Perbedaan Berat Badan pada Pasien Karsinoma Nasofaring Sebelum dan Sesudah Radioterapi pada tahun 2012-2015 di RSUP Haji Adam Malik Medan

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan ruang atau rongga berbentuk kubus yang
terletak di belakang rongga hidung atau koana, tepat di bawah dasar
tengkorak yang berhubungan dengan orofaring.8 Nasofaring di bagian
anterior berbatasan dengan rongga hidung melalui koana, bagian superior
berbatasan dengan dasar tengkorak, bagian posterior berbatasan dengan
fasia prevertebralis dari atlas dan axis, sedangkan bagian inferior
berbatasan dengan palatum mole dan orofaring setinggi ismus faring. Pada
kedua dinding lateral nasofaring terdapat ostium tuba Eustachius dengan
tonjolan tulang rawan di bagian superoposterior yang disebut torus
tubarius. Di bagian posterior torus tubarius ini terdapat lekukan kecil yang
agak datar disebut resesus faringeal lateralis atau fosa Rosenmuller,
merupakan tempat tersering awal mula kanker nasofaring.9

Gambar 2.1 Anatomi Rongga Hidung8

Nasofaring mendapat perdarahan dari cabang - cabang langsung arteri
carotis eksterna yaitu arteri palatina ascendens dan descenden, arteri
faringeal ascendens, dan cabang faringeal arteri sfenopalatina. Sedangkan
plexus venanya berhubungan dengan plexus pterigoid di atas dan vena
jugularis interna dibawah. Daerah nasofaring diinervasi oleh plexus

Universitas Sumatera Utara

7

faringeal yang merupakan gabungan dari nervus glossofaringeus (IX),
nervus vagus (X), dan serabut ganglion simpatis dari sevikalis.8,9,10

2.2

Histologi Nasofaring
Epitel permukaan dari nasofaring membentuk tonjolan dan lipatanlipatan yang disebut dengan kripta. Secara histologis mukosa nasofaring
dibentuk oleh epitel berlapis silindris bersilia atau pseudostratified ciliated
columnar epithelium yang ke arah orofaring akan berubah menjadi epitel
gepeng berlapis atau stratified squamous epithelium. Diantara pertemuan

atap nasofaring dan dinding lateral di daerah fosa Rosenmuller terdapat
epitel peralihan atau transitional epithelium yang menjadi tempat asal dari
tumbuhnya tumor nasofaring. Dipandang dari sisi onkologi, tempat
peralihan antara dua epitel yang berbeda jenis merupakan tempat yang
biasa untuk terjadinya karsinoma.9,11

2.3

Karsinoma Nasofaring

2.3.1 Definisi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan kanker ganas yang tumbuh di daerah
nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller pada nasofaring yang
merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi
epitel skuamosa.11

2.3.2 Epidemiologi
Kejadian karsinoma nasofaring meningkat sesuai dengan pertambahan
usia. Namun, KNF juga dapat terjadi pada setiap usia. Kasus banyak
ditemui pada penderita usia antara 45 – 54 tahun dan jarang dijumpai pada

penderita di bawah usia 20 tahun.8 Kasus karsinoma nasofaring di
kebanyakan Negara di dunia termasuk Amerika Serikat, masih tergolong
jarang. Ada kurang dari satu kasus untuk setiap 100.000 orang setiap tahun.
Pada tahun 2015, sekitar 3.200 kasus yang terjadi di Amerika Serikat.8

Universitas Sumatera Utara

8

KNF cukup unik dan lebih umum pada daerah tertentu seperti Asia dan
Afrika Utara, terutama di Cina Selatan.
Indonesia termasuk salah satu Negara dengan prevalensi penderita
karsinoma nasofaring yang termasuk tinggi di luar Cina Selatan. Di
Indonesia, karsinoma nasofaring menempati urutan ke-5 dari 10 besar
tumor ganas yang terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke-1
dibidang Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor
ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring. Prevalensi
karsinoma nasofaring di Indonesia adalah 6,2/100.000 penduduk dengan
13.000 kasus karsinoma nasofaring baru setiap tahunnya. Insiden kejadian
karsinoma nasofaring di Medan pada tahun 2000 adalah 4,3/100.000

penduduk.9,11

2.3.3 Etiologi Karsinoma Nasofaring
Etiologi karsinoma nasofaring masih belum diketahui secara pasti.
Namun para ahli percaya bahwa etiologi karsinoma nasofaring ialah
multifaktorial termasuk genetik, virus, dan lingkungan.
1. Faktor Genetik
Karsinoma nasofaring memang tidak termasuk dalam tumor genetik.
Namun berdasarkan fakta-fakta yang ada terdapat perbedaan frekuensi
yang nyata diantara beberapa kelompok etnik, yaitu adanya peningkatan
risiko pada keluarga penderita KNF. Beberapa penelitian menunjukan
bahwa gen HLA (Human Leukocyte Antigen) serta gen pengkode enzim
sitokrom p4502E(CYP2E1) adalah gen yang rentan terhadap karsinoma
nasofaring.1,2,9,10 Telah ditemukan bahwa gen HLA-A2-Bw46, HLAA24, dan B17 dapat meningkatkan resiko terjadinya karsinoma
nasofaring 2-3 kali.10,12
2. Infeksi Virus Eipstein-Barr
Terdapat indikasi kuat bahwa Virus Eipstein-Barr memiliki
hubungan langsung terhadap kasus karsinoma nasofaring, terutama pada
tipe yang undifferentiated. Dimana ditemukannya antibodi terhadap


Universitas Sumatera Utara

9

Eipstein-Barr

Virus

(EBV)

pada

serum

penderita

karsinoma

13


nasofaring. Pada suatu studi prospektif ditemukan bahwa peningkatan
antibody IgA terhadap antigen kapsid virus (VCA) Epstein Barr (EB)
merupakan spesifik marker dari karsinoma nasofaring pada tempat
dengan insidens yang tinggi serta dapat secara efektif memprediksi
perkembangan dari karsinoma nasofaring tersebut.12 Aktivasi dari EBV
juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan yang bersifat
karsinogenik dan defisiensi imun. Mekanisme dari virus EBV ini
merusak jaringan epitel masih belum jelas.8,9 Namun, dalam penelitian in
vitro didapatkan bahwa infeksi EBV yang menetap pada sel epitel
menyebabkan sel epitel menjadi rentan terhadap paparan karsinogen
lingkungan.13
3. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang diduga berperan dalam terjadinya karsinoma
nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar, asap
dupa, obat-obatan tradisional, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat
tersebut dengan karsinoma nasofaring masih belum dapat dijelaskan.1,9,11
Bahan makanan yang mengandung nitrosamine seperti ikan asin juga
berperan dalam terjadinya karsinoma nasofaring.16 Merokok dan alkohol
juga merupakan faktor resiko karsinoma nasofaring. Penelitian
menunjukkan adanya paparan alkohol dan asap rokok jangka panjang

memegang

peranan

yang

penting

untuk

terjadinya

karsinoma

nasofaring.8,11,12,13

2.3.4 Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring
1. Virus Eipstein Barr
EBV merupakan faktor risiko mayor karsinoma nasofaring. Sebagian
besar infeksi EBV tidak menimbulkan gejala. EBV menginfeksi dan

menetap secara laten pada 90% populasi dunia. Transmisi utama melalui
saliva, biasanya pada negara berkembang yang kehidupannya padat dan
kurang bersih. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel

Universitas Sumatera Utara

10

orofaring, bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan
sepanjang masa (life-long).14
2. Ikan Asin
Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat
dengan risiko karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Hal ini
disebabkan akibat proses pengawetan dengan garam yang tidak efektif
sehingga

menimbulkan

karsinogenik.


akumulasi

nitrosamine

yang

bersifat

12,14

3. Tembakau
Rokok mempunyai lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk
nitrosamine yang meningkatkan risiko terkena karsinoma nasofaring.
Kebanyakan penelitian menunjukkan merokok meningkatkan risiko
karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali.12,14
4. Asap
Beberapa

peneliti


menyatakan

bahwa

insidens

karsinoma

nasofaring yang tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan
karena asap dari pembakaran kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar
lebih dari 10 tahun meningkatkan 6 kali lipat terkena karsinoma
nasofaring.14
5. Obat Herbal
Pada studi epidemiologi di Asia dan China Selaran, penggunaan
obat traditional Cina berhubungan dengan peningkatan risiko karsinoma
nasofaring 2-4 kali lipat. Bahan material tertentu pada obat traditional
Cina dapat menginduksi aktivasi dari EBV yang laten pada tubuh
individu.12
6. Pajanan Pekerjaan
Pajanan pekerjaan terhadap fume, asap, debu atau bahan kimia lain

meningkatkan risiko karsinoma nasofaring 2 sampai 6 kali lipat.
Stimulasi dan inflamasi jalan nafas kronik, berkurangnya pembersihan
mukosiliar, dan perubahan sel epitel mengikuti tertumpuknya debu
kayu di nasofaring memicu terjadinya karsinoma nasofaring ini.12,14

Universitas Sumatera Utara

11

7. Pajanan Lain
Riwayat infeksi kronik telinga, hidung, tenggorok dan saluran
napas bawah meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak dua
kali lipat. Bakteri yang menginfeksi saluran nafas dapat mengurai nitrat
menjadi nitrit, kemudian dapat membentuk bahan N-nitroso yang
karsinogenik.12,14
8. Familial Clustering
Kerabat pertama, kedua, ketiga pasien karsinoma nasofaring lebih
berisiko terkena karsinoma nasofaring. Kasus familial biasanya pada
tipe II dan III, sedangkan tipe I non familial.14
9. Human Leukocyte Antigen Genes
Di Cina Selatan dan populasi Asia lain, Human Leukocyte AntigenA2-B46 dan B-17 berhubungan dengan peningkatan dua sampai tiga
kali lipat risiko karsinoma nasofaring.12,14
10. Variasi Genetik Lain
Polimorfi di sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) dan CYP2A6 dan
ketiadaan Glutation S-transferase. M1 (GSTM1) dan atau GSTT1
berhubungan dengan peningkatan risiko dua sampai lima kali lipat
terkena karsinoma nasofaring.14

2.3.5 Histopatologi Karsinoma Nasofaring
Klasifikasi WHO membagi karsinoma nasofaring atas tipe karsinoma
sel skuamosa berkeratinisasi (WHO Tipe 1) ditandai dengan adanya keratin
atau intercellular bridge atau keduanya, karsinoma tidak berkeratinisasi
(WHO Tipe 2) ditandai dengan batas sel yang jelas, dan karsinoma tidak
berdiferensiasi (WHO tipe 3) ditandai oleh pola pertumbahan syntisial, selsel poligonal ukuran besar, anak inti yang menonjol dengan adanya
tampilan sel radang. WHO Tipe 3 merupakan tipe histopatologi yang paling
sering terutama di Asia Tenggara.11,12

Universitas Sumatera Utara

12

2.3.6 Stadium Karsinoma Nasofaring
Klasifikasi TNM menurut American Joint Committee on Cancer/AJCC
2010:8,9,15
Tumor Primer (T)
Tx

: Tumor primer tidak dapat dinilai

T0

: Tidak terbukti adanya tumor primer

Tis

: Karsinoma in situ

T

: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan
/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring

T2

: Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring

T3

: Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus
paranasal.

T4

: Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya saraf
kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa
infratemporal/ruang mastikator.

KGB Regional (N)
NX

: KGB regional tidak dapat dinilai

N0

: Tidak ada metastasis ke KGB regional

N1

: Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter
terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau
unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan
diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2

: Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter
terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular.

N3

: Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada
fossa supraklavikular.

N3a

: Diameter terbesar lebih dari 6 cm

N3b

: Meluas ke fossa supraklavikular

Metastasis Jauh (M)
M0

: Tanpa metastasis jauh

M1

: Metastasis jauh

Universitas Sumatera Utara

13

Stadium:
 Stadium 0 – Tis, n0, M0
 Stadium I - T1, n0, M0
 Stadium IIA - T2a, n0, M0
 Stadium IIB - (T1, N1, M0), (T2, N1, M0), (T2a, N1, M0), (T2b,
N0, M0)
 Stadium III - (T1, N2, M0), (T2a, N2, M0), (T2b, N2, M0), (T3,
N0, M0), (T3, N1, M0), (T3, N2, M0)
 Stadium IVA - (T4, N0, M0), (T4, N1, M0), (T4, N2, M0)
 Stadium IVB - Setiap T, N3, M0
 Stadium IVC - Setiap T, setiap N, M1

2.3.7 Gejala Klinis Karsinoma Nasofaring
Gejala penyakit karsinoma nasofaring tidak khas dan tidak spesifik,,
selain itu nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Hal ini
mengakibatkan penyakit karsinoma nasofaring sering didiagnosis saat
stadium lanjut dibandingkan dengan keganasan kepala leher lainnya. Secara
garis besar penderita karsinoma nasofaring akan memiliki empat gejala
yaitu gejala hidung, gejala telinga, gejala neurologis, dan pembesaran
kelenjar limfe servikal.
2.3.7.1 Gejala Dini
a. Gejala Telinga
Gejala pada telinga yang paling sering muncul adalah gangguan
pendengaran disertai rasa penuh pada telinga dan rasa berdengung.15 Hal
ini disebabkan adanya penyumbatan pada tuba eustaskhius oleh massa
tumor. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini dan perlu
diperhatikan. Jika

berlanjut, akan terjadi otitis media serosa sampai

dengan perforasi membran timpani aibat cairan yang diproduksi semakin
banyak dan berakibat gangguan pendengaran.2,9,11

Universitas Sumatera Utara

14

b. Gejala hidung
Gejala epistaksis merupakan gejala tersering yang terjadi pada
hidung. Keluarnya darah ini biasanya sedikit dan berulang-ulang. Ini
disebabkan oleh adanya iritasi ringan pada mukosa tumor yang rapuh.
Sumbatan hidung menetap biasanya dijumpai pada kasus KNF yang masa
tumornya telah menyumbat koana. Juga dapat dijumpai gejala berupa
pilek kronis kadang disertai gangguan penciuman.2,9,11,12

2.3.7.2 Gejala Lanjut
a. Limfadenopati servikal
Pembesaran leher atau tumor leher merupakan penyebaran yang
terdekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. Penyebaran ini dapat
menjadi unilateral atau bilateral.16 Benjolan ini merupakan pembesaran
kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum sel tumor menyebar
ke bagian tubuh yang lebih jauh.17 Pembesaran kelenjar limfe leher
merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang kedokter.12,17
b. Gejala Neurologis
Sindroma petrosfenoidal, akibat penjalaran tumor primer ke atas
melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga
mengenai saraf kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III,
saraf IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat
pula menyebabkan paralisis saraf V.1,16,18
c. Gejala akibat metastasis jauh
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama aliran limfe atau darah,
mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering
ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini terjadi, menandakan suatu
stadium dengan prognosis sangat buruk.17

Universitas Sumatera Utara

15

2.3.8

Diagnosis Karsinoma Nasofaring

2.3.8.1 Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan keluhan penderita karsinoma
nasofaring. Limfadenopati servikal pada leher bagian atas merupakan
keluhan yang paling sering menyebabkan penderita karsinoma nasofaring
berobat. Gejala hidung, telinga, gangguan neurologis juga sering
dikeluhkan penderita KNF. Penting juga untuk ditanya apakah ada
riwayat penyakit KNF pada keluarga.9

2.3.8.2 Pemeriksaan Fisik
• Inspeksi/ palpasi: benjolan pada leher (lateral) 17
• Massa di nasofaring (rinoskopi, nasofaringoskop)
1. Rinoskopi Posterior
Pemeriksaan

nasofaring

secara

konvensional

dengan

menggunakan kaca rinoskopi posterior. Namun pada pemeriksaan
ini sering ditemukan kesulitan terutama pada pasien dengan variasi
anatomi atau yang tidak kooperatif.11
2. Endoskopi
a. Nasofaringoskopi rigid
Nasofaringoskop dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
transnasal (teleskop dimasukkan melalui hidung), transoral
(teleskop dimasukkan melalui mulut).1,11
b. Nasofaringosopi lentur
Flexibible fibrescope merupakan alat yang bersifat lentur
dengan dilengkapi alat biopsi pada ujungnya. Dengan alat ini kita
dapat melihat nasofaring secara langsung.1,11
• Otoskopi, tes pendengaran 17
• Pemeriksaan saraf kranial 17

Universitas Sumatera Utara

16

2.3.8.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan ini bertujuan untuk memeperkuat kecurigaan adanya
tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat
membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas
penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.9,11


CT-Scan leher dan kepala
Pemeriksaan ini dapat mendeteksi penyebaran tumor ke
jaringan sekitar yang belum terlalu luas. dan juga dapat mendeteksi
erosi dari tulang dasar tengkorak dan penjalaran tumor ke
intrakranial. 1,9,11,19



Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI nasofaring lebih baik dan akurat dibandingkan dengan
CT-Scan nasofaring dalam mendeteksi dan menetapkan stadium
dari karsinoma nasofaring.9,11 MRI dapat memperlihatkan baik
bagian superficial maupun dalam jaringan lunak nasofaring, serta
memberdakan antara massa tumor dengan jaringan normal. Namun
MRI mempunyai keterbatasan dalam menilai perluasan yang
melibatkan tulang.19



Positron Emission Tomography (PET)
Merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk mendeteksi
adanya tumor residual atau rekuren pada nasofaring. Dimana baik
MRI maupun CT Scan tidak sensitive mendeteksi keadaan ini.11,19\

b. Pemeriksaan serologi
Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor
yang berperan dalam timbulnya karsinoma nasofaring menjadi dasar
dari pemeriksaan serologi ini. Berupa pemeriksaan titer antibodi
terhadap virus Epsten-Barr (EBV) yaitu lgA anti VCA dan lgA anti
EA.1,9 Pemeriksaan Serologi ini juga dapat dilakukan untuk screening
dan deteksi dini terutama pada keluarga penderita KNF. Dimana pada
penelitian Margi dkk di Makassar mendapatkan adanya peningkatan

Universitas Sumatera Utara

17

antibodi IgA terhadap EBV pada keluarga penderita KNF. Ini
mengindikasikan keluarga penderita KNF merupakan kelompok resiko
terjadinya KNF, sehingga screening ini baik untuk dilakukan.20
c. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.
Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: dari hidung
atau dari mulut. Agar biopsi dapat dilakukan dengan tepat sasaran,
sebaiknya biopsi dilakukan di bawah kontrol endoskopi dan dengan
bantuan anastesi.9,12,14

2.3.9 Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring
Penatalaksanaan karsinoma nasofaring terdiri dari beberapa bentuk
yaitu: radiasi, kemoterapi, pembedahan, atau kombinasinya. Karsinoma
nasofaring tidak dapat diangkat melalui pembedahan disebabkan oleh
lokasinya secara anatomis (berdekatan dengan basis tengkorak). Karena
itu, radioterapi merupakan pilihan pertama untuk penanganan karsinoma
nasofaring.9
a. Radioterapi
Radioterapi merupakan modalitas utama dalam penatalaksanaan
karsinoma nasofaring, karena tumor ini bersifat radiosensitif19 dengan
angka harapan hidup 5 tahun sekitar 84% pada stadium I dan 68% pada
stadium II. Namun angkanya berkurang pada pasien dengan stadium
yang lebih lanjut. Hasil radioterapi untuk karsinoma nasofaring stadium
dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100%.11
b. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan alternatif lain untuk karsinoma nasofaring
pada stadium lanjut. Kombinasi radioterapi dan kemoterapi telah
diterima kebanyakan ahli onkologi sebagai standart terapi untuk
karsinoma nasofaring stadium lanjut.11

Universitas Sumatera Utara

18

c. Pembedahan
Terapi bedah tidak banyak mendapat peran dalam penganggulangan
karsinoma nasofaring. Terapi bedah ini dapat berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Tindakan bedah (diseksi leher) terbatas
hanya

untuk

reseksi

sisa

masa

tumor

pasca

radioterapi.

Nasofaringektomi merupakan operasi paliatif pada kasus kambuh atau
adanya residu di nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara
lain.14

2.3.10 Komplikasi Karsinoma Nasofaring
Toksisitas dari radioterapi mencakup:
Xerostomia atau mulut kering yang diakibatkan oleh penurunan laju
saliva pada mulut akibat kerusakan dari kelenjar saliva.21 Mukositis oral
akibat paparan radiasi yang menginduksi kematian sel basal dari mukosa
epitel. Gejala dapat berupa eritema, edema, dan sakit saat menelan.21
Dysfagia dapat terjadi berkaitan dengan neurotoksin langsung pada taste
buds, xerostomia, infeksi, dan kondisi patologis lainnya.21
Trismus merupakan sindroma musculoskeletal yang terjadi akibat
radiasi dan operasi. Termasuk fibrosis jaringan, dan diskontinuitas
mandibular akibat operasi.21 Toksisitas pada kulit berupa eritema,
hiperpigmentasi, deskuamasi pada kulit. Beberapa faktor resiko yang dapat
memicu toksisitas pada kulit adalah status nutrisi yang tidak baik, adanya
riwayat terpapar sinar matahari yang ekstensif, juga penyakit seperti DM
dan penyakit vascular (scleroderma atau lupus).21

2.3.11 Prognosis Karsinoma Nasofaring
Prognosis karsinoma nasofaring sebenarnya cukup baik pada stadium
I. Hanya saja pada stadium I biasanya tidak menujukkan gejala atau
gangguan sehingga kebanyakan pasien memeriksakan diri setelah sampai
ke stadium yag lebih lanjut, dimana sudah menimbulkan gejala atau
gangguan.11

Universitas Sumatera Utara

19

Adapun angka harapan hidup penderita karsinoma nasofaring dalam
waktu 5 tahun (five year survival rate) menurut American Joint Commitee
on Cancer (AMJC) Cancer Staging Manual edisi ke-7:8

Stadium

Angka Harapan Hidup

I

72%

II

64%

III

62%

IV

38%

Tabel 2.3.11 Prognosis Pasien KNF

2.4

Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring

2.4.1 Definisi Radioterapi
Radioterapi atau terapi radiasi adalah metode pengobatan penyakitpenyakit

malignansi

dengan

menggunakan

radiasi

ion,

dengan

meningkatkan proses ionisasi pada daerah tertentu yang bertujuan untuk
mematikan sel-sel tumor sebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat
di sekitar tumor agar tidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma
nasofaring bersifat radioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan
terapi terpenting.22

2.4.2 Mekanisme Kerja
Radiasi ion bekerja pada DNA sel kanker untuk menghilangkan
kemampuan reproduktifitas sel. DNA sel berduplikasi selama mitosis, sel
dengan

tingkat

aktifitas

mitotik

yang tinggi

lebih

radiosensitif

dibandingkan dengan sel dengan tingkat aktifitas mitotik yang lebih
rendah. Radioterapi bekerja dengan merusak sel DNA kanker. Kerusakan
ini disebabkan oleh photon, elektron,proton, neutron, atau sinar peng-ion
yang secara langsung ataupun tidak langsung mengionisasi atom yang
membentuk rantai DNA.22

Universitas Sumatera Utara

20

2.4.3 Dosis Radiasi
a. Radiasi eksterna
Dosis diberikan 180-200 cGy per fraksi, yang diberikan 5 kali
seminggu sehingga dosis mencapai 66-70 Gy dengan memperhatikan
lapangan radiasi.23
b. Radiasi Interna/ brakiterapi
Untuk kasus primer yang telah memperoleh radiasi eksterna
sebanyak 60 Gy maka dosis brakhiterapi tambahan adalah 300 cGy per
fraksi, 2 fraksi per hari dengan interval enam jam selama 3 hari.
Sedangkan bila radiasi ekseterna 70 Gy maka brakiterapi diberikan
hanya 2 hari dengan 2 fraksi per hari 300 cGy.23

2.4.4 Teknik Radioterapi
Ada 2 cara utama pemberian radioterapi, yaitu :
a. Radiasi eksterna / teleterapi
Radiasi eksterna merupakan metode pengobatan dengan radioterapi
di mana terdapat jarak antara sumber radiasi dengan pasien. Jarak ini
dapat berbeda, tergantung pada peralatan yang dipakai, tujuan
pengobatan, metode pengobatan, serta berbagai modifikasi yang akan
dilakukan.22
Pada radiasi eksterna cakupan daerah yang memperoleh radiasi
cukup luas, meliputi bukan hanya tumor primer dan jaringan sehat
sekitarnya saja tetapi juga kelenjar getah bening setempat. Namun makin
luas cakupan radiasi makin banyak jaringan sehat yang terikut serta
terkena radiasi, dan ini tentunya tidak menguntungkan bagi pasien. Pada
umumnya efek samping radiasi dikaitkan dengan terkenanya jaringan
sehat yang terkena radiasi.21

b. Radiasi interna / brakiterapi
Sumber radiasi dimasukkan ke dalam rongga nasofaring pada tempat
tumor berada atau berdekatan dengan tumor guna memberikan dosis

Universitas Sumatera Utara

21

maksimal pada tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang
serius pada jaringan sehat di sekitarnya. Terapi ini diberikan pada kasus
yang telah memperoleh dosis radiasi eksterna maksimum tetapi masih
dijumpai sisa jaringan kanker atau pada kasus kambuh lokal yang masih
terbatas pada daerah nasofaring.22

2.4.5 Respon Radiasi
Setelah diberikan terapi radiasi, maka dilakukan evaluasi berupa respon
terhadap radiasi. Respon dinilai dari pengecilan kelenjar getah bening leher
dan pengecilan tumor primer di nasofaring. Penilaian respon radiasi
berdasarkan kriteria WHO, yaitu:22
- Complete Response : menghilangkan seluruh kelenjar getah bening yang
besar
- Partial Response

: pengecilan kelenjar getah bening sampai 50% atau
lebih

- No Change

: ukuran kelenjar getah bening yang menetap

- Progressive disease : ukuran kelenjar getah bening membesar 25% atau
lebih

2.4.6 Komplikasi Oral Radioterapi pada Kanker Nasofaring
Radioterapi memegang peranan penting pada perawatan kanker
nasofaring. Daerah yang diradiasi melibatkan keseluruhan nasofaring dan
kelenjar getah bening pada leher. Tidak dapat dihindari, daerah yang
diradiasi juga melibatkan rongga mulut, maksila, mandibula, dan kelenjar
saliva. Bagaimanapun, radioterapi ini memberikan manfaat pada jaringan,
tetapi juga memiliki efek samping yang tidak dapat dihindarkan.22
Rongga mulut mempunyai resiko yang tinggi terhadap perawatan
radioterapi, sebab radioterapi yang digunakan untuk merusak sel kanker
juga dapat merusak sel normal rongga mulut dengan menghentikan
pertumbuhan sel-sel secara cepat dan mencegah reproduksi sel-sel di dalam
mulut, sehingga akan sulit bagi jaringan mulut untuk mengadakan

Universitas Sumatera Utara

22

perbaikan. Sebagai hasilnya, komplikasi oral dapat terjadi seperti
mukositis,

kandidiasis,

xerostomia,

dysgeusia,

karies

gigi,

osteoradionekrosis, dan nekrosis pada jaringan lunak.22
Komplikasi pada mulut terjadi selama pemberian radioterapi hingga
radioterapi telah selesai. Komplikasi ini tergantung pada volume dan daerah
yang diradiasi, dosis total, fraksinasi, umur,dan kondisi klinis pasien yang
berhubungan dengan perawatan radioterapi. Hanya dengan sedikit kenaikan
pada dosis sudah dapat menaikkan insidens komplikasi oral secara
signifikan. Komplikasi akut yang dapat terjadi adalah mukositis,
kandidiasis, dysgeusia dan xerostomia (mulut kering), sedangkan yang
bersifat kronis adalah karies gigi, osteoradionekrosis, dan nekrosis pada
jaringan lunak.22

2.5

Hubungan Radioterapi dengan Penurunan Berat Badan Pasien KNF
Selain keuntungan yang diperoleh dari radioterapi ini, juga terdapat
kerugian yang didapat berupa komplikasi atau efek samping akut maupun
kronis khususnya pada bagian mulut dari pasien karsinoma nasofaringyang
menjalani radioterapi.
Salah satu komplikasi akut yang terjadi pada pasien karsinoma
nasofaring yang mendapatkan terapi adalah mukositas oral yakni inflamasi
pada mukosa mulut berupa eritema dan ulser.5 Keadaan ini dapat
mengakibatkan keluhan pada pasien berupa rasa sakit pada rongga mulut.
Hal ini mengakibatkan pasien menjadi sulit untuk makan, minum, sakit saat
menelan (disfagia) dan berbicara.
Efek samping yang lain adalah Xerostomia (mulut kering), ini
diakibatkan pengaruh radioterapi terhadap kelenjar penghasil saliva di
rongga mulut sehingga menurunkan produksi saliva dan akhirnya
menurunkan laju aliran saliva pada mulut pasien.24 Dysgeusia juga dapat
terjadi pasca radioterapi yakni hilangnya rasa pengecapan pada pasien
sehingga pasien sering kehilangan nafsu makan.22

Universitas Sumatera Utara

23

Beberapa efek samping ini dapat mengurangi konsumsi secara oral pada
pasien. Keadaan ini jika berlangsung terus akan dapat mempengaruhi status
nutrisi pada pasien. Dimana hal ini juga sesuai dengan penelitian
sebelumnya dimana ditemukan penurunan status nutrisi pada pasien
karsinoma nasofaring yang mendapat radioterapi. Hal ini dapat dilihat dari
penurunan berat badan pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapat
radioterapi dan terdapat perbedaan bermakna dari BMI pasien sebelum dan
setelah radioterapi. 5,6
Penurunan berat badan pada pasien yang lebih dari 20 % dapat
meningkatkan toksisitas dan mortalitas selama terapi. Penurunan berat
badan yang terus menerus akan dapat mengakibatkan malnutrisi pada
pasien dimana akan berakibat pada penurunan proses penyembuhan luka
pada pasien, pasien juga mengalami penurunan sistem imun akibat
kurangnya asupan gizi yang dapat mengakibatkan pasien rentan untuk
terkena infeksi atau penyakit yang lain seperti kandidiasis oral yang juga
diakibatkan penurunan produksi dari saliva mulut pasien.24 Penurunan berat
badan juga mengakibatkan penurunan toleransi terhadap radioterapi.
Hal ini dapat mengakibatkan pasien dapat tidak melanjutkan radioterapi dan
akhirnya membutuhkan waktu perawatan yang lebih lama.5,22
Penurunan berat badan juga dapat mempengaruhi kualitas hidup pada
pasien dimana pada penelitian di Universitas Brawijaya ditemukan bahwa
pasien yang mengalami penurunan status nutrisi yang dapat dilihat dari
BMI memiliki kualitas hidup yang lebih buruk dibandingkan dengan nutrisi
yang baik.22 Selain itu penurunan berat badan ini juga berpengaruh pada
prognosis pasien ini kedepannya. Dimana seperti pada penelitian
sebelumnya ditemukan bahwa pasien dengan penurunan berat badan yang
besar memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan pasien dengan
penurunan berat badan sedikit.6,7

Universitas Sumatera Utara