Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di Kecamatan Gunungsitoli

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.

Konsep Stroke

1.1.

Definisi Stroke
Stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya

fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat dalam
hitungan detik atau menit. Gejala-gejala ini dapat berlangsung lebih dari 24 jam
dan dapat menyebabkan kematian (Ginsberg, 2008).
WHO mendefenisikan stroke sebagai sindrom klinis dengan gejala
gangguan fungsi otak secara fokal dan atau global yang berlangsung 24 jam atau
lebih yang dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan yang menetap lebih dari
24 jam tanpa penyebab lain kecuali gangguan pembuluh darah otak (Tarwoto,
2007).


1.2.

Klasifikasi Stroke
Stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan patologis serta

perjalanan penyakitnya. Berdasarkan keadaan patologis, stroke dapat dibagi dua,
yaitu stroke iskemia dan stroke hemoragik.
Stroke iskemia terjadi akibat suplai darah ke jaringan otak berkurang yang
disebabkan karena adanya obstruksi total atau sebagian pembuluh darah otak.
Penyebab stroke iskemia adalah karena trombosis, emboli dan hypoperfusi global.
Trombosis merupakan penyebab stroke yang paling sering, biasanya berkaitan

Universitas Sumatera Utara

dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat ateroslerosis. Stroke
karena emboli biasanya berasal dari suatu trombosis dalam jantung, dapat juga
berasal dari plak ateroslerosis sinus karotikus atau arteri karotis interna. Pada
stroke akibat hypoperfusi global biasanya disebabkan karena cardiac arrest dan
embolis pulmonal (Tarwoto, 2007).
Stroke hemoragik adalah stroke yang terjadi karena adanya perdarahan

intrakranial non traumatik. Perdarahan intrakranial diklasifikasikan menjadi
perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid (Harsono, 2007).
Perdarahan intraserebral merupakan perdarahan primer yang berasal dari
pembuluh darah dalam parenkim otak dan bukan disebabkan oleh trauma.
Perdarahan intraserebral sering diakibatkan oleh cedera vaskular yang dipicu oleh
hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke
dalam jaringan otak. Perdarahan di bagian dalam jaringan otak biasanya
menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif
dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam (Price &Wilson, 2005).
Perdarahan subarakhnoid memiliki dua kausa utama, yaitu ruptur suatu
aneurisma vaskular dan trauma kepala. Perdarahan subarakhnoid merupakan
keadaan akut karena darah di rongga subarakhnoid dapat merangsang selaput otak
dan menimbulkan meningitis kimiawi (chemical meningitis). Darah yang sampai
di ventrikel dapat menggumpal dan mengakibatkan hidrosefalus akut. Pada
pemeriksaaan fisik dijumpai gejala terangsangnya selapu otak serta gejala
peningkatan tekanan intrakranial (Lumbantobing, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan berdasarkan mekanisme perjalanan penyakitnya, stroke terbagi

atas empat, yaitu Transient Ischemic Attack (TIA), Reversible Ischemic
Neurologycal Defisit (RIND), stroke progresif (Stroke in Evolution), dan stroke
lengkap (Complete Stroke).
Transient Ischemic Attack (TIA) merupakan gangguan neurologi fokal
yang timbul secara tiba-tiba dan menghilang dalam beberapa menit sampai
beberapa jam. Gejala yang muncul akan hilang secara spontan dalam waktu
kurang dari 24 jam (Tarwoto, 2007). Gangguan neurologi ini menimbulkan
beragam gejala, bergantung pada lokasi jaringan otak yang terkena. TIA
merupakan hal yang penting diperhatikan karena dapat menjadi peringatan dini
akan kemungkinan infark serebrum di masa mendatang (Price & Wilson, 2003).
Pada Reversible Ischemic Neurologycal Defisit (RIND), gejala neurologik
yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tetapi tidak lebih
dari seminggu (Harsono, 2007).
Stroke Progresif (Stroke in Evolution) merupakan perkembangan stroke
yang terjadi secara perlahan-lahan sampai akut, munculnya gejala semakin
memburuk. Proses progresif ini terjadi beberapa jam sampai beberapa hari
(Tarwoto, 2007).
Stroke lengkap (Complete Stroke) merupakan gangguan neurologi yang sudah
menetap


atau

permanen,

maksimal

sejak

awal

serangan

dan

sedikit

memperlihatkan perbaikan (Tarwoto, 2007).

Universitas Sumatera Utara


1.3.

Penyebab Stroke
Stroke yang terjadi pada pasien dapat disebabkan oleh beberapa kejadian,

yaitu trombosis, emboli serebral, dan perdarahan serebral.
Trombosis adalah bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher,
yang kemudian menyumbat aliran darah ke otak. Oklusi vaskular hampir selalu
disebabkan oleh trombus, yang terdiri dari trombosit, fibrin, sel eritrosit dan
leukosit. Jejas pada sel endotelium dapat mempresipitasi pembentukan trombus di
pembuluh darah (Lumbantobing, 2001).
Emboli otak merupakan 5-15% dari penyebab stroke. Emboli dapat terdiri
dari debris kolesterol, gumpalan trombosit dan fibrin (Lumbantobing, 2001).
Perdarahan serebral dapat mengganggu fungsi otak melalui mekanisme
yang berbeda-beda, meliputi adanya kerusakan atau tekanan pada jaringan otak,
serta tekanan pada pembuluh darah otak (Simon, 2009).

1.4.

Faktor Resiko Stroke

Stroke merupakan salah satu penyakit yang disebabkan oleh banyak faktor

resiko. Tarwoto (2007) menjelaskan faktor resiko stroke yang meliputi usia, jenis
kelamin, ras dan keturunan, hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus,
polisitemia, merokok, dislipidemia, serta obesitas.
Usia merupakan faktor resiko terjadinya stroke. Dengan semakin
bertambahnya usia, seseorang semakin beresiko menderita stroke.. Hal ini
berkaitan dengan elastisitas pembuluh darah.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai kecenderungan lebih tinggi
untuk menderita stroke dibanding perempuan. Hal ini dapat disebabkan gaya
hidup seperti merokok dan mengkonsumsi alkohol yang lebih sering dijumpai
pada laki-laki dibanding perempuan (Weng dkk, 2010).
Ras dan keturunan juga mempengaruhi resiko seseorang menderita stroke.
Riwayat penyakit stroke dalam keluarga atau penyakit yang berkaitan dengan
stroke menjadi faktor resiko seseorang dapat terserang stroke.
Hipertensi merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam kejadian stroke.
Hipertensi dapat menyebabkan terjadinya ateroslerosis pembuluh darah serebral

sehingga nantinya akan pecah dan menimbulkan perdarahan pada jaringan otak.
Pada pasien dengan penyakit jantung, fibrilasi atrium dapat menyebabkan
penurunan cardiac output, sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi
serebral.
Pada pasien dengan penyakit diabetes mellitus terjadi gangguan vaskuler
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya hambatan aliran darah ke otak.
Meningkatnya kadar gula darah secara berkepanjangan berkaitan erat dengan
disfungsi

sel

endotel yang

dapat

memicu

terbentuknya

aterosklerosis.


Kecenderungan membentuk bekuan abnormal semakin dipercepat oleh resistensi
insulin, sehingga kecenderungan mengalami koagulasi intravaskular juga semakin
meningkat (Price & Wilson, 2005).
Kadar Hb yang tinggi (lebih dari 16 mg/dl) juga dapat menjadi salah satu
faktor resiko stroke. Hal ini terjadi karena kadar Hb yang tinggi dapat

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan darah menjadi lebih kental sehingga aliran darah ke otak menjadi
lebih lambat.
Orang yang memiliki kebiasaan merokok dua kali lebih beresiko untuk
menderita stroke dibanding orang yang tidak merokok (Stroke Association, 2013).
Rokok menimbulkan plak pada pembuluh darah akibat nikotin dan karbon
monosida, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya aterosklerosis.
Dislipidemia dapat menjadi salah satu pemicu stroke. Semakin tinggi kadar
kolesterol dalam darah, maka semakin besar kemungkinan kolesterol tersebut
tertimbun pada dinding pembuluh darah. Kadar kolesterol yang tinggi dalam
tubuh dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis dan lemak sehingga dapat
menghambat aliran darah. Seseorang dengan berat badan berlebih juga beresiko

tinggi menderita stroke. Pada pasien obesitas, kadar kolesterol darah tinggi yang
dapat memicu terjadinya hipertensi.

1.5.

Patofisiologi Stroke
Stroke merupakan jejas otak yang disebabkan oleh dua jenis gangguan

vaskular, yaitu iskemia dan hemoragik (Lumbantobing, 2001). Terjadinya stroke
sangat erat hubungannya dengan perubahan aliran darah otak, baik karena adanya
sumbatan/oklusi pembuluh darah ataupun karena adanya perdarahan pada otak,
menimbulkan tidak adekuatnya suplai oksigen dan glukosa. Berkurangnya
oksigen atau meningkatnya karbondioksida dapat merangsang pembuluh darah
untuk berdilatasi sebagai kompensasi tubuh untuk meningkatkan aliran darah

Universitas Sumatera Utara

lebih banyak. Sebaliknya keadaan vasodilatasi memberi efek pada peningkatan
tekanan intrakranial (Tarwoto, 2007).
The National Stroke Assoiation (2001 dalam Price & Wilson, 2005)

meringkas mekanisme cedera sel akibat stroke sebagai berikut. Tanpa obat-obat
neuroprotektif, sel-sel saraf yang mengalami iskemia 80% atau lebih akan
mengalami kerusakan irreversibe dalam beberapa menit. Pusat iskemik dikelilingi
oleh daerah jaringan lain yang disebut penumbra iskemik atau “zona transisi”
dengan CBF antara 20% dan 50% normal (10 sampai 25 ml/100 g jaringan
otak/menit). Sel-sel neuron yang berada di daerah ini berada dalam bahaya tetapi
belum rusak secara ireversibel.
Secara cepat di dalam pusat infark, dan setelah beberapa saat di daerah
penumbra iskemik, cedera dan kematian sel otak berkembang karena tanpa
pasokan darah yang memadai sel-sel otak kehilangan kemampuan untuk
menghasilkan energi, terutama ATP. Apabila kekurangan energi terjadi, maka
akan mengakibatkan pompa natrium-kalium sel berhenti berfungsi sehingga
neuron membengkak. Salah satu cara sel otak berespon terhadap kekurangan
energi ini adalah dengan meningkatkan konsentrasi kalium intrasel. Sel-sel otak
kemudian melepaskan neurotransmitter eksitatorik glutamat dalam jumlah
berlebihan. Glutamat yang dibebaskan ini kemudian merangsang aktivitas
kimiawi dan listrik di sel otak lain dengan melekat ke suatu molekul di neuron
lain, reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA). Pengikatan reseptor ini memicu
pengaktifan enzim nitrat oksida sintase (NOS), yang menyebabkan terbentuknya
molekul gas, nitrat oksida (NO). NO terdapat secara alami di dalam tubuh dan


Universitas Sumatera Utara

meningkatkan banyak fungsi fisiologis yang bergantung pada vasodilatasi, namun
dalam jumlah berlebihan, NO dapat menyebabkan kerusakan dan kematian
neuron. Sel-sel otak akhirnya mati akibat kerja berbagai protease yang diaktifkan
oleh kalsium, lipase, dan radikal bebas yang terbentuk akibat jenjang iskemik.
Akhirnya, jaringan otak yang mengalami infark membengkak dan dapat
menimbulkan tekanan dan distorsi serta merusak batang otak.
Stroke hemoragik terjadi sesuai dengan perdarahan otak dan lokasi
perdarahannya. Perdarahan intraserebral di dalam jaringan otak sering terjadi
akibat cedera vaskuler yang dipicu hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak
arteri kecil yang menembus jauh ke dalam otak (Price & Wilson, 2005).
Perdarahan subaraknoid menyebabkan disfungsi serebral akibat peningkatan
tekanan intrakranial. Penyebabnya yaitu ruptur suatu aneurisma vaskular dan
trauma kepala (Price & Wilson, 2005). Daerah yang tertekan tersebut selanjutnya
akan mengalami edema sekunder akibat iskemia dan menambah tekanan
intrakranial semakin berat. Keadaan hemoragik dan iskemik dapat terjadi
bersamaan.

Hemoragik

dapat

meningkatkan

tekanan

intrakranial

dan

menyebabkan iskemia, dan pada daerah yang mengalami iskemia dapat terjadi
perdarahan (Lumbantobing, 2001).

1.6.

Tanda dan Gejala Sroke
Gejala neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak

bergantung pada berat ringannya gangguan pembuluh darah dan lokasinya
(Harsono, 2007). Tanda utama stroke atau cerebrovaskular accident (CVA) adalah

Universitas Sumatera Utara

munculnya secara mendadak satu atau lebih defisit neurologik fokal. Gejala
umum berupa baal atau lemas mendadak di wajah, lengan, atau tungkai terutama
di salah satu sisi tubuh; gangguan penglihatan seperti penglihatan ganda atau
kesulitan melihat pada satu atau kedua mata; bingung mendadak; tersandung saat
berjalan, pusing, hilangnya keseimbangan; dan adanya nyeri kepala mendadak
tanpa penyebab yang jelas (Price & Wilson, 2005).
Price dan Wilson (2005) menjelaskan sindrom neurovaskular, yang
berlaku pada iskemia dan infark akibat trombosis atau embolus sebagai berikut.
Pada arteri karotis interna, lokasi tersering terjadinya lesi adalah bifurkasio
arteria karotis komunis ke dalam arteria karotis interna dan eksterna. Hal ini dapat
mengakibatkan timbulnya berbagai sindrom dan polanya bergantung pada jumlah
sirkulasi kolateral di antaranya dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria
karotis yang terkena akibat insufisiensi arteria retinalis serta timbulnya gejala
sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena insufisiensi arteri serebri
media. Lesi juga dapat terjadi di daerah antara arteria serebria anterior dan media
atau arteria serebri media dengan gejala awal timbul di ekstremitas atas dan
mungkin mengenai wajah. Apabila lesi terjadi di hemisfer dominan, maka terjadi
afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara-motorik Broca.
Jika lesi yangb terjadi pada arteri serebri media mengakibatkan pasien
mengalami hemiparesis atau monoparesis kontralateral, juga dapat terjadi
hemianopsia (kebutaan) kontralateral, afasia global, serta disfasia.
Lesi pada arteri serebri anterior dapat mengakibatkan terjadinya
kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai dan lengan yang

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan gerakan volunter tungkai yang bersangkutan terganggu, defisit
sensorik kontralateral, demensia, gerakan menggenggam dan refleks patologis
(disfungsi lobus frontalis).
Lesi pada sistem vertebrobasilar dapat mengakibatkan terjadinya
kelumpuhan di salah satu atau keempat ekstermitas, terjadi peningkatan refleks
tendon, ataksia, tanda Babinski bilateral, gejala-gejala serebelum seperti tremor
intention dan vertigo, disfagia, disatria, sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan
daya ingat, disorientasi, gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis,
paralisis satu gerakan mata, hemianopsia homonim), adanya tinitus, serta rasa baal
di wajah, mulut dan lidah.
Lesi pada arteri serebri posterior, dapat mengakibatkan pasien mengalami
koma, hemiparesi kontralateral, afasia visual atau buta kata (aleksia), serta
kelumpuhan saraf kranial ketiga.

1.7.

Penatalaksanaan Stoke
Harsono (2007) membagi penatalaksanaan stroke ke dalam dua tahap,

yaitu tahap akut dan paska akut. Fase akut terjadi pada hari ke 0 sampai hari ke 14
sesudah onset penyakit. Pada tahap akut, sasaran pengobatan ditujukan untuk
menyelamatkan neuron yang cedera agar tidak sampai mati, dan agar proses
patologik lainnya yang menyertai tidak mengganggu atau mengancam fungsi otak.
Tidakan dan obat yang diberikan harus menjamin perfusi darah ke otak tetap
cukup. Jalan napas pasien harus bersih dan longgar. Jantung juga harus berfungsi
dengan baik, bila perlu dipantau dengan EKG. Tekanan darah dipertahankan pada

Universitas Sumatera Utara

tingkat optimal, serta dipantau agar jangan terjadi penurunan perfusi otak. Kadar
gula darah yang tinggi pada fase akut tidak diturunkan dengan drastis, terutama
pada penderita diabetes melitus. Bila klien dalam keadaan gawat atau koma,
keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam basa darah harus dipantau.
Obat-obatan yang digunakan untuk memulihkan aliran darah dan
metabolisme otak antara lain anti edema otak berupa gliserol 10 % per infus, 1
gr/kg BB/hari dalam 6 jam, kortikosteroid dan deksametason dengan bolus 10-20
mg i.v., diikuti 4-5 jam/6 jam selama beberapa hari, lalu diturunkan pelan-pelan
dan dihentikan setelah fase akut. Anti agresasi trombosit asam asetil salisilat
(ASA), seperti aspirin, aspilet dengan dosis rendah : 80-300 mg/hari serta
antikoagulan misalnya heparin. Setelah fase akut berlalu, sasaran pengobatan
dititikberatkan pada tindakan rehabilitasi penderita dan pencegahan terulangnya
stroke.
Stroke merupakan penyebab utama kecacatan pada usia di atas 45 tahun,
maka yang paling penting adalah upaya membatasi semaksimal mungkin
kecacatan penderita, baik fisik dan mental. Lingkungan sangat penting untuk
mengontrol variabel-variabel penting yang dapat mempengaruhi keadaan pasien,
seperti hidrasi, temperatur,dan glukosa darah, dan tata laksana lainnya yang
sesuai. Fisioterapi yang berkesinambungan, terapi komplementer dan terapi
wicara, serta keterlibatan keluarga dan perawat dapat membantu pasien agar
semaksimal mungkin dapat mandiri dalam aktivitas dan fungsinya sehari-hari
(Ginsberg, 2008).

Universitas Sumatera Utara

Terapi preventif bertujuan untuk mencegah terulangnya atau timbulnya
serangan baru stroke dengan cara mengobati dan menghindari faktor-faktor resiko
stroke, seperti hipertensi, diabetes melitus, rokok, obesitas, dan stres.

2.

Konsep Pijat

2.1.

Pengertian Pijat
Pijat telah digunakan sebagai salah satu intervensi terapeutik untuk

mengatasi berbagai keluhan penyakit selama ribuan tahun. Di Asia pijat telah
dikenal sejak 1000 tahun SM, terutama dalam penyembuhan Ayurveda. Pijat
merupakan manipulasi terhadap jaringan lunak, umumnya dengan menggunakan
tangan, untuk menstimulasi dan merelaksasi, serta untuk mengurangi stres dan
kecemasan (Keir, 2010).

2.2.

Jenis-Jenis Pijat
Ada berbagai macam terapi pijat yang dikenal di seluruh dunia, yaitu pijat

shiatsu, biodinamic massage, refleksologi, sport massage atau pijat Swedia, pijat
bayi dan pijat tradisional Indonesia.
Shiatsu merupakan bentuk kuno dari terapi pijat dengan melakukan
penekanan pada titik-titik tertentu di tubuh yang telah dipraktekkan selama
berabad-abad di Jepang. Pijat shiatsu didasarkan pada prinsip menekan titik-titik
akupuntur di tubuh dengan tujuan meningkatkan kelancaran aliran darah dan
energi di dalam tubuh (Sundari, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Biodinamic massage merupakan merupakan suatu jenis terapi kesehatan
yang

mengkombinasikan terapi pijat

dengan elemen

olah tubuh dan

perkembangan psikologi (Sundari, 2011).
Sport massage atau pijat Swedia merupakan jenis terapi pijat yang
ditujukan untuk merilekskan otot dan melenturkan sendi yang kaku, yang
umumnya dilakukan pada olahragawan atau atlet (Sundari, 2011).
Pijat bayi adalah pijat yang berupa usapan-usapan lembut pada tubuh bayi
yang umumnya bertujuan untuk memberi rasa aman, nyaman dan menyehatkan
bagi bayi. Beberapa penelitian menemukan bahwa pijat bayi dapat membantu
meningkatkan berat badan bayi, meningkatkan pertumbuhan dan daya tahan tubuh
bayi, serta meningkatkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan bayi (Sundari,
2011).
Pijat tradisional Indonesia adalah pijat khas Indonesia yang mengandalkan
teknik pemijatan dengan penekanan telapak tangan dan ibu jari ke tubuh.
Beberapa

terapis

pijat

tradisional

menggunakan

minyak

mempermudah pemijatan pada tubuh pasien. Masyarakat

kelapa

untuk

di Indonesia

menggunakan terapi pijat tradisional sebagai terapi untuk perawatan kesehatan
(Ilham, 2011; Sundari, 2011; Agoes & Jacob, 1996).

\

Universitas Sumatera Utara

2.3.

Teknik Pemijatan
Goldstein (2010) membagi teknik pemijatan dalam 5 gerakan utama, yaitu

efflurage, friction, petrissage, tapotement, dan vibrasi.
Efflurage adalah gerakan pemijatan dengan mengusap yang dilakukan
secara berirama dan berturut-turut ke arah atas. Gerakan mengusap, yaitu gerakan
ringan dan terus-menerus yang dilakukan dengan ujung jari bagian bawah pada
bagian wajah yang sempit seperti hidung dan dagu, dan dengan telapak tangan
pada bagian wajah yang lebar seperti dahi dan pipi. Efflurage memiliki efek
sedatif yaitu memberikan efek menenangkan, sehingga selalu dipakai di awal dan
di akhir pemijatan (Goldstein, 2010).
Friction memberi tekanan pada kulit untuk memperlancar sirkulasi darah
dan memperkuat otot dan kulit. Friksi dapat dilakukan dengan ujung0ujung jari
atau pangkal telapak tangan, sesuai dengan kebutuhan. Friksi dilakukan dengan
menekankan ujung-ujung jari pada bagian tubuh yang dipijat, lalu diputar ringan
berurutan sambil berpindah tempat (Goldstein, 2010; Keir, 2005)
Petrissage bertujuan untuk memijat otot dengan menggunakan satu tangan
atau kedua tangan. Pelaksanaan petrissage untuk daerah-daerah yang lebar pada
tubuh dapat dilakukan dengan kedua tangan secara bersamaan atau kedua tangan
bergantian secara berurutan. Untuk daerah yang sempit, pemijatan dilakukan
dengan menggunakan ujung-ujung jari dengan arah gerakannya naik turun bebas
(Goldstein, 2010).
Tapotement merupakan gerakan memijat dengan menepuk yang dilakukan
berturut-turut dan cepat. Tapotement umumnya dilakukan dengan menggunakan

Universitas Sumatera Utara

kedua tangan secara bergatian. Sikap tangan dapat berupa setengah mengepal,
jari-jari terbuka atau rapat, serta dapat juga dilakukan dengan mencekungkan
telapak tangan dengan jari-jari merapat. Gerakan ini bertujuan untuk mengurangi
tonus otot dan memperlancar peredaran darah (Goldstein, 2010).
Vibrasi merupakan gerakan menggetarkan otot secara berirama dengan
tekanan ringan. Pada gerakan ini digunakan ujung jari dan telapak tangan untuk
menggetarkan massa otot secara bergantian (Goldstein, 2010)

2.4.

Manfaat Pijat
Manfaat pijat bersifat universal, positif dan bermanfaat bagi kesehatan

tubuh secara keseluruhan. Pijat telah digunakan diseluruh dunia sebagai tindakan
pencegahan tanpa menggunakan obat atau operasi (Trionggo & Ghofar, 2013).
Pijat memiliki banyak fungsi bagi kesehatan antara lain mengurangi
ketegangan otot, meredakan kelelahan, meningkatkan energi, meningkatkan
kualias tidur, menenangkan tubuh dan pikiran serta meredakan stres (Trionggo &
Ghofar, 2013).
Retno dan Prawesti (2012) menemukan adanya pengaruh pijat slow stroke
back terhadap perubahan tekanan darah pada responden. Sentuhan atau tekanan
pada kulit membuat otot, tendon, dan ligamen menjadi lebih rileks sehingga
meningkatkan aktivitas saraf parasimpatis untuk mengeluarkan neurotransmitter
asetilkolin untuk menghambat aktivitas saraf simpatis di otot jantung yang
bermanifestasi dengan penurunan tekanan darah.

Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitiannya, Givi (2013) menemukan bahwa pijat atau massage
dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan pada pasien hipertensi. Pijat
menjadi suatu intervensi yang aman, efektif, dan murah untuk mengontrol tekanan
darah dan dapat dilakukan di tempat pusat perawatan dan di rumah.
Weerapong (2005) menemukan bahwa pijat atau massage dapat
mengurangi respon nyeri pasien dengan mekanisme gerbang kontrol pada spinal
cord. Pijat

dapat meningkatkan substansi biokimia seperti serotonin, yang

merupakan neurotransmitter yang dapat mengurangi respon nyeri. Pijat juga
memiliki efek yang positif terhadap tingkat ansietas atau kecemasan pasien.
Penelitian Sajedi (2011) terhadap anak-anak penderita diabetes melitus,
didapatkan bahwa massage atau pijat efektif dalam menurunkan kadar gula darah
pasien. Pijat juga dapat menurunkan tingkat kecemasan dan hormon stres pasien,
sehingga dapat meningkatkan relaksasi.
Anuar (2012) dalam penelitiannya melaporkan adanya efek positif terapi
pijat pada pasien paska stroke. Pasien mengaku mengalami kemajuan pemulihan
secara fisik dan psikis setelah mengikuti terapi pijat dalam perawatannya.

3.

Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat Sebagai Terapi Komplementer
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa masyarakat memiliki berbagai

pandangan

tentang

terapi

komplementer.

Masyarakat

memilih

terapi

komplementer sebagai pelengkap terapi medis karena menganggap bahwa terapi
tersebut lebih nyaman, holistik dan lebih personal sesuai dengan kebutuhan
pasien. Masyarakat juga menganggap terapi komplementer tersebut tidak

Universitas Sumatera Utara

memiliki efek samping karena lebih alami, serta dapat melengkapi terapi medis
dalam perawatan pasien (Bishop, 2008; Tindle, 2005).
Ada beberapa faktor alasan pasien memilih terapi pijat sebagai terapi
komplementer dalam perawatannya, selain menggunakan terapi medis. Faktorfaktor tersebut adalah faktor sosial masyarakat, psikologi, ekonomi, faktor
manfaat dan keberhasilan terapi, dan persepsi tentang penyakit yang diderita
(Trionggo & Ghofar, 2013; Bishop, 2010; Potter & Perry, 2009; Walcott, 2004).

3.1.

Faktor Sosial Budaya
Faktor sosial budaya mempengaruhi pemikiran dan keyakinan pasien

dalam memilih terapi kesehatan yang akan dijalaninya. Kelompok sosial dapat
membantu pasien dalam mengenali ancaman sakit atau mendukung penolakan
terhadap sakit. Klien sering bereaksi secara positif terhadap dukungan sosial saat
mempraktekkan tingkah laku kesehatan yang positif. Faktor sosial juga sangat
mempengaruhi keputusan pasien tentang layanan kesehatan yang dipilihnya
(Potter & Perry, 2009).
Terapi pijat juga sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat. Smith
dkk (2009) menemukan bahwa pasien sangat dipengaruh oleh nilai-nilai yang
diyakininya untuk memilih terapi pijat dalam proses perawatannya. Nilai-nilai
tersebut memberi dampak yang signifikan terhadap efektifitas terapi pijat yang
dijalani oleh pasien. Pasien merasa lebih nyaman dan percaya dengan terapi pijat
bila sesuai dengan nilai-nilai budaya yang diyakininya.

Universitas Sumatera Utara

3.2.

Faktor Psikologis
Menurut Bishop (2010), pasien memilih terapi komplementer karena

merasa lebih nyaman, holistik dan lebih personal sesuai dengan kebutuhannya.
Pasien merasa yakin bahwa kondisi kesehatannya akan lebih baik dengan
perawatan yang dilakukan oleh terapis. Sikap caring yang ditunjukkan oleh terapis
juga mempengaruhi keputusan pasien memilih terapi komplementer yang
dijalaninya.
Hubungan saling percaya antara pasien dengan terapis juga berdampak
positif terhadap efektifitas terapi yang dijalani oleh pasien. Banyak pasien yang
meyakini bahwa penyembuhan dapat tercapai dengan sentuhan dan sikap caring
serta empati yang ditunjukkan oleh terapis pada mereka (Smith dkk, 2009).

3.3.

Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi mempengaruhi reaksi pasien terhadap penyakit. Akses

layanan kesehatan berkaitan erat dengan faktor ekonomi (Potter & Perry, 2009).
Dalam penelitiannya, Walcott (2004) menyatakan bahwa faktor ekonomi
mempengaruhi keputusan masyarakat memilih pelayanan kesehatan. Biaya yang
murah menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pasien memilih terapi pijat
sebagai terapi komplementer dalam perawatannya.

Universitas Sumatera Utara

3.4.

Faktor Manfaat dan Keberhasilan Terapi
Keefektifan terapi komplementer juga menjadi salah satu alasan pasien

untuk memilih terapi. Pasien yang memilih terapi pijat merasakan banyak manfaat
selama menjalani terapi. Mengurangi ketegangan otot, meredakan kelelahan,
meningkatkan kualitas tidur, meredakan stres dan menenangkan pikiran dan tubuh
merupakan manfaat pijat yang banyak dirasakan oleh pasien (Trionggo & Ghofar,
2013).

3.5.

Persepsi Tentang Penyakit yang Diderita
Persepsi merupakan pengalaman yang dihasilkan melalui panca indera.

Persepsi pasien terhadap penyakitnya mempengaruhi perilaku pasien terhadap
gejala dan tanda penyakit yang dideritanya. Menurut Forster dan Anderson
(1986), di Indonesia masyarakat dan pengobat tradisional menganggap ada dua
hal yang menjadi penyebab terjadinya suatu penyakit, yaitu naturalistik dan
personalistik.
Seseorang yang menderita penyakit dianggap akibat pengaruh lingkungan,
makanan, kebiasaan hidup, ketidakseimbangan dalam tubuh, serta penyakit
bawaan. Hal inilah yang disebut sebagai penyebab penyakit yang bersifat
naturalistik. Sedangkan paham personalistik menganggap bahwa penyakit
disebabkan oleh intervensi suatu agen aktif yang dapat berupa roh jahat atau sihir.
Masyarakat mengganggap sakit merupakan keadaan individu mengalami
serangkaian gangguan fisik yang menimbulkan rasa tidak nyaman (Forster &
Anderson, 1986).

Universitas Sumatera Utara

Menurut Potter dan Perry (2009), perilaku sehat adalah berbagai aktivitas
yang berhubungan dengan pemeliharaan, pencapaian atau usaha mendapatkan
kembali kondisi kesehatan yang baik dan mencegah penyakit. Sedangkan perilaku
sakit mencakup cara seseorang memantau tubuhnya, mendefinisikan dan
menginterpretasikan gejala yang dialaminya, melakukan usaha penyembuhan, dan
menggunakan sistem pelayanan kesehatan (Mechanic dalam Potter & Perry,
2009).

Universitas Sumatera Utara