PENERAPAN MODEL MIND MAPING UNTUK MENING

PENERAPAN MODEL MIND MAPING UNTUK MENINGKATKAN
HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN GEOGRAFI
MATERI BUMI DAN JAGAT RAYA SISWA KELAS X IPS 4 SMA
NEGERI 7 MALANG

PROPOSAL PENELITIAN TINDAKAN KELAS

Oleh :
PUTRI SARI HATI, S.Pd
NIM 123171003108

UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN GEOGRAFI
PENDIDIKAN PROFESI GURU
2013

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Belajar merupakan proses internal yang kompleks, sehingga bagi siswa
belajar merupakan tindakan dan perilaku yang menunjukkan proses yang
kompleks. Proses belajar terjadi berkat siswa mempelajari sesuatu yang ada di
lingkungan sekitar. Lingkungan yang dipelajari oleh siswa berupa keadaan
alam, benda-benda, hewan, tumbuhan, manusia, dan hal-hal yang dijadikan
bahan belajar.
Menurut Skinner (dalam Dimyati 1994;8) Pada saat seseorang belajar ,
maka responnya menjadi lebih baik. Sehingga dalam pembuatan program
pembelajaran, seorang guru perlu memperhatikan dua hal, yaitu (i) pemilihan
stimulus dan (ii) penggunaan penguatan. Langkah-langkah pembelajaran
berdasarkan teori kondisioning juga menjabarkan secara detail mengenai
tahapan yang harus dilakukan seorang guru sebelum membuat program
pembelajaran, yaitu (i) mempelajari keadaan kelas, mencari dan menemukan
perilaku siswa yang positif dan negatif, (ii) membuat daftar perilaku yang
disukai siswa, (iii) memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang yang
dipelajari, (iv) membuat program pembelajaran (Dimyati dan Mudjiono,
1994;9).
Berdasrkan teori kondisioning diatas, seorang guru dituntut bisa
mempelajari dan menciptakan susana emosi positif dalam pembelajarn.
Karena pada dasarnya emosi yang positif dapat menghasilkan hasil belajar

yang positif, begitu sebaliknya. Fredricson (dalam Ramdhani, 2012;18)
menyebutkan bahwa didalam belajarpun sesungguhnya banyak sekali riset
yang sudah dilakukan membuktikan bahwa pada saat murid dalam kondisi
senang maka kemampuan dalam menyerap materi akan lebih baik.
Senang adalah salah satu aspek emosi pokok yang positif. Pembelajaran
menyenangkan seringkali dikaitkan dengan penyerapan materi pelajaran yang
maksimal. Namun dalam pelaksanaannya, menciptakan emosi yang positif

dalam pembelajaran tidak akan tercapai bila guru tidak mempelajari kondisi
kelas dan melibatkan siswa dalam proses belajar. Masalah inilah yang juga
dihadapi oleh guru maupun siswa dalam proses pembelajran di SMA Negeri 7
Malang.
Berdasarkan hasil Ulangan Harian siswa X SMA Negeri 7 Malang,
diketahui bahwa (i) hasil belajar siswa kelas X khususnya pada materi awal
tentang Hekikat Geografi menunjukkan hasil yang rendah, (ii) sebagian besar
siswa belum bisa menghubungkan konsep geografi. Berdasarkan hasil
Ulangan Harian I pada materi Hakikat Geografi nilai rata-rata siswa kelas X
IPS 4 adalah 71, nilai rata-rata ini masih jauh dibawah KKM sedangkan
Kriterian Ketuntasan Minimum adalah 75. Hasil Ulangan Harian I
menunjukkan sejumlah 11 orang siswa belum tuntas, 42 % dari jumlah total

keseluruhan siswa X IPS 4 yang berjumlah 26 siswa. Dilandasi pada alasan
tersebut, peneliti memilih alternatif metode pembelajaran yang dapat
digunakan untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu dengan menggunakan
model Mind Maping.
Model Mind Maping dapat mengakomodasi ide-ide siswa yang
berbeda, sehingga siswa dapat secara langsung terlibat dalam proses belajar.
Gambaran pemikiran siswa dapat diungkapkan dalam bentuk tulisan, gambar,
atau poster. Kelebihan Mind Maping adalah prinsipnya yang disesuaikan
dengan prinsip kerja otak, yaitu menghubungkan kemampuan otak kiri dan
otak kanan, sehingga siswa lebih mudah memahami dan mengingat suatu
informasi (Sumarmi, 2012;76). Diharapkan dengan menggunakan model
Mind Maping masalah belajar yang dihadapi oleh siswa dapat terpecahakan

sehingga proses pembelajaran yang dilakukan dapat menghasilkan hasil
belajar yang maksimal. Karenanya peneliti menerapkan model Mind Maping
untuk meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran geografi materi
Bumi dan Jagat Raya siswa kelas X IPS 4 SMA Negeri 7 Malang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah penerapan model Mind Maping dapat


meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran geografi materi Bumi
dan Jagat Raya siswa kelas X IPS 4 SMA Negeri 7 Malang?
C. Manfaat Penelitian
1. Bagi pihak sekolah, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan
kualitas pembelajaran Geografi di SMAN 7 Malang pada
khususnya
2. Bagi guru, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
alternatif pe-nerapan model pembelajaran Geografi di kelas.
3. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
salah satu referensi untuk melakukan penelitian tentang penerapan
model pembelajaran Mind Maping.
D. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah penerapan pembelajaran model
Mind Maping pada mata pelajaran Geografi, pada kompetensi dasar (i) 2.1

Menjelaskan sejarah pembentukan bumi (ii) 2.2 Mendeskripsikan tata surya
dan jagat raya . Penelitian akan dilaksanakan di kelas X IPS 4 SMAN 7
Malang pada semester gasal tahun ajaran 2013/2014. Penerapan pembelajaran
kooperatif model Mind Maping digunakan untuk meningkatkan hasil belajar

siswa.
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari kemungkinan timbulnya pengertian ganda terhadap
istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini diberikan penegasan beberapa
istilah.
1. Hasil belajar adalah nilai evaluasi hasil yang diperoleh siswa kelas X IPS 4
SMA Negeri 7. Evaluasi hasil belajar baik dari ranah kognitif maupun ranah
afektif. Hasil belajar diukur dengan menggunakan tes dan nontes.
2. Mind Maping adalah model pembelajaran yang dilakukan dengan cara
mencatat dan menuliskan ide pokok dan ide-ide tambahan materi pelajaran
yang dihubungkan dengan garis lengkung, adanya variasi warna dan gambar.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Belajar
belajar mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan
pembelajar-an dalam kelas. Hasil belajar sering kali dikaitkan dengan
ketepatan pemilihan dan penerapan model pembelajaran. Dalam hal ini guru
sebagai fasilitator sangat berperan dalam pemilihan model pembelajaran yang

digunakan agar hasil belajar yang dicapai siswa meningkat.
1.

Pengertian Hasil Belajar
Hamalik (2007:135) menyimpulkan bahwa ”hasil belajar merupakan
per-nyataan kemampuan siswa yang diharapkan dalam menguasai sebagian
atau selu-ruh kompetensi yang dimaksud”. Hasil belajar yang dimaksud oleh
Hamalik terse-but dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dampak pembelajaran
dan dampak pengi-ring. Yang dimaksud dengan dampak pembelajaran adalah
suatu hasil yang tertu-ang dalam nilai rapor dan angka dalam ijazah yang dapat
diukur. Sedangkan yang dimaksud dengan dampak pengiring adalah terapan
pengetahuan dan kemampuan di bidang lain. Dimyati dan Mudjiono (1994:13)
menyimpulkan bahwa ”hasil belajar mempunyai pe-ngertian yaitu: 1)
perubahan tingkah laku sebagai akibat dari proses; 2) kemampu-an aktual yang
dapat diukur secara langsung; 3) perubahan tingkah laku yang me-liputi ranah
kognitif, afektif dan psikomotorik”.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar merupakan suatu produk akhir dari proses pembelajaran. Produk akhir
tersebut dapat berupa kemampuan intelektual yang dimiliki oleh si belajar,
serta kecakapan lain yang langsung terintegrasi dalam sikap dan perilaku si

belajar.

2.

Penilaian Hasil Belajar

Untuk mengetahui sejauh mana pemahaman siswa terhadap materi yang
diperoleh maka perlu adanya pengukuran terhadap hasil belajar siswa. Bagi
siswa, pengukuran hasil belajar dapat digunakan untuk mengetahui kompetensi
diri. Se-dangkan bagi guru, hasil belajar sangat berguna untuk melakukan
perbaikan tinda-kan pembelajaran di kelas. Dengan tingkat pemahaman anak
didik yang berbeda-beda, maka guru dituntut untuk bisa menjadi fasilitator
yang dapat mengantarkan pembelajaran yang aktif, menyenangkan dan
mencapai tujuan pembelajaran.
Salah satu alat untuk melakukan pengukuran atau evaluasi hasil belajar
adalah dengan menggunakan tes. Arikunto (2003:33) menyatakan bahwa ”tes
merupakan suatu alat pengumpul informasi, tetapi jika dibandingkan dengan
alat-alat yang lain, tes ini bersifat lebih resmi karena penuh dengan batasanbatasan”. Dengan demikian, apabila dikaitkan dengan evaluasi pembelajaran
yang dilaku-kan di sekolah, pengukuran hasil belajar dengan menggunakan tes
dapat diguna-kan untuk mengukur keberhasilan program pembelajaran.

Dewasa ini penilaian hasil belajar siswa, terutama untuk menentukan
kelulusan siswa jenjang pendidikan dasar dan menengah, dilakukan hanya pada
saat akhir masa studi. Tentu dalam hal ini hasil belajar siswa selama 6 tahun
atau 3 tahun hanya dinilai selama 3 sampai 4 hari saja dengan menggunakan
soal-soal Ujian Akhir Nasional. Dengan demikian proses yang telah dilalui
siswa selama mengikuti pembelajaran tidak dinilai. Hal ini tentu bertentangan
dengan pendapat di atas. Sehingga pada Penelitian ini, penilaian hasil belajar
tidak hanya pada hasil akhir saja, tetapi juga penilaian terhadap proses
pembelajaran.
3.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Pada suatu pembelajaran di kelas tertentu, hasil pembelajaran yang
diper-oleh masing-masing siswa beraneka ragam. Perbedaan hasil belajar siswa
tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor. Dimyati dan Mudjiono (1994:53),
menyimpulkan bahwa ”faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan hasil
belajar adalah faktor internal dan eksternal”.
a.

Faktor Internal (dari dalam):


 Psikologi, meliputi intelegensi, motivasi belajar, minat, perasaan kondisi
akibat keadaan sosial, kultural dan ekonomi

 Fisiologi, meliputi kesehatan jasmani
b.

Faktor eksternal (dari luar)

 Proses belajar di sekolah, meliputi kurikulum pembelajaran, disiplin sekolah, fasilitas belajar dan pengelompokan siswa

 Kondisi sosial, meliputi sistem sekolah, status sosial sekolah, interaksi
pengajar dengan siswa, latar belakang keluarga.
Suatu tanda bahwa hasil belajar siswa telah tercapai adalah dengan
adanya perubahan tingkah laku meskipun terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi. Telah banyak usaha yang dilakukan untuk mencari metode
yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan pembelajaran
yang tercermin dari perubah-an tingkah laku siswa. Pada tahun 1956 muncul
sebuah prinsip Taksonomi Bloom. Dalam taksonomi tersebut menunjukkan
tingkat kesulitan mulai dari yang paling sederhana hingga yang kompleks.

Bloom (dalam Arikunto, 2003:117) menyimpulkan bahwa ”ada 3 ranah
atau doMind besar dalam taksonomi yaitu (1) ranah kognitif; (2) ranah afektif;
(3) ranah psikomotorik”. Dalam penelitian ini, hasil belajar yang dinilai
hanyalah ra-nah kognitif dan afektif, karena ranah psikomotorik yang di
dalamnya mengukur keterampilan gerak tubuh siswa, tidak sesuai dengan
model pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini. Maka yang
dijabarkan hanya ranah kognitif dan afektif. Penjabaran kedua ranah tersebut
sebagai berikut.
a.

Ranah Kognitif

Ranah kognitif mempunyai enam tingkatan kemampuan, dari kemampuan
yang paling sederhana hingga kemampuan yang paling kompleks sebagai
berikut.
1) Pengetahuan/Ingatan (C1)
Pengetahuan merupakan ingatan terhadap hal-hal yang telah dipelajari sebelumnya. Contoh kata kerja: menyebutkan, menghafal, mengulang,
mengurutkan, mengaitkan dan menyusun.
2) Pemahaman (C2)


Pemahaman merupakan kemampuan untuk memahami materi atau bahan
ajar. Proses pemahaman terjadi karena adanya kemampuan menjabarkan
suatu materi lain. Pemahaman juga dapat ditunjukkan dengan kemampuan
memperkirakan kecenderungan, kemampuan meramalkan akibat-akibat
dari berbagai penyebab suatu gejala.
3) Penerapan (C3)
Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari dan dipahami ke dalam situasi konkret, nyata atau baru. Contoh
kata kerja yang digunakan: menerapkan, menggunakan, memilih, menentukan, menafsirkan.
4) Analisa (C4)
Analisa merupakan kemampuan untuk menguraikan materi ke dalam bagian-bagian yang lebih terstruktur dan mudah dimengerti. Contoh kata
kerja: membedakan, membandingkan, mengkritik, mengkategorikan.
5) Sintesis (C5)
Sintesis merupakan kemampuan untuk mengumpulkan bagian-bagian
menjadi suatu bentuk yang utuh dan menyeluruh. Kemampuan sintesis menekankan pada perilaku kreatif dengan mengutamakan perumusan perilaku
atau struktur baru dan unik.
6) Penilaian/Evaluasi (C6)
Penilaian merupakan tingkat kemampuan kognitif yang paling tinggi karena meliputi unsur-unsur dari semua kategori termasuk kesadaran untuk
melakukan pengujian yang sarat nilai dan kejelasan kriteria.
b.

Ranah Afektif

Menurut Popham (dalam Depdiknas, 2008:4) ”ranah afektif menentukan
keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada
pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal”.
Krathwohl (dalam Depdiknas, 2008:4) membagi ranah afektif ke dalam 5
tingkatan.
Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima, yaitu:
”receiving (attending), responding, valuing, organization, dan characterization”.
Adapun penjelasan untuk masing-masing adalah sebagai berikut.

1) Tingkat receiving
Pada tingkat receiving atau attending, peserta didik memiliki keinginan
memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas,
kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan
perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran
afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca
buku, senang bekerjasama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi
kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
2) Tingkat responding
Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik, yaitu sebagai bagian

dari perilakunya. Pada tingkat ini peserta didik tidak saja memperhatikan
fenomena khusus tetapi juga bereaksi. Hasil pembelajaran pada ranah ini
menekankan pada perolehan respons, berkeinginan memberi respons, atau
kepuasan dalam memberi respons. Tingkat yang tinggi pada kategori ini
adalah minat, yaitu hal-hal yang menekankan pada pencarian hasil dan
kesenangan pada aktivitas khusus. Misalnya: senang bertanya, senang
membantu teman, senang dengan kebersihan dan kerapian, dan sebagainya.
3) Tingkat valuing
Valuing melibatkan penentuan nilai, keyakinan atau sikap yang menunjukkan

derajat internalisasi dan komitmen. Valuing atau penilaian berbasis pada
internalisasi dari seperangkat nilai yang spesifik. Hasil belajar pada tingkat ini
berhubungan dengan perilaku yang konsisten dan stabil agar nilai dikenal
secara jelas. Dalam tujuan pembelajaran, penilaian ini diklasifikasikan
sebagai sikap dan apresiasi.
4) Tingkat organization
Pada tingkat organization, nilai satu dengan nilai lain dikaitkan, konflik antar
nilai diselesaikan, dan mulai membangun sistem nilai internal yang konsisten.
Hasil pembelajaran pada tingkat ini berupa konseptualisasi nilai atau
organisasi sistem nilai. Misal: pengembangan filsafat hidup.
5) Tingkat characterization
Tingkat ranah afektif tertinggi adalah characterization nilai. Pada tingkat ini
peserta didik memiliki sistem nilai yang mengendalikan perilaku sampai pada

waktu tertentu hingga terbentuk gaya hidup. Hasil pembelajaran pada tingkat
ini berkaitan dengan pribadi, emosi, dan sosial.
Pengukuran ranah afektif siswa dapat dilakukan dengan 2 cara. Andersen
(dalam Depdiknas, 2008:9) menyatakan bahwa ”metode yang digunakan untuk
mengukur ranah afektif adalah metode observasi dan metode laporan diri”.
Metode observasi berasumsi bahwa karakteristik afektif dapat dilihat dari perilaku
atau perbuatan yang ditampilkan dan/atau reaksi psikologi. Sedangkan metode
laporan diri berasumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah
dirinya sendiri. Metode laporan diri ini membutuhkan kejujuran dalam mengungkapkan karakteristik afektif diri sendiri.
Depdiknas (2008:10) menyebutkan bahwa ”menurut tujuannya,
pengukuran ranah afektif terdiri dari 5 macam instrumen”, yaitu:
1) Instrumen sikap
Instrumen sikap bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap
suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik,
dan sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif. Hasil
pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang
tepat.
2) Instrumen minat
Instrumen minat bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat
peserta didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk
meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.
3) Instrumen konsep diri
Instrumen konsep diri digunakan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi
yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta didik sangat penting
untuk menentukan jenjang karirnya. Informasi kekuatan dan kelemahan
peserta didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya
ditempuh.
4) Instrumen nilai
Instrumen nilai bertujuan digunakan untuk mengungkap nilai dan keyakinan
peserta didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang

positif dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan
hal-hal yang negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.
5) Instrumen moral
Instrumen moral bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral
seseorang diperoleh melalui pengamatan terhadap.
Dalam penelitian ini, ranah afektif yang akan dinilai adalah sikap peserta
didik. Dalam pengukuran sikap akan digunakan instrumen pengukuran sikap
berupa angket. Dengan menggunakan angket diharapkan siswa dapat memberikan
informasi dengan sejujur-jujurnya sesuai dengan keadaan yang nyata. Instrumen
penilaian afektif tersebut akan menggunakan skala Likert.
Berdasarkan penjabaran teori hasil belajar oleh Bloom di atas, maka dalam
penelitian ini yang diukur hanyalah ranah kognitif dan afektif. Ranah
psikomotorik yang menuntut adanya gerak terbimbing dan terukur secara rinci
tidak terdapat dalam pembelajaran yang membahas materi Pelestarian Lingkungan
Hidup ini.

B. Model Pembelajaran Mind Maping
Model pembelajaran Penggunaan model pembelajaran yang tepat sangat
mendukung ketercapaian sebuah proses pembelajran.
1. Pengertian Mind Maping
Mind Maping merupakan teknik pencatatan yang didasarkan pada kerja

otak manusia. Teknik pencatatan ini dikembangkan oleh Toni Buzan pada tahun
1970an dan didasarkan pada riset tentang kerja otak yang sebenarnya. DePorter
dan Hernacki (1992:26-28) menyatakan bahwa otak manusia terdiri dari tiga
bagian yaitu (1) reptilia, memiliki peranan yang berkaitan tentang pertahanan
hidup, bernafas, memiliki rasa lapar dan mengembangkan spesies (keturunan); (2)
mamalia, memiliki peranan yang berkaitan dengan perasaan, ingatan, sistem
kekebalan; (3) neokorteks, memiliki peranan seperti membaca, berbicara,
berhitung, kreatifitas, memecahkan masalah.
Neokorteks tersebut terdiri dari dua belahan yaitu (1) otak kanan memiliki
kemampuan yang berhubungan dengan gambar, imajinasi, warna, musik; (2) otak
kiri memiliki kemampuan yang berhubungan dengan angka, kata-kata, logika,

daftar atau urutan. Otak kanan dan otak kiri dihubungkan oleh corpus collosum
yang mampu menyeimbangkan kerja otak kanan dan kiri. Informasi yang
diperoleh dipilah-pilah oleh otak, jika informasi yang diperoleh berupa kata-kata
maka informasi tersebut diterima dan disimpan oleh otak kiri saja. Apabila
informasi yang diterima hanya menggunakan kemampuan dari salah satu belahan
otak menyebabkan otak tidak bekerja secara maksimal. Otak dapat menyimpan
informasi dalam waktu yang lama apabila terjadi keseimbangan antara otak kanan
dan kiri. Selain itu keseimbangan otak juga menyebabkan seseorang berpikir
kreatif, menumbuhkan ide-ide untuk mengatasi berbagai permasalahan.
Mind Maping menggunakan kekuatan imajinasi yang ada pada diri

seseorang yang dituangkan dalam sebuah kertas. Imajinasi lebih penting daripada
pengetahuan karena imajinasi tidak terbatas. Ketika berimajinasi seseorang
mampu memikirkan segala sesuatu secara luas, namun untuk memahami suatu
mata pelajaran perlu dilakukan arahan agar imajinasi tersebut tidak menyimpang
dari materi pelajaran. Para pemikir dunia seperti Leonardo Da Vinci, Albert
Einstein, Galileo Gelilei menggunakan bahasa gambar untuk menyusun,
mengembangkan dan mengingat informasi yang ada dipikirannya(Buzan, 2008:7).
Mind Maping dapat menumbuhkan ide karena menggunakan imajinasi

yang tidak terbatas. ”Mind map memungkinkan otak menggunakan semua
gambar dan asosiasinya dengan pola jaringan radial dan jaringan sebagaimana
otak dirancang…” (Buzan, 2008:103). Mind Maping menggunakan garis
lengkung, simbol, kata dan gambar yang sesuai dengan rangkaian sederhana dan
sesuai dengan cara kerja otak. Informasi yang panjang dapat diubah menjadi
diagram warna-warni, teratur, mudah diingat karena bekerja secara alami sesuai
dengan cara kerja otak.
Ada beberapa pendapat tentang pengertian Mind Maping. Menurut Buzan
(2008:4) ”mind map adalah cara termudah untuk menempatkan informasi ke
dalam otak dan mengambil informasi ke luar dari otak. Mind map adalah cara
mencatat yang kreatif, efektif dan secara harfiah akan memetakan pikiran-pikiran
kita”. Otak menyimpan informasi secara teratur sehingga informasi yang diterima
mudah diambil, namun pada umumnya dalam menyimpan informasi tidak secara
teratur. Informasi yang diterima ditumpuk (dihafalkan) begitu saja sehingga pada

saat mengambil informasi ke luar otak mengalami kesulitan atau lupa. DePorter
dan Hernacki (1992:153) Mind Maping adalah teknik pemanfaatan keseluruhan
otak dengan menggunakan citra visual dan sarana grafis lainnya. Citra visual dan
sarana grafis tersebut yaitu dalam bentuk gambar. Pengenalan visual atau gambar
lebih sempurna daripada pengenalan kata-kata atau kalimat. Michael Michalko
dalam Buzan (2006:2) mind map adalah alternatif pemikiran keseluruhan otak
terhadap pemikiran linier, mind map menggapai ke segala arah dan menangkap
berbagai pikiran dari segala sudut.
Mind Maping dapat memudahkan seseorang untuk mengganti dan

menambahkan informasi dari sudut pandang apapun. Apabila seseorang membuat
Mind Maping untuk merencanakan suatu kegiatan, kemudian ada hal baru yang

belum tercatat pada Mind Mapingnya maka seseorang tersebut dapat mudah
menambahkan informasi ke dalam Mind Mapingnya. Selain itu juga dapat dilihat
rancangan kegiatan dari segala sudut sehingga apabila terdapat hal yang kurang
dapat ditambahkan dengan mudah. Menurut Widura (2008:16) ”mind map adalah
suatu teknis grafis yang memungkinkan kita untuk mengeksplorasi seluruh
kemampuan otak kita untuk keperluan berpikir dan belajar”. Bentuk Mind Maping
terlihat seperti coret-coretan dan tidak menyerupai catatan linier yang rapi.
Namun Mind Maping lebih dapat diterima oleh otak daripada catatan linier.
Mind Maping terdiri dari gambar dan warna yang dapat mengaktifkan

kinerja otak kanan, kata-kata kunci yang pendek dan mudah diingat, hierarki
informasi karena informasi yang tersusun hierarkinya lebih mudah dipahami,
adanya hubungan antar informasi yang menyebabkan Mind Maping tersusun
sistematis, bentuknya unik karena berbeda dengan catatan-catatan lainnya. Pada
umumnya siswa memiliki catatan berbentuk linier yang berisi semua penjelasanpenjelasan guru yang telah disampaikan dan menggunakan kemampuan otak kiri
untuk menerima materi pelajaran sehingga catatan terlihat sama meskipun mata
pelajarannya berbeda. Materi pelajaran diubah dalam bentuk ingatan dan siswa
tidak dapat menyimpan ingatan tersebut dalam waktu yang lama karena otak kiri
tidak dapat menyimpan ingatan dalam waktu yang lama sedangkan otak kanan
dapat menyimpan informasi dalam jangka panjang. Oleh karena itu perlu
dilakukan perubahan cara belajar siswa agar tidak menggunakan otak kiri saja.

Keseimbangan antara otak kiri dan kanan sangat diperlukan karena dapat
menggali potensi otak secara maksimal. Siswa lebih mudah mengingat gambar
daripada kata, sedangkan informasi yang diterima hanya berupa kata. Bahasa
kata-kata merupakan urutan kedua setelah bahasa gambar. Adanya gambar
menyebabkan otak kanan siswa menjadi lebih aktif dan dapat menyeimbangkan
diri dengan beban otak kirinya. Apabila informasi tersebut dirubah dalam bentuk
Mind Maping yang merupakan gabungan antara kata dan gambar, warna maka

siswa dapat memaksimalkan kinerja otak. Jadi metode Mind Maping sesuai
dengan prinsip kerja otak.
Siswa mencatat pelajaran bertujuan untuk menyimpan informasi sehingga
pada saat lupa terhadap suatu topik, siswa mencari dan membuka catatan materi
pelajaran. Pada saat menjelang ujian siswa menghafalkan materi tersebut dalam
waktu semalam.
”…SKS alias ”Sistem Kebut Semalam” adalah hal yang sia-sia dan tidak
efektif untuk diterapkan (saat akan menghadapi ujian esok hari, kita
sering” menerapkan sistem ini). Informasi yang dipaksakan untuk ipelajari
semalam sebelum ujian pada esok hari akan menjadi sulit untuk diingat
kembali pada saat ujian berlangsung”
(Harianti:2008:4).
Materi yang dihafalkan siswa tidak akan memberikan keuntungan bagi
siswa, siswa akan mudah mengingat dan melupakan. Siswa harus mampu
memahami materi pelajaran yaitu dengan cara belajar sesuai dengan prinsip kerja
otak. Cara belajar tersebut yaitu dengan mengubah bentuk catatan yang awalnya
linier atau monoton menjadi Mind Maping yang menggunakan keseimbangan
otak kanan dan kiri.
DePorter dan Hernacki (1992:150) menyimpulkan:
Otak tidak dapat langsung mengolah informasi menjadi bentuk rapi dan
teratur melainkan harus mencari, memilih, merumuskan dan merangkainya
dalam gambar-gambar, simbol-simbol, suara, citra, bunyi dan perasaan
sehingga informasi yang keluar satu persatu dihubungkan dengan logika,
diatur oleh bahasa dan menghasilkan arti yang dipahami.
Sehingga diperlukan cara mencatat yang dapat mengintegrasikan kerja
otak kanan dan otak kiri. Salah satu cara mencatat tersebut adalah dengan Mind
Maping (mind map). Metode mencatat yang baik harus dapat membantu siswa

memahami dan mengingat perkataan dan bacaan, membantu mengorganisasikan

materi dan memberikan wawasan baru. Catatan Mind Maping membentuk suatu
pola dan gagasan yang saling berhubungan antara topik utama yang berada di
tengah dengan subtopik yaitu yang terletak pada cabang.
Berdasarkan uraian tersebut, Mind Maping merupakan cara mencatat yang
memadukan antara kemampuan verbal dan kemampuan visual yang dapat
menyeimbangkan kerja otak kanan dan otak kiri sehingga siswa mampu
menyimpan materi pelajaran dan mengingatnya dalam jangka waktu yang
panjang. Siswa dapat membuat Mind Maping sesuai dengan keinginan, kreatifitas
diri sendiri sehingga Mind Maping yang dibuat siswa bervariasi. Mind Maping
yang dibuat siswa bermacam-macam yang dipengaruhi oleh sifat dan emosi,
siswa dalam keadaan emosi yang berbeda akan menghasilkan Mind Maping yang
berbeda meskipun materi pelajaran yang diterima sama.

2. Pembuatan Mind Maping
Cara pembuatan Mind Maping diperlukan beberapa bahan diantaranya
kertas kosong tak bergaris, pena atau spidol berwarna, otak dan imajinasi.
Pembuatan Mind Maping itu mudah, namun untuk membuat Mind Maping yang
bagus, menarik, lengkap itu memerlukan beberapa kali pembuatan agar tercipta
Mind Maping yang sempurna. Buzan (dalam Sumarmi 2012:79) menjelaskan

langkah pembuatan Mind Maping:
a. Memulai dari bagian tengah kertas kosong yang sisi panjangnya
diletakkan dengan posisi mendatar. Tema pokok dituliskan di tengah
karena memberikan kebebasan otak untuk menyebar ke segala arah.
Posisi yang terletak di tengah merupakan sumber perhatian utama.
b. Menggunakan foto atau gambar untuk ide sentral. Gambar dapat
membantu pembuat Mind Maping berimajinasi dan mengembangkan
pemikiran.
c. Menggunakan warna, setiap cabang memiliki warna yang berbeda
dengan cabang yang lain. Warna dapat mengaktifkan fungsi otak
kanan, warna membuat sesuatu lebih menarik dan menyenangkan.
d. Menghubungkan cabang-cabang dari topik utama ke setiap gagasangagasan dan seterusnya. Suatu informasi satu dengan informasi lainnya
perlu dihubungkan oleh cabang. Cabang yang semakin jauh dari topik
utama semakin menipis.
e. Membuat garis hubung yang melengkung karena garis lurus dapat
membosankan otak.
f. Menggunakan satu kata kunci untuk setiap cabang atau garis agar lebih
mudah diingat dan dipahami.

g. Menggunakan gambar-gambar, untuk mendapatkan ingatan yang lebih
baik.
Pembuatan Mind Maping harus memperhatikan cara-cara tersebut, pada
awalnya Mind Maping akan terlihat dangkal, namun setelah dilakukan
penyempurnaan dan terbiasa menggunakan Mind Maping maka Mind Maping
sangat mudah digunakan dalam catatan harian, sekolah dan merencanakan suatu
kegiatan. Pada proses pembelajaran di sekolah Mind Maping dapat dibuat ketika
guru menjelaskan dan siswa langsung mencatat dengan Mind Maping. Selain itu
Mind Maping juga dapat digunakan untuk meringkas mata pelajaran yang

menggunakan bahasa verbal, kata-kata dan kalimat yang panjang seperti IPA,
IPS, Bahasa Indonesia, Sejarah, Geografi. De Porter dkk (2003:176) menjelaskan
cara pembuatan Mind Maping yang digunakan untuk mencatat materi pelajaran
pada saat guru menjelaskan di kelas adalah sebagai berikut.
a. Siapkan selembar kertas kosong tanpa garis dan letakkan dengan posisi
mendatar.
b. Tuliskan ide pokok materi yang disampaikan guru di tengah-tengah
kertas misalnya guru menjelaskan tentang konsep geografi maka buat
gambar atau tulis konsep geografi di bagian tengah kertas.
c. Ketika guru menjelaskan Konsep,Pendekatan,Prinsip Geografi buatlah
cabang pertama dengan kata kunci lapisan. Guru menjelaskan konsepkonsep geografi maka buat garis lengkung yang lebih tipis dari cabang
pertama sebagai subcabang pertama dengan kata kunci konsep
esesensial geografi.
d. Jika pada masing-masing lapisan memiliki penjelasan maka buat
subcabang kedua dengan garis lengkung yang lebih tipis dari
subcabang pertama dan sertakan gambar dan kata kunci.
e. Kemudian guru menjelaskan contoh konsep esensial Geografi maka
buat cabang baru sebagai cabang kedua dengan warna berbeda dan
sertakan kata kunci, simbol atau gambar. Kemudian dibuat subcabang
sesuai dengan penjelasan guru tentang manfaat
konsep,pendekatan,prinsip geografi.
f. Pada akhir pelajaran guru akan menyimpulkan materi yang telah
dijelaskan, siswa dapat menambahkan materi yang terlewatkan secara
mudah pada Mind Maping.
g. Setelah pelajaran berakhir siswa memiliki Mind Maping yang jelas,
teratur dan mudah diingat. Di luar pembelajaran siswa masih dapat
menggunakan Mind Maping tersebut untuk dibaca ulang, mengingat
materi dan menumbuhkan ide.
Pada umumnya format pelajaran di sekolah berupa kalimat-kalimat
panjang, guru mendektekan materi juga berupa kalimat-kalimat. Buku penunjang

yang digunakan siswa juga berbentuk linier. Mind Maping juga dapat digunakan
untuk meringkas materi pelajaran yang panjang menjadi jelas dan pendek, Mind
Maping dapat meringkas materi yang awalnya lebih dari satu lembar halaman

menjadi satu lembar kertas. Widura (2008:47) menjelaskan cara meringkas materi
pelajaran menjadi Mind Maping sebagai berikut.
a. Membaca materi seluruhnya dengan tuntas. Hal ini dilakukan untuk
memahami struktur materi, memperkirakan banyaknya materi,
mengetahui tingkat kesulitan, memperkirakan waktu yang dibutuhkan
untuk membuat Mind Maping dan mencari ide.
b. Memilih kata kunci utama sebagai pusat atau topik utama Mind
Maping.
c. Menuliskan cabang-cabang utama pada Mind Maping, cabang utama
yang pertama memiliki warna yang berbeda dengan cabang utama yang
kedua, demikian seterusnya dengan warna yang berbeda-beda.
d. Mencari kata-kata kunci untuk mengembangkan Mind Maping yang
dibuat.
e. Menambahkan gambar atau simbol untuk memudahkan dalam
mengingat karena gambar lebih mudah diingat daripada tulisan.
Setelah pembuatan Mind Maping selesai maka tahap selanjutnya adalah
mengkaji ulang yaitu dengan membaca Mind Mapingnya di rumah dan dilakukan
perbaikan agar menjadi sempurna.
3. Manfaat Mind Maping
Mind Maping dapat digunakan dalam bidang apapun seperti metode

belajar di sekolah, perencanaan hidup, rancangan pidato, mempersiapkan
wawancara kerja ataupun merencanakan suatu kegiatan. Menurut Michael
Michalko (dalam Buzan (2008:6) dengan Mind Maping dapat:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Mengaktifkan seluruh kerja otak.
Membereskan akal dari kekusutan mental.
Memungkinkan untuk fokus pada pokok bahasan.
Menunjukkan hubungan antara bagian-bagian informasi yang terpisah.
Memberikan gambaran yang jelas terhadap suatu perincian.
Membantu mengelompokkan konsep dan membandingkannya.
Mensyaratkan untuk memusatkan perhatian pada pokok bahasan yang
membantu mengalihkan informasi dari ingatan jangka pendek ke
ingatan jangka panjang.

Jadi Mind Maping dapat membantu siswa untuk lebih memahami materi
pelajaran dan mengingatnya dalam jangka waktu yang lama, memberikan
pemahaman yang jelas melalui gambar sehingga tidak terjadi perbedaan

penafsiran tentang materi pelajaran. De Porter dan Hernacki (1999:172)
menyatakan beberapa manfaat Mind Maping diantaranya (1) fleksibel, apabila
pembicara teringat untuk menjelaskan suatu hal tentang pemikiran maka dapat
dengan mudah menambahkan pemikiran tersebut di tempat yang sesuai dalam
Mind Maping; (2) dapat memusatkan perhatian, pembuatannya tidak perlu

menangkap setiap kata yang diucapkan tetapi hanya gagasannya saja; (3)
meningkatkan pemahaman; (3) menyenangkan. Mind Maping yang dibuat siswa
dapat dengan mudah ditambahkan materi atau memperbaiki materi pelajaran yang
kurang tepat. Setelah siswa membuat Mind Maping dan ketika menemukan materi
yang kurang maka dapat dengan mudah ditambahkan cabang, kata kunci dan
gambar pada bagian tersebut sehingga tidak terpisah dan dapat dihubungkan
dengan materi yang sesuai.

C. Kaitan Model Mind Maping dengan Hasil Belajar Siswa
Model Mind Maping memberikan banyak manfaat seperti mampu
mengumpulkan, menyimpan dan mengingat kembali informasi/materi
pelajaran. Menurut Buzan (dalam Sumarmi 2012:77) Mind Map menghemat
waktu, memungkinkan untuk menyusun dan menjelaskan pikiran,
menghasilkan ide baru, melacak segala sesuatu, memperbaiki ingatan dan
konsentrasi, merangsang otak dan memungkinkan untuk melihat gambaran
keseluruhan terhadap suatu informasi. Berdasarkan manfaat tersebut Mind
Maping dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Pada bidang pendidikan Mind Maping dapat membantu siswa
untuk berpikir kreatif, memunculkan ide-ide baru, menyerap fakta serta
informasi baru dengan mudah dan mampu menyelesaikan masalah. Siswa
dapat memperkuat pemahamannya, bukan ingatan saja. Mind Maping
membantu siswa menyusun kembali materi pelajaran secara terstruktur dan
sesuai pancaran pikiran siswa. Catatan pelajaran akan terlihat menyenangkan
untuk dibaca, dipahami dan diingat, sehingga dalam penerapannya
diharapkan model Mind Maping dapat menbantu mengatasi kesulitan belajar
siswa.

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) yakni penelitian
yang bertujuan untuk memperbaiki suatu keadaan pembelajaran di kelas dengan
melakukan tindakan-tindakan tertentu. Tindakan yang dilakukan adalah penerapan
pembelajaran Mind Maping untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas X SMA
Negeri 7 Malang. Penelitian tindakan kelas (PTK) merupakan suatu bentuk kajian
yang bersifat refleksif oleh pelaku tindakan yang dilakukan untuk meningkatkan
kemampuan rasional dari tindakan yang dilakukan itu, serta untuk memperbaiki
kondisi di mana praktek pembelajaran itu dilakukan.
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Arikunto (2008:2) “penelitian
tindakan kelas bukan sekedar mengajar seperti biasanya, tetapi harus mengandung
satu pengertian, bahwa tindakan yang dilakukan didasarkan atas upaya
meningkatkan hasil, yaitu lebih baik dari sebelumnya”. Fokus penelitiannya
terletak pada tindakan-tindakan yang dirancang peneliti, kemudian diuji cobakan
lalu dievaluasi apakah alternatif tersebut dapat digunakan untuk memecahkan
persoalan pembelajaran yang sedang dihadapi. ELIMINATED
Pada penelitian tindakan kelas (PTK) digambarkan sebagai suatu proses
yang dinamis meliputi aspek perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi yang
merupakan langkah berurutan dalam satu siklus yang akan berhubungan dengan
siklus berikutnya. Alur tindakan yang digunakan dalam penelitian ini seperti pada
skema di bawah berikut.

Refleksi Awal

Perencanaan Tindakan I

Pelaksanaan Tindakan I
Pengamatan I

SIKLUS 1
Refleksi I

Pelaksanaan Tindakan II

Perencanaan Tindakan II

Pengamatan II

SIKLUS 2
Refleksi II
dan seterusnya

Diagram 3.1 Alur Pelaksanaan PTK
(Sumber: Arikunto, 2006:93)

B. Kehadiran Peneliti
Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK) sehingga
kehadiran dan keterlibatan peneliti dalam kegiatan pembelajaran sangat
diperlukan sebagai salah satu instrumen utama. Dalam PTK kerja sama antara
peneliti dengan guru bidang studi di lapangan sangat dibutuhkan. Maksudnya
adalah peneliti sebagai perencanaan, penganalisa data, dan sekaligus membuat
laporan hasil penelitian. Dalam kegiatan ini peneliti dibantu oleh guru, siswa, dan
observer lain. Peneliti bertindak sebagai guru sedangkan guru bidang studi dan 2
orang teman yang juga bertindak sebagai observer. Kehadiran siswa sebagai
subjek penelitian.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SMAN 7 Malang yang
berlokasi di Jl. Cengger Ayam 1 / 14, Malang. Penelitian akan dilaksanakan pada
semester gasal tahun ajaran 2013/2014.

D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X IPS 4 SMAN 7 Malang
sebanyak 26 siswa yang terdiri dari 14 orang putri 12 orang putra yang mengikuti
mata pelajaran Geografi pada materi Bumi dan Jagat Raya.

E. Data, Sumber Data, dan Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan sumber data primer yang langsung diperoleh
dari subjek penelitian. Dalam Tabel 3.1 dapat dilihat data, sumber data, instrumen
dan proses pengambilan data.
Tabel 3.1 Data, Sumber Data dan Instrumen Penelitian
No.
1.

Data
Hasil belajar siswa
a. Ranah Afektif

b. Ranah Kognitif (Nilai
tes siklus I, II)

Sumber
Data

Instrumen

 Siswa

 Angket Hasil
Belajar Ranah
Afektif

 Siswa

 Tes tulis siklus I

 Siswa

 Tes tulis siklus II

Proses
 Memberik
an angket
hasil
belajar
ranah
afektif,
yang
terdiri dari
instrumen
sikap
 Memberikan tes
akhir siklus I
 Memberikan tes
akhir siklus II

F. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian
ini yaitu awal:
1. Observasi
Observasi yang dilakukan berupa observasi langsung yang melihat,
mengamati sendiri hal-hal atau peristiwa di lapangan serta mengidentifikasi
permasalahan pada saat kegiatan pembelajaran.
2. Tes

Tes adalah bahan tertulis yang digunakan sebagai alat ukur untuk
mengetahui kemampuan siswa dalam memahami pelajaran yang diberikan. Tes
digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa.
3. Angket
Angket merupakan sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari siswa mengenai sikap siswa dalam mengikuti
pembelajaran Geografi. Pengukuran sikap tersebut merupakan pengukuran hasil
belajar siswa ranah afektif.
4. Catatan Lapangan
Catatan lapangan merupakan catatan tertulis tentang apa yang didengar,
dilihat dan dialami dalam rangka pengumpulan data di lapangan.

G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kuantilatif, karena terdiri dari teknik kuantitatif dan kualitatif. Teknik kuantitatif digunakan untuk menganalisis hasil belajar siswa. Sedangkan teknik kualitatif digunakan
pada saat melakukan refleksi pada setiap siklus tindakan. Dalam refleksi tersebut
akan dibandingkan hasil belajar siswa antara sebelum dengan setelah dila-kukan
tindakan. Sehingga diketahui apakah sudah terjadi peningkatan kualitas
pembelajaran ataukah belum.
Hasil belajar siswa ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh siswa pada
ranah kognitif dan afektif. Hasil kognitif siswa ditentukan dari skor perolehan
nilai hasil tes pada masing-masing siklus. Sedangkan hasil afektif siswa diperoleh
dari angket hasil belajar ranah afektif.
a.

Ranah kognitif
Hasil belajar ranah kognitif diukur dengan menggunakan instrumen soal tes.

Jawaban yang diberikan oleh siswa akan diskor berdasarkan rubrik hasil belajar
ranah kognitif.
Nilai ranah kognitif siswa dapat dihitung menggunakan rumus:

n

B
x n maks
SMi

Keterangan:

n
∑B
SMi

= nilai akhir siswa
= jumlah skor yang diperoleh siswa
= skor maksimal ideal (skor tertinggi apabila semua soal dapat
dikerjakan dengan benar)
n maks = nilai maksimum yang digunakan, misalnya 100.
Arikunto (2003:236) menyimpulkan bahwa ketuntasan klasikal ditentukan
dengan rumus:
Daya serap klasikal 

 siswa yang memperoleh nilai  75
x100%
 total siswa

Apabila hasil belajar siswa yang dimiliki siswa lebih besar atau sama dengan
75%, maka siswa dinyatakan telah mencapai ketuntasan belajar. Dan apabila
setidaknya 85% dari keseluruhan jumlah siswa telah mencapai nilai 75, maka
ketuntasan klasikal sudah terpenuhi.
b. Ranah Afektif
Pengukuran hasil belajar ranah afektif dengan menggunakan skala Likert
menggunakan 4 pilihan jawaban untuk mengukur sikap siswa, yaitu sangat setuju,
setuju, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Angket hasil belajar siswa ranah
afektif yang digunakan terdiri dari 10 pernyataan positif. Skor untuk pernyataan
positif adalah sebagai berikut.
Sangat Setuju – Setuju – Tidak Setuju - Sangat Tidak Setuju
(4)

(3)

(2)

(1)

Skor tertinggi instrumen tersebut adalah 10 butir x 4= 40, dan skor
terendah adalah 10 butir x 1 = 10. Penentuan kategori hasil pengukuran sikap atau
minat dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut ini.
Tabel 3.2 Kategorisasi Sikap Siswa Untuk 10 Butir Pertanyaan, Dengan Rentang Skor 10-40
No.
Skor Siswa
Kategori Sikap
1.
> 35
A/ Sangat Baik
2.
28-35
B/ Baik
3.
20-27
C/Kurang
4.