UNIVERSITAS INDONESIA Seminar Bisnis Fas
UNIVERSITAS INDONESIA
Seminar Bisnis
Fashion Marketing
Kelompok:
Desta Dauri Rasyid
Ferry Septian Herdiansyah
PROGRAM SARJANA EKSTENSI
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NIAGA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
2016
Fashion Marketing
Fashion merupakan refleksi dari suatu waktu dan gambaran identitas
seseorang. Fashion dapat menggambarkan usia, gender, gaya hidup, dan kepribadian
seseorang. Menurut Mike Easey (2006), fashion didefinisikan sebagai penggantian
trend atau mode dalam jangka pendek, dan sangat berkaitan dengan perubahan.
Fashion melibatkan aspek kreativitas dan design yang kuat. Kemampuan merancang
sangat penting dan dapat terlihat di dalam semua produk. Sebuah merek fashion harus
dapat mengantisipasi setiap perubahan trend dengan baik agar tetap dapat relevan di
industri fashion.
Harriet Posner (2011) membagi beberapa kategori dalam perubahan trend di
industri fashion:
-
A fad
Fad adalah sebuah trend yang terjadi dalam waktu singkat dan biasanya sulit
untuk diprediksi. Fad biasanya bertahan kurang dari 1 tahun.
-
A trend
Trend biasanya dimulai dengan penerimaan yang rendah dari konsumen,
namun akan memuncak seiring dengan berjalannya waktu.
-
Megatrend
Megatrend adalah perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, atau teknologi
yang sangat besar yang sulit untuk dibentuk namun akan memberikan
pengaruh untuk jangka waktu yang lama.
Fashion merupakan penerapan dari kemampuan merancang secara kreatif
yang menghasilkan produk, mulai dari produk dasar yang digunakan sehari-hari
hingga produk yang membutuhkan keterampilan dan keahlian tingkat tinggi. Di saat
yang bersamaan, kemampuan untuk mengidentifikasi produk yang dibutuhkan dan
diinginkan konsumen merupakan hal yang juga penting dalam industri fashion. Oleh
karena itu, muncullah fashion marketing.
Fashion marketing didefinisikan sebagai penggunaan berbagai teknik dan
filosofi pemasaran yang berpusat pada konsumen pakaian dan produk lain yang
berkaitan, agar dapat mencapai tujuan jangka panjang dari perusahaan.
Ada beberapa sudut pandang berbeda dari fashion marketing, yaitu:
-
Design-centered
Dalam sudut pandang ini, marketing dilihat sebagai alat promosi. Designers
sebagai sumber kekuatan perusahaan dan marketers hanya bertugas untuk
menjual produk yang sudah dibuat oleh designers. Marketers juga sering
dianggap menghambat kebebasan dan imajinasi designers dalam berkarya.
-
Marketing-centered
Dalam sudut pandang ini, marketing memiliki peran yang dominan dan
designers harus mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen
berdasarkan data yang didapatkan oleh marketers. Designers harus mampu
meminimalisasi biaya produksinya agar dapat menghasilkan profit yang
maksimal.
-
Fashion marketing concept
Sudut pandang ini menganggap aspek design dan profit sebagai dua hal yang
saling berhubungan dan saling mendukung. Konsep fashion marketing yang
ideal dapat terwujud apabila designers dapat memahami bahwa marketing
dapat meningkatkan proses kreatif dan marketers dapat memahami bahwa
design merupakan respon dari kebutuhan konsumen. Marketers dapat mencari
informasi mengenai kebutuhan dan keinginan konsumen dan designers dapat
mengubah informasi tersebut menjadi produk yang dapat dijual kepada
konsumen.
Dalam konsep fashion marketing yang ideal, designer dan marketers
memegang peranan yang sama pentingnya. Ada lima kegiatan yang menjadi tugas
marketers dalam fashion marketing:
-
Fashion marketing research
Dalam kegiatan ini, marketers memiliki tugas untuk mencari informasiinformasi yang berkaitan dengan market share, apa yang dilakukan oleh
pesaing, dan perkiraan trend yang akan disukai konsumen di masa yang akan
datang.
-
Fashion product management
Dalam kegiatan ini, marketers harus mengatur produk-produk apa saja yang
akan dijual dan berapa jumlahnya.
-
Fashion promotion
Marketers harus dapat merancang dan mengimplementasikan kegiatan dan
alat promosi apa yang digunakan sesuai dengan segmeting, targeting, dan
positioning masing-masing.
-
Fashion distribution
Dalam kegiatan ini, marketers harus melakukan penelitian terkait dengan
distribusi dari produk-produk yang ditawarkan kepada konsumen, termasuk
penambahan lokasi toko, bekerja sama dengan retailers, franchise, dan lainlain.
-
Fashion product pricing and positioning
Kegiatan terakhir yang harus dilakukan oleh marketers adalah menentukan
harga produk yang ditawarkan. Keputusan ini menjadi penting karena
berkaitan dengan positioning dan strategi pemasaran yang akan dilakukan.
Penerapan fashion marketing sering menerima kritik, yang kemudian dapat
diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu:
-
Micro issues
Kritik jenis ini biasanya berkaitan dengan produk atau jasa yang diberikan
kepada konsumen. Sering kali konsumen merasa diperlakukan tidak adil atau
diberikan informasi yang tidak akurat terkait sebuah produk. Masalah-masalah
ini muncul karena quality control yang buruk ataupun pelayanan yang buruk
dari sales person.
-
Macro issues
Kritik jenis ini merupakan kritik yang lebih luas dan muncul karena terjadinya
konsekuensi yang tidak diantisipasi dari kegiatan-kegiatan tertentu, seperti
pemberian upah buruh yang tidak layak, dorongan konsumen agar menjadi
konsumtif, penggunaan bulu atau kulit binatang, penggunaan model yang
terlalu kurus sehingga dianggap tidak memberikan body image yang baik, dan
lain-lain.
Marketing mix dalam fashion marketing
-
Product
Produk fashion tidak hanya berupa pakaian, tapi juga semua produk dan jasa
yang berkaitan. Gambar 1.1 menunjukkan jenis produk dan jasa yang
ditawarkan di industri fashion dan cara penggunaannya. Produknya dapat
berupa berbagai kategori pakaian, sepatu, topi, pakaian dalam, perhiasan, tas,
ikat pinggang, dan lain-lain. Jasa dalam industri fashion dapat berupa operasi
plastik, penataan rambut, pewarnaan kulit, penjahit, laundry, dan lain-lain.
Gambar 1.1
Produk dan jasa fashion
Dalam fashion, produk berhubungan dengan design, gaya, ukuran, kualitas,
dan fungsi produk tersebut. Setiap produk biasanya saling terintegrasi dan memiliki
keterkaitan satu sama lain. Setiap designer biasanya akan merancang pakaian dengan
berbagai produk kategori, seperti kemeja, jaket, dress, celana, kaos, hingga sepatu dan
aksesoris. Theodore Levitt memperkenalkan konsep total product concept, yang
terdiri dari beberapa tingkatan dari sebuah produk, yaitu
-
The generic or core product
Tingkatan ini merujuk kepada bentuk dasar dari sebuah produk. Dalam
industri fashion, generic atau core product dapat berupa kemeja, kaos,
jaket, atau dress, tanpa atribut atau benefit tambahan.
-
The actual or expected product
Tingkatan ini merupakan gabungan antara generic product dengan aspek
tangible dari sebuah produk. Aspek tangible ini merupakan representasi
dari keinginan atau permintaan konsumen, misalnya kemeja dengan motif
dan material yang menarik atau kaos yang tidak membuat kegerahan saat
dipakai.
-
The total or augmented product
Dalam tingkatan ini, produk memiliki aspek generic, tangible, dan
intangible. Total atau augmented product memiliki nilai tambah untuk
meningkatkan nilai produk dan membedakan suatu produk dengan produk
dari kompetitor. Contoh: dress dari Versace tentu akan memiliki atribut
dan benefit yang berbeda dengan dress yang dijual oleh Zara.
-
The potential product
Potential product merupakan produk dengan atribut atau benefit yang
belum pernah ditawarkan kepada konsumen. Produk ini mengutamakan
inovasi dan prediksi mengenai produk di masa yang akan datang.
Saat ini konsumen dihadapkan pada berbagai pilihan. Ada tiga kategori merek
fashion berdasarkan jenis produk, yaitu:
o Haute couture/couture
Haute couture merupakan fashion dengan kualitas terbaik. Hasil karya
haute couture seringkali dianggap sebagai karya seni dan investasi. Untuk
menjaga eksklusivitas, membatasi jumlah produk yang boleh dijual. Haute
couture dan couture hanya mempunyai bagian pasar yang sangat kecil,
namun memiliki karakteristik yang spesifik.
o Ready-to-wear
Kategori ini merujuk kepada brand-brand yang menyediakan produk siap
pakai. Produk ready-to-wear sudah dibuat sebelum dijual dengan berbagai
ukuran, dan biasanya dibuat secara massal di pabrik.
o Value product (vintage clothes)
Kategori ini merupakan produk vintage atau produk secondhand, seperti
baju, celana, jaket, sepatu, tas, atau barang lain yang masih layak pakai
dan memiliki nilai jual.
-
Price
Dalam fashion marketing, penentuan harga untuk setiap kategori produk harus
dibuat secara seimbang, sehingga konsumen akan tertarik untuk membeli
beberapa kategori produk sekaligus. Ada dua sudut pandang dalam penentuan
harga:
o Sudut pandang biaya
Dalam sudut pandng ini, harga ditentukan berdasarkan pengeluaran
tangible, seperti biaya produksi, harga retail, harga diskon, serta
margin dan profit.
o Sudut pandang harga jual
Sudut pandang ini melihat harga dari sisi konsumen. Dalam sudut
pandang ini, harga ditentukan berdasarkan perceived value dan
affordability dari produk tersebut. Sehingga, pemahaman konsumen
terhadap perceived value sebuah produk dan pengetahuan terhadap
harga yang ditawarkan oleh kompetitor merupakan aspek penting
dalam penentuan harga dalam sudut pandang ini.
Penentuan harga juga harus disesuaikan dengan kelas dan tingkat dari produk
tersebut, Ada empat tingkatan harga dalam price architecture:
o Top price product
Tingkat ini menawarkan produk dengan harga yang mahal, namun
dengan
kuantitas
produk
yang
sedikit
sehingga
menjamin
eksklusivitas.
o Premium price product
Tingkat ini menawarkan produk dengan harga yang relatif mahal dan
biasanya berupa produk dari merek high-fashion.
o Mid-price product
Tingkat ini menawarkan produk dengan harga yang relatif lebih murah
dengan kuantitas produk yang banyak.
o Lowest price product
Dalam tingkat ini, konsumen ditawarkan produk dengan harga yang
paling murah.
-
Place
Pemilihan place yang tepat dapat membantu perusahaan untuk menawarkan
produk yang tepat, di tempat yang tepat, di waktu yang tepat, dan dengan
jumlah yang tepat. Aspek place juga melibatkan logistik, transportasi,
penyimpanan, dan pendistribusian produk hingga ke tangan konsumen.
Ada empat jenis fashion retailer:
o The product specialist fashion retailers
Retailers jenis ini berfokus pada berbagai produk yang terspesifik,
seperti Hom Underwear, La Senza, Tie Rack, Nike, serta memiliki
target kelompok pelanggan yang jelas baik berdasarkan demografi
(seperti childrenswear), jenis kelamin (seperti La Senza dan Hom
Underwear) atau kepentingan tertentu (seperti olahraga dan Nike dan
Reebok).
o The fashion designer retailers
Retailers jenis ini berfokus pada produk dari perancang busana yang
dibuktikan dengan fashion show tahunan di salah satu ibukota fashion
internasional (Paris, Milan, London dan New York) dan telah
ditetapkan dalam bisnis desain fashion selama minimal 2 tahun.
Perusahaan-perusahaan ritel ini memasarkan barang melalui outlet
dengan membawa nama desainer (atau nama yang terkait) dengan
label mereka sendiri, seperti Gucci, Valentino, dan Chanel.
o The general merchandise retailers
Retailers jenis ini mencakup campuran barang fashion dan non-fashion
dalam menawarkan barang dagangan mereka. Contohnya termasuk
department store seperti Marks & Spencer, Harrods dan Sogo.
o The general fashion retailers
Berbeda dengan product specialist fashion retailers yang cenderung
memusatkan perhatian pada satu atau dua kelompok produk fashion,
retailers jenis ini menawarkan berbagai barang dagangan fashion dan
aksesoris, baik segmen secara luas (misalnya The Gap) atau target
segmen yang sangat didefinisikan (misalnya Kookai). Kelompok ini
biasanya menawarkan barang pada rentang harga rendah-pertengahan
dan ditemukan dalam pusat kota sehingga memungkinkan akses
maksimum untuk pelanggan.
Perusahaan di industri fashion semakin menggunakan waktu sebagai faktor
untuk meningkatkan daya saing. Selain itu, pengurangan lead-time
memfasilitasi perusahaan dalam mengatasi peningkatan permintaan untuk
keragaman, siklus pengembangan menjadi lebih pendek, transportasi dan
pengiriman lebih efisien danproduk disajikan “floor ready”. Sejumlah
pendekatan dapat diambil untuk supply chain management yang digolongkan
menjadi:
o Lean supply
Fokus manajemen lean supply adalah menghapus segala pemborosan
termasuk waktu untuk memungkinkan penambahan jadwal yang akan
dilaksanankan. Dalam pendekatan ini, retailers memerlukan pengisian
kembali produk secara cepat, dan pengiriman harus memenuhi
persyaratan yang ketat dalam hal waktu pengiriman, agar lengkap serta
akurat.
o Agile supply
Perusahaan harus memperoleh kemampuan kapasitas agar dapat
bereaksi terhadap kemungkinan terjadinya fluktuasi dalam permintaan.
Penggunaan teknologi informasi untuk berbagi data antara pembeli
dan pemasok sangat penting untuk agile supply karena akan
meningkatkan keterlihatan kebutuhan dan mengurangi jumlah
persediaan.
o Leagile supply
Konsep 'leagile' mengambil pandangan bahwa kombinasi pendekatan
lean dan agile harus dikombinasikan pada titik decoupling “keterlepasan” antara need (kebutuhan) dan want (keinginan) - untuk
manajemen rantai pasokan yang optimal.
-
Promotion
Promosi dalam industri fashion tidak hanya menggunakan iklan, sales
promotion, personal selling, atau sponsorship saja, tapi juga memanfaatkan
peragaan busana, endorsement, public relations, dan publicity dengan
bekerjasama dengan pihak lain. Contoh majalah fashion ternama seperti
Vogue, Harper’s Bazaar, Elle, atau Marie Claire sering dimanfaatkan
designers atau fashion brands dengan meminjamkan koleksi terbaru mereka
untuk keperluan pemotretan. Sehingga, kerjasama ini mendapatkan paparan
yang lebih luas dan memberikan dampak yang lebih luas jika dibandingkan
dengan katalog atau in-house magazine. Beberapa designers juga melakukan
endorsement kepada selebriti ternama dengan meminjamkan pakaiannya
untuk dipakai di acara-acara karpet merah yang bergengsi.
-
People
Konsumen dalam industri fashion menyesuaikan karakternya masing-masing
dengan karakter produk yang digunakannya. Ada beberapa faktor yang
dipertimbangkan konsumen dalam pemilihan produk fashion yang akan
digunakannya:
o Symbolic consumption
Pakaian adalah kategori produk yang sangat simbolis dan memiliki
visibilitas yang tinggi, hal ini membuat setiap individu akan membuat
asumsi tentang orang lain hanya berdasarkan pakaian yang orang lain
gunakan. Terdapat beberapa jenis dalam konsumsi simbolik ini, yaitu:
Self-concept
Komponen yang paling banyak dieksplorasi actual self
(bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri), the ideal
self (kualitas yang seorang individu ingin memiliki) dan the
social self (bagaimana seseorang percaya bahwa orang lain
akan melihatnya). Konsep diri pada dasarnya adalah sebuah
struktur dinamis yang berubah sesuai dengan sifat dari
lingkungan sosial atau situasi.
The audience
Selain konsep diri, penilaian tentang orang lain juga
memainkan peran penting dalam mengkomunikasikan suatu
produk
dan
merek.
Dimana
reference
groups
akan
mempengaruhi keputusan pembelian dari seorang konsumen
dalam menggunakan suatu produk.
Product and user imagery
Ketika konsumen menafsirkan merek, mereka akan sering
menggunakan stereotype yang mereka miliki dari produk
tersebut. Seseorang akan membuat penilaian terhadap orang
lain berdasarkan merek apa yang mereka gunakan.
Self-image/product image congruency
Pada dasarnya, hubungan antara merek yang dimiliki suatu
produk (termasuk item fashion) dengan identitas konsumen
memiliki fungsi dua arah. Di satu sisi, produk yang dibeli
membantu konsumen untuk menentukan siapa mereka. Di sisi
lain, individu akan berusaha untuk mempertahankan konsep
diri mereka dengan membeli item yang dirasakan sesuai
dengan dengan identitas yang mereka miliki.
o Negative symbolic consumption
Konsep taste (selera pakaian, furnitur, dan seni) menjadi penting
karena selera sering menegaskan kedalam hal negatif. Seseorang
sering tidak ingin dianggap memiliki selera yang buruk dimana
mereka berada. Artinya, sesorang akan berusaha menyesuaikan diri
dimana mereka berada agar tidak dinilai “buruk” oleh orang
lingkungan sekitarnya.
The undesired self: “so not me!”
Merupakan gambaran yang tidak dikehendaki oleh konsumen
dan dianggap paling asing untuk kepribadiaan yang mereka
miliki. Ada beberapa macam dari Undisered self yaitu:
Stereotypes
Konsumen menggunakan stereotip yang mereka miliki
sebagai sarana untuk memahami citra produk dan
merek terhadap suatu barang. stereotip yang negatif ini
digunakan oleh konsumen serta asumsi tentang gaya
hidup konsumen dan kegiatan konsumsi mereka.
Behavioural and personality assumptions
Perilaku dan asumsi peribadi berdasarkan informasi
dari stereotip negatif yang diidentifikasi dengan
kepribadiaan seseorang, dan dalam kasus tertentu
mempengaruhi perilaku individu terhadap orang lain.
Namun, perlu diingat bahwa sesuatu yang dianggap
memiliki citra negatif untuk orang tertentu mungkin
akan ditafsirkan secara positif oleh orang lain.
Experience related
Dalam hal ini konsumen merasa tidak sesuai dengan
kepribadian
mereka
disebabkan
berdasarkan
pengalaman yang dialami seseorang dan kurangnya
konseptual dari the ideal self. Pengalaman sebelumnya
ini dapat berhubungan dengan (biasanya tidak disukai)
orang lain.
The avoidance self: “just not me!”
Avoidance self dapat dibandingkan secara jelas dengan
undisered self. undisered self selalu dipandang negatif baik
yang berkaitan dengan individu itu sendiri atau terhadap orang
lain. Sedangkan avoidance self dipandang negatif untuk
individu tertentu, tetapi mungkin juga dianggap positif pada
orang lain yang memiliki gaya hidup yang berbeda, tahapan
kehidupan
yang
berbeda,
penampilan
yang
berbeda,
kepribadian dan lain sebagainya.
Age related
Pakaian sering digunakan oleh orang lain untuk
menunjukkan
usia
pemakainya,
dan
konsumen
cenderung telah menyesuaikan bentuk busana apa yang
sesuai untuk kelompok umur mereka. Ketika pakaian
yang dikenakan dianggap tidak pantas untuk usia yang
dimiliki konsumen, maka hal itu sering ditafsirkan
sebagai '”bad taste”.
Body image
Dalam
banyak
kasus,
body
image
konsumen
berhubungan dengan usia mereka. Hal ini penting untuk
individu bahwa mereka akan memakai pakaian yang
sesuai dengan bentuk tubuh mereka. Aturan tentang
kesesuaian akan berbeda antara budaya dan juga akan
tergantung pada gaya hidup setiap individu.
Character/personality
Hal ini penting bagi konsumen bahwa pakaian yang
mereka kenakan dianggap sesuai dengan karakter atau
kepribadian mereka. Mengenakan pakaian yang tidak
sesuai dengan dengan kepribadian mereka, mungkin
adalah penyebab utama di mana pakaian tertentu dapat
dianggap negatif, terlepas dari pengakuan orang lain
yang menggangap memiliki citra positif.
Situasional
Situasi kehidupan konsumen sebagian akan ditentukan
oleh pekerjaan, tahap kehidupan, usia atau hanya
prioritas mereka pada titik tertentu (Martineau, 1957).
Seringkali, pengaruh situasional akan menjadi cerminan
dari setiap individu tentang apa yang mewakili “saya”
dan sebaliknya “bukan saya”. Saat ini, apa yang dapat
disebut situasional akan menjadi relevan. Situasi yang
menyimpang dari “norma” suatu individu, seperti
wawancara kerja yang mengharuskan menggunakana
pakaian resmi dan ini bertentangan dengan kebiasaan
individu yang lebih menyukai pakaian kasual yang
cenderung santai dalam kesehariannya.
Dalam aspek ini, people juga termasuk semua orang yang terlibat dalam
perencanaan, pengembangan, pembuatan, hingga penyampaian produk ke
tangan konsumen. Designers, penjahit, sales person, stakeholders, buyers,
suppliers, fashion editor, fashion critics, termasuk ke dalam aspek ini.
-
Process
Gambar 1.2
Fashion marketing process
Dalam fashion marketing, marketing environment menjadi penting karena
merupakan segala sesuatu yang mempengaruhi proses produksi, seperti
preferensi konsumen, pesaing, suppliers, retailers, advertising agencies,
market research agencies, dan fashion predictors. Selain itu, teknologi,
ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan politik juga termasuk ke dalam
marketing
environment.
Marketing
environment
kemuadian
akan
mempengaruhi marketing mix yang akan digunakan untuk menggambarkan
aspek-aspek untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan target pasar.
-
Physical Evidence
Pemberian nilai, pengalaman, atau pelayanan tambahan merupakan physical
evidence yang dapat diberikan sebuah merek untuk membedakan dengan
merek yang lain. Physical evidence berkaitan dengan kemasan, catalog,
design website, paper bag, seragam karyawan, hingga dekorasi dan suasana
toko. Dalam industri fashion, konsumen tidak hanya mengharapkan pakaian
itu sendiri, tapi juga pengalaman yang menyenangkan. Memberikan fasilitas
seperti ruang ganti yang aman dan nyaman, display toko yang menarik,
hingga paper bag yang unik merupakan nilai tambah tersendiri bagi
konsumen. Hal-hal ini merupaka faktor yang meyakinkan konsumen, dan
dapat menjadi pembeda diantara satu merek dengan merek yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Easey, Mike. 2009. Fashion Marketing. UK: John Wiley & Sons Ltd.
Hines, Tony, & Bruce, Margaret. 2007. Fashion Marketing: Contemporary Issues.
Oxford: Elsevier Ltd.
Posner, Harriett. 2011. Marketing Fashion. London: Laurence King Publishing Ltd.
Seminar Bisnis
Fashion Marketing
Kelompok:
Desta Dauri Rasyid
Ferry Septian Herdiansyah
PROGRAM SARJANA EKSTENSI
PROGRAM STUDI ILMU ADMINISTRASI NIAGA
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI
2016
Fashion Marketing
Fashion merupakan refleksi dari suatu waktu dan gambaran identitas
seseorang. Fashion dapat menggambarkan usia, gender, gaya hidup, dan kepribadian
seseorang. Menurut Mike Easey (2006), fashion didefinisikan sebagai penggantian
trend atau mode dalam jangka pendek, dan sangat berkaitan dengan perubahan.
Fashion melibatkan aspek kreativitas dan design yang kuat. Kemampuan merancang
sangat penting dan dapat terlihat di dalam semua produk. Sebuah merek fashion harus
dapat mengantisipasi setiap perubahan trend dengan baik agar tetap dapat relevan di
industri fashion.
Harriet Posner (2011) membagi beberapa kategori dalam perubahan trend di
industri fashion:
-
A fad
Fad adalah sebuah trend yang terjadi dalam waktu singkat dan biasanya sulit
untuk diprediksi. Fad biasanya bertahan kurang dari 1 tahun.
-
A trend
Trend biasanya dimulai dengan penerimaan yang rendah dari konsumen,
namun akan memuncak seiring dengan berjalannya waktu.
-
Megatrend
Megatrend adalah perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, atau teknologi
yang sangat besar yang sulit untuk dibentuk namun akan memberikan
pengaruh untuk jangka waktu yang lama.
Fashion merupakan penerapan dari kemampuan merancang secara kreatif
yang menghasilkan produk, mulai dari produk dasar yang digunakan sehari-hari
hingga produk yang membutuhkan keterampilan dan keahlian tingkat tinggi. Di saat
yang bersamaan, kemampuan untuk mengidentifikasi produk yang dibutuhkan dan
diinginkan konsumen merupakan hal yang juga penting dalam industri fashion. Oleh
karena itu, muncullah fashion marketing.
Fashion marketing didefinisikan sebagai penggunaan berbagai teknik dan
filosofi pemasaran yang berpusat pada konsumen pakaian dan produk lain yang
berkaitan, agar dapat mencapai tujuan jangka panjang dari perusahaan.
Ada beberapa sudut pandang berbeda dari fashion marketing, yaitu:
-
Design-centered
Dalam sudut pandang ini, marketing dilihat sebagai alat promosi. Designers
sebagai sumber kekuatan perusahaan dan marketers hanya bertugas untuk
menjual produk yang sudah dibuat oleh designers. Marketers juga sering
dianggap menghambat kebebasan dan imajinasi designers dalam berkarya.
-
Marketing-centered
Dalam sudut pandang ini, marketing memiliki peran yang dominan dan
designers harus mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen
berdasarkan data yang didapatkan oleh marketers. Designers harus mampu
meminimalisasi biaya produksinya agar dapat menghasilkan profit yang
maksimal.
-
Fashion marketing concept
Sudut pandang ini menganggap aspek design dan profit sebagai dua hal yang
saling berhubungan dan saling mendukung. Konsep fashion marketing yang
ideal dapat terwujud apabila designers dapat memahami bahwa marketing
dapat meningkatkan proses kreatif dan marketers dapat memahami bahwa
design merupakan respon dari kebutuhan konsumen. Marketers dapat mencari
informasi mengenai kebutuhan dan keinginan konsumen dan designers dapat
mengubah informasi tersebut menjadi produk yang dapat dijual kepada
konsumen.
Dalam konsep fashion marketing yang ideal, designer dan marketers
memegang peranan yang sama pentingnya. Ada lima kegiatan yang menjadi tugas
marketers dalam fashion marketing:
-
Fashion marketing research
Dalam kegiatan ini, marketers memiliki tugas untuk mencari informasiinformasi yang berkaitan dengan market share, apa yang dilakukan oleh
pesaing, dan perkiraan trend yang akan disukai konsumen di masa yang akan
datang.
-
Fashion product management
Dalam kegiatan ini, marketers harus mengatur produk-produk apa saja yang
akan dijual dan berapa jumlahnya.
-
Fashion promotion
Marketers harus dapat merancang dan mengimplementasikan kegiatan dan
alat promosi apa yang digunakan sesuai dengan segmeting, targeting, dan
positioning masing-masing.
-
Fashion distribution
Dalam kegiatan ini, marketers harus melakukan penelitian terkait dengan
distribusi dari produk-produk yang ditawarkan kepada konsumen, termasuk
penambahan lokasi toko, bekerja sama dengan retailers, franchise, dan lainlain.
-
Fashion product pricing and positioning
Kegiatan terakhir yang harus dilakukan oleh marketers adalah menentukan
harga produk yang ditawarkan. Keputusan ini menjadi penting karena
berkaitan dengan positioning dan strategi pemasaran yang akan dilakukan.
Penerapan fashion marketing sering menerima kritik, yang kemudian dapat
diklasifikasikan ke dalam dua jenis, yaitu:
-
Micro issues
Kritik jenis ini biasanya berkaitan dengan produk atau jasa yang diberikan
kepada konsumen. Sering kali konsumen merasa diperlakukan tidak adil atau
diberikan informasi yang tidak akurat terkait sebuah produk. Masalah-masalah
ini muncul karena quality control yang buruk ataupun pelayanan yang buruk
dari sales person.
-
Macro issues
Kritik jenis ini merupakan kritik yang lebih luas dan muncul karena terjadinya
konsekuensi yang tidak diantisipasi dari kegiatan-kegiatan tertentu, seperti
pemberian upah buruh yang tidak layak, dorongan konsumen agar menjadi
konsumtif, penggunaan bulu atau kulit binatang, penggunaan model yang
terlalu kurus sehingga dianggap tidak memberikan body image yang baik, dan
lain-lain.
Marketing mix dalam fashion marketing
-
Product
Produk fashion tidak hanya berupa pakaian, tapi juga semua produk dan jasa
yang berkaitan. Gambar 1.1 menunjukkan jenis produk dan jasa yang
ditawarkan di industri fashion dan cara penggunaannya. Produknya dapat
berupa berbagai kategori pakaian, sepatu, topi, pakaian dalam, perhiasan, tas,
ikat pinggang, dan lain-lain. Jasa dalam industri fashion dapat berupa operasi
plastik, penataan rambut, pewarnaan kulit, penjahit, laundry, dan lain-lain.
Gambar 1.1
Produk dan jasa fashion
Dalam fashion, produk berhubungan dengan design, gaya, ukuran, kualitas,
dan fungsi produk tersebut. Setiap produk biasanya saling terintegrasi dan memiliki
keterkaitan satu sama lain. Setiap designer biasanya akan merancang pakaian dengan
berbagai produk kategori, seperti kemeja, jaket, dress, celana, kaos, hingga sepatu dan
aksesoris. Theodore Levitt memperkenalkan konsep total product concept, yang
terdiri dari beberapa tingkatan dari sebuah produk, yaitu
-
The generic or core product
Tingkatan ini merujuk kepada bentuk dasar dari sebuah produk. Dalam
industri fashion, generic atau core product dapat berupa kemeja, kaos,
jaket, atau dress, tanpa atribut atau benefit tambahan.
-
The actual or expected product
Tingkatan ini merupakan gabungan antara generic product dengan aspek
tangible dari sebuah produk. Aspek tangible ini merupakan representasi
dari keinginan atau permintaan konsumen, misalnya kemeja dengan motif
dan material yang menarik atau kaos yang tidak membuat kegerahan saat
dipakai.
-
The total or augmented product
Dalam tingkatan ini, produk memiliki aspek generic, tangible, dan
intangible. Total atau augmented product memiliki nilai tambah untuk
meningkatkan nilai produk dan membedakan suatu produk dengan produk
dari kompetitor. Contoh: dress dari Versace tentu akan memiliki atribut
dan benefit yang berbeda dengan dress yang dijual oleh Zara.
-
The potential product
Potential product merupakan produk dengan atribut atau benefit yang
belum pernah ditawarkan kepada konsumen. Produk ini mengutamakan
inovasi dan prediksi mengenai produk di masa yang akan datang.
Saat ini konsumen dihadapkan pada berbagai pilihan. Ada tiga kategori merek
fashion berdasarkan jenis produk, yaitu:
o Haute couture/couture
Haute couture merupakan fashion dengan kualitas terbaik. Hasil karya
haute couture seringkali dianggap sebagai karya seni dan investasi. Untuk
menjaga eksklusivitas, membatasi jumlah produk yang boleh dijual. Haute
couture dan couture hanya mempunyai bagian pasar yang sangat kecil,
namun memiliki karakteristik yang spesifik.
o Ready-to-wear
Kategori ini merujuk kepada brand-brand yang menyediakan produk siap
pakai. Produk ready-to-wear sudah dibuat sebelum dijual dengan berbagai
ukuran, dan biasanya dibuat secara massal di pabrik.
o Value product (vintage clothes)
Kategori ini merupakan produk vintage atau produk secondhand, seperti
baju, celana, jaket, sepatu, tas, atau barang lain yang masih layak pakai
dan memiliki nilai jual.
-
Price
Dalam fashion marketing, penentuan harga untuk setiap kategori produk harus
dibuat secara seimbang, sehingga konsumen akan tertarik untuk membeli
beberapa kategori produk sekaligus. Ada dua sudut pandang dalam penentuan
harga:
o Sudut pandang biaya
Dalam sudut pandng ini, harga ditentukan berdasarkan pengeluaran
tangible, seperti biaya produksi, harga retail, harga diskon, serta
margin dan profit.
o Sudut pandang harga jual
Sudut pandang ini melihat harga dari sisi konsumen. Dalam sudut
pandang ini, harga ditentukan berdasarkan perceived value dan
affordability dari produk tersebut. Sehingga, pemahaman konsumen
terhadap perceived value sebuah produk dan pengetahuan terhadap
harga yang ditawarkan oleh kompetitor merupakan aspek penting
dalam penentuan harga dalam sudut pandang ini.
Penentuan harga juga harus disesuaikan dengan kelas dan tingkat dari produk
tersebut, Ada empat tingkatan harga dalam price architecture:
o Top price product
Tingkat ini menawarkan produk dengan harga yang mahal, namun
dengan
kuantitas
produk
yang
sedikit
sehingga
menjamin
eksklusivitas.
o Premium price product
Tingkat ini menawarkan produk dengan harga yang relatif mahal dan
biasanya berupa produk dari merek high-fashion.
o Mid-price product
Tingkat ini menawarkan produk dengan harga yang relatif lebih murah
dengan kuantitas produk yang banyak.
o Lowest price product
Dalam tingkat ini, konsumen ditawarkan produk dengan harga yang
paling murah.
-
Place
Pemilihan place yang tepat dapat membantu perusahaan untuk menawarkan
produk yang tepat, di tempat yang tepat, di waktu yang tepat, dan dengan
jumlah yang tepat. Aspek place juga melibatkan logistik, transportasi,
penyimpanan, dan pendistribusian produk hingga ke tangan konsumen.
Ada empat jenis fashion retailer:
o The product specialist fashion retailers
Retailers jenis ini berfokus pada berbagai produk yang terspesifik,
seperti Hom Underwear, La Senza, Tie Rack, Nike, serta memiliki
target kelompok pelanggan yang jelas baik berdasarkan demografi
(seperti childrenswear), jenis kelamin (seperti La Senza dan Hom
Underwear) atau kepentingan tertentu (seperti olahraga dan Nike dan
Reebok).
o The fashion designer retailers
Retailers jenis ini berfokus pada produk dari perancang busana yang
dibuktikan dengan fashion show tahunan di salah satu ibukota fashion
internasional (Paris, Milan, London dan New York) dan telah
ditetapkan dalam bisnis desain fashion selama minimal 2 tahun.
Perusahaan-perusahaan ritel ini memasarkan barang melalui outlet
dengan membawa nama desainer (atau nama yang terkait) dengan
label mereka sendiri, seperti Gucci, Valentino, dan Chanel.
o The general merchandise retailers
Retailers jenis ini mencakup campuran barang fashion dan non-fashion
dalam menawarkan barang dagangan mereka. Contohnya termasuk
department store seperti Marks & Spencer, Harrods dan Sogo.
o The general fashion retailers
Berbeda dengan product specialist fashion retailers yang cenderung
memusatkan perhatian pada satu atau dua kelompok produk fashion,
retailers jenis ini menawarkan berbagai barang dagangan fashion dan
aksesoris, baik segmen secara luas (misalnya The Gap) atau target
segmen yang sangat didefinisikan (misalnya Kookai). Kelompok ini
biasanya menawarkan barang pada rentang harga rendah-pertengahan
dan ditemukan dalam pusat kota sehingga memungkinkan akses
maksimum untuk pelanggan.
Perusahaan di industri fashion semakin menggunakan waktu sebagai faktor
untuk meningkatkan daya saing. Selain itu, pengurangan lead-time
memfasilitasi perusahaan dalam mengatasi peningkatan permintaan untuk
keragaman, siklus pengembangan menjadi lebih pendek, transportasi dan
pengiriman lebih efisien danproduk disajikan “floor ready”. Sejumlah
pendekatan dapat diambil untuk supply chain management yang digolongkan
menjadi:
o Lean supply
Fokus manajemen lean supply adalah menghapus segala pemborosan
termasuk waktu untuk memungkinkan penambahan jadwal yang akan
dilaksanankan. Dalam pendekatan ini, retailers memerlukan pengisian
kembali produk secara cepat, dan pengiriman harus memenuhi
persyaratan yang ketat dalam hal waktu pengiriman, agar lengkap serta
akurat.
o Agile supply
Perusahaan harus memperoleh kemampuan kapasitas agar dapat
bereaksi terhadap kemungkinan terjadinya fluktuasi dalam permintaan.
Penggunaan teknologi informasi untuk berbagi data antara pembeli
dan pemasok sangat penting untuk agile supply karena akan
meningkatkan keterlihatan kebutuhan dan mengurangi jumlah
persediaan.
o Leagile supply
Konsep 'leagile' mengambil pandangan bahwa kombinasi pendekatan
lean dan agile harus dikombinasikan pada titik decoupling “keterlepasan” antara need (kebutuhan) dan want (keinginan) - untuk
manajemen rantai pasokan yang optimal.
-
Promotion
Promosi dalam industri fashion tidak hanya menggunakan iklan, sales
promotion, personal selling, atau sponsorship saja, tapi juga memanfaatkan
peragaan busana, endorsement, public relations, dan publicity dengan
bekerjasama dengan pihak lain. Contoh majalah fashion ternama seperti
Vogue, Harper’s Bazaar, Elle, atau Marie Claire sering dimanfaatkan
designers atau fashion brands dengan meminjamkan koleksi terbaru mereka
untuk keperluan pemotretan. Sehingga, kerjasama ini mendapatkan paparan
yang lebih luas dan memberikan dampak yang lebih luas jika dibandingkan
dengan katalog atau in-house magazine. Beberapa designers juga melakukan
endorsement kepada selebriti ternama dengan meminjamkan pakaiannya
untuk dipakai di acara-acara karpet merah yang bergengsi.
-
People
Konsumen dalam industri fashion menyesuaikan karakternya masing-masing
dengan karakter produk yang digunakannya. Ada beberapa faktor yang
dipertimbangkan konsumen dalam pemilihan produk fashion yang akan
digunakannya:
o Symbolic consumption
Pakaian adalah kategori produk yang sangat simbolis dan memiliki
visibilitas yang tinggi, hal ini membuat setiap individu akan membuat
asumsi tentang orang lain hanya berdasarkan pakaian yang orang lain
gunakan. Terdapat beberapa jenis dalam konsumsi simbolik ini, yaitu:
Self-concept
Komponen yang paling banyak dieksplorasi actual self
(bagaimana seseorang memandang dirinya sendiri), the ideal
self (kualitas yang seorang individu ingin memiliki) dan the
social self (bagaimana seseorang percaya bahwa orang lain
akan melihatnya). Konsep diri pada dasarnya adalah sebuah
struktur dinamis yang berubah sesuai dengan sifat dari
lingkungan sosial atau situasi.
The audience
Selain konsep diri, penilaian tentang orang lain juga
memainkan peran penting dalam mengkomunikasikan suatu
produk
dan
merek.
Dimana
reference
groups
akan
mempengaruhi keputusan pembelian dari seorang konsumen
dalam menggunakan suatu produk.
Product and user imagery
Ketika konsumen menafsirkan merek, mereka akan sering
menggunakan stereotype yang mereka miliki dari produk
tersebut. Seseorang akan membuat penilaian terhadap orang
lain berdasarkan merek apa yang mereka gunakan.
Self-image/product image congruency
Pada dasarnya, hubungan antara merek yang dimiliki suatu
produk (termasuk item fashion) dengan identitas konsumen
memiliki fungsi dua arah. Di satu sisi, produk yang dibeli
membantu konsumen untuk menentukan siapa mereka. Di sisi
lain, individu akan berusaha untuk mempertahankan konsep
diri mereka dengan membeli item yang dirasakan sesuai
dengan dengan identitas yang mereka miliki.
o Negative symbolic consumption
Konsep taste (selera pakaian, furnitur, dan seni) menjadi penting
karena selera sering menegaskan kedalam hal negatif. Seseorang
sering tidak ingin dianggap memiliki selera yang buruk dimana
mereka berada. Artinya, sesorang akan berusaha menyesuaikan diri
dimana mereka berada agar tidak dinilai “buruk” oleh orang
lingkungan sekitarnya.
The undesired self: “so not me!”
Merupakan gambaran yang tidak dikehendaki oleh konsumen
dan dianggap paling asing untuk kepribadiaan yang mereka
miliki. Ada beberapa macam dari Undisered self yaitu:
Stereotypes
Konsumen menggunakan stereotip yang mereka miliki
sebagai sarana untuk memahami citra produk dan
merek terhadap suatu barang. stereotip yang negatif ini
digunakan oleh konsumen serta asumsi tentang gaya
hidup konsumen dan kegiatan konsumsi mereka.
Behavioural and personality assumptions
Perilaku dan asumsi peribadi berdasarkan informasi
dari stereotip negatif yang diidentifikasi dengan
kepribadiaan seseorang, dan dalam kasus tertentu
mempengaruhi perilaku individu terhadap orang lain.
Namun, perlu diingat bahwa sesuatu yang dianggap
memiliki citra negatif untuk orang tertentu mungkin
akan ditafsirkan secara positif oleh orang lain.
Experience related
Dalam hal ini konsumen merasa tidak sesuai dengan
kepribadian
mereka
disebabkan
berdasarkan
pengalaman yang dialami seseorang dan kurangnya
konseptual dari the ideal self. Pengalaman sebelumnya
ini dapat berhubungan dengan (biasanya tidak disukai)
orang lain.
The avoidance self: “just not me!”
Avoidance self dapat dibandingkan secara jelas dengan
undisered self. undisered self selalu dipandang negatif baik
yang berkaitan dengan individu itu sendiri atau terhadap orang
lain. Sedangkan avoidance self dipandang negatif untuk
individu tertentu, tetapi mungkin juga dianggap positif pada
orang lain yang memiliki gaya hidup yang berbeda, tahapan
kehidupan
yang
berbeda,
penampilan
yang
berbeda,
kepribadian dan lain sebagainya.
Age related
Pakaian sering digunakan oleh orang lain untuk
menunjukkan
usia
pemakainya,
dan
konsumen
cenderung telah menyesuaikan bentuk busana apa yang
sesuai untuk kelompok umur mereka. Ketika pakaian
yang dikenakan dianggap tidak pantas untuk usia yang
dimiliki konsumen, maka hal itu sering ditafsirkan
sebagai '”bad taste”.
Body image
Dalam
banyak
kasus,
body
image
konsumen
berhubungan dengan usia mereka. Hal ini penting untuk
individu bahwa mereka akan memakai pakaian yang
sesuai dengan bentuk tubuh mereka. Aturan tentang
kesesuaian akan berbeda antara budaya dan juga akan
tergantung pada gaya hidup setiap individu.
Character/personality
Hal ini penting bagi konsumen bahwa pakaian yang
mereka kenakan dianggap sesuai dengan karakter atau
kepribadian mereka. Mengenakan pakaian yang tidak
sesuai dengan dengan kepribadian mereka, mungkin
adalah penyebab utama di mana pakaian tertentu dapat
dianggap negatif, terlepas dari pengakuan orang lain
yang menggangap memiliki citra positif.
Situasional
Situasi kehidupan konsumen sebagian akan ditentukan
oleh pekerjaan, tahap kehidupan, usia atau hanya
prioritas mereka pada titik tertentu (Martineau, 1957).
Seringkali, pengaruh situasional akan menjadi cerminan
dari setiap individu tentang apa yang mewakili “saya”
dan sebaliknya “bukan saya”. Saat ini, apa yang dapat
disebut situasional akan menjadi relevan. Situasi yang
menyimpang dari “norma” suatu individu, seperti
wawancara kerja yang mengharuskan menggunakana
pakaian resmi dan ini bertentangan dengan kebiasaan
individu yang lebih menyukai pakaian kasual yang
cenderung santai dalam kesehariannya.
Dalam aspek ini, people juga termasuk semua orang yang terlibat dalam
perencanaan, pengembangan, pembuatan, hingga penyampaian produk ke
tangan konsumen. Designers, penjahit, sales person, stakeholders, buyers,
suppliers, fashion editor, fashion critics, termasuk ke dalam aspek ini.
-
Process
Gambar 1.2
Fashion marketing process
Dalam fashion marketing, marketing environment menjadi penting karena
merupakan segala sesuatu yang mempengaruhi proses produksi, seperti
preferensi konsumen, pesaing, suppliers, retailers, advertising agencies,
market research agencies, dan fashion predictors. Selain itu, teknologi,
ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, dan politik juga termasuk ke dalam
marketing
environment.
Marketing
environment
kemuadian
akan
mempengaruhi marketing mix yang akan digunakan untuk menggambarkan
aspek-aspek untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan target pasar.
-
Physical Evidence
Pemberian nilai, pengalaman, atau pelayanan tambahan merupakan physical
evidence yang dapat diberikan sebuah merek untuk membedakan dengan
merek yang lain. Physical evidence berkaitan dengan kemasan, catalog,
design website, paper bag, seragam karyawan, hingga dekorasi dan suasana
toko. Dalam industri fashion, konsumen tidak hanya mengharapkan pakaian
itu sendiri, tapi juga pengalaman yang menyenangkan. Memberikan fasilitas
seperti ruang ganti yang aman dan nyaman, display toko yang menarik,
hingga paper bag yang unik merupakan nilai tambah tersendiri bagi
konsumen. Hal-hal ini merupaka faktor yang meyakinkan konsumen, dan
dapat menjadi pembeda diantara satu merek dengan merek yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Easey, Mike. 2009. Fashion Marketing. UK: John Wiley & Sons Ltd.
Hines, Tony, & Bruce, Margaret. 2007. Fashion Marketing: Contemporary Issues.
Oxford: Elsevier Ltd.
Posner, Harriett. 2011. Marketing Fashion. London: Laurence King Publishing Ltd.