Kementerian PPN Bappenas :: Ekonomi 2005 RAPBN-P II

NOTA KEUANGAN
DAN
RANCANGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLI K I NDONESI A
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2004
TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
TAHUN ANGGARAN 2005

REPUBLI K I NDONESI A

Daftar Isi

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ..................................................................................................

i

DAFTAR TABEL ......................................................................................


iii

DAFTAR GRAFIK ....................................................................................

iv

BAB I

BAB II

PERKEMBANGAN ASUMSI DASAR APBN TAHUN
ANGGARAN 2005.......................................................................

1

Pendahuluan ..............................................................................

1


Gambaran Umum Ekonomi Indonesia Tahun 2005..............................

2

Perkembangan Indikator Ekonomi Makro 2004-2005.........................

10

Pertumbuhan Ekonomi ...........................................................

10

Inflasi .................................................................................

14

Nilai Tukar Rupiah ................................................................

16


Suku Bunga SBI 3 Bulan .........................................................

18

Harga Minyak Internasional ......................................................

21

Neraca Pembayaran ...............................................................

23

ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA ...

25

Pendahuluan .............................................................................

25


Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah .....................................

27

Penerimaan Dalam Negeri

...................................................

29

Penerimaan Perpajakan ....................................................

29

Penerimaan Negara Bukan Pajak ......................................

34

Hibah .................................................................................


37

Perkiraan Belanja Negara ...........................................................

38

Anggaran Belanja Pemerintah Pusat .......................................

39

Belanja Pemerintah Pusat menurut Jenis .................................

39

Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi ........................

45

Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi ..............................


49

Anggaran Belanja Untuk Daerah ...........................................

52

Dana Perimbangan ...........................................................

52

i

Daftar Isi

Halaman
Dana Bagi Hasil .........................................................

52

Dana Alokasi Umum ....................................................


54

Dana Alokasi Khusus ...................................................

54

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ............................

55

Dana Otonomi Khusus .................................................

55

Dana Penyesuaian .......................................................

55

Defisit Anggaran .......................................................................


56

Pembiayaan Anggaran .................................................................

56

LAMPIRAN

:

Rancangan Undang-undang Republik Indonesia Nomor Tahun 2005
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 36 Tahun
2004 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
Anggaran 2005.............................................................................

ii

62


Daftar Tabel

DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel I.1

Perkembangan Asumsi Ekonomi Makro, 2004 – 2005 ...................

10

Tabel I.2

Laju Pertumbuhan PDB Atas Dasar Harga Konstan 2000 (y-0-y),
2003-2005 ...................................................................................

11

Tabel I.3

Perkembangan Suku Bunga SBI dan Perbankan, 2001-2005..............


20

Tabel I.4

Perkembangan Harga Rata-rata Minyak Mentah, Desember 2003Juli 2005..........................................................................................

22

Tabel I.5

Ringkasan Neraca Pembayaran Indonesia, 2004 – 2005 ...............

24

Tabel II.1

Perkiraan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Tahun
2005...........................................................................................


28

Tabel II.2

Perkiraan Realisasi Pendapatan Negara dan Hibah, Tahun 2005..........

37

Tabel II.3

Perkiraan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Klasifikasi
Jenis, Tahun 2005.............................................................................

46

Perkiraan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Organisasi,
Tahun 2005.....................................................................................

50

Perkiraan Realisasi Belanja Pemerintah Pusat Menurut Fungsi, Tahun
2005............................................................................................

51

Tabel II.6

Perkiraan Realisasi Anggaran Belanja Untuk Daerah, Tahun 2005.......

56

Tabel II.7

Perkiraan Realisasi Pembiayaan Anggaran, Tahun 2005 ................

61

Tabel II.4
Tabel II.5

iii

Daftar Grafik

DAFTAR GRAFIK
Halaman
Grafik I.1
Grafik I.2
Grafik I.3
Grafik I.4

Perkembangan Inflasi Umum dan Bahan Makanan, Januari 2004 Juli 2005 ..........................................................................................

15

Perkembangan Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran Januari Juli 2005.....................................................................................................

16

Perkembangan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dolar AS dan REER,
2003 - 2005 .....................................................................................

18

Perkembangan Base Money, 2003 - 2005......................................

21

iv

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

BAB I
PERKEM BAN GAN ASUM SI DASAR
APBN TAH UN AN GGARAN 2 0 0 5
PEN DAHULUAN
Dalam jangka menengah Pemerintah bertekad untuk mewujudkan
pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas guna menciptakan lapangan
kerja baru dan mengurangi tingkat kemiskinan. Upaya-upaya yang dilakukan
antara lain dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi makro, menurunkan
ketidakpastian, memperkuat dan menyelesaikan reformasi institusional dan
struktural dalam rangka memperbaiki iklim investasi di dalam negeri.

Dalam
jangka
menengah Pemerintah
bertekad
untuk
m e w u j u d k a n
pertumbuhan ekonomi
tinggi yang berkualitas.

Kebijakan ekonomi makro 2005 merupakan satu rangkaian dari kebijakan
ekonomi jangka menengah 2005-2009 dalam rangka mencapai sasaransasaran pembangunan yang merupakan program kerja pemerintahan Kabinet
Indonesia Bersatu. Prospek ekonomi Indonesia tahun 2005 pada gilirannya
akan mempengaruhi besaran APBN 2005. Dalam kaitan ini, terdapat
beberapa indikator ekonomi makro utama yang sangat mempengaruhi
tercapainya sasaran-sasaran dalam APBN, yaitu pertumbuhan ekonomi,
tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
3 bulan, harga minyak mentah Indonesia, dan tingkat produksi (lifting) minyak
Indonesia.
Undang-undang APBN 2005 yang disahkan dalam bulan Oktober 2004
didasarkan kepada asumsi-asumsi pertumbuhan ekonomi 5,4 persen, inflasi
5,5 persen, nilai tukar rupiah Rp8.600 per dolar Amerika Serikat, harga
minyak mentah US$24 per barel, dan produksi minyak Indonesia 1,125 juta
barel per hari.
Undang-undang APBN 2005 tersebut mempunyai sifat khusus karena
disusun dalam masa peralihan kekuasaan dari pemerintahan Kabinet Gotong
Royong dan DPR hasil Pemilu 1999 kepada pemerintahan dan DPR
sekarang. Dengan mengingat kondisi kekhususan tersebut, APBN 2005
disusun dengan tujuan untuk menjaga kelangsungan fiskal, tetapi masih
memberikan fleksibilitas yang cukup bagi pemerintahan baru untuk membuat
kebijakan dan prioritas anggaran dan fiskal yang baru, mengingat pada
dasarnya hak untuk melakukan perubahan-perubahan APBN 2005 sesuai
dengan prioritas kebijakan fiskal sepenuhnya terdapat pada Pemerintah dan
DPR sekarang. Lebih dari itu, asumsi-asumsi APBN 2005 yang terkait
dengan target penerimaan dan belanja didasarkan kepada asumsi dan kondisi
lingkungan pada pertengahan tahun 2004. Mengingat APBN 2005 disetujui
dalam bulan September 2004, Indonesia telah dipengaruhi oleh tsunami di
Aceh dan Sumatera Utara dan perkembangan harga minyak internasional,
yang pada gilirannya berdampak kepada besarnya sasaran penerimaan dan
pengeluaran pemerintah, yang secara historis terus berlanjut pada tingkat
yang tinggi.

Undang-undang APBN
2005 mempunyai sifat
khusus karena disusun
dalam masa peralihan
kekuasaan dari pemerintahan Kabinet Gotong Royong dan DPR
hasil Pemilu 1999
kepada pemerintahan
dan DPR sekarang.

1

Bab I

Pemerintah mempercepat pengajuan RUU
APBN
Perubahan
(APBN-P) tahun 2005,
lebih cepat dari jadwal
seharusnya yaitu bulan
September 2005.

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

Untuk itu, dalam bulan Maret 2005 Pemerintah mempercepat pengajuan
RUU APBN Perubahan (APBN-P) tahun 2005, lebih cepat dari jadwal
yang seharusnya, yaitu bulan September 2005. Percepatan pengajuan RUU
APBN-P 2005 ini penting untuk mengamankan pelaksanaan APBN 2005,
agar lebih realistis, serta untuk lebih mendukung pencapaian sasaran
pembangunan ekonomi 2005 dan jangka menengah baik dalam rangka
penyediaan lapangan kerja baru maupun pengurangan penduduk miskin.
Percepatan pengajuan RUU APBN-P 2005 juga untuk mengakomodasikan
keperluan pembangunan kembali Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam pasca
bencana tsunami Desember 2004, yang rencana kebutuhan pembiayaannya
belum ditampung dalam UU APBN 2005, serta rencana tambahan belanja
negara dalam rangka program kompensasi pengurangan subsidi BBM.
Selanjutnya untuk menampung beberapa hal yang belum terakomodasi pada
APBN-P 2005 sebelumnya, Pemerintah mengajukan RUU APBN-P 2005
tahap II. Selain itu, RUU APBN-P tersebut juga dimaksudkan untuk
menampung perkembangan kondisi perekonomian nasional terkini khususnya
terkait dengan besaran-besaran ekonomi makro yang telah mengalami
perubahan cukup signifikan.

Perubahan asumsi
dasar ekonomi makro,
khususnya asumsi harga minyak mentah
mengandung konsekuensi berubahnya
postur APBN secara
signifikan, terutama terhadap besaran penerimaan migas, dana bagi
hasil untuk daerah, dan
subsidi BBM.

Perubahan asumsi dasar ekonomi makro, khususnya asumsi harga minyak
mentah yang meningkat cukup tajam mengandung konsekuensi berubahnya
postur APBN secara signifikan, terutama terhadap besaran penerimaan
migas, dana bagi hasil untuk daerah, dan subsidi BBM. Untuk menjaga
kesehatan dan alokasi APBN maka diperlukan langkah-langkah kebijakan
fiskal seperti kebijakan pengurangan subsidi BBM. Perubahan asumsi harga
minyak dan adanya kebijakan kenaikan harga BBM dalam negeri membawa
konsekuensi kepada asumsi-asumsi ekonomi makro lainnya seperti inflasi
dan tingkat bunga. Selain itu, perkembangan nilai tukar juga diperkirakan
tidak sekuat sebagaimana diperkirakan semula namun cenderung melemah
dalam beberapa waktu terakhir. Melemahnya nilai tukar rupiah ini juga
berimplikasi pada naiknya tingkat inflasi domestik. Dengan mencermati
kondisi terkini, asumsi dasar ekonomi makro yang terdapat dalam APBN-P
2005 perlu disesuaikan dalam APBN-P 2005 tahap II. Pertumbuhan ekonomi
diperkirakan mencapai 6,0 persen, inflasi 8,0 persen, kurs Rp9.500 per dolar
Amerika Serikat, suku bunga SBI 3 bulan 8,25 persen, serta harga dan
produksi minyak Indonesia mencapai masing-masing sekitar US$50,6 per
barel dan 1,075 juta barel per hari.

GAM BARAN UM UM EKON OM I I N DON ESI A
TAH UN 2 0 0 5
Perekonomian Indonesia tahun 2005 diawali
dengan momentum pertumbuhan ekonomi
yang cukup tinggi.

2

Perekonomian Indonesia tahun 2005 diawali dengan momentum
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan meningkatnya kepercayaan
bisnis dan permintaan investasi dengan pesat. Krisis ekonomi yang telah
memundurkan pembangunan ekonomi dalam 6 tahun terakhir telah diakhiri
dengan suksesnya transisi dari program IMF. Lebih dari itu, tingkat
kemiskinan telah turun di bawah tingkatnya sebelum krisis.

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

Momentum pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi tersebut tidak terlepas
dari terjaganya stabilitas ekonomi makro dalam beberapa tahun terakhir.
Perbaikan yang mengesankan dalam sustainabilitas fiskal dalam tahun-tahun
terakhir yang didukung oleh stabil dan demokratisnya lingkungan politik telah
mendukung gambaran stabilitas ekonomi makro tersebut. Momentum
ekonomi bersama-sama dengan stabilitas politik dan ekspektasi yang tinggi
terhadap kebijakan ekonomi pemerintahan baru telah memperbaiki sentimen
masyarakat. Risiko ekonomi makro yang diukur dengan rasio utang luar
negeri dan utang pemerintah terhadap PDB terus membaik. Sekalipun
demikian, iklim investasi masih perlu diperbaiki, khususnya dalam beberapa
sektor seperti sektor pertambangan minyak dan gas yang pada gilirannya
menyebabkan turunnya produksi minyak dan gas.

Momentum pertumbuhan ekonomi yang
cukup tinggi tidak terlepas dari terjaganya
stabilitas ekonomi
makro dalam beberapa
tahun terakhir.

Dalam tahun 2004, sekalipun terdapat tantangan global dari naiknya harga
minyak mentah, kinerja ekonomi Indonesia lebih baik dari yang diperkirakan
semula. Inflasi relatif rendah, indeks harga saham yang meningkat pada
level tertinggi sepanjang sejarah, dengan pertumbuhan ekonomi 5,1 persen,
tertinggi sejak krisis tahun 1998.

Dalam tahun 2004,
kinerja ekonomi Indonesia lebih baik dari yang
diperkirakan semula.

Investasi dan ekspor telah mulai menunjukkan peningkatan meskipun
stabilitas ekonomi makro masih belum dicerminkan dalam penciptaan
lapangan kerja yang memadai karena masih terdapatnya berbagai hambatan
di sektor riil. Hal ini merupakan tantangan utama dalam lima tahun mendatang,
yaitu mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan
mengkonsolidasikan reformasi mikro seraya memelihara stabilitas ekonomi
makro.

Investasi dan ekspor
telah mulai menunjukkan peningkatan.

Selanjutnya, untuk lebih mendorong kesejahteraan masyarakat Indonesia,
Pemerintah mempunyai misi ekonomi yang didasarkan kepada tiga strategi
utama. Strategi pertama yaitu mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi secara berkelanjutan melalui kombinasi ekspor yang kuat dan
meningkatnya investasi, baik dalam negeri maupun luar negeri (pro-growth).
Kedua, menstimulasi kinerja sektor riil untuk menciptakan lapangan kerja
(pro-employment). Dan ketiga, mendukung pembangunan ekonomi
perdesaan untuk mengentaskan kemiskinan (pro-poor).
Dengan tiga strategi utama tersebut, target-target ekonomi jangka menengah
diharapkan dapat tercapai. Dalam lima tahun mendatang, pengangguran
terbuka diharapkan berkurang dari 9,5 persen dalam tahun 2003 menjadi
5,1 persen. Tingkat kemiskinan juga ditargetkan menurun dari 16,6 persen
tahun 2004 menjadi 8,2 persen tahun 2009. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi rata-rata akan mencapai sekitar 6,6 persen per tahun.
Target-target tersebut hanya akan dicapai apabila terdapat tingkat inflasi
yang rendah, sustainabilitas fiskal, dan upaya untuk berpegang teguh kepada
strategi reformasi ekonomi di atas. Untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, produktivitas diupayakan meningkat di semua sektor. Meningkatnya
produktivitas akan terjadi apabila reformasi ekonomi makro berlanjut, dan
diikuti dengan berbagai reformasi pada tataran mikro. Berbagai reformasi
yang saat ini sedang aktif dilakukan adalah memperbaiki iklim investasi,
menjamin fleksibilitas pasar kerja, dan memerangi korupsi untuk menurunkan
ekonomi biaya tinggi. Pemerintah juga mempunyai komitmen untuk
3

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

melanjutkan proses reformasi hukum, antara lain dengan menerbitkan
Peraturan Presiden tentang pemberantasan korupsi, mendirikan Komite
Pengawas Kejaksaan, dan memerangi penyelundupan. Kesemuanya ini
dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan kepastian investasi di
Indonesia. Selain itu, Pemerintah juga mempunyai tekad yang kuat untuk
memperbaiki infrastruktur. Dalam bulan Januari 2005 Pemerintah telah
menyelenggarakan Infrastructure Summit di Jakarta yang dihadiri oleh 700
pebisnis dari 22 negara. Kesimpulan dari Infrastructure Summit yaitu
memberi ruang yang lebih besar kepada partisipasi sektor swasta dalam
membangun berbagai program infrastruktur yang akan memberikan stimulus
terhadap pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Komitmen
Pemerintah memperbaiki iklim investasi akan melengkapi upaya-upaya dalam
meningkatkan kepastian hukum dan aturan agar merangsang partisipasi
sektor swasta dalam pembangunan. Dalam mendukung program tersebut
telah dibentuk Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur
(KKPPI) dan telah diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun
2005 tentang Kelistrikan, PP Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol, PP
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Water Piping System, dan PP Nomor 36
Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.
Memasuki tahun 2005,
Indonesia dihadapkan
dengan cobaan yang
terberat dalam sejarah
bangsa, baik secara
emosi, sosial, maupun
ekonomi.

Memasuki tahun 2005, Indonesia dihadapkan dengan cobaan yang terberat
dalam sejarah bangsa, baik secara emosi, sosial, maupun ekonomi. Bencana
tsunami pada 26 Desember 2004 telah mengakibatkan kerusakan yang hebat
dan kehilangan nyawa sekitar 124.000 jiwa dan 400.000 jiwa kehilangan
tempat tinggal di Aceh dan Sumatera Utara. Tugas yang mendesak adalah
segera memberikan bantuan darurat, dan diikuti dengan tahapan-tahapan
rehabilitasi dan rekonstruksi yang akan memakan waktu antara 3-5 tahun.
Untuk itu, pada pertemuan khusus pimpinan ASEAN setelah gempa bumi
dan tsunami di Jakarta pada 6 Januari 2005, Pemerintah dan berbagai
organisasi internasional telah menyampaikan komitmen mengenai perlunya
solidaritas global untuk membantu korban tsunami, untuk mendukung
program-program nasional untuk rehabilitasi dan rekonstruksi, dan untuk
mengantisipasi korban bencana selanjutnya dengan mendirikan sistem
peringatan dini di Samudera Hindia. Mereka juga membuat komitmen untuk
program-program yang telah disetujui pada Tsunami Summit di Jakarta.

Prospek ekonomi dalam
tahun 2005 perlu
dicermati
untuk
mengantisipasi pertumbuhan ekonomi
dunia yang agak
melambat, lebih tingginya tingkat bunga di
Amerika Serikat, dan
terus berlanjutnya harga
minyak yang cukup
tinggi.

Prospek ekonomi dalam tahun 2005 juga perlu dicermati secara hati-hati
untuk mengantisipasi pertumbuhan ekonomi dunia yang agak melambat,
lebih tingginya tingkat bunga di Amerika Serikat, menguatnya US dolar di
pasar global, dan terus berlanjutnya harga minyak yang cukup tinggi. Lebih
dari itu, menyadari perlunya tambahan pengeluaran untuk upaya-upaya
pemulihan terkait dengan bencana Tsunami, maka Pemerintah perlu
meninjau ulang mengenai rencana awal penurunan lebih lanjut atas defisit
APBN, sehingga target defisit untuk APBN-P 2005 sedikit diperlonggar
menjadi 0,8 persen PDB lebih tinggi dari 0,7 persen PDB dalam APBN
2005. Berlajutnya tekanan terhadap beberapa indikator ekonomi makro di
atas dalam beberapa bulan terakhir menyebabkan perkiraan realisasi defisit
menjadi sekitar 1,0 persen PDB.
Perkiraan realisasi defisit 1,0 persen tersebut masih dalam kerangka program
konsolidasi fiskal. Sejalan dengan kebijakan fiskal yang berhati-hati,

4

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

Pemerintah berupaya lebih keras untuk mengendalikan defisit APBN
sekalipun terdapat tambahan kebutuhan dana untuk upaya rekonstruksi
terhadap daerah-daerah yang dilanda tsunami dan untuk pemberian dana
kompensasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Dukungan hibah
oleh lembaga-lembaga donor, moratorium utang oleh negara-negara donor
yang tergabung dalam Paris Club, dan tambahan dana dari negara-negara
anggota CGI cukup membantu manajemen fiskal Indonesia.
Berbagai kebijakan fiskal utama yang telah diambil dan akan terus
dilaksanakan mencakup pelaksanaan kebijakan untuk mengurangi defisit
dan mengendalikan utang Pemerintah pada tingkat yang aman. Selain itu,
Pemerintah akan melanjutkan modernisasi pajak dan kepabeanan dan
melakukan reformasi struktural. Undang-undang perpajakan dan kepabeanan
akan diamandemen agar sistem perpajakan di Indonesia menjadi lebih
kompetitif. Pemerintah juga akan merasionalisasikan belanja negara yang
akan lebih diarahkan kepada hal-hal yang diprioritaskan termasuk langkahlangkah kebijakan kompensasi pengurangan subsidi BBM dan pemulihan
dan rekonstruksi Aceh. Selain itu, pelaksanaan kebijakan yang terkait dengan
desentralisasi fiskal juga akan diperbaiki berdasarkan Undang-undang
Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
pusat dan daerah dengan maksud untuk memperbaiki mekanisme pinjaman
daerah. Pemerintah juga akan mengusulkan amandemen Undang-undang
Nomor 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk
memberikan lingkungan yang kondusif bagi investasi di daerah.

Berbagai kebijakan
fiskal utama yang telah
diambil dan akan terus
dilaksanakan mencakup
pelaksanaan kebijakan
untuk mengurangi defisit dan mengendalikan
utang Pemerintah pada
tingkat yang aman.

Dalam kaitannya dengan pembiayaan anggaran, Paris Club telah
mengadakan pertemuan pada tanggal 12 Januari 2005, dan 9 s.d 10 Maret
2005 untuk mendiskusikan penawaran moratorium utang bagi negara
peminjam yang terkena dampak bencana tsunami pada bulan Desember
2004. Tujuan utama penawaran moratorium utang yaitu agar negara-negara
peminjam yang terkena bencana tsunami mempunyai sumber dana yang
cukup untuk membiayai keperluan rekonstruksi dan kemanusiaan di daerahdaerah yang terkena bencana. Pada tanggal 10 Maret 2005, Paris Club
mengeluarkan press release yang isinya bahwa negara-negara anggota
yang terkena bencana tsunami dapat keringanan untuk tidak membayar
kewajiban utang sampai dengan 31 Desember 2005. Penundaan utang pokok
dan bunga dibayarkan dengan tenggang waktu lima tahun dan grace period
satu tahun. Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia menyetujui tawaran
penundaan utang pokok dan bunga dari Paris Club sebesar US$3,0 miliar
yang akan jatuh tempo tahun ini.

Tujuan utama penawaran moratorium utang
yaitu agar negaranegara peminjam yang
terkena bencana tsunami mempunyai sum-ber dana yang cukup
untuk membiayai keperluan rekonstruksi dan
kemanusiaan di daerahdaerah yang terkena
bencana.

Sementara itu, dalam kaitannya dengan reformasi sektor finansial,
Departemen Keuangan dan Bank Indonesia telah menandatangani Nota
Kesepahaman (Memorandum of Understanding) atas prosedur penutupan
perbankan dan lender of the last resort. Rancangan Undang-undang tentang
jaring pengaman keuangan saat ini juga sedang dipersiapkan. Undang-undang
Lembaga Penjaminan Simpanan telah disahkan DPR tahun 2004 dan efektif
mulai berlaku September 2005, dan Sistem Penjamin Simpanan saat ini mulai
diterapkan secara bertahap. Selain itu, cetak biru mengenai Otoritas Jasa
Keuangan yang terintegrasi juga sedang dipersiapkan. Di lingkungan
Departemen Keuangan, Bappepam juga akan digabung dengan Direktorat

Departemen Keuangan
dan Bank Indonesia
telah menandatangani
Nota Kesepahaman
(Memorandum of Understanding) atas prosedur penutupan perbankan dan lender of the
last resort.

5

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

Jenderal Lembaga Keuangan agar supervisi aktivitas pasar modal dan
lembaga keuangan dapat dilaksanakan lebih baik.
Perbaikan manajemen
sektor publik yang
merupakan bagian dari
upaya peningkatan
akuntabilitas sektor
pemerintah sebagai
penyelenggara negara
akan dipercepat.

Selanjutnya, perbaikan manajemen sektor publik yang merupakan bagian
dari upaya peningkatan akuntabilitas sektor pemerintah sebagai
penyelenggara negara akan dipercepat. Berbagai aspek mengenai perbaikan
manajemen sektor publik mencakup antara lain manajemen belanja negara,
manajemen utang, procurement dan akuntansi, serta auditing dan kontrol
pada semua tingkatan pemerintahan. Berbagai kegiatan yang sedang
dilakukan dengan bantuan berbagai lembaga internasional, yaitu (i) perbaikan
manajemen keuangan, (ii) penguatan pungutan penerimaan dan manajemen
keuangan publik dan akuntabilitas, (iii) penguatan fungsi pemeriksaan,
termasuk untuk pemerintah daerah dan melakukan harmonisasi sistem
keuangan daerah dan pusat dan mekanisme peminjaman dan hibah daerah,
(iv) memperkenalkan sistem anggaran berbasis kinerja, (v) membuat model
strategi manajemen utang, dan (vi) membentuk unit penasehat (advisory
unit) untuk memberikan arahan kebijakan pada keseluruhan manajemen
pengeluaran publik.

Dengan dipeliharanya
kebijakan moneter yang
sehat yang didukung
oleh aliran modal yang
bebas dan rezim nilai
tukar mengambang
bebas, otoritas moneter
telah berhasil menjaga
stabilitas perekonomian.

Di bidang moneter, tahun 2004 merupakan tahun prestasi tetapi juga
merupakan tahun yang penuh tantangan. Tahun 2004 pada dasarnya
merupakan tahun transisi politik dan dalam prosesnya pemilihan umum dapat
dilaksanakan dengan demokratis, damai, jujur, dan terbuka. Sekalipun
demikian, dengan dipeliharanya kebijakan moneter yang sehat yang didukung
oleh aliran modal yang bebas dan rezim nilai tukar mengambang bebas,
otoritas moneter telah berhasil menjaga stabilitas perekonomian, yang
tercermin dari stabilitas nilai tukar pada tingkat rata-rata Rp8.938 per dolar
Amerika Serikat atau terdapat depresiasi 4,21 persen setahun, menurunnya
tingkat bunga domestik sampai pertengahan 2004, dan inflasi dan ekspektasi
inflasi tetap terkendali. Inflasi tahunan (y-o-y) tahun 2004 mencapai 6,4
persen. Kebutuhan riil perekonomian, terutama untuk kepentingan korporasi
yang cukup tinggi, dan penguatan nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap
berbagai mata uang dunia yang dipicu oleh kenaikan suku bunga The Fed
mempunyai peranan yang berarti terhadap melemahnya nilai tukar rupiah
dalam kurun waktu 2004.

Stabilitas ekonomi
makro dipekirakan dapat dipelihara.

Memasuki tahun 2005, sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi
Indonesia, stabilitas ekonomi makro diperkirakan dapat dipelihara. Nilai tukar
rupiah selama tahun 2005 diperkirakan relatif stabil dengan kecenderungan
melemah menjadi rata-rata sebesar Rp9.500/US$, melemah 2,1 persen
dibandingkan dengan perkiraan APBN-P 2005 sebesar Rp9.300/US$.

Melemahnya nilai tukar
rupiah pada gilirannya
akan diikuti oleh adanya
tekanan inflasi yang
lebih tinggi.

Melemahnya nilai tukar rupiah pada gilirannya diikuti oleh tekanan inflasi
yang lebih tinggi. Laju inflasi tahun 2005 diperkirakan mencapai 8,0 persen.
Realisasi inflasi kumulatif selama Januari-Juli 2005 mencapai 5,09 persen.
Ditinjau dari faktor yang mempengaruhinya, tekanan inflasi tahun 2005 selain
karena melemahnya nilai tukar rupiah, juga bersumber dari tingginya harga
komoditas impor, meningkatnya permintaan agregat, tingginya ekspektasi
inflasi, kenaikan harga BBM (29 persen), dan kenaikan harga jual eceran
(HJE) rokok (15 persen). Dalam rangka pengendalian inflasi secara
komprehensif, Pemerintah maupun Bank Indonesia telah dan akan

6

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

melakukan upaya-upaya untuk meredam gejolak harga barang-barang
lainnya. Dalam hal ini, otoritas moneter tetap berkomitmen untuk
melaksanakan kebijakan moneter yang sehat, sejalan dengan misi untuk
menjamin stabilitas nilai tukar rupiah dan supervisi perbankan secara hatihati untuk menjamin kesehatan dan efektivitas sistem perbankan. Sementara
itu, Pemerintah akan senantiasa berkoordinasi untuk turut membantu
pengendalian inflasi, terutama dengan menjaga kenaikan harga-harga
kebutuhan pokok dengan senantiasa memantau kelancaran distribusi maupun
ketersediaan stok di pasar, dan mengendalikan kenaikan-kenaikan tarif yang
penentuannya dipengaruhi oleh Pemerintah. Berdasarkan pertimbanganpertimbangan tersebut, laju inflasi dalam tahun 2005 diperkirakan mencapai
sebesar 8,0 persen, lebih tinggi dari yang diperkirakan semula dalam APBNP 2005 sebesar 7,5 persen.
Nilai tukar rupiah yang cenderung melemah secara moderat dan laju inflasi
yang sedikit lebih tinggi dibanding tahun 2003, masih menunjukkan relatif
stabilnya kondisi makro-moneter dalam tahun 2004. Kondisi ini memberikan
peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga secara bertahap
dalam tahun 2004. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan rata-rata suku
bunga SBI-3 bulan dari 8,15 persen pada bulan Januari 2004 menjadi 7,29
persen dalam bulan Desember 2004. Dengan demikian, dalam tahun 2004,
realisasi rata-rata suku bunga SBI-3 bulan mencapai 7,39 persen. Dalam
tahun 2005, rata-rata suku bunga SBI 3 bulan dari Januari sampai dengan
Juli mencapai 7,67 persen. Perkiraan realisasi selama tahun 2005 yaitu 8,25
persen, lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan dalam APBN-P 2005
sebesar 7,5 persen. Lebih tingginya perkiraan tersebut untuk mengantisipasi
kenaikan inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah. Hal ini merupakan refleksi
dari bergesernya kebijakan moneter dari akomodatif menjadi tight bias.

Kondisi makro-moneter
dalam tahun 2004 relatif
stabil.

Terjaganya kondisi ekonomi makro dan moneter memberi peluang kepada
progresivitas kinerja sektor perbankan. Dana pihak ketiga dan kredit yang
disalurkan cukup tinggi. Selama periode Januari-Mei 2005, dana pihak ketiga
(DPK) dan kredit perbankan masing-masing meningkat sebesar 2,5 persen
dan 9,4 persen dibanding dengan posisi akhir tahun 2004. Membaiknya kinerja
sektor perbankan juga tercermin pada meningkatnya LDR dari 50,0 persen
pada Desember 2004, menjadi 52,9 persen pada bulan Mei 2005. Demikian
pula CAR meningkat dari 19,4 persen pada akhir 2004 menjadi 20,0 persen
dalam bulan Mei 2005. Namun demikian kualitas kredit mengalami
penurunan yang tercermin pada meningkatnya non performing loans
(NPLs) dalam beberapa bulan terakhir.

Terjaganya kondisi
ekonomi makro dan
moneter juga turut mendorong membaiknya
kinerja sektor perbankan.

Dalam rangka meningkatkan kinerja sektor perbankan lebih lanjut, kebijakan
perbankan akan diarahkan pada pencapaian lima tujuan. Pertama,
mempercepat proses konsolidasi dalam industri perbankan. Kedua,
melanjutkan penyesuaian mekanisme dan prosedur sistem perbankan agar
lebih mendukung kebutuhan perekonomian nasional. Ketiga, mengambil
langkah-langkah untuk memperkuat infrastuktur sistem keuangan. Keempat,
memperbaiki aspek prudensial perbankan dan fungsi intermediasi. Dalam
kaitan ini, berbagai upaya akan difokuskan pada pengembangan manajemen
yang lebih hati-hati kepada industri perbankan dan kepedulian yang lebih
kuat atas resiko-resiko perbankan. Tujuan kelima, industri perbankan

Kebijakan perbankan
dalam tahun 2005 akan
diutamakan pada upaya
penguatan industri perbankan dengan menjaga
kehati-hatian supervisi
perbankan.

7

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

Indonesia diharapkan setingkat dengan negara-negara kawasan dengan
mengimplementasikan Kerangka Kerja Bassel II dalam tahun 2008.
IHSG menembus angka
1.182,3 pada akhir Juli
tahun 2005.

.

Indeks harga saham gabungan (IHSG) yang sempat mengalami tekanan
pada bulan Mei dan Juni 2004, pada akhir Juli 2004 kembali meningkat
hingga menembus angka 1.000 pada akhir tahun 2004. Sampai dengan akhir
bulan Juli 2005, IHSG telah mencapai 1.182,3. Ekspektasi membaiknya
pertumbuhan ekonomi dan keuntungan korporasi yang lebih baik, serta
relatif stabilnya keamanan dan politik telah mendukung pemulihan indeks
harga saham tersebut.

Perdagangan Surat
Utang Negara yang
pada tahun pada tahun
2004 mengalami kenaikan, cenderung
menurun pada tahun
2005.

Sementara itu, perdagangan Surat Utang Negara (SUN) pada tahun 2004
juga mengalami kenaikan. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya volume
perdagangan SUN di Bursa Efek Surabaya (BES) yang mencapai sekitar
51,9 persen, yaitu dari Rp337,7 triliun dalam tahun 2003 menjadi Rp513,0
triliun dalam tahun 2004. Peningkatan perdagangan SUN dalam tahun 2004
tersebut diikuti dengan penurunan imbal hasil (yield) yang signifikan.
Memasuki tahun 2005 perdagangan SUN mengalami penurunan seiring
dengan meningkatnya suku bunga SBI.

Kinerja reksadana
tahun 2005 menunjukkan penurunan yang
tercermin pada menurunnya nilai aktiva
bersih (NAB).

Kinerja reksadana menunjukkan penurunan sehubungan dengan
meningkatnya suku bunga SBI. Hal ini tercermin pada menurunnya nilai
aktiva bersih (NAB) dari Rp104,0 triliun pada akhir tahun 2004 menjadi
Rp76,1 triliun pada bulan Juli 2005. Dilihat dari jenisnya, reksadana
pendapatan tetap menurun 42,9 persen, sedangkan reksadana jenis lainnya
seperti saham, pasar uang, dan reksadana campuran masing-masing
meningkat 183,3 persen, 23,6 persen, dan 90 persen dibandingkan posisi
akhir tahun sebelumnya.

Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan untuk mendorong penanaman modal.

Dari sisi perkembangan persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN), selama periode Januari-Juni 2005 nilai persetujuan PMDN
mencapai sekitar Rp24,5 triliun, lebih besar dari persetujuan PMDN dalam
periode yang sama tahun sebelumnya sekitar Rp20,8 triliun, atau mengalami
peningkatan sebesar 18,1 persen. Sedangkan untuk Penanaman Modal Asing
(PMA), nilai persetujuan PMA selama periode Januari-Juni 2005 mengalami
perbaikan cukup signifikan menjadi sekitar US$5,9 miliar dibanding periode
yang sama tahun 2004 sekitar US$3,5 miliar, atau mengalami peningkatan
sekitar 71,4 persen. Dilihat dari jenis investasinya, maka nilai persetujuan
PMA tersebut lebih didominasi untuk proyek baru yang mencakup sekitar
55,1 persen dari total persetujuan PMA. Persetujuan PMA untuk proyek
baru tersebut dalam kurun waktu Januari-Juni 2005 mengalami peningkatan
sekitar 124 persen, sementara untuk proyek perluasan mengalami
peningkatan sekitar 12,8 persen.

Pertumbuhan nilai
ekspor cenderung meningkat karena meningkatnya ekspor migas
dan nonmigas.

Di sisi perkembangan sektor eksternal, dalam paruh pertama tahun 2005
realisasi sementara nilai ekspor Indonesia mencapai US$40.582,5 juta atau
meningkat sebesar 27,48 persen dibanding periode yang sama tahun
sebelumnya. Naiknya ekspor tersebut bersumber dari naiknya ekspor migas
sebesar 18,71 persen dan ekspor nonmigas sebesar 30,15 persen. Kontribusi
nilai ekspor migas dan non migas terhadap total ekspor masing-masing
sebesar 21,74 persen dan 78,26 persen. Meningkatnya nilai ekspor migas
dipicu oleh tingginya harga minyak mentah di pasar internasional. Sedangkan

8

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

peningkatan ekspor nonmigas bersumber dari meningkatnya ekspor produk
pertanian, industri, dan produk pertambangan yang masing-masing meningkat
sebesar 35,82 persen, 23,38 persen dan 115,05 persen. Peningkatan yang
cukup menonjol pada ekspor produk pertanian mencakup kopi, teh, dan
rempah-rempah, ikan dan udang, karet dan barang dari karet, serta lemak
dan minyak hewan/nabati. Naiknya ekspor komoditas tersebut antara lain
dipengaruhi oleh meningkatnya harga-harga komoditas tersebut di pasara
internasional. Peningkatan ekspor hasil industri dipicu oleh meningkatnya
ekspor pakaian jadi dan barang-barang rajutan, bahan kimia dan produk
bahan kimia, bubur kayu dan kertas, filamen buatan/serat stapel buatan,
mesin/pesawat mekanik, mesin/peralatan listrik, kapal laut dan perabot
penerangan rumah.
Di sisi lain, nilai impor selama periode Januari-Juni tahun 2005 mencapai
US$28.373,1 juta atau meningkat sebesar 35,35 persen dibanding impor
periode yang sama tahun 2004. Impor migas tercatat sebesar US$7.891,6
juta atau naik sebesar 56,63 persen sedangkan impor nonmigas meningkat
sebesar 28,62 persen menjadi US$20.481,5 juta. Melonjaknya impor migas
disebabkan oleh tingginya harga minyak internasional dan meningkatnya
konsumsi BBM dalam negeri. Sementara lebih tingginya impor nonmigas
terkait dengan meningkatnya impor bahan baku/penolong dan barang modal
dalam rangka memenuhi kebutuhan industri domestik dan kegiatan investasi.

Dalam periode JanuariJuni tahun 2005, impor
sebesar US$28.373,1
juta.

Optimisme dari membaiknya gambaran ekonomi makro terkini Indonesia di
atas tetap perlu mempertimbangkan resiko ekonomi makro yang mungkin
timbul. Sekalipun rasio stok utang pemerintah terhadap PDB menunjukkan
penurunan yang tajam, pembayaran utang pemerintah baik cicilan maupun
bunganya masih merupakan beban yang cukup berat bagi APBN. Sebagai
hasilnya, Pemerintah masih memerlukan pinjaman baik dalam maupun luar
negeri yang cukup besar. Hal tersebut dimungkinkan apabila fundamental
ekonomi makro tetap kuat. Ketidakstabilan ekonomi makro akan membuat
pinjaman tersebut menjadi lebih mahal.

Pembayaran utang
pemerintah baik cicilan
maupun bunganya masih merupakan beban
yang cukup berat bagi
APBN.

Pertumbuhan ekonomi yang masih berkisar 5-6 persen belum mampu
menciptakan lapangan kerja yang memadai guna menampung tambahan
angkatan kerja serta mengurangi pengangguran yang ada. Dalam tahun
2004, tingkat pengangguran terbuka di Indonesia meningkat menjadi 9,9
persen dari 9,5 persen tahun 2003. Sekalipun lapangan kerja baru yang
tercipta tahun 2004 lebih tinggi dari tahun 2003 pada tingkat 2,3 juta, tingkat
pengangguran terbuka tahun 2004 meningkat sejalan dengan masuknya
sekitar 3,7 juta angkatan kerja baru ke pasar kerja. Dalam periode Agustus
2004 - Februari 2005, tambahan angkatan kerja baru di Indonesia mencapai
1,8 juta orang, sementara itu, dalam kurun waktu yang sama tambahan
lapangan kerja baru hanya mencapai 1,2 juta orang, sehingga terdapat
tambahan pengangguran terbuka sebesar sekitar 600 ribu orang. Dengan
demikian, tingkat pengangguran terbuka meningkat menjadi 10,4 persen dalam
bulan Februari 2005, dibandingkan dengan 9,9 persen pada Agustus 2004.
Meningkatnya pengangguran antara lain karena adanya pemutusan
hubungan kerja di berbagai industri pengolahan, termasuk tekstil dan alas
kaki, dan BUMN termasuk industri dirgantara. Penggangguran diperkirakan
tetap menjadi masalah di Indonesia sepanjang pertumbuhan ekonomi dan

Pertumbuhan ekonomi
yang masih berkisar 56 persen belum mampu
menciptakan lapangan
kerja yang memadai.

9

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

penciptaan lapangan kerja tidak mampu berpacu dengan tambahan
penduduk.
Persentase jumlah penduduk yang berada di
bawah garis kemiskinan menurun secara
signifikan dalam periode
setelah krisis.

Berbeda dengan tingkat pengangguran yang semakin meningkat, persentase
jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurun secara
signifikan dalam periode setelah krisis. Dalam tahun 2003, persentase
penduduk miskin mencapai 17,4 persen, membaik pada tingkat sebelum
krisis (1996) sebesar 17,7 persen, namun masih mencakup jumlah besar
yaitu sekitar 37,3 juta jiwa. Selanjutnya, pada tahun 2004 jumlah penduduk
miskin menurun menjadi 36,1 juta jiwa atau sekitar 16,6 persen jumlah
penduduk.
Penurunan angka kemiskinan terutama berasal dari pertumbuhan pendapatan,
dan menurunnya inflasi, khususnya terkendalinya harga-harga bahan
makanan. Menurut studi Bank Dunia, setiap kenaikan 10 persen pendapatan
perkapita riil akan mengurangi indeks kemiskinan dengan 1,3 persen. Pada
saat yang sama, setiap kenaikan 10 persen harga riil beras menyebabkan
peningkatan angka kemiskinan 3,2 persen.

PERKEMBAN GAN I N DI KATOR EKON OMI
MAKRO 2 0 0 4 - 2 0 0 5
Beberapa variabel ekonomi makro tahun 2005 yang digunakan sebagai
asumsi dasar penyusunan RAPBN 2005 meliputi pertumbuhan ekonomi,
nilai tukar rupiah, inflasi, suku bunga SBI-3 bulan, harga minyak mentah,
dan produksi minyak Indonesia. Perkembangan beberapa indikator ekonomi
tersebut dapat dilihat dalam Tabel I.1.
Tabel I.1
Perkem bangan Asum si Ekonom i Makro, 2004 – 2005
2005

2004
Realisasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Pertumbuhan Ekonomi (persen)
Tingkat inflasi ( persen)
Nilai Tukar Rupiah (Rp/US$)
Suku Bunga SBI-3 bulan ( persen)
Harga Minyak Internasional (US$/barel )
Produksi Minyak (juta barel/hari)

5,0
6,4
8.939
7,39
37,17
1,072

Asumsi
APBN-P
APBN UU No 1/2005
5,4
5,5
8.600
6,5
24
1,125

6,0
7,5
9.300
8,0
45
1,125

Perkiraan
realisasi
6,0
8,0
9.500
8,25
50,6
1,075

PERTUMBUHAN EKON OMI
Laju pertumbuhan ekonomi triwulan I tahun
2005 mencapai sebesar
6,3 persen.

10

Kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan penguatan yang
cukup signifikan dalam triwulan I tahun 2005. Laju pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan 2000 dalam triwulan I
tahun 2005 (y-o-y) mencapai sebesar 6,3 persen, lebih tinggi dibandingkan
laju pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 4,4 persen. Dalam beberapa
triwulan terakhir, kinerja pertumbuhan ekonomi menunjukkan kecenderungan
penguatan yang terus berlanjut. Laju pertumbuhan ekonomi dalam lima
triwulan terakhir dapat dilihat dalam Tabel I.2.

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

Tabel I.2

Laju Pertumbuhan PDB
Atas Dasar Harga Konstan 2000 (y-o-y), 2003-2005
(persen)
2004
Uraian

PRODUK DOMESTIK BRUTO

2003

2005

2004
Trw I

Trw II

Trw III Trw IV

Trw I

4,9

5,1

4,4

4,4

5,1

6,7

6,3

Pengeluaran Konsumsi Rumahtangga

3,9

4,9

5,7

5,3

5,0

3,8

3,2

Pengeluaran Konsumsi Pemerintah

10,0

1,9

10,1

4,7

-3,8

-1,3

-8,5

PMTB

1,0

15,7

11,5

13,1

19,7

18,3

15,0

Ekspor Barang dan Jasa

8,2

8,5

1,2

2,0

17,1

13,7

13,4

Impor Barang dan Jasa

2,7

24,9

15,3

25,2

32,0

27,1

15,4

0,4

Menurut Penggunaan

Menurut Lapangan Usaha
Pertanian

4,3

4,1

4,9

3,8

5,3

1,9

Pertambangan Dan Penggalian

-0,9

-4,6

-7,0

-9,1

-5,0

3,3

3,6

Industri Pengolahan

5,3

6,2

6,0

6,9

4,8

7,2

7,0

Listrik, Gas, Dan Air Bersih

5,9

5,9

6,1

6,8

3,1

7,9

6,7

Bangunan

6,7

8,2

8,4

7,8

8,2

8,3

8,6

Perdagangan, Hotel Dan Restoran

5,3

5,8

2,7

4,1

6,9

9,4

10,0

Pengangkutan Dan Komunikasi

11,6

12,7

12,6

13,3

13,5

11,5

12,8

Keuangan, Persewaan & Jasa Persh.

7,0

7,7

7,5

6,7

8,3

8,4

6,8

Jasa - Jasa

3,9

4,9

4,7

5,1

4,7

5,0

5,1

Sumber : Badan Pusat Statistik

Dari sisi penggunaan, meskipun masih memberikan kontribusi cukup besar
dalam pembentukan PDB yang mencakup sekitar 65 persen, laju
pertumbuhan konsumsi rumah tangga menunjukkan kecenderungan yang
melambat dalam lima triwulan terakhir. Bila dalam triwulan I 2004 laju
pertumbuhan konsumsi rumah tangga mencapai 5,7 persen, maka dalam
triwulan I 2005, laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga menurun menjadi
3,2 persen. Perlambatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga ternyata
juga diikuti dengan penurunan kontribusinya terhadap pembentukan PDB
sejak tahun 2003. Dilihat dari komponennya, perlambatan konsumsi rumah
tangga tampaknya terkait erat dengan kecenderungan menurunnya
pertumbuhan konsumsi non makanan dalam lima triwulan terakhir. Laju
pertumbuhan konsumsi non makanan dalam triwulan I tahun 2005 sebesar
4,4 persen, lebih rendah dibanding laju pertumbuhan pada triwulan yang
sama tahun 2004, sebesar 9,8 persen. Beberapa faktor yang terkait dengan
kecenderungan perlambatan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga
diantaranya adalah relatif tingginya laju inflasi domestik sepanjang tahun
2004 hingga semester I tahun 2005, melemahnya nilai tukar rupiah, dan
kecenderungan meningkatnya suku bunga domestik dalam beberapa bulan
terakhir.

Laju pertumbuhan
konsumsi rumah tangga menunjukkan kecenderungan perlambatan
dalam lima triwulan
terakhir.

Sementara itu, pengeluaran konsumsi pemerintah dalam triwulan I tahun
2005 mengalami pertumbuhan negatif 8,5 persen. Hal ini disebabkan oleh

Pengeluaran konsumsi
pemerintah dalam tri-

11

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

wulan I tahun 2005
mengalami pertumbuhan negatif 8,5 persen.

tingginya konsumsi pemerintah pada triwulan I tahun 2004 terkait dengan
pembiayaan Pemilu langsung, sedangkan rendahnya pengeluaran konsumsi
Pemerintah dalam triwulan I tahun 2005 berkaitan dengan keterlambatan
pencairan anggaran Pemerintah karena penerapan sistem baru dalam
pengelolaan anggaran belanja negara.

Penguatan kinerja
pertumbuhan investasi
(pembentukan modal
tetap bruto domestik)
terus berlanjut dalam
triwulan I tahun 2005,
yang tumbuh sebesar 15
persen.

Dalam triwulan I tahun 2005, kecenderungan penguatan kinerja investasi
riil (pembentukan modal tetap bruto domestik, PMTB) dalam beberapa
periode terakhir terus berlanjut. Investasi riil dalam triwulan I tahun 2005
tumbuh secara signifikan sebesar 15,0 persen, lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhannya dalam triwulan yang sama tahun sebelumnya. Lebih
dari itu, rasio investasi terhadap pembentukan PDB juga secara bertahap
mengalami peningkatan sejak tahun 2003. Bila dalam tahun 2003, rasio
investasi terhadap PDB sebesar 18,9 persen, dalam tahun 2004 telah
meningkat menjadi 21 persen, dan dalam triwulan I 2005, rasionya telah
meningkat kembali menjadi 21,4 persen.
Kecenderungan penguatan kinerja investasi, terutama dalam lima triwulan
terakhir diantaranya tercermin dari meningkatnya konsumsi semen nasional
dan impor barang modal. Konsumsi semen nasional pada periode JanuariJuni tahun 2005 mencapai sekitar 15,1 juta ton, lebih besar dibanding
realisasinya pada periode yang sama tahun sebelumnya sekitar 13,8 juta
ton atau mengalami pertumbuhan sekitar 8,8 persen. Pada sisi lain, impor
barang modal selama periode Januari-Juni 2005 mengalami pertumbuhan
sebesar 46,01 persen (y-o-y). Dalam periode yang sama, laju pertumbuhan
impor bahan baku/penolong mencapai sebesar 35,3 persen. Selain itu, dari
keseluruhan nilai impor nasional, kontribusi impor barang modal dan bahan
baku/penolong juga mengalami peningkatan dari semula 91,5 persen dalam
periode Januari-Juni 2004 menjadi 92,5 persen pada periode Januari-Juni
2005.

Dalam periode Januari–
Juni 2005 nilai persetujuan PMDN tumbuh
sebesar 13 persen,
sementara nilai.

Dari sisi perkembangan persetujuan penanaman modal dalam negeri
(PMDN), selama periode Januari–Juni 2005 nilai persetujuan PMDN
mencapai sekitar Rp24,5 triliun, lebih besar dari persetujuan PMDN dalam
periode yang sama tahun sebelumnya sekitar Rp20,8 triliun, atau mengalami
peningkatan sebesar 18,1 persen. Sedangkan untuk Penanaman Modal Asing
(PMA), nilai persetujuan PMA selama periode Januari– Juni 2005
mengalami perbaikan cukup signifikan menjadi sekitar US$5,9 miliar
dibanding periode yang sama tahun 2004 sekitar US$3,5 miliar, atau
mengalami peningkatan sekitar 71,4 persen. Dilihat dari jenis investasinya,
maka nilai persetujuan PMA tersebut lebih didominasi untuk proyek baru
yang mencakup sekitar 55,1 persen dari total persetujuan PMA. Persetujuan
PMA untuk proyek baru tersebut dalam kurun waktu Januari – Juni 2005
mengalami peningkatan sekitar 124,2 persen, sementara untuk proyek
perluasan mengalami peningkatan sekitar 12,8 persen.

Ekspor neto masih mencatat angka yang positif
meskipun dengan kecenderungan yang menurun.

Sementara itu, ekspor neto (ekspor minus impor) masih terus mencatat
angka yang positif, meskipun dengan kecenderungan yang sedikit menurun.
Penurunan ekspor neto ini disebabkan oleh relatif tingginya laju pertumbuhan
impor, terutama barang modal, dibandingkan laju pertumbuhan ekspor,
sejalan dengan kecenderungan semakin menguatnya kinerja investasi. Laju

12

Bab I

Perkembangan Asumsi Dasar APBN Tahun Anggaran 2005

pertumbuhan ekspor pada triwulan I tahun 2005 tumbuh sebesar 13,4 persen,
mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya,
sebesar 1,2 persen. Sementara itu, dalam triwulan I 2005 impor tumbuh
sebesar 15,4 persen, sedikit mengalami perbaikan dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya, sebesar 15,3 persen.
Dilihat dari sisi penawaran, dalam triwulan I tahun 2005, hampir semua
lapangan usaha mencatat angka pertumbuhan positif. Kinerja pertumbuhan
cukup mengesankan masih dialami oleh sektor-sektor yang tidak
diperdagangkan (non tradable sector), terutama dialami oleh sektor
pengangkutan dan komunikasi, perdagangan, hotel dan restoran, serta sektor
bangunan. Sektor pengangkutan dan komunikasi dalam triwulan I tahun
2005 mencatat angka pertumbuhan sebesar 12,8 persen, relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pada periode yang sama tahun
2004, sebesar 12,6 persen. Subsektor pengangkutan, khususnya angkutan
udara, dalam triwulan I tahun 2005, mengalami pertumbuhan yang relatif
tinggi sebesar 18,5 persen, meskipun sedikit mengalami perlambatan
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebagai akibat dari
naiknya harga minyak internasional dalam beberapa periode terakhir. Pada
sisi lain, kecenderungan perlambatan juga terjadi pada subsektor komunikasi,
meskipun masih mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi. Subsektor
komunikasi dalam triwulan I tahun 2005 mencatat pertumbuhan sebesar
17,5 persen, mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun
sebelumnya sebesar 25,2 persen. Sementara itu, sektor bangunan juga masih
mengalami pertumbuhan yang relatif tinggi sebesar 8,6 persen, atau
mengalami peningkatan dibanding periode yang sama tahun 2004, sebesar
8,4 persen. Kinerja sektor bangunan yang terus membaik, tidak terlepas
dari kecenderungan membaiknya kinerja kredit sektor properti dalam
beberapa periode terakhir. Relatif tingginya laju pertumbuhan pada sektorsektor yang tidak diperdagangkan (non tradable) tersebut mengindikasikan
semakin membaiknya struktur dan fundamental perekonomian Indonesia.

Dalam triwulan I tahun
2005, seluruh sektor
m e n g a l a m i
pertumbuhan positif
dengan sektor-sektor
non-tradable
mengalami pertumbuhan tertinggi.

Sementara itu, dalam triwulan I tahun 2005, laju pertumbuhan sektor
pertanian tercatat sebesar 0,4 persen, mengalami perlambatan dibanding
periode yang sama tahun 2004, sebesar 4,9 persen. Perlambatan tersebut
disumbang oleh penurunan laju pertumbuhan pada subsektor tanaman
pangan, kehutanan, dan perikanan. Penurunan kinerja subsektor tanaman
pangan yang mencakup lebih dari separuh total sektor pertanian dalam
triwulan I tahun 2005, terkait dengan tertundanya masa panen pertama
2005 dan timbulnya bencana banjir di beberapa sentra penghasil tanaman
pangan pada awal tahun 2005.

Dalam triwulan I tahun
2005 sektor