Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Perilaku Kesehatan

2.1.1

Pengertian Perilaku Kesehatan
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati
oleh pihak luar.
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2010),
merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap
stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut

merespons, maka teori Skinner ini disebut teori “S-O-R” atau StimulusOrganisme–Respon. Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka
perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2010):
1. Perilaku tertutup (covert behavior )
Perilaku tertutup adalah respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk
terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih
terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang terjadi
pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara
jelas oleh orang lain.
13
Universitas Sumatera Utara

14

2. Perilaku terbuka (overt behavior )
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktek, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.1.2 Domain Perilaku
Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan
pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut

(Notoatmodjo, 2010):
1. Pengetahuan (Knowledge)
Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang
terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan
sebagainya). Dengan sendirinya pada waktu pengindraan sehingga menghasilkan
pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi
terhadap objek.
Pengetahuan adalah hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan umumnya datang dari
pengalaman juga dapat diperoleh dari informasi yang disampaikan orang lain, di
dapat dari buku, surat kabar, atau media massa, elektronik. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia yaitu indra penglihatan, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour ).
Pada dasarnya pengetahuan terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang
memungkinkan seseorang dapat memahami sesuatu gejala dan memecahkan

Universitas Sumatera Utara

15


masalah yang dihadapi. Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman langsung
ataupun melalui pengalaman orang lain. Pengetahuan dapat ditingkatkan melalui
penyuluhan baik secara individu maupun kelompok untuk meningkatkan
pengetahuan kesehatan yang bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku
individu, keluarga, dan masyarakat dalam upaya mewujudkan derajat kesehatan
optimal.
2. Sikap (Attitude)
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek
tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan.
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu
stimulus atau objek. Sikap tidak langsung dilihat tetapi hanya dapat ditafsirkan
terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan
konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam
kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap
stimulus sosial (Notoatmodjo, 2010).
Secara umum sikap dapat dirumuskan sebagai kecenderungan untuk
merespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, objek atau situasi tertentu.
Sikap mengandung suatu penelitian emosional/afektif (senang, benci, sedih, dan
sebagainya). Selain bersifat positif dan negatif, sikap memiliki tingkat kedalaman

yang berbeda-beda (sangat benci, agak benci, dan sebagainya). Sikap itu tidaklah
sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap seseorang.
Sebab sering kali terjadi bahwa seseorang dapat berubah dengan memperlihatkan
tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. Sikap seseorang dapat berubah

Universitas Sumatera Utara

16

dengan diperolehnya tambahan informasi tentang objek tersebut melalui persuasi
serta tekanan dari kelompok sosialnya.
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap itu tidak langsung dapat
dilihat, tetapi dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Allport
(1954) dalam Notoatmodjo (2010), menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai tiga
komponen pokok yaitu :
a. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Sikap ini terdiri dari 4 (empat) tingkatan, yaitu :

1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperlihatkan stimulus
yang diberikan (objek). Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari
kesediaan dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari
pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang menerima ide tersebut.
3. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya : seorang ibu yang mengajak ibu
yang lain untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau mendiskusikan

Universitas Sumatera Utara

17

tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah mempunyai sikap
positif terhadap gizi anak.

4. Bertanggung jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
resiko merupakan sikap yang paling tinggi.
Ciri-ciri sikap adalah :
1. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini
membedakannya dengan sifat motif-motif biogenetis seperti lapar, haus, atau
kebutuhan akan istirahat.
2. Sikap dapat berubah-ubah karena sikap dapat dipelajari dan karena itu pula
sikap dapat berubah-ubah pada orang bila terdapat keadaan-keadaan dan
syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang itu.
3. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu
terhadap suatu objek. Dengan kata lain, sikap itu dibentuk, dipelajari atau
berubah senantiasa.
4. Objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu tetapi juga merupakan
kumpulan dari hal-hal tersebut.
5. Sikap mempunyai segi motivasi dari segi-segi perasaan. Sifat ilmiah yang
membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan
yang dimiliki orang (Notoatmodjo, 2010).


Universitas Sumatera Utara

18

Fungsi sikap dibagi menjadi empat golongan, yakni :
1. Sebagai alat untuk menyesuaikan diri. Sikap adalah sesuatu yang bersifat
communicable artinya sesuatu yang mudah menjalar sehingga mudah pula

menjadi milik bersama.
2. Sebagai alat pengatur tingkah laku. Seseorang tahu bahwa tingkah laku anak
kecil atau binatang umumnya merupakan aksi-aksi yang spontan terhadap
sekitarnya. Antara perangsang dan reaksi tidak ada pertimbangan tetapi pada
orang dewasa dan yang sudah lanjut usianya, perangsang itu pada umumnya
tidak diberi reaksi secara spontan akan tetapi terdapat adanya proses secara
sadar untuk menilai perangsang-perangsang itu. Jadi antara perangsang dan
reaksi terhadap sesuatu yang disisipkannya yaitu sesuatu yang berwujud
pertimbangan-pertimbangan atau penilaian-penilaian terhadap perangsang itu
sebenarnya bukan hal yang berdiri sendiri tetapi merupakan sesuatu yang erat
hubungannya dengan cita-cita orang, tujuan hidup orang, peraturan-peraturan
kesusilaan yang ada dalam bendera, keinginan-keinginan pada orang itu dan

sebagainya.
3. Sebagai alat pengatur pengalaman-pengalaman. Dalam hal ini perlu
dikemukakan bahwa manusia di dalam menerima pengalaman-pengalaman
dari dunia luar sikapnya tidak pasif tetapi diterima secara aktif artinya semua
pengalaman yang berasal dari luar itu tidak semuanya dilayani oleh manusia
tetapi juga manusia memilih mana-mana yang perlu dan mana yang tidak
perlu dilayani. Jadi semua pengalaman ini diberi penilaian lalu dipilih.
Sebagai

pernyataan

kepribadian.

Sikap

sering

mencerminkan

kepribadian seseorang. Ini sebabnya karena sikap tidak pernah terpisah dari


Universitas Sumatera Utara

19

pribadi yang mendukungnya. Oleh karena itu dengan melihat sikap-sikap pada
objek-objek tertentu, sedikit banyak orang bisa mengetahui pribadi orang
tersebut. Jadi sikap sebagai pernyataan pribadi. Apabila kita akan mengubah
sikap seseorang, kita harus mengetahui keadaan sesungguhnya dari sikap orang
tersebut. Dengan mengetahui keadaan sikap itu, kita akan mengetahui pula
mungkin tidaknya sikap tersebut dapat diubah dan bagaimana cara mengubah
sikap-sikap tersebut (Purwanto, 2009
3. Tindakan (Practice)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk
bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk
terwujudnya tindakan perlu faktor lain antara lain adanya fasilitas atau sarana dan
prasarana.
Suatu sikap belum optimis terwujud dalam suatu tindakan untuk
terwujudnya


sikap

menjadi

suatu

perbuatan

nyata

diperlukan

faktor

pendukung/suatu kondisi yang memungkinkan (Notoatmodjo, 2010). Tindakan
terdiri dari empat tingkatan, yaitu :
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil adalah merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respon Terpimpin (Guided Response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan
contoh adalah merupakan indikator praktik tingkat dua.

Universitas Sumatera Utara

20

3. Mekanisme (Mechanism)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara
optimis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan, maka ia sudah mencapai
praktik tingkat tiga.
4. Adopsi (Adoption)
Adopsi adalah praktik atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik.
Artinya tindakan itu sudah dimodifikasinya tanpa mengurangi kebenaran
tindakan tersebut.
2.1.3

Determinan Perilaku Kesehatan
Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2010) menganalisis faktor perilaku

ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu: faktor predisposisi (Predisposing factors),
terdiri atas faktor pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai. Kedua,
faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik
seperti ketersediaan sarana/fasilitas, informasi. Ketiga, faktor pendorong
(reinforcing factors), yang terwujud dalam sikap dan perilaku kelompok acuan,
seperti petugas kesehatan, kepala kelompok atau peer group.
Didalam proses pembentukan dan atau perubahan perilaku dipengaruhi
oleh beberapa faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu itu sendiri.
Faktor-faktor tersebut antara lain: susunan saraf pusat, persepsi, emosi, proses
belajar, lingkungan dan sebagainya. Perilaku diawali dengan dengan adanya
pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor di luar orang tersebut
(lingkungan), baik fisik maupun non fisik. Kemudian pengalaman dan lingkungan
tersebut diketahui, dipersepsikan, diyakini dan sebagainya sehingga menimbulkan

Universitas Sumatera Utara

21

motivasi, niat untuk bertindak dan akhirnya terjadilah perwujudan niat yang
berupa perilaku (Notoatmodjo,2010).
2.2

Pelayanan Kesehatan

2.2.1

Pengertian Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri

atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan
meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta
memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, dan masyarakat
(Leviana, 2013).
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah bagian dari pelayanan kesehatan
yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kesehatan dan mencegah
penyakit dengan sasaran utamanya adalah masyarakat. Karena ruang lingkup
pelayanan kesehatan masyarakat menyangkut kepentingan masyarakat banyak,
maka peranan pemerintah dalam pelayanan kesehatan masyarakat umumnya
adalah besar (Azwar, 2010).
Berkaitan dengan perilaku kesehatan dalam pemanfaatan pelayanan
kesehatan, dapat menggunakan teori model Anderson (1968). Menurut Andersen
dalam Ilyas (2003), model ini merupakan suatu model kepercayaan kesehatan
yang disebut sebagai model perilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adapun
faktor-faktor yang memengaruhi adalah:
1. Karakteristik Presdisposisi
Karakter ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu
memiliki kecenderungan menggunakan pelayanan kesebatan yang berbeda-beda
dilihat dari ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan.

Universitas Sumatera Utara

22

2. Karakteristik Kemampuan
Karakteristik kemampuan merupakan suatu keadaan dari kondisi yang
membuat seseorang mampu untuk melakukan sebuah tindakan untuk memenuhi
kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Berdasarkan sumbernya karakteristik
kemampuan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sumber daya keluarga dan
sumber daya masyarakat
3. Karakteristik Kebutuhan
Andersen meggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan akan
pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakir merupakan bagian dari
faktor kebutuhan, penilaian kebutuhan didapatkan dari 2 sumber yaitu penilaian
individu dan penilaian klinik.
Teori Health Belief Model (HBM) berpendapat bahwa persepsi terhadap
sesuatu lebih menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan
kejadian yang sebenarnya. Teori HBM oleh Rosenstock (1974) didasarkan pada
empat elemen persepsi seseorang, yaitu:
a. Perceived susceptibility: penilalan indlvidu mengenai kerentanan mereka
terhadap suatu penyakit.
b. Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi
dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.
c. Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui
untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan
fmansial, fisik, dan psikososial.

Universitas Sumatera Utara

23

d. Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat
dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan.
2.2.2

Bentuk dan Jenis Pelayanan Kesehatan
Menurut pendapat Hodgetts dan Cascio (2003) bentuk dan jenis pelayanan

kesehatan adalah :
1. Pelayanan Kedokteran
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran
ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat bersifat sendiri (solo practice)
atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi (institution), tujuan umumnya
untuk perseorangan dan keluarga.
2. Pelayanan Kesehatan Masyarakat
Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kesehatan
masyarakat ditandai dengan cara pengorganisasian yang umumnya bersama-sama
dalam suatu organisasi, tujuan utamanya untuk memelihara dan meningkatkan
kesehatan serta mencegah penyakit, serta sasaran utamanya untuk kelompok dan
masyarakat. Sekalipun pelayanan kedokteran berbeda dengan pelayanan
kesehatan masyarakat, namun untuk disebut sebagai pelayanan kesehatan yang
baik, keduanya harus memiliki persyaratan pokok, syarat pokok yang dimaksud
yang dimaksud adalah :
a. Tersedia dan berkesinambungan; syarat pokok pertama pelayanan kesehatan
yang baik adalah pelayanan kesehatan tersebut harus tersedia di masyarakat
serta bersifat berkesinambungan. Artinya semua jenis pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta keberadaannya
adalah setiap saat dibutuhkan.

Universitas Sumatera Utara

24

b. Dapat diterima dan wajar; syarat pokok kedua pelayanan kesehatan yang baik
adalah dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat serta bersifat wajar.
Artinya pelayanan kesehatan tersebut tidak bertentangan dengan adat istiadat,
kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak
wajar, bukanlah suatu pelayanan kesehatan yang baik.
c. Mudah dicapai; syarat pokok yang ketiga pelayanan kesehatan yang baik
adalah yang mudah dicapai (accesible) oleh masyarakat.

Pengertian

ketercapaian yang dimaksud disini terutama dari sudut lokasi. Dengan
demikian untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik, maka
pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan
kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja,dan sementara
itu tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukan pelayanan kesehatan yang
baik.
d. Mudah dijangkau; syarat pokok keempat pelayanan kesehatan yang baik
adalah yang mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat. Pengertian
keterjangkauan yang dimaksud disini adalah terutama dari sudut biaya. Untuk
dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan biaya
pelayanan

kesehatan

tersebut

sesuai

dengan

kemampuan

ekonomi

masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal dan karena itu hanya mungkin
dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja, bukan pelayanan kesehatan
yang baik.
e. Bermutu; syarat pokok kelima pelayanan kesehatan yang baik adalah yang
bermutu (quality). Pengertian mutu yang dimaksud disini adalah yang
menunjuk

pada

tingkat

kesempurnaan

pelayanan

kesehatan

yang

Universitas Sumatera Utara

25

diselenggarakan, yang di satu pihak dapat memuaskan para pemakai jasa
pelayanan, dan pihak lain tata cara penyelenggaraannya sesuai dengan kode
etik serta standar yang telah ditetapkan (Azwar, 2010).
3. Pelayanan Kesehatan Menyeluruh dan Terpadu
Menyadari bahwa pelayanan kesehatan yang berkotak-kotak bukan
pelayanan kesehatan yang baik, maka berbagai pihak berupaya mencari jalan
keluar yang sebaik-baiknya. Salah satu jalan keluar tersebut adalah
memperkenalkan kembali bentuk pelayanan kesehatan yang menyuluruh dan
terpadu.
Pengertian pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terpadu ada
dua macam menurut (Somers, 2004), yaitu:
a. Pelayanan kesehatan yang berhasil memadukan berbagai upaya kesehatan
yang ada di masyarakat yakni pelayanan peningkatan dan pemeliharaan
kesehatan, pencegahan dan penyembuhan penyakit serta pemulihan
kesehatan. Suatu pelayanan kesehatan disebut sebagai pelayanan kesehatan
yang menyeluruh dan terpadu apabila kelima jenis pelayanan ini
diselenggarakan secara bersamaan.
b. Pelayanan kesehatan yang menerapkan pendekatan yang menyeluruh (holistic
approach) jika tidak hanya memperhatikan keluhan penderita saja, tetapi juga

berbagai latar belakang sosial ekonomi, sosial budaya, dan sosial psikologi.
2.2.3

Tingkatan Pelayanan Kesehatan
Strata pelayanan kesehatan yang dianut oleh tiap negara tidaklah sama,

dan secara umum strata pelayanan kesehatan dapat dikelompokkan menjadi tiga
macam yakni :

Universitas Sumatera Utara

26

1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama
Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health services ) adalah
pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health services) yang sangat
dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai nilai strategis untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan
tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient
services).

2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua
Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary healtth services) adalah
pelayanan kesehatan tingkat lanjut, bersifat pelayanan rawat inap (in patient
services) dan untuk menyelenggarakannya dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga

spesialis.
3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang
bersifat lebih kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga
subspesialis. Pelayanan kesehatan akan dirasakan berkualitas oleh para
pelanggannya jika penyampaiannya dirasakan melebihi harapan para pengguna
layanan. Penilaian para pengguna jasa pelayanan ditunjukan kepada penyampaian
jasa, kualitas pelayanan atau cara penyampaian jasa tersebut kepada para pemakai
jasa (Leviana, 2013).
2.3

Mutu Pelayanan Kesehatan

2.3.1

Pengertian Mutu Pelayanan Kesehatan
Mutu pelayanan kesehatan adalah penampilan yang pantas atau sesuai

(yang berhubungan dengan standar-standar) dari suatu intervensi yang diketahui

Universitas Sumatera Utara

27

aman, yang dapat memberikan hasil kepada masyarakat yang bersangkutan dan
yang telah mempunyai kemampuan untuk menghasilkan dampak pada kematian,
kesakitan, ketidakmampuan dan kekurangan gizi (Roemet dan Aguilar, WHO,
2008).
Pengertian mutu pelayanan kesehatan bersifat multi dimensional yaitu
mutu menurut pemakai pelayanan kesehatan dan menurut penyelenggara
pelayanan kesehatan (Azwar, 2006) dan dapat diuraikan sebagai berikut: dari
pihak pemakai jasa pelayanan, pengertian mutu berhubungan erat dengan
ketanggapan dan kemampuan petugas rumah sakit dalam memenuhi kebutuhan
pasien dan komunikasi petugas dengan pasien, termasuk di dalamnya keramahan
dan kesungguhan. Dari pihak rumah sakit sendiri, termasuk di dalamnya dokter,
paramedis, derajat mutu terkait pada pemakai yang sesuai dengan perkembangan
ilmu dan teknologi. Sistem manjemen disebutkan dengan bahasa lainnya adalah
sistem mutu.
Perspektif lainnya yaitu sebagai budaya organisasi yang terdiri dari
peradigma, keyakinan, nilai dasar, pengetahuan, pemahaman, keterampilan, sikap
dan perilaku dan karyawan yang berfungsi dalam tim atau suatu unit dari
organisasi sejalan dengan siklus hidup produk yang dihasilkan memenuhi
kebutuhan dan harapan pelanggan (Kolarik, 2005).
2.3.2

Unsur-Unsur Yang Memengaruhi Kualitas Pelayanan
Donabedian (2006) memperkenalkan tiga kategori pendekatan mutu yaitu

struktur, proses dan keluaran sebagai indikator mutu.
a. Struktur (input) adalah seluruh kelengkapan yang diperlukan dalam pelayanan
kesehatan yang meliputi:

Universitas Sumatera Utara

28

1) Sumber daya material, seperti fasilitas peralatan dan dana
2) Sumber daya manusia, seperti jumlah dan kualifikasi tenaga
3) Struktur organisasi dan prosedur operasional baku.
b. Proses, adalah seluruh kegiatan yang betul-betul dilakukan dalam memberikan
dan menerima pelayanan kesehatan yang meliputi kegiatan tenaga medis dalam
upaya penegakan diagnosis dan dalam memberikan saran serta menerapkan
penatalaksanaan pengobatan serta kegiatan atau upaya pasien dalam mencari
dan mendapatkan pelayanan kesehatan.
Secara ringkas dapat dikemukakan yang dimaksud dengan proses meliputi:
1) Mutu pelayanan teknis dan pelayanan klinis
2) Mutu dari interaksi pasien dan pemberi jasa pelayanan (provider )
3) Ketepatan pelayanan
c. Keluaran (Output), adalah seluruh akibat dari pelayanan kesehatan terhadap
status

kesehatan pasien dan masyarakat

termasuk peningkatan

dari

pengetahuan pasien dan perubahan dari perilaku pasien yang berpengaruh
terhadap status kesehatan juga derajat kepuasan pasien terhadap pelayana
kesehatan.
2.3.3

Dimensi Mutu Pelayanan Kesehatan
Menurut Zeithmal dan Barry (2009) menyimpulkan bahwa terdapat 10

dimensi dalam mutu pelayanan yaitu :
a. Fasilitas fisik (tangible)
Dimensi ini menyangkut tersedianya fasilitas peralatan, sumber daya
manusia dan materi-materi untuk komunikasi.

Universitas Sumatera Utara

29

b. Keandalan (reability)
Dimensi ini menyangkut kemampuan untuk melaksanakan atau memberikan
pelayanan dengan kualitas yang sama setiap waktu dan memberikan pelayanan
secara akurat.
c. Responsivitas (responsiveness)
Dimensi ini mencakup keinginan petugas untuk membantu pelanggan /pasien
dalam memberikan pelayanan yang diminta.
d. Jaminan (assurance)
Dimensi ini mencakup adanya jaminan dari petugas dan perusahaan/rumah
sakit atau Puskesmas terhadap pelayanan yang diberikan kepada pelanggan atau
pasien seperti pengetahuan dokter dalam menetapkan diagnosa penyakit,
keterampilan dokter petugas lainnya dalam kepercayaan terhadap pelayanan.
e. Empati (empathy)
Dimensi ini mencakup kemampuan petugas untuk merawat dan memberikan
perhatian kepada pelanggan/pasien dan keluarganya, seperti memperhatikan
khusus kepada setiap pelanggan/pasien tanpa membedabedakan statusnya, serta
perhatian terhadap semua keluhan pelanggan/pasien dan keluarganya.
f. Komunikasi (communication)
Dimensi ini mencakup keinginan untuk mendengar keluhan pasien dan
menjaga agar pelanggan tetap mendapatkan informasi yang up to date dalam
bahasa yang mudah.

Universitas Sumatera Utara

30

g. Kredibilitas (credibility)
Dimensi ini mencakup dapat dipercaya oleh pelanggan/pasien. Mereka
berkeyakinan atas pelayanan yang telah diberikan, akan memberikan hasil yang
mereka berikan.
h. Kompetensi (competence)
Dimensi ini mencakup dimilikinya keterampilan dari petugasyang
dibutuhkan dalam melaksanakan pelayanan.
i. Tata krama (courtesy)
Dimensi ini mencakup kemudahan untuk memperoleh petugas kesehatan
yang selalu memberikan penghormatan terhadap pelanggan/pasien.
j. Akses (access)
Dimensi ini mencakup kemudahan untuk memperoleh karyawan dan
kemudahan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dalam menerima
pelayanan.
Brown dalam pohan (2007), Layanan kesehatan yang bermutu sering
dipersepsikan sebagai suatu layanan kesehatan yang dapat memberikan apa saja
yang kita inginkan atau dapat juga disebut sebagai kepuasan pasien/konsumen
semata-mata. Namun setelah membaca penjelasan diatas, pengertian yang
demikian menjadi kurang tepat. Pengertian yang lebih tepat untuk layanan
kesehatan yang bermutu adalah suatu layanan kesehatan yang dibutuhkan, dalam
hal ini akan ditentukan oleh profesi layanan kesehatan, dan sekaligus diinginkan
baik oleh pasien/konsumen ataupun masyarakat serta terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Pada penjelasan terdahulu disebutkan bahwa mutu barang atau jasa
itu bersifat multidimensi, demikian pula dengan mutu pelayanan kesehatan.

Universitas Sumatera Utara

31

2.4

Pelayanan Kesehatan Mayarakat di Puskesmas

2.4.1

Pengertian Puskesmas
Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat) adalah suatu organisasi

kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat
yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan
secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam
bentuk kegiatan pokok. Menurut Kemenkes RI (2010) Puskesmas merupakan unit
pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab
menyelenggarakan pembangunan kesehatan di wilayah kerja (Effendi, 2011).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 tahun 2014
tentang Pusat Kesehatan Masyarakat menjelaskan bahwa Fasilitas Pelayanan
Kesehatan adalah suatu tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya
pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang
dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat. Adapun yang
dimaksud dengan Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut
Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya
kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan
lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif, untuk mencapai derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya di wilayah kerjanya.
Program layanan kesehatan yang diberikan Puskesmas merupakan
pelayanan yang menyeluruh yang meliputi pelayanan kuratif (pengobatan),
preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan) dan rehabilitatif
(pemulihan kesehatan). Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk

Universitas Sumatera Utara

32

dengan tidak membedakan jenis kelamin dan golongan umur, sejak dari
pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia (Effendi, 2011).
2.4.2

Tujuan Puskesmas
Tujuan pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas

adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan kesehatan nasional, yakni
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi orang yang
bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas agar terwujud derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya (Trihono, 2005).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75
tahun

2014

tentang

Pusat

Kesehatan

Masyarakat

menjelaskan

bahwa

pembangunan kesehatan yang diselenggarakan di Puskesmas bertujuan untuk
mewujudkan masyarakat yang:
a. Memiliki perilaku sehat yang meliputi kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat;
b. Mampu menjangkau pelayanan kesehatan bermutu;
c. Hidup dalam lingkungan sehat; dan
d. Memiliki derajat kesehatan yang optimal, baik individu, keluarga, kelompok
dan masyarakat.
2.4.3

Fungsi Puskesmas
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75

tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat menjelaskan bahwa Puskesmas
mempunyai tugas melaksanakan kebijakan kesehatan untuk mencapai tujuan
pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya dalam rangka mendukung

Universitas Sumatera Utara

33

terwujudnya kecamatan sehat. Dalam melaksanakan tugas tersebut Puskesmas
menyelenggarakan fungsi yaitu untu :
a. Penyelenggaraan UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) ingkat pertama di
wilayah kerjanya; dan
b. Penyelenggaraan UKP (Upaya Kesehatan Perseorangan) tingkat pertama di
wilayah kerjanya.
Dalam menyelenggarakan fungsi untuk penyelenggara UKM (Upaya
Kesehatan Masyarakat) ingkat pertama di wilayah kerjanya, Puskesmas
berwenang untuk:
a. Melaksanakan

perencanaan

berdasarkan

analisis

masalah

kesehatan

masyarakat dan analisis kebutuhan pelayanan yang diperlukan;
b. Melaksanakan advokasi dan sosialisasi kebijakan kesehatan;
c. Melaksanakan

komunikasi,

informasi,

edukasi,

dan

pemberdayaan

masyarakat dalam bidang kesehatan;
d. Menggerakkan masyarakat untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah kesehatan pada setiap tingkat perkembangan masyarakat yang
bekerjasama dengan sektor lain terkait;
e. Melaksanakan pembinaan teknis terhadap jaringan pelayanan dan upaya
kesehatan berbasis masyarakat;
f. Melaksanakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia Puskesmas;
g. Memantau pelaksanaan pembangunan agar berwawasan kesehatan;
h. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap akses, mutu, dan
cakupan pelayanan kesehatan; dan

Universitas Sumatera Utara

34

i. Memberikan rekomendasi terkait masalah kesehatan masyarakat, termasuk
dukungan terhadap sistem kewaspadaan dini dan respon penanggulangan
penyakit.
Dalam menyelenggarakan fungsi sebagai penyelenggara UKP (Upaya
Kesehatan Perseorangan)

tingkat pertama di wilayah kerjanya, Puskesmas

berwenang untuk:
a. Menyelenggarakan

Pelayanan

Kesehatan dasar secara komprehensif,

berkesinambungan dan bermutu;
b. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan

yang mengutamakan upaya

promotif dan preventif;
c. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang berorientasi pada individu,
keluarga, kelompok dan masyarakat;
d. Menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang mengutamakan keamanan dan
keselamatan pasien, petugas dan pengunjung;
e. Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dengan prinsip koordinatif dan kerja
sama inter dan antar profesi;
f. Melaksanakan rekam medis;
g. Melaksanakan pencatatan, pelaporan, dan evaluasi terhadap mutu dan akses
pelayanan kesehatan;
h. Melaksanakan peningkatan kompetensi tenaga kesehatan;
i. Mengoordinasikan

dan

melaksanakan

pembinaan

fasilitas

pelayanan

kesehatan tingkat pertama di wilayah kerjanya; dan
j. Melaksanakan penapisan rujukan sesuai dengan indikasi medis dan sistem
rujukan.

Universitas Sumatera Utara

35

Puskesmas memiliki wilayah kerja yang meliputi satu kecamatan atau
sebagian dari kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan
geografi dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam
menentukan wilayah kerja Puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan
kesehatan maka Puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang
lebih sederhana yang disebut Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling.
Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta jiwa atau lebih,
wilayah kerja Puskesmas dapat meliputi satu kelurahan. Puskesmas di ibukota
kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan
Puskesmas Pembina yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi Puskesmas
kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi (Effendi, 2011).
Menurut Trihono (2005) ada 3 (tiga) fungsi Puskesmas yaitu: pusat
penggerak pembangunan berwawasan kesehatan yang berarti Puskesmas selalu
berupaya menggerakkan dan memantau penyelenggaraan pembangunan lintas
sektor termasuk oleh masyarakat dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga
berwawasan serta mendukung pembangunan kesehatan. Disamping itu Puskesmas
aktif memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan setiap
program pembangunan diwilayah kerjanya. Khusus untuk pembangunan
kesehatan, upaya yang dilakukan Puskesmas adalah mengutamakan pemeliharaan
kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit
dan pemulihan kesehatan. Pusat pemberdayaan masyarakat berarti Puskesmas
selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat, keluarga dan
masyarakat termasuk dunia usaha memiliki kesadaran, kemauan dan kemampuan
melayani diri sendiri dan masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam

Universitas Sumatera Utara

36

memperjuangkan kepentingan kesehatan termasuk sumber pembiayaannya, serta
ikut menetapkan, menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program
kesehatan.

Pemberdayaan

perorangan,

keluarga

dan

masyarakat

ini

diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial
budaya masyarakat setempat. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama berarti
Puskesmas bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat
pertama secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan kesehatan
tingkat pertama yang menjadi tanggungjawab Puskesmas meliputi :
1. Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat pribadi
(privat goods) dengan tujuan utama menyembuhkan penyakit dan pemulihan
kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan pemeliharan kesehatan dan
pencegahan penyakit. Pelayanan perorangan tersebut adalah rawat jalan dan
untuk Puskesmas tertentu ditambah dengan rawat inap.
2. Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat publik
(public goods) dengan tujuan utama memelihara dan meningkatkan kesehatan
serta mencegah penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan. Pelayanan kesehatan masyarakat disebut antara lain
adalah promosi kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan,
perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana,
kesehatan jiwa masyarakat serta berbagai program kesehatan masyarakat
lainnya.
Ada beberapa proses dalam melaksanakan fungsi tersebut yaitu
merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam
rangka menolong dirinya sendiri, memberikan petunjuk kepada masyarakat

Universitas Sumatera Utara

37

tentang bagaimana menggali dan menggunakan sumber daya yang ada secara
efektif dan efisien, memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis
materi dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat
dengan ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan
memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat, bekerja sama
dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program
Puskesmas.
2.4.4

Peran Puskesmas
Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana

teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan
dalam bentuk keikutsertaan dalam menentukan kebijakan daerah melalui sistem
perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana kegiatan yang tersusun rapi,
serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Pada masa mendatang,
Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait
upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu
(Trihono, 2005).
Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana
teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan
dalam bentuk keikutsertaan dalam menentukan kebijakan daerah melalui sistem
perencanaan yang matang dan realistis, tata laksana kegiatan yang tersusun rapi,
serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Pada masa mendatang,
Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait

Universitas Sumatera Utara

38

upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu
(Effendi, 2009).
2.5

Infeksi Menular Seksual (IMS)

2.5.1

Pengertian Infeksi Menular Seksual (IMS)
Infeksi Menular Seksual ( IMS ) adalah infeksi yang sebagian besar

menular lewat hubungan seksual dengan pasangan yang sudah tertular. Hubungan
seks ini termasuk hubungan seks lewat liang senggama, lewat mulut (oral) atau
lewat dubur (Kemenkes RI, Kemensos, BKKBN, 2005).
IMS juga sering disebut penyakit kelamin atau penyakit kotor. Namun itu
hanya menunjukkan pada penyakit yang ada di kelamin. Istilah IMS lebih luas
maknanya, karena menunjuk pada cara penularannya. Tanda-tandanya tidak selalu
ada di alat kelamin. Tanda-tandanya juga ada di alat penglihatan, , mulut, saluran
pencernaan, hati, otak dan bagian tubuh lainnya. Contohnya HIV/AIDS dan
Hepatitis B yang menular lewat hubungan seks, tetapi penyakitnya tidak bisa
dilihat dari alat kelaminnya. Artinya, alat kelaminnya masih tampak sehat
meskipun orangnya membawa bibit penyakit-penyakit ini (Kemenkes RI,
Kemensos, BKKBN, 2005).
2.5.2

Jenis Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)
IMS ada banyak sekali jenisnya. Beberapa diantaranya yang paling

penting adalah Gonorrea (GO) atau kencing nanah, Klamidia, Herpes kelamin,
Sifilis atau raja singa, jengger ayam, Hepatitis dan HIV/AIDS. HIV/AIDS
termasuk yang paling berbahaya, tidak bisa disembuhkan dan merusak kekebalan
tubuh manusia untuk melawan penyakit apapun. Akibatnya orang menjadi sakitsakitan dan banyak yang meninggal karenanya. Sementara Herpes sering kambuh

Universitas Sumatera Utara

39

dan sangat nyeri kalau kambuh. Pada Herpes yang diobati cuma gejala luarnya
saja tetapi bibit penyakitnya akan tetap hidup didalam tubuh selamanya. Hepatitis
juga tidak bisa disembuhkan akan tetapi ada jenis herpes tertentu yang bisa
dicegah dengan imunisasi (Lelyana, 2006).
2.5.3

Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pemerintah pada saat ini sudah membuat program penanggulangan IMS

dan HIV/AIDS dikabupaten/kota, dimana ada 6 (enam) program yang
dilaksanakan yaitu (1) program Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) sebagai
upaya

komunikasi

perubahan

perilaku

(KPP)

atau

Behavior

Change

Communication (BCC), (2) Program kondom 100%, (3) Program penanganan

IMS, (4) Program Harm Reduction, (5) Program Voluntary Conseling and Testing
(VCT) yaitu jumlah dan mutu pelayanan dan konseling dan testing sukarela, (6)
Program perawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA. Salah satu program
tersebut yang juga merupakan kerjasama pemerintah dengan LSM yang sangat
populer di seluruh Indonesia dan sampai saat ini terus dikembangkan adalah
program pelayanan klinik IMS dan VCT (KPA Nasional, 2005).
Upaya pencegahan dan penanggulangan IMS di tingkat pelayanan dasar
masih ditujukan kepada kelompok resiko tinggi berupa upaya pencegahan dan
penanggulangan IMS dengan pendekatan penyediaan fasilitas pelayanan khusus.
Saat

ini

ditemui

hamabatan

sosiobudaya

yang

sering

mengakibatkan

ketidaktuntasan dalam pengobatannya. Sehingga menimbulkan komplikasi IMS
yang serius seperti kemandulan, keguguran dan kecacatan janin (Kemenkes RI,
Depsos, BKKBN, 2005).

Universitas Sumatera Utara

40

Pedoman penatalaksanaan IMS yang diterbitkan oleh Dirjen PP & PL
(2012), tentang kriteria yang digunakan dalam pemilihan obat untuk IMS yaitu
angka kesembuhan tinggi (sekurang-kurangnya 90 -95 % diwilayahnya), harga
murah, toksisitas yang masih dapat diterima, diberikan dalam dosis tunggal, cara
pemberian peroral dan tidak merupakan kontra Indikasi pada ibu hamil, atau ibu
menyusui. Kebijaksanaan dalam upaya penanggulangan IMS dan HIV/AIDS
sebagai berikut:
1. Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor termasuk kerjasama
internasional dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam penanggulangan
IMS dan HIV/AIDS.
2. Meningkatkan desentralisasi dengan pendekatan pelayanan kesehatan dasar.
3. Pencegahan adalah fokus utama dengan diintergrasikan perawatan, dukungan
dan pengobatan.
4. Memperkuat aspek manajemen dan aspek hukum dan perundangan yang
berkaitan dengan upaya penanggulangan IMS dan HIV/AIDS termasuk aspek
perlindungan dan kerahasian dan aspek pencehagan deskriminasi/ stigmanisasi
penderita IMS dan HIV/AIDS.
5. Mengintegrasikan kegiatan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS dengan
penyakit lainnya antara lain tuberkulosis.
2.5.4

Strategi Pengendalian Infeksi Menular Seksual (IMS)
Epidemi IMS dan HIV AIDS yang mengancam kesehatan dan kehidupan

generasi penerus bangsa, yang secara langsung membahayakan perkembangan
sosial

dan

ekonomi

serta

keamanan

negara.

Oleh

karena

itu

upaya

pengendaliaannya harus dilakukan sebagai upaya penting dan merupakan program

Universitas Sumatera Utara

41

yang dilakasnakan secara terkoordinir dengan melibatkan berbagai pihak serta
dengan memobilisasi sumberdaya yang intensif dari seluruh lapisan masyarakat
untuk mempercepat dan memperluas jangkauan program. Upaya pengendalian
yang dilaksanakan antara lain yaitu :
1. Upaya pencegahan yang efektif termasuk penggunaan kondom 100% pada
setiap hubungan seks yang beresiko, semata-mata hanya untuk memutuskan
rantai penularan IMS dan HIV
2. Pelaksanaan kegiatan program pengendalian IMS, HIV/AIDS menggunakan
standar, pedoman dan petunjuk teknis yang diberlakukan departemen
kesehatan.
3. Layanan kesehatan terkait IMS dan HIV/AIDS tanpa diskriminasi dan
menerapkan prinsip keberpihakan kepada pasien dan masyarakat.
4. Upaya pengendalian IMS dan HIV/AIDS harus menghormati harkat dan
martabat manusia serta memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender
5. Upaya remaja dan masyarakat umum diselenggarakan melalui kegiatan
komunikasi, informasi dan edukasi guna mendorong kehidupan yang lebih
sehat
6. Upaya pengendalian IMS dan HIV/AIDS diselenggarakan oleh masyarakat,
pemerintah dan LSM berdasarkan prinsip kemitraan. Masyarakat dan LSM
menjadi pelaku utama sedangkan pemerintah berkewajiban mengarahkan ,
membimbing dan menciptakan suasana yang mendukung terselenggaranya
upaya pengendalian HIV/AIDS.
7. Upaya pengendalian IMS dan HIV/AIDS diutamakan pada kelompok
masyarakat berprilaku resiko tinggi tetapi harus pula memperhatikan kelompok

Universitas Sumatera Utara

42

masyarakat yang rentan termasuk yang berkaitan dengan pekerjaannya dan
kelompok marjinal terhadap penularan HIV/AIDS (KPA, FHI, 2009).
Menurut Raharjo (2005) dalam Mardin Purba (2009) faktor-faktor yang
memperlambat upaya mengurangi resiko penyebaran PMS adalah kurangnya akses
penderita IMS kesarana pelayanan kesehatan, waktu buka klinik dan lokasi yang
tidak strategis, keterbatasan biaya dalam membeli kondom di apotik, toko lain atau
klinik, kurangnya rasa percaya diri, staf klinik yang memiliki sikap negative
terhadap kegiatan seks dan penggunaan alat kontrasepsi atau karena ada larangan.
Ada beberapa strategi yang telah menunjukkan dampaknya terhadap
penularan IMS di masyarakat jika hal ini diterapkan dengan tepat. Ini harus
termasuk penapisan dan pengobatan secepatnya dari kelompok berisiko tinggi.
Orang yang berisiko tinggi terkena IMS dan penularan infeksi berikutnya yang
belum menerima pelayanan harus dicapai dengan intervensi ini dan harus
dimasukkan ke dalam model pelayanan. Akses yang adekuat dalam memberikan
pelayanan pada kelompok risiko tinggi dan pasien lain diperoleh dengan
memprioritaskan pelaksanaan jam buka klinik yang tepat. Strategi untuk perubahan
perilaku berkesinambungan dapat menjelaskan secara eksplisit unsur-unsur yang
berhubungan dengan IMS (contoh pengenalan gejala, pentingnya dapat pengobatan
segera, pentingnya menyelesaikan pengobatan, pentingnya pengobatan pasangan,
interaksi antara IMS dan HIV, dll) harus dikembangkan dan dilaksanakan
(Kemenkes RI, USAID dan FHI, 2007).
Untuk memilih strategi mana yang akan diterapkan, maka harus
melaksanakan pengkajian dan analisa dari kelompok sasaran yang akan dilayani.

Universitas Sumatera Utara

43

Ada beberapa langkah-langkah yang dapat diikuti untuk melaksanakan hal
tersebut:
1. Menilai banyaknya IMS, pada kelompok di mana yang mana akan diberikan
pelayanan kesehatan. Setiap program intervensi yng dilakukan harus
membuat pemetaan kelompok sasaran yang akan mereka layani dengan baik.
Registrasi populasi harus dibuat untuk kelompok ini. Dan harus diperbaharui
secara teratur setiap bulan.
2. Menganalisa kesempatan untuk melakukan tindakan pencegahan pada
kelompok beresiko. Strategi dan kegiatan berikut ini telah menunjukan
adanya dampak terhadap penularan IMS dimasyarakat, jika diterapkan
dengan tepat. Intervensi yang paling tepat untuk pelayanan IMS adalah
intervensi yang mempunyai sasaran untuk mengurangi waktu infektivitas dari
IMS. Kemampauan pelayanan IMS untuk menerapkan masing-masing
kegiatan intervensi ini akan tergantung pada sumber yang mereka miliki, dan
tingkat efisiensi serta pengorganisasian yang bisa mereka capai.
3. Mengembangkan kebijakan pencegahan dan menerapkan prosedur yang
berdasar pada hasil penilaian dan analisa.
4. Menciptakan tujuan pencegahan, yang berdasar pada data yang dikumpulkan
oleh pelayanan IMS pada langkah penilaian, analisa dan pengembangan
kebijakan pencegahan
5. Mengevaluasi kemajuan dari tujuan pencegahan dengan cara mengkaji
keefektifan dan cakupannya secara teratur (Kemenkes RI, USAID dan FHI,
2007).

Universitas Sumatera Utara

44

2.6

Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)

2.6.1

Pengertian Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pelayanan kesehatan yang dilaksanakan diklinik IMS mencakup: (a)

Melaksanakan kegiatan pencegahan seperti promosi kesehatan mengenai perilaku
seks yang aman, (b) Melaksanakan pelayanan yang ditargetkan untuk kelompok
beresiko tinggi, (c) Memberikan layanan pemeriksaan dan pengobatan bagi
mereka yang telah tertular IMS, (d) Melaksanakan kegiatan penapisan untuk IMS
Asintomatic bagi semua populasi yang beresiko secara rutin sedikitnya sekali
setiap 3 ( tiga ) bulan, (e) Memberikan layanan konsling, pemeriksaan, dan
pengobatan bagi pasangan tetap klin pekerja seks melalui sistem partner
notification, (f) Menjalankan sistem monitoring dan surveilens, (g) Memberikan
layanan KIE tentang mitos penggunaan obat-obat bebas untuk mencegah atau
mengobati IMS (KPA Nasional, 2005 )
Maksud dan tujuan dari layanan IMS adalah untuk menjalankan fungsi
kontrol dan menekan penyebaran IMS pada PSK perempuan, Pria, Waria,
pelanggan PSK, dan pasangan seks tetapnya. (KPA Nasional, 2005).
2.6.2

Standar Minimum Klinik IMS
Berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Klinik IMS yang

dikembangkan melalui kerjasama Kemenkes RI, USAID dan Family Health
International (2007) menyebutkan bahwa struktur di dalam klinik IMS harus

mempunyai fungsi seperti hal berikut ini :
a. Ruang tunggu dan registrasi;
b. Ruang pemeriksaan;

Universitas Sumatera Utara

45

c. Laboratorium untuk memfasilitasi secepatnya diagnosa dan pengobatan pada
pasien, sebaiknya ruang pemeriksaan dan laboratorium berdampingan tetapi
dipisahkan dengan sebuah horden atau sekat;
d. Ruang pengobatan dan konseling. Setiap bangunan klinik harus dipelihara
dengan baik untuk mendapatkan lingkungan yang nyaman, aman, dan
hygienis. Setiap klinik harus memelihara peralatan kliniknya dalam keadaan
bekerja dengan baik. Setiap waktu kewaspadaan universal untuk mencegah
penularan infeksi melalui darah dan indikator lain untuk mengendalikan
infeksi harus diterapkan.
Standar minimum klinik IMS telah dikembangkan untuk memperbaiki
kualitas

diagnosis

dan

pengobatan

IMS

secara

keseluruhan.

Dalam

pelaksanaannya setiap klinik IMS harus sesuai dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Kegiatan pencegahan seperti promosi kesehatan mengenai perilaku seksual
yang aman;
b. Pelayanan ditargetkan untuk kelompok beresiko tinggi;
c. Kelompok inti misalnya pekerja seks, IDU;
d. Kelompok “penghubung” pelanggan mereka;
e. Pelayanan yang efektif yaitu pengobatan secepatnya bagi orang dengan gejala
IMS;
f. Program penapisan dan pengobatan secepatnya untuk IMS dan yang tanpa
gejala pada kelompok resiko tinggi yang menjadi sasaran;
g. Program penatalaksanaan mitra seksual;
h. Sistem monitoring dan surveilen yang efektif;

Universitas Sumatera Utara

46

i. Jika sebagai model klinik untuk klinik-klinik yang ada disekitarmya harus
berusaha untuk melaksanakan pelayanan klinik IMS yang sama, dengan
memberikan pelatihan yang sesuai pada klinik-klinik tersebut,\
j. Bentuk pelayanan IMS dan promosi yang diberikan harus berdasarkan pada
pengetahuan dari kelompok sasaran dalam kebiasaannya mencari pengobatan
(Kemenkes, USAID, FHI 2007).
2.6.3

Petugas Kesehatan di Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)
Setiap klinik harus mempunyai staf yang ramah, client-oriented, tidak

menghakimi dan dapat menjaga konfidensialitas atau kenyamanan dan
kerahasiaan serta dapat melakukan fungsi-fungsi berikut ini dengan baik yaitu
dalam hal :
1) Administrasi klinik, registrasi pasien, pencatatan dan pelaporan;
2) Anamnesis kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual, pemeriksaan fisik
dan pengobatan;
3) Laboratorium berdasarkan tes diagnostik;
4) Konseling;
5) Memilihara standar klinik untuk penatalaksanaan IMS (Kemenkes RI,
USAID, FHI 2007).

2.6.4

Pengelolaan Klinik Infeksi Menular Seksual (IMS)
Pengelolaan klinik infeksi menular seksual (IMS) mencakup hal-hal

sebagai berikut, yaitu :
1. Pengelolaan

Syndrom

yang

Disempurnakan

(Enhanced

Syndromic

Management)

Universitas Sumatera Utara

47

Semua klinik harus dapat menerapkan

Dokumen yang terkait

Persepsi Lelaki Seks Lelaki (LSL) tentang HIV/AIDS dan VCT dalam Peningkatan Demand pada Pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan

7 56 148

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 4 193

Persepsi Lelaki Seks Lelaki (LSL) tentang HIV AIDS dan VCT dalam Peningkatan Demand pada Pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan

0 0 18

Persepsi Lelaki Seks Lelaki (LSL) tentang HIV AIDS dan VCT dalam Peningkatan Demand pada Pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan

0 0 2

Persepsi Lelaki Seks Lelaki (LSL) tentang HIV AIDS dan VCT dalam Peningkatan Demand pada Pelayanan Voluntary Counseling and Testing (VCT) di Klinik IMS dan VCT Puskesmas Teladan Kota Medan

0 0 13

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 0 17

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 0 2

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 0 12

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 1 4

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Layanan Puskesmas oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Klinik IMS Puskesmas Teladan Kota Medan Tahun 2016

0 0 35