ANALISIS MIKROBIOLOGI BAHAN PANGAN LABOR

ANALISIS MIKROBIOLOGI BAHAN PANGAN

Disusun oleh :

Nama
NIM
Asisten

: Okvita Musdalifah
: 11/318158/PN/12465
: Nabila Dias F.

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI PASCA PANEN
JURUSAN MIKROBIOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014

ANALISIS MIKROBIOLOGI BAHAN PANGAN
I. TUJUAN

Untuk mengetahui tingkat kelayakan konsumsi dan produk pertanian.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Kerusakan makanan dapat disebabkan karena terdapatnya pertumbuhan jasad renik
(mikroorganisme). Pertumbuhan mikroorganisme dapat tersebar luas di alam lingkungan,
sehingga dapat mengakibatkan terkontaminasinya produk pangan. Beberapa jenis
mikroorganisme yang mengkontaminasi bahan pangan adalah bakteri, kapang dan khamir.
Pertumbuhan dan populasi mikroorganisme pada bahan pangan umumnya sangat spesifik,
tergantung dari jenis bahan pangan, kondisi lingkungan dan cara penyimpanannya. Pada
kondisi lingkungan yang sesuai maka populasi mikroorganisme akan lebih cepat berkembang
(Buckle et al., 1985).
Pencemaran mikroorganisme pada bahan pangan merupakan hasil kontaminasi
langsung atau tidak langsung dengan sumber-sumber pencemar seperti tanah, udara, air, dan
debu. Namun demikian hanya sebagian saja dari berbagai sumber pencemar yang berperan
sebagai sumber awal kontaminan mikroorganisme yang selanjutnya akan berkembang biak
sampai jumlah tertentu. Menurut Buckle et al. (1985), pertumbuhan mikroorganisme
membutuhkan unsur-unsur kimia dasar seperti karbon, nitrogen, hidrogen, oksigen, sulfur,
fosfor, magnesium dan zat besi. Bahan pangan selain merupakan sumber gizi bagi manusia,
juga sebagai sumber makanan bagi pertumbuhan dan perkembangan mikroorganisme.
Pengalengan dapat memungkinkan makanan dapat terhindar dan kebusukan, perubahan

kadar air, kerusakan akibat oksidasi, atau perubahan cita rasa. Namun, karena dalam
pengalengan makanan digunakan sterilisasi komersial (bukan sterilisasi mutlak), diperkirakan
masih terdapat spora atau mikroorganisme lain (terutama yang bersifat tahan terhadap panas)
yang dapat merusak isi apabila kondisinya kurang mendukung. Itulah sebabnya makanan
dalam kaleng harus disimpan pada kondisi yang sesuai, segera setelah proses pengalengan
selesai (Ananou et al., 2007).
Kerusakan makanan kaleng dipengaruhi oleh jenis makanan dan mikroorganisme
perusak yang didalamnya. Salah satu kerusakan karena adanya pengaruh asam rendah dengan
pH>4,6 karena umunya terdapat pada makanan kaleng dengan bahan pangan ikan. Di antara
bakteri-bakteri yang berhubungan dengan pengalengan ikan, mikroorganisme Clostridium
botulinum merupakan bakteri yang paling berbahaya. Bakteri tersebut dapat menghasilkan

racun botulin dan membentuk spora yang tahan panas. Pemanasan selama empat menit pada
suhu 120°C atau 10 menit pada suhu 115°C sudah cukup untuk membunuh semua strain
Clostridium botulinum (A-C). Karena sifatnya yang tahan panas, jika proses pengalengan
dilakukan secara tidak benar, bakteri tersebut dapat aktif kembali selama penyimpanan
(Etherton et al., 2002).
Nata de Coco merupakan salah satu bahan pangan yang rentan terhadap kontaminasi
mikroorganisme, sebab Nata de Coco selain mengandung kadar air yang tinggi juga
mengandung unsur-unsur kimia dasar sebagai sumber energi untuk pertumbuhan sel

mikroorganisme. Komposisi kimia Nata de Coco adalah serat, air 98 %, lemak 0,2 %,
kalsium 0,012 %, fosfor 0,002 %, dan vitamin B3 0,017 %. Pertumbuhan mikroorganisme
pada Nata de Coco selain karena faktor intriksik seperti sifat fisik, kimia dan struktur yang
dimiliki oleh Nata de Coco juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti kondisi lingkungan
pada proses penanganan, distribusi, pemasaran dan penyimpanan seperti suhu, kelembaban,
aktivitas air (aw) dan radiasi (Astawan, 2004).
Nata de Coco telah banyak ditemukan di pasaran khususnya pada beberapa swalayan,
namun kondisi penyimpan Nata de Coco pada setiap swalayan tidak seragam dan umumnya
belum memperhatikan kondisi penyimpanan yang ideal agar tidak terjadi kontaminasi
khususnya oleh mikroorganisme. Penyimpanan bahan pangan termasuk Nata de Coco yang
tidak sesuai dengan kondisi yang ideal akan menimbulkan efek yang buruk pada produk
tersebut, misalnya terjadinya kontaminasi mikroorganisme seperti bakteri, kapang dan khamir
yang mengakibatkan produk tersebut tidak layak untuk dikonsumsi, selain itu juga memiliki
aroma, rasa dan warna yang tidak normal serta tekstur yang tidak kenyal (Sudar, 2006).
Kandungan gizi yang tinggi, menyebabkan daging mempunyai sifat mudah rusak
(perishable) karena mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak didalamnya. Daging
digolongkan sebagai bahan pangan yang mudah rusak karena merupakan medium yang
sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini disebabkan oleh karena kadar air
daging termasuk tinggi, kaya akan zat gizi yang mengandung nitrogen, karbohidrat yang
dapat difermentasi, kaya akan mineral untuk pertumbuhan mikroorganisme, dan memiliki pH

yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme (5,3-6,5) (Soeparno, 1998).
Kualitas daging diantaranya dipengaruhi oleh faktor metode penyimpanan dan
preservasi. Daging yang disimpan pada suhu kamar dalam waktu tertentu akan cepat rusak.
Kerusakan daging yang berakibat terhadap penurunan mutu daging segar antara lain
disebabkan oleh kontaminasi mikroorganisme. Secara internal daging akan terkontaminasi
bila tidak didinginkan setelah proses penyembelihan. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang

mencemari daging ditentukan oleh tingkat pengendalian higienis yang dilaksanakan selama
penanganan diawali saat penyembelihan ternak dan pembersihan karkas hingga sampai ke
konsumen. Keberadaan kontaminan mikroorganisme Eschericia coli, Salmonella sp. dan
Listeria sp. pada daging sangat dimungkinkan karena sifat fisikokimia daging seperti water
activity (aw), pH dan zat gizi mendukung pertumbuhan mikroorganisme tersebut.
Keberadaan mikroorganisme patogen dan pembusuk tersebut dapat menyebabkan penyakit
dan bahkan kematian (Lawrie and Ledward, 2006).
Beberapa jenis sayuran yang biasa dikonsumsi segar berpotensi merugikan kesehatan
karena rentan terkontaminasi mikroorganisme. Beberapa penelitian menunjukkan adanya
kontaminasi mikroorganisme pada sayuran segar yang diambil di tingkat petani maupun
pedagang (Isyanti, 2001). Demikian pula hasil penelitian Susilawati (2002) menunjukkan
adanya kandungan Salmonella pada sayuran segar di tingkat petani dan pedagang di Bogor.
Kontaminasi mikroorganisme pada sayuran bisa berasal dari penyemprotan atau

pengairan dengan air yang terkontaminasi Salmonella dan pemupukan dengan kotoran
hewan, sehingga pada sayuran seperti selada ditemukan Salmonella (Lund et al., 2000).
Menurut Sapers (2001), kontaminasi mikroorganisme patogen pada produk pertanian terjadi
pada beberapa titik, mulai dari tahap produksi, panen, pengepakan, pengolahan, distribusi
hingga pemasaran. Kandungan mikroorganisme pada sayuran segar umumnya masih sangat
tinggi, yaitu 106-107 sel/g sampel pada penanganan ditingkat petani dan pasar tradisional.
Jumlah ini melebihi ketentuan yang dipersyaratkan, yaitu 103 sel/g sampel. Tingkat
kontaminan mikroorganisme pada sayuran segar ditingkat petani cukup tinggi, yaitu untuk
kubis 2,6 x 106 sel sampai 8,0 x 107 sel/g, tomat 2,0 x 105 sel sampai 2,6 x 106 sel/g,dan
wortel 1,8 x 106 sel sampai 1,2 x 108 sel/g. Pada selada, kandungan mikroorganisme berkisar
antara 3,63 x 104 sel sampai 2,09 x 107sel/g, pada cabai merah 5,04 x 105 sel sampai 2,19 x
107 sel/g, dan bawang merah 4,77 x106 sampai 7,1 x 107 sel/g. Dari ketiga jenis sayuran
tersebut, beberapa sampel yang diuji positif mengandung E. coli. Ambang batas jumlah
mikroorganisme dalam pangan adalah103 sel/g. Berdasarkan SNI 7388: 2009 tentang batas
cemaran mikroorganisme dalam pangan, batas kandungan E.coli pada sayuran adalah < 3/g
sampel dan Salmonella sp. negatif untuk 25 g sampel (BSN, 2009).

III. METODOLOGI
A. Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, pinset, timbangan, tabung erlenmeyer, tabung

reaksi, petridish, waterbath, drygalsky, mikropipet, tip, bunsen, korek api, inkubator dengan
temperatur 32°C, 37°C dan 55°C serta stirer.
B. Bahan
Bahan yang digunakan antara lain bahan makanan kalengan (ikan sarden dan nata de coco),
daging segar, sayuran busuk/layu, aquadest, alkohol 70%, medium Nutrient Agar (NA), medium
Potato Dextrose Agar (PDA), medium de Man, Rogosa and Sharpe (MRS), medium Malt Extract
Agar (MEA), medium Dextrose Tryptone Agar (DTA).
C. Cara Kerja
1. Total plate count
Sebanyak 10 gram dari masing-masing sampel yang akan diuji/dianalisis (ikan sarden
kalengan, nata de coco kalengan, daging segar dan sayuran busuk/layu) ditimbang secara
aseptis dan dimasukkan ke dalam 90 ml aquadest steril untuk masing-masing sampel yang akan
dianalisis serta dihomogenkan. Suspensi masing-masing sampel dibuat seri pengenceran 10 -2
hingga 10-7 dengan menggunakan aquadest steril 9 ml kemudian diinokulasikan dengan cara
surface plating pada medium Nutrient Agar (NA). Spread plating dilakukan dengan mengambil
0,1 ml suspensi dari pengenceran 10 -4 hingga 10-7, diinokulasikan pada medium Nutrient Agar
(NA) dan diratakan dengan drygalsky (dilakukan sebanyak 2 ulangan untuk masing-masing
pengenceran) untuk kemudian diinkubasi pada temperatur 37°C selama 48 jam.
2. Total yeast dan jamur
Sebanyak 10 gram dari masing-masing sampel yang akan diuji/dianalisis (ikan sarden

kalengan, nata de coco kalengan, daging segar dan sayuran busuk/layu) ditimbang secara
aseptis dan dimasukkan ke dalam 90 ml aquadest steril untuk masing-masing sampel yang akan
dianalisis serta dihomogenkan. Suspensi masing-masing sampel dibuat seri pengenceran 10 -2
hingga 10-7 dengan menggunakan aquadest steril 9 ml kemudian diinokulasikan dengan cara
surface plating pada medium Malt Extract Agar (MEA) dan medium Potato Dextrose Agar
(PDA). Spread plating dilakukan dengan mengambil 0,1 ml suspensi dari pengenceran 10 -4
hingga 10-7, diinokulasikan pada Malt Extract Agar (MEA) dan medium Potato Dextrose Agar
(PDA) dan diratakan dengan drygalsky (dilakukan sebanyak 2 ulangan untuk masing-masing
pengenceran) untuk kemudian diinkubasi pada temperatur 32°C selama 48 jam.
3. Bakteri asam laktat
Sebanyak 10 gram dari masing-masing sampel yang akan diuji/dianalisis (ikan sarden
kalengan, nata de coco kalengan, daging segar dan sayuran busuk/layu) ditimbang secara
aseptis dan dimasukkan ke dalam 90 ml aquadest steril untuk masing-masing sampel yang akan
dianalisis serta dihomogenkan. Suspensi masing-masing sampel dibuat seri pengenceran 10 -2

hingga 10-7 dengan menggunakan aquadest steril 9 ml kemudian diinokulasikan dengan cara
surface plating pada medium de Man, Rogosa and Sharpe (MRS). Spread plating dilakukan
dengan mengambil 0,1 ml suspensi dari pengenceran 10-4 hingga 10-7, diinokulasikan pada
medium de Man, Rogosa and Sharpe (MRS) dan diratakan dengan drygalsky (dilakukan
sebanyak 2 ulangan untuk masing-masing pengenceran) untuk kemudian diinkubasi pada

temperatur 32°C selama 72 jam.
4. Bakteri penghasil spora
Sebanyak 10 gram dari masing-masing sampel yang akan diuji/dianalisis (ikan sarden
kalengan, nata de coco kalengan, daging segar dan sayuran busuk/layu) ditimbang secara
aseptis dan dimasukkan ke dalam 90 ml aquadest steril untuk masing-masing sampel yang akan
dianalisis untuk kemudian dihomogenkan dan dipanaskan atau direbus selama 5 menit untuk
menghilangkan sel-sel vegetatif. Suspensi masing-masing sampel dibuat seri pengenceran 10 -2
hingga 10-7 dengan menggunakan aquadest steril 9 ml kemudian diinokulasikan dengan cara
surface plating pada medium Dextrose Tryptone Agar (DTA). Spread plating dilakukan dengan
mengambil 0,1 ml suspensi dari pengenceran 10 -4 hingga 10-7, diinokulasikan pada medium
Dextrose Tryptone Agar (DTA) dan diratakan dengan drygalsky (dilakukan sebanyak 2 ulangan
untuk masing-masing pengenceran) untuk kemudian diinkubasi pada temperatur 55°C selama
48 jam.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Nama sample

Medium
Jumlah koloni

MEA
5 x 10 4CFU/mL
Ikan kaleng
NA
PDA
2 x 105 CFU/mL
DTA
MRS
72 jam
5 hari
MEA
1,33 x 107 CFU/mL
Buah kaleng
NA
2,81 x 107 CFU/mL
PDA
8,4 x 106 CFU/mL
DTA
MRS
72 jam

5 hari
2 x 105CFU/mL
MEA
1 x 10 6 CFU/mL
Daging segar NA
8,1x 105 CFU/mL
PDA
7,4 x 106 CFU/mL
DTA
MRS
72 jam
5 hari
MEA
12 x 107 CFU/mL
Sayur busuk
NA
PDA
DTA
MRS
72 jam

2,15 x 106 CFU/mL
5 hari
4,25 x106 CFU/mL
Tabel 1. Hasil pengamatan mikrobiologis pada bahan makanan ikan kaleng, buah kaleng, daging
segar dan sayur busuk.

Contoh perhitungan hasil pengamatan pada medium MEA
 Buah kaleng = 210 x106 /6 x 106 = 35 >2
60x 105 / 205 x 105 = 0,29
(60x 105 + 205 x 105)/2 = 1,33 x 107 CFU/mL

B. Pembahasan

Hampir semua bahan pangan tercemar oleh berbagai mikroorganisme dari
lingkungan sekitarnya. Beberapa jenis mikroorganisme yang terdapat pada bahan pangan
adalah Salmonella sp, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, kapang, khamir serta
mikroorganisme patogen lainnya. Mikroorganisme mempunyai batasan tertentu dalam
bahan pangan yang berpengaruh terhadap ketahanan bahan pangan. Kondisi lingkungan
juga mempengaruhi mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat.

Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk tumbuhnya
mikroorganisme yang bersifat patogenik terhadap manusia. Penyakit menular yang cukup
berbahaya seperti tipes, kolera, disentri, TBC, poliomilitis dengan mudah disebarkan
melalui bahan pangan.
I.

Faktor Penyebab Pertumbuhan Mikroorganisme Dalam Bahan Pangan
1.1 Faktor Intrinsik (Sifat Bahan Pangan)
Faktor–faktor intrinsik atau faktor dalam yang dapat mempengaruhi populasi
mikroorgannisme didalam makanan meliputi sifat-sifat kimia atau komposisi, sifat
fisik dan struktur makanan. Faktor ini meliputi nilai aktivitas air (Aw), komposisi
nutrien, pH, potensial redoks, adanya bahan pengawet alamiah atau tambahan dan
sebagainya.
Ø Aktivitas Air (aw= water activity)
Nilai aktivitas air untuk beberapa bahan makanan dan jenis mikrooganisme
khusus yang terdapat didalamnya kan berbeda untuk setiap jenis bahan makanan.
Bahan makanan dengan kadar air tinggi ( nilai aw: 0,95 – 0,99) umumnya dapat
ditumbuhi oleh semua jenis mikroorganisme dan biasanya kerusakan akan lebih
banyak karena bakteri dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapang dan
khamir.
Ø Nilai pH
Umumnya nilai pH bahan makanan berkisar antara 3,0 sampai 8,0.
Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 5,0 sampai 8,0 dan hanya
jenis-jenis tertentu saja mikroorganisme yang ditemukan pada bahan makanan
dengan pH yang lebih rendah.
Ø Potensial Redoks
Potensial redoks dari suatu sistem biologis adalah suatu sistem indeks dari
tingkat oksidasinya. Bahan makanan dengan potensial redoks yang tinggi akan
membantu pertumbuhan dari jenis-jenis mikroorganisme yang bersifat aerobik
seperti Pseudomonas.
Ø Zat-zat Gizi
Komposisi bahan makanan dapat menentukan jenis mikroorganisme yang
dominan didalamnya, karena hal ini akan menentukan jenis zat gizi yang penting
tersedia untuk perkembangan mikroorganisme. Bahan makanan dengan gizi yang
cukup akan membantu pertumbuhan mikrooragnisme seperti, Lactobacillus yang
membutuhkan banyak zat gizi.

Ø Bahan Anti Mikroorganismel Alamiah
Bahan anti mikroorganisme dapat diperoleh secara alamiah pada bahanbahan makanan seperti minyak essensial dan tanin pada bahan makanan asal
tumbuh-tumbuhan dan lizozyme serta avidin pada bahan makanan dari hewani
seperti telur.
Ø Struktur Biologis
Strukutr biologis seperti lapisan kulit telur, kutikula dari bagian tanaman
berguna untuk mencegah masuknya mikroorganisme kedalam bahan makanan.
1.2 Faktor Pengolahan
Faktor pengolahan ini akan mempengaruhi jumlah mikroorganisme yang
dominan dalam bahan makanan yang telah diolah atau diawetkan. Proses
pengolahan seperti pemanasan atau irradiasi dapat membunuh sebagian atau seluruh
mikroorganisme, terutama mikroorganisme yang tidak tahan terhadap panas dan
irradiasi.
Pengeringan dan pembekuan bahan makanan dapat mengakibatkan kerusakan
pada

mikroorganisme

yang

terdapat

didalamnya.

Tetapi

beberapa

jenis

mikroorganisme yang tahan terhadap perlakuan tersebut akan tetap dapat hidup dan
dapat menyebabkan kerusakan bila bahan makanan tersebut dicairkan.
1.3 Faktor Ekstrinsik (Lingkungan)
Bahan pangan segar atau makanan olahan yang tidak langsung dikonsumsi
memerlukan tahap penyimpanan atau transpor/distribusi. Faktor-faktor yang
mempengaruhui penyimpanan dan transpor seperti suhu, kelembaban dan susunan
gas, merupakan faktor lingkungan (ekstrinsik) yang mempengaruhi populasi jasad
renik yang terdapat pada makanan.
1.4 Faktor Implisit
Berbagai mikroorganisme yang terdapat pada bahan makanan kadang-kadang
mengakibatkan dua atau lebih jenis mikro organisme hidup bersama saling
menguntungkan (sinergisme) atau sebaliknya yang satu merugikan pertumbuhan
jenis mikrorganisme yang lain (antagonisme).
1.5 Faktor Makanan
Ø Makanan yang mudah rusak, yaitu yang mempunyai aktivitas air (aw) dan pH
yang relatif tinggi (pH>5,3), misalnya daging, daging ayam, ikan dan susu.
Ø Makanan yang agak awet, yaitu makanan yang mempunyai pH pertengahan
(antara 4,5 sampai 6,3) atau telah mengalami proses pengawetan, sehingga

kadar airnya menjadi agak rendah, misalnya jam, jeli, susu kental manis, acar
dan sosis terfermentasi.
Ø Bahan makanan yang awet (tahan lama disimpan), yaitu makanan yang telah
diawetkan dengan pengeringan sehingga kadar airnya (aw) rendah, misalnya
dendeng, abon dan ikan asin.
II.

Pengaruh Proses Pengolahan terhadap Mikroorganisme
2.1 Pengaruh Pemanasan Terhadap Mikroorganisme
Untuk mengendalikan pertumbuhan dan kegiatan mikroorganisme dapat
dilakukan dengan menggunakan perlakuan suhu tinggi. Pada perlakuan suhu diatas
suhu maksimum pertumbuhan mikroorganisme akan bersifat mematikan dan
semakin tinggi suhunya akan semakin tinggi laju kematiannya.
2.2 Pengaruh Pembekuan Terhadap Mikroorganisme
Mikroorganisme dapat diklasifikasikan atas dasar suhu optimum yang berguna
untuk pertumbuhannya. Umumnya mikroorganisme tidak dapat tumbuh pada suhu
dibawah 320F, tetapi ada beberapa jenis khamir yang masih bisa tumbuh dalam
substrat tidak beku pada suhu dibawah 150F. Pendinginan yang lambat dapat
merusak populasi mikroorganisme dan bentuk mikroorganisme yang sangat peka
adalah sel-sel vegetatif, sedangkan spora biasanya tidak rusak oleh pembekuan.
2.3 Pengaruh Pengeringan Terhadap Mikroorganisme
Proses pengeringan dalam pengolahan bahan makanan merupakan proses
pembatasan air yang digunakan untuk pertumbuhan oleh mikroorganisme. Hal ini
akan menentukan jumlah dan jenis dari mikroorganisme untuk tumbuh dalam bahan
makanan tersebut.
2.4 Pengaruh Pengolahan dengan Garam, Asam, dan Bahan Kimia Pengawet
terhadap Mikroorganisme
Ø Pengolahan dengan Garam dan Asam
Garam akan sangat berpengaruh bila dimasukan kedalam bahan makanan
karena

garam

akan

dapat

merobah

rasa

dari

makanan

dan

juga

dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pencemar pada bahan
makanann terutama mikroorganisme proteolitik dan pembentuk spora walaupu
dengan kadar yang sangat rendah (sampai 6%).
Pengolahan bahan makanan dengan pemberian garam/ NaCl konsentrasi
tinggi dapat mencegah kerusakan dari bahan tersebut. Mikroorganisme

psikrofilik dapat dicegah pertumbuhannya dengan pemberian NaCl pada
konsetrasi 2-5 % dan dikombinasikan dengan suhu rendah.
Ø Pengolahan dengan Gula
Penggunaan gula dalam pengolahan bahan makanan akan mempengaruhi
mikroorganisme yang terdapat dalam bahan makanan tersebut, terutama bila
dalam konsentrasi yang tinggi(minimal 40% padatan terlarut).Hal ini akan
mengakibatkan air yang ada dalam bahan makanan tidak tersedia untuk
pertumbuhan mikroorganisme sehingga kadar airnya menjadi rendah dan keadaan
inilah yang menyebabkan mikroorganisme tidak mampu untuk melakukan
aktifitas hidupnya.
Ø Pengolahan dengan Bahan Pengawet Kimia
Penggunaan bahan kimia pengawet dalam bahan makanan dapat
menghambat atau menghentikan aktivitas mikroorganisme baik bakteri, kapang
dan khamir. Biasanya bahan kimia pengawet yang digunakan bersifat
bakteriostatik karena hanya dipakai dalam jumlah kesil sehingga tidak
membahayakan bagi konsumennya.
Ø Pengaruh Radiasi dalam Pengawetan Terhadap Mikroorganisme
Penggunaan radiasi dalam pengolahan bahan makanan bisa mempengaruhi
ketahahan dari mikroorganisme. Radiasi yang digunakan ada dua macam yaitu:
radiasi panas yang merupakan radiasi yang menggunakan sinar dengan
gelombang yang panjang dan radiasi ionisasi yang merupakan radiasi yang
menggunakan sinar gelombang yang pendek.
III.

Bahan Pangan dalam Kaleng
Makanan kaleng adalah produk olahan pangan yang sudah diawetkan agar tahan
lama. Makanan yang dikalengkan secara hermitis (penutupannya sangat rapat, sehingga
tidak dapat ditembus oleh udara, air, mikroorganisme atau bahan asing lain) merupakan
produk teknologi pengawetan yang sudah lama dikenal. Makanan yang diawetkan
dengan proses sterilisasi komersial, masih mengandung mikroorganisme tetapi tidak
dapat tumbuh pada kondisi penyimpanan yang normal.
Proses sterilisasi ini merupakan upaya penghancuran mikroorganisme patogen
beserta sporanya. Karena ada spora bakteri tertentu yang tahan terhadap suhu tinggi,
sterilisasi harus dilakukan pada suhu 250°F (121°C) dengan menggunakan uap panas
(autoklaf) selama 15 menit. Produk selanjutnya ditutup secara hermitis sehingga tidak

memberi kesempatan mikroorganisme masuk kembali. Lamanya pemanasan dan
tingginya suhu sangat tergantung pada derajat keasaman (pH) produk. Semakin rendah
pH produk, misalnya sari buah, makin rendah suhu pemanasan yang digunakan.
Penurunan mutu makanan kaleng bergantung pada sifat bahan, suhu sterilisasi
dan kondisi udara dalam head space-nya. Semakin lama disimpan, semakin rendah daya
simpannya (shelf life loss). Kemunduran daya simpan ini disebut kadaluwarsa. Bila
menggunakan bahan baku yang baik, proses pemanasan sempurna dan bahan pengemas
yang tidak berbahaya, maka daya simpan makanan kaleng dapat mencapai tiga tahun.
Makanan kaleng biasanya tidak menuntut kondisi penyimpanan tertentu, dalam arti
dapat disimpan pada suhu kamar dan di segala tempat. Namun, penyimpanan pada suhu
rendah dan kering dapat memperpanjang masa simpan. Di sisi lain penyimpanan pada
tempat yang lembab dan basah dapat melahirkan proses pengkaratan yang tidak
diinginkan.
Kerusakan yang lain dapat terjadi karena kurang sempurnanya pengolahan.
Misalnya, selama proses sterilisasi, terjadi kebocoran kecil pada sambungan kaleng
yang menggelembung, tetapi kemudian tertutup kembali setelah pendinginan. Bila
dalam proses pendinginannya digunakan air kurang bersih, dapat dipastikan
mikroorganisme pembusuk akan hadir dalam kaleng melalui lobang kecil tersebut. Pada
gilirannya, bila kondisi penyimpanan mendukung maka bakteri tersebut akan tumbuh
dan berkembang biak dan kelak memproduksi racun.
Ada beberapa hal yang harus diwaspadai supaya terhindar dari toksin (racun)
Clostridium botulinum yang merupakan mikroorganisme indikator keamanan dalam
makanan kaleng yang kerap kali hadir. Bakteri yang berbahaya ini umumnya menyukai
tempat-tempat yang tidak ada udara (anaerobik) dan mampu melindungi diri dari suhu
yang agak tinggi (termofilik) dengan jalan membentuk spora. Cara hidup yang
demikian memungkinkan bakteri ini dapat hidup pada makanan kaleng, terutama pada
jenis-jenis makanan yang bahan bakunya daging, ikan, sayur yang pHnya di atas 4,6
alias nilai keasaman relatif rendah. Bila kondisi pertumbuhannya sesuai, toksin
botulinum yang sangat berbahaya itu bisa dihasilkan. Jika dikonsumsi maka racun
tersebut akan menyerang susunan saraf dan dampaknya bisa melumpuhkan,
menyulitkan pernapasan serta menyebabkan kematian.
3.1 Penyebab Keberadaan Mikroorganisme dalam Kemasan Kaleng
Beberapa jenis mikroorganisme dapat bertahan pada suhu panas tinggi terutama
kelompok mikroorganisme thermofilik. Demikian juga spora bakteri dapat bertahan

pada suhu tinggi. Spora bakteri pada umumnya akan bertahan pada suhu panas tinggi
dan akan berkecambah dan tumbuh pada suhu di bawahnya (Frazier, 1988; Jay, 2000;
Ray, 2004).
Ada 3 hal penyebab kerusakan makanan oleh mikroorganisme pada makanan
kaleng, yakni (Ray, 2004):
1) Suhu yang tidak cukup dingin setelah proses seterilisasi atau disimpan pada
temperature tinggi sehingga memberikan kesempatan thermophilic spore forming
bacteria berkecambah dan tumbuh.
2) Suhu pemanasan tidak cukup tinggi sehingga memberikan kesempatan pada bakteri
yang tergolong mesophilic (yang hidup pada suhu 25 – 45°C) bertahan dan selanjutnya
dapat tumbuh.
3) Adanya kebocoran kaleng yang memungkinkan mikroorganisme yang ada
lingkungan masuk ke dalam kaleng.
Jay (2000) menambahkan perlakuan sebelum proses pengalengan atau
praprocessing terhadap bahan pangan juga berpengaruh terhadap keberadaan
mikroorganisme di dalam makanan kaleng. Selain itu tahapan proses pengalengan yang
tidak sempurna juga turut memicu adanya mikroorganisme.
Ketiga penyebab tersebut sangat mungkin terjadi sekalipun di pabrik dengan
peralatan modern dan sistem kontrol yang ketat. Kebusukan atau kerusakan yang terjadi
pada bahan pangan atau produk pangan yang dikemas dengan kaleng apabila
mengalami hal yang disebutkan di atas akan sangat merugikan bahkan dapat
mengakibatkan kematian konsumen karena dapat tercemar oleh bakteri kontaminan
atau keracunan dari bakteri yang mengeluarkan racun di dalam makanan kaleng
tersebut.
3.2 Jenis Mikroorganisme dan Tanda Kerusakannya
Kerusakan makanan kaleng dapat dicirikan secara fisik maupun kimia yang
berkaitan dengan jenis mikroorganisme yang mengkontaminasi. Tipe kerusakan
ditentukan

oleh

derajat

keasaman

dan

kelompok

mikroorganisme

yang

mengkontaminasi produk makanan tersebut. Berdasarkan keasaman dan kelompok
mikroorganismenya, maka tipe kerusakan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Bahan pangan asam rendah (low acid).
Bentuk kerusakan akan diakibatkan oleh kelompok bakteri tersebut terjadi pada
makanan tergolong low acid (asam rendah) dengan pH > 4,6. Misalnya daging, ikan
dan kacang-kacangan serta sayuran. Selain itu juga termasuk susu dan produk ternak.

Yang menyebabkan kerusakan adalah kelompok :
a. Thermofilik spore-forming bacteria (bakteri thermofilik pembentuk spora).
Bakteri ini merupakan bakteri pembentuk spora yang tahan panas.
Perkecambahan sporanya terjadi pada suhu > 43°C dan tumbuh baik pada suhu
>30°C (Ray, 2004).
Tipe kerusakan yang ditimbulkan adalah:
- Flat sour, tandanya kaleng tidak menggelembung atau rata tetapi produk menjadi
asam yang disebabkan oleh aktivitas Bacillus stearothermophillus yang bersifat
anaerob facultativ.).
- Thermofilic Anaerobic (TA), tandanya kaleng menggelembung karena adanya gas
dan produk menjadi asam. Pertumbuhan dan aktivitas bakteri Clostridium
thermosaccharolyticum memproduksi sejumlah gas CO2 dan asam sehingga
menyebabkan kaleng menggelembung, selanjutnya dapat terjadi terbukanya
kaleng akibat desakan gas yang diproduksi terus menerus (Frazier, 1988).
- Sulfur stinker (senyawa sulfida), tandanya kaleng tetap rata tetapi produk menjadi
berwarna hitam dan bau seperti telur busuk. Penyebabnya adalah bakteri
Desulfotomaculum nigrificans yang memproduksi H2S. Sulfur yang dihasilkan
dapat bereaksi dengan besi (iron/ Fe) dari kaleng maka terbentuk Iron sulfide
(FeS) yang menyebabkan warna hitam pada produk makanan di dalam kaleng.
b. Mesophilic spore-forming bacteria (Bakteri mezophilik pembentuk spora).
Bakteri ini merupakan bakteri pembentuk spora yang tumbuh pada rentang
suhu 25 – 45°C dan optimum pada suhu 37°C. Kerusakan yang diakibatkan oleh
adanya bakteri kelompok ini lebih dikarenakan pemanasan yang kurang sempurna
atau tidak cukup sehingga ada spora bakteri yang dapat bertahan pada suhu tersebut
dapat berkecambah dan tumbuh.
Ada 2 kelompok bakteri yang mendominasi yakni Clostridium dan Bacillus.
Pada kelompok Clostridium yang disebut putrefactive anaerobic bacteria ini
memfermentasi karbohidrat menghasilkan asam-asam volatile, gas H2 dan CO2,
sehingga kerusakan yang ditimbulkan sekaligus menjadi tanda yakni kaleng menjadi
menggelembung. Bakteri yang termasuk dalam kelompok ini adalah Clostridium
pasteurianum dan C. butyrinum yang terkenal mengeluarkan asam butirat. Selain itu
juga ada C. sporogenum, C. putrefacience, C. botulinum yang memetabolime protein
menghasilkan bau busuk karena mengeluarkan senyawa bau busuk H 2S, mercaptan,
indol, skatol, amonia serta gas CO 2 dan H2. Khususnya C. botulinum merupakan

bakteri yang sangat ditakuti karena racun yang dikeluarkan dan dapat menyebabkan
kematian. Bakteri ini terutama sering ditemui pada daging dan sayuran.
Sedangkan bakteri Bacillus yang disebut aerobic mezophilic spore forming bacteria
mengkontaminasi akan mengeluarkan asam dan gas CO2. Jenisnya adalah Bacillus
subtilis dan B. coagulans (Ray, 2004) serta B. mecentericus (Frazier, 1988).
Keberadaan bakteri ini dianggap kurang penting karena merupakan bakteri aerob
dan dalam keadaan vakum tidak dapat berkembang. Keberadaannya di dalam kaleng
apabila kaleng mengalami kebocoran.
c. Non-spore-forming bacteria.
Bakteri ini merupakan bakteri yang tidak membentuk spora, sangat resisten
pada suhu yang tidak terlalu panas atau tidak tahan panas. Bakteri ini dapat
menyebabkan kerusakan melalui kaleng yang mengalami kebocoran setelah proses
pemanasan. Kelompok bakteri ini sangat banyak jenisnya sehingga makanan kaleng
yang terkontaminasi ini dapat memiliki bentuk kerusakan yang bervariasi. Tetapi
bakteri ini tidak biasa berada di dalam makanan keleng yang rendah asam.
d. Yeast (khamir/ ragi) dan Mold (kapang)
Kelompok mikroorganisme sebenarnya tidak dapat tumbuh pada substrat atau
bahan pangan yang berasam rendah atau memiliki pH tinggi. Apabila ditemukan di
dalam makanan keleng berasam rendah ada dua kemungkinan yang menyebabkan
seperti proses sterilisasi yang tidak baik atau disebabkan oleh pelapisan kaleng yang
tidak sempurna sehingga terkontaminasi dari lingkungan luar.
2. Bahan pangan asam tinggi (pH < 4,6)
Bentuk kerusakan diakibatkan oleh kelompok bakteri yang dapat bertahan hidup
pada bahan pangan yang memiliki keasaman tinggi yakni dengan pH