Jika ada lima orang dalam kelompok itu, tentu
ada lima kepala yang mempunyai tingkat pengetahuan dan kreativitas yang berbeda. Pada
saat membahas suatu masalah bersama akan ada ide yang saling melengkapi.



Kesempatan melakukan resitasi oral
Kerja kekompok, sering anggota kelompok harus berdiskusi dan menjelaskan suatu teori
kepada teman belajar.Inilah saat yang baik untuk resitasi.Akan dijelaskan suatu teori
dengan bahasa sendiri. Belajar mengekspresikan apa yang diketahui, apa yang ada dalam
pikiran ke dalam bentuk kata-kata yang diucapkan.
 Melalui kerja kelompok akan dapat membantu timbulnya asosiasi dengan peristiwa lain
yang mudah diingat. Misalnya, jika ketidaksepakatan terjadi di antara kelompok, maka
perdebatan sengit tak terhindarkan. Setelah perdebatan ini, biasanya akan mudah
mengingat apa yang dibicarakan dibandingkan masalah lain yang lewat begitu saja.
Karena dari peristiwa ini, ada telinga yang mendengar, mulut yang berbicara, emosi
yang turut campur dan tangan yang menulis.Semuanya sama-sama mengingat di
kepala.Jika membaca sendirian, hanya rekaman dari mata yang sampai ke otak, tentu ini
dapat kurang kuat.
2. Kelemahan Pembelajaran Kooperatif
Kelemahan pembelajaran kooperatif bersumber pada dua faktor, yaitu faktor dari dalam

(intern) dan faktor dari luar (ekstern). Faktor dari dalam yaitu sebagai berikut.
a. Guru harus mempersiapkan pembelajaran secara matang, disamping itu memerlukan
lebih banyak tenaga, pemikiran dan waktu;
b. Agar proses pembelajaran berjalan dengan lancar maka dibutuhkan dukungan fasilitas,
alat dan biaya yang cukup memadai;

11

c. Selama kegiatan diskusi kelompok berlangsung, ada kecenderungan topic permasalahan
yang sedang dibahas meluas sehingga banyak yang tidak sesuai dengan waktu yang
telah ditentukan, dan
d. Saat diskusi kelas, terkadang didominasi oleh seseorang, hal ini mengakibatkan siswa
yang lain menjadi pasif.
Slavin (Miftahul, 2011: 68) mengidentifikasi tiga kendala utama atau apa yang disebutnya
pitfalls (lubang-lubang perangkap) terkait dalam pembelajaran kooperatif sebagai berikut.
a. Free Rider
Jika tidak dirancang dengan baik, pembelajaran kooperatif justru berdampak pada
munculnya free rider atau “pengendara bebas”. Yang dimaksud free rider disini adalah
beberapa siswa yang tidak bertanggungjawab secara personal pada tugas kelompoknya
mereka hanya “mengekor” saja apa yang dilakukan oleh teman-teman satu
kelompoknya yang lain. Free rider ini sering kali muncul ketika kelompok-kelompok
kooperatif ditugaskan untuk menangani atu lembar kerja, satu proyek, atau satu
laporan tertentu. Untuk tugas-tugas seperti ini, sering kali ada satu atau beberapa
anggota yang mengerjakan hampir semua pekerjaan kelompoknya, sementara sebagian
anggota yang lain justru “bebas berkendara”, berkeliaran kemana-mana.
b. Diffusion of responsibility
Yang dimaksud dengan diffusion of responsibility (penyebarantanggung jawab) ini
adalah suatu kondisi di mana beberapa anggota yangdianggap tidak mampu cenderung
diabaikan oleh anggota-anggota lain yang“lebih mampu”. Misalnya, jika siswa
ditugaskan untuk mengerjakan tugasIPA, beberapa anggota yang dipersepsikan tidak
mampu menghafal ataumemahami materi tersebut dengan baik sering kali tidak
dihiraukan olehteman-temannya yang lain. Siswa yang memiliki skill IPA yang baik
punterkadang malas mengajarkan keterampilannya pada teman-temannya yangkurang
mahir di bidang IPA. Hal ini hanya membuang-buang waktu danenergi saja.
c. Learning a Part of Task Specialization
Beberapa model pembelajaran tertentu, seperti Jigsaw, GroupInvestigation, dan
metode-metode lain yang terkait, setiap kelompokditugaskan untuk mempelajari atau
mengerjakan bagian materi yang berbedaantarsatu sama lain. Pembagian semacam ini
sering kali membuat siswahanya fokus pada bagian materi lain yanng dikerjakan oleh
12

kelompok lainhampir tidak dihiraukan sama sekali, padahal semua materi tersebut
salingberkaitan satu sama lain.
Slavin (Miftahul,2011: 69) mengemukakan bahwa ketiga kendala inibisa diatasi jika guru
mampu melakukan beberapa faktor sebagai berikut:
i. Mengenakan sedikit banyak karakteristik dan level kemampuan siswanya.
ii. Selalu menyediakan waktu khusus untuk mengetahui kemajuan setiapsiswanya
dengan mengevaluasi mereka secara individual setelah bekerjakelompok, dan yang
paling penting
iii. Mengintegrasikan metode yang satudengan metode yang lain.
E. Model-model Pembelajaran Kooperatif
1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
Pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Team Achievement Division), tipe
ini dikembangkan pertama kali oleh Robert Slavin dan teman-temannya di Universitas
John Hopkins dan merupakan model pembelajarankooperatif paling sederhana
(Ibrahim dkk, 2000 : 6). Masing-masing kelompok memiliki kemampuan akademik
yang heterogen (Depelovment MA Project, 2002 : 31), sehingga dalam satu kelompok
akan terdapat satu siswa berkemampuan tinggi, dua orang kemampuan sedang dan
satu siswa lagi berkemampuan rendah.
Pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah pembelajaran yang secara sadar dan
sengaja mengembangkan interaksi yang saling asuh antar siswa untuk menghindari
ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan.
b. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD


Para siswa di dalam kelas dibagi menjadi 4 atau 5 anggota kelompok. Tiap
anggota mempunyai anggota yang heterogen, baik jenis kelamin, ras, etnis,
maupun kemampuan.



Guru menyampaikan materi pelajaran.



Guru memberikan tugas kepada kelompok dengan menggunakan lembar kerja
akademik, dan kemudian saling membantu untuk menguasai materi pelajaran
13

yang telah diberikan melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota
kelompok.


Guru memberikan pertanyaan atau kuis kepada seluruh siswa. Pada saat
menjawab pertanyaan atau kuis dari guru siswa tidak saling membantu.



Setiap akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi untuk mengetahui
penguasaan siswa terhadap bahan akademik yang telah dipelajari.



Tiap siswa dan tiap kelompok diberi skor atas penguasaannya terhadap materi
pelajaran, dan kepada siswa secara indivual atau kelompok yang meraih prestasi
tinggi memperoleh skor sempurna diberi penghargaan.



Kesimpulan.

Kelebihan dalam pembelajarankooperatif tipe STAD adalah:


Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan siswa
lain



Siswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan



Dalam proses belajar mengajar siswa saling ketergantungan positif



Setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain (Ibrahim, dkk. 2000 : 72).
Sedangkan kekurangan pembelajaran kooperatif tipe STAD adalah:
Membutuhkan waktu yang lama
Siswa cenderung tidak mau apabila disatukan dengan temannya yang kurang
pandai apabila ia sendiri yang pandai dan yang kurang pandaipun merasa minder
apabila digabungkan dengan temannya yang pandai walaupun lama kelamaan
perasaan itu akan hilang dengan sendirinya (Ibrahim, 2000 : 72).
Tes , Siswa diberikan kuis dan tes secara perorangan. Pada tahap ini setiap siswa
harus memperhatikan kemampuannya dan menunjukkan apa yang diperoleh pada
kegiatan kelompok dengan cara menjawab soal kuis atau tes sesuai dengan
kemampuannya. Pada saat mengerjakan kuias atau tes ini, setiap siswa bekerja
sendiri bekerja sama dengan anggota kelompoknya.
Penentuan Skor, Hasil kuis atau tes diperiksa oleh guru, setiap skor yang
diperoleh siswa masukkan dalam daftar skor individual, untuk melihat
14

peningkatan kemampuan individual. Rata-rata skor peningkatan individual
merupakan sumbangan bagi kinerja percapaian hasil kelompok.
Penghargaan terhadap kelompok, Berdasarkan skor peningkatan individu
diperoleh skor kelompok. Dengan demikian, skor kelompok sangat tergantung
dari sumbangan skor individu.

2. Pembelajaran Kooperatif tipe TAI (Team Assisted Individualization)

a. Pengertian
Menurut Slavin (2005) tipe ini mengkombinasikan keunggulan pembelajaran
kooperatif dan pembelajaran individual. Tipe ini dirancang untuk mengatasi kesulitan
belajarsiswa secara individual. Oleh karena itu kegiatan pembelajarannya lebihbanyak
digunakan untuk pemecahan masalah, ciri khas pada model pembelajaran TAI ini
adalah setiap siswa secara individual belajar materi pembelajaran yang sudah
dipersiapkan oleh guru. Hasil belajar individual dibawa ke kelompok-kelompok untuk
didiskusikan dan saling dibahas oleh anggota kelompok, dan semua anggota kelompok
bertanggung jawab atas keseluruhan jawaban sebagai tanggung jawab bersama.
Model pembelajaran TAI dimana siswa dikelompokkan ke dalam kelompok kecil
(5 siswa) secara heterogen yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang
mempunyai lebih dibandingkan anggotanya. Selain itu guru mempunyai fleksibilitas
untuk berpindah dari kelompok ke kelompok atau dari individu ke individu, kemudian
para siswa dapat saling memeriksa hasil kerja mereka, mengidentifikasi masalahmasalah yang muncul dalam kelompok dapat ditangani sendiri maupun dengan
bantuan guru apabila diperlukan.
Miftahul (2011) mengemukakan bahwa dalam model pembelajaranTAI, siswa
dikelompokkan berdasarkan kemampuannya yang beragam.Masing-masing kelompok
terdiri dari 5 siswa dan ditugaskan untukmenyelesaikan materi pembelajaran atau PR.
Dalam model pembelajaranTAI, setiap kelompok diberikan serangkaian tugas tertentu
untuk dikerjakanbersama-sama. Poin-poin dalam tugas dibagikan secara berurutan
kepadasetiap anggota (misalnya, untuk materi IPA yang terdiri dari 8 soal,
berartiempat anggota dalam setiap kelompok harus saling bergantian menjawabsoalsoal tersebut). Semua anggota harus saling mengecek jawaban temantemansatu
15

kelompoknya dan saling memberi bantuan jika memangdibutuhkan. Setiap kelompok
harus memastikan bahwa semua anggotanyapaham dengan materi yang telah
didiskusikan.
Masing-masing anggota diberi tes individu tanpa bantuan dari anggotayang lain.
Selama menjalani tes individu ini, guru harus memperhatikansetiap siswa. Skor tidak
hanya dinilai oleh sejauh mana siswa mampumenjalani tes itu, tetapi juga sejauh mana
mereka mampu bekerja secaramandiri (tidak mencontek).
Penghargaan (reward) diberikan kepada kelompok yang mampumenjawab soalsoal dengan benar lebih banyak dan mampu menyelesaikanPR dengan baik. Guru
memberikan poin tambahan (extra point) kepada siswayang mampu memperoleh nilai
rata-rata yang melebihi KKM pada ujian final.Karena dalam model pembelajaran TAI
siswa harus saling mengecekpekerjaannya satu sama lain dan mengerjakan tugas
berdasarkan rangkaiansoal tertentu, guru sambil lalu bisa memberi penjelasan seputar
soal-soal yangkebanyakan dianggap rumit oleh siswa. Pada model pembelajaran TAI
ini,akuntabilitas

individu,

kesempatan

yang

sama

untuk

sukses,

dan

dinamikamotivasional menjadi unsur-unsur utama yang harus ditekankan oleh guru.
b. Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif tipe TAI (Team Assisted
Individualization)
1. Guru memberikan tugas kepada siswa untuk mempelajari materi pembelajaran
secara individual yang sudah dipersiapkan oleh guru;
2. Guru memberikan kuis (pretest) secara individual kepada siswa untuk
mendapatkan skor dasar atau skor awal;
3. Guru membentuk beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri dari 4–5 siswa
dengan kemampuan yang berbeda-beda baik tingkat kemampuan (tinggi,sedang
dan rendah) Jika mungkin anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku yang
berbeda serta kesetaraan jender;
4. Hasil belajar siswa secara individual didiskusikan dalam kelompok. Dalam
diskusi kelompok, setiap anggota kelompok saling memeriksa jawaban teman satu
kelompok;
5. Guru memfasilitasi siswa dalam membuat rangkuman, mengarahkan, dan
memberikan penegasan pada materi pembelajaran yang telah dipelajari;
6. Guru memberikan kuis (posttest) kepada siswa secara individual
7. Guru memberi penghargaan pada kelompok berdasarkan perolehan nilai
peningkatan hasil belajar individual dari skor dasar ke skor kuis berikutnya
(terkini).

16

3. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
a. Pengertian
Jigsaw telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aronson dkk di Universitas
Texas dan kemudian diadaptasi oleh Slaven dkk di Universitas Jhon Hopkins.
Dalam terapan tipe jigsaw, siswa dibagi menjadi berkelompok dengan lima atau enam
anggota kelompok belajar heterogen. Materi pelajaran diberikan pada siswa dalam bentuk
teks. Setiap anggota bertanggungjawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang
diberikan. Anggota dari kelompok yang lain mendapat tugas topik yang sama berkumpul
dan berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut dengan kelompok ahli
(Ibrahim, dkk. 2000 : 52).
c. Langkah-langkah model jigsaw dibagi menjadi enam tahapan, yaitu :






Menyajikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi disertai penjelasan verbal,
buku teks, atau bentuk lain
Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar
Mengelola dan membantu siswa dalam belajar kelompok dan kerja di empat duduk
masing-masing
Mengetes penguasaan kelompok atas bahan ajar
Pemberian penghargaan atau pengakuan terhadap hasil belajar siswa Nurhadi dan
Agus Gerrard, 2003 : 40)

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa :


Menyiapkan tujuan belajar dan membangkitkan motivasi, Beberapa aspek dari
tujuan dan motivasi siswa tidak berbeda untuk pembelajaran model jigsaw. Guru
yang berhasil memulai pelajaran dengan menelaah ulang, menjelaskan tujuan
mereka dengan bahasa yang mudah dipahami, dengan menunjukkan bagaimana
pelajaran itu terkait dengan pelajaran sebelumnya.



Menyajikan informasi kepada siswa dengan demonstrasi disertai penjelasan verbal,
buku teks atau bentuk-bentuk lain, Menyajikaninformasi verbal secara jelas kepada
siswa dan memberikan petunjuk bagaimana melakukannya. Petunjuk itu tidak akan
diulang di sini. Bagaimanapun juga, penting untuk menggarisbawahi suatu perhatian
singkat tentang penggunaan buku teks.



Pemberian penghargaan atau pengakuan terhadap hasil belajar siswa

Dalam pelaksanaannya, pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memiliki kelebihan yaitu:
17

 Dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk bekerjasama dengan siswa
lain
 iswa dapat menguasai pelajaran yang disampaikan
 Setiap anggota siswa berhak menjadi ahli dalam kelompoknya
 Dalam proses belajar mengajar siswa saling ketergantungan positif
 Setiap siswa dapat saling mengisi satu sama lain (Ibrahim, dkk. 2000 : 70).
Sedangkan kekurangannya, yaitu :
 Membutuhkan waktu yang lama
 Siswa cenderung tidak mau apabila disatukan dengan temannya yang kurang
pandai apabila ia sendiri yang pandai dan yang kurang pandaipun merasa minder
apabila digabungkan dengan temannya yang pandai walaupun lama kelamaan
perasaan itu akan hilang dengan sendirinya (Ibrahim, 2000 : 71).

4. Model Pembelajaran Teams Games Tournaments ( TGT )
a. Pengertian
Model pembelajaran Teams Games Tournament (TGT) adalah salah satu tipe atau
model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh
siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan
mengandung unsur permainan dan reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan
yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model Teams Games Tournament (TGT)
memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung
jawab, kejujuran, kerja sama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Teams games tournament (TGT) pada mulanya dikembangkan oleh Davied Devries
dan Keith Edward, ini merupakan metode pembelajaran pertama dari Johns Hopkins.
Dalam model ini kelas terbagi dalam kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan 3
sampai dengan 5 siswa yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar
belakang etniknya, kemudian siswa akan bekerjasama dalam kelompok-kelompok
18

kecilnya. Pembelajaran dalam Teams games tournament (TGT) hampir sama seperti
STAD dalam setiap hal kecuali satu, sebagai ganti kuis dan sistem skor perbaikan
individu, TGT menggunakan turnamen permainan akademik. Dalam turnamen itu siswa
bertanding mewakili timnya dengan anggota tim lain yang setara dalam kinerja akademik
mereka yang lalu. Nur & Wikandari (2000) menjelaskan bahwa Teams games tournament
TGT telah digunakan dalam berbagai macam mata pelajaran, dan paling cocok
digunakan untuk mengajar tujuan pembelajaranyang dirumuskan dengan tajam dengan
satu jawaban benar, seperti perhitungan dan penerapan berciri matematika, dan faktafakta serta konsep IPA.
b. Langkah-langkah pembelajaran TGT
Langkah 1 : Tahap Menyampaikan Informasi (Presentasi Klasikal)
Pada fase ini guru menyajikan materi pelajaran seperti biasa, bisa dengan ceramah,
diskusi, demonstrasi atau eksperimen bergantung pada karakteristik materi yang sedang
disampaikan dan ketersediaan media di sekolah yang bersangkutan. Pada kesempatan ini
guru harus memberitahu siswa agar cermat mengikuti proses pembelajaran karena
informasi yang diterimanya pada fase ini sangat bermanfaat untuk bisa menjawab kuis
pada fase berikutnya dan skor kuis yang akan diperoleh sangat menentukan skor tim
mereka.
Langkah 2: Tahap Pembentukan Tim atau Pengorganisasian Siswa (Kelompok)
Pada fase ini, guru membentuk kelompok-kelompok kecil beranggotakan 4-6 orang
siswa, terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang dan kurang. Fungsi kelompok
disini adalah untuk mengarahkan semua anggota untuk belajar mengkaji materi yang
disampaikan oleh guru, berdiskusi, membantu anggota yang kemampuan akademiknya
kurang sehingga mereka secara tim nantinya siap untuk mengikuti kuis. Kekompakkan
kerjasama tim akan mampu meningkatkan hubungan antar sesama anggota tim, rasa
percaya diri, dan keakraban antar siswa.
Langkah 3: Tahap Permainan (Game Tournament)
Pada fase ini, guru membuat suatu bentuk permainan.Materinya terdiri dari sejumlah
pertanyaan yang relevan dengan materi ajar yang disampaikan oleh guru pada fase
sebelumnya untuk menguji kemajuan pengetahuan siswa setelah memperoleh informasi
19

secara klasikal dan hasil latihan di kelompoknya. Dalam permainan ini, posisi meja
turnamen diatur sebagai berikut (Sumber: Slavin dalam Purwati, 2010).
Siswa dari suatu kelompok ditempatkan pada meja tournament berdasarkan tingkat
kemampuan mereka. Pada meja 1 ditempatkan wakil-wakil siswa yang
berkemampuan akademik tinggi, pada meja 2 dan 3 ditempatkan siswa yang
berkemampuan rata-rata, sedangkan pada meja 4 ditempatkan oleh para siswa
yang berkemampuan rendah. Selanjutnya, para siswa akan mengalami perubahan
posisi dari satu meja ke meja yang lain tergantung dari kemampuan mereka dalam
mengikuti lomba atau tournament. Pemenang pertama pada suatu meja bisa
berpindah meja yang berkualifikasi lebih tinggi, pemenang kedua tetap tinggal di
meja semula, sedangkan siswa yang memperoleh skor terendah akan bergeser ke
meja yang ditempati oleh siswa yang berkualifikasi lebih rendah. Dengan cara ini
maka penempatan siswa pada saat awal akan dapat bergeser naik atau turun
sampai menempati posisi yang sesuai dengan tingkat kemampuan yang
sesungguhnya mereka miliki.
Peraturan permainan
Permainan diawali dengan memberitahukan aturan permainan kepada siswa.Setelah itu
dilanjutkan dengan membagikan kartu-kartu soal untuk bermain (kartu soal dan kunci
ditaruh terbalik diatas meja sehingga soal dan kunci tidak terbaca).Permainan pada
tiap meja turnamen dilakukan dengan aturan sebagai berikut Slavin, 1995 (dalam
Kurniawan, 2008).
1.

Tiap meja terdiri dari 4-6 orang siswa yang berasal dari kelompok yang
berbeda/heterogen.

2.

Setiap pemain dalam tiap meja menentukan terlebih dahulu pembaca soal dan
pemain pertama dengan cara undian. Pemain yang menang undian mengambil
kartu undian yang berisi nomor soal dan diberikan

kepada pembaca soal.

Pembaca soal akan membacakan soal sesuai dengan nomor undian yang diambil
oleh pemain.

20

3.

Soal dikerjakan secara mandiri oleh penantang dan pemain sesuai dengan waktu
yang telah ditentukan dalam soal. Setelah waktu untuk mengerjakan soal selesai,
maka pemain akan membacakan hasil pekerjaannya yang akan ditanggapi oleh
penantang.

4.

Pembaca soal akan membuka kunci jawaban dan skor hanya diberikan kepada
pemain yang menjawab benar atau penantang yang memberikan jawaban benar.
Jika semua jawaban pemain salah, maka kartu dibiarkan saja.

5. Permainan dilanjutkan dengan kartu soal berikutnya sampai semua kartu soal habis
dibacakan, dan posisi pemain diputar searah jarum jam agar setiap peserta dalam
satu meja turnamen dapat berperan sebagai pembaca soal, pemain dan
penantang.
6.

Dalam permainan, pembaca soal hanya bertugas untuk membaca soal dan
membuka kunci jawaban, tidak boleh ikut menjawab atau memberikan jawaban
kepada peserta yang lain.

7. Setelah semua kartu selesai terjawab, setiap pemain dalam satu meja menghitung
jumlah kartu yang diperoleh dan menentukan berapa poin yang diperoleh
berdasarkan tabel yang telah disediakan.
8.

Setiap pemain kembali kepada kelompok asalnya dan melaporkan poin yang
diperoleh kepada ketua kelompok. Ketua kelompok memasukkan poin yang
diperoleh oleh anggota kelompoknya pada tabel yang telah disediakan, kemudian
menentukan kriteria penghargaan yang diterima oleh kelompoknya.

Langkah 4: Tahap Pemberian Penghargaan Kelompok
Skor kelompok diperoleh dengan cara menjumlahkan skor anggota setiap kelompok,
kemudian dicari rata-ratanya. Berdasarkan skor rata-rata kelompok akan diperoleh
gambaran perbedaan prestasinya. Dari skor rata-rata kelompok ini guru dapat

21

memberikan penghargaan kepada setiap kelompok berdasarkan kriteria seperti pada tabel
berikut.

Kriteria Penghargaan untuk Kelompok
No
1
2
3
4

Kriteria (Rata-rata Kelompok)
X