DARI KAUKUS ISLAM KE KAUKUS BANGSA
DARI KAUKUS ISLAM KE KAUKUS BANGSA
Pertemuan para pemimpin dan tokoh politik Islam yang dilangsungkan berkali-kali, yang
kemudian menghebohkan itu, sesungguhnya memiliki agenda jelas. Dimaksudkan
sebagai forum untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Sebagaimana diketahui, persoalan
yang dihadapi bangsa Indonesia cukup banyak.
Sampai hari ini peroalan bangsa itu juga belum kunjung diatasi. Para pemimpin dan
tokoh politik Islam pun terpanggil untuk ikut menyumbangkan fikirannya agar berbagai
persoalan bangsa itu dapat dengan cepat dicarikan solusinya. Baik masalah bangsa
berjangka panjang maupun berjangka pendek. Yang berjangka pendek termasuk masalah
amandemen UUD 45, sebagai keharusan reformasi bangsa Indonesia Sebab UUD yang
ada memiliki keterbatasan yang sangat substansial dan fundamental. Jika dibiarkan hanya
akan menyebabkan malapetaka nasional seperti yang pernah terjadi di zaman Orde Lama
dan Orde Baru. Oleh karena itu rakyat yang pro reformasi mengamanatkan kepada MPR
agar melakukan amandemen.
Amandemen tahap 1,2 dan 3 telah berhasil dilakukan. Tetapi amandemen yang keempat
ini, tiba-tiba menghadapi masalah. Ada yang tiba-tiba enggan, ragu, malah muncul
kekuatan destruktif bangsa yang ingin menggagalkan amandemen UUD 45. Gerakan anti
amandemen yang sesungguhnya juga merupakan gerakan anti reformasi, anti bangsa dan
anti rakyat ini muncul ke permukaan. Bangsa Indonesia pun berada di ambang bahaya
kemacetan konstitusi.
Ketika ada kekuatan anti reformasi ingin menghadang dan menggagalkan amandemen,
maka para pemimpin dan tokoh politik Islam itu berkumpul. Mereka ingin
menyelamatkan bangsa dan menyelamatkan reformasi. Dalam pertemuan di rumah Ketua
MPR, Prof Dr HM Amien Rais yang kemudian dihebohkan itu, berbicara dua ahli hukum.
Prof Dr bagir Manan dan Prof Dr Mahfudz MD. Keduanya mengutarakan keharusan
amandemen UUD 45 dari aspek hukum ketatanegaraan.
Itulah yang seenarnya terjadi dalam pertemuan di rumah Prof dr HM Amien Rais,
sebagaimana dikatakan oleh Amien Rais sendiri kepada SM di Jakarta beberapa waktu
lalu. Ketua DPP PAN ini mengemukakan betapa rumitnya keadaan. Sebab kalangan TNI
terbelah menjadi dua kekuatan. Pertama, kalangan purnawirawan menginginkan
amandemen dibekukan atau dihentikan. Tetapi kalangan TNI aktif dan kelompok Sesilo
Bambang Yudhoyono berpendapat amandemen UUD 45 merupakan suatu keharusan.
Sebab ada beberaoa bab dan pasal yang perlu diamandir. Selain itu di kalangan politisi
ada yang ditengarai yang berubah kiblat menjadi penentang amandemen dan dalam
sidang Tahunan MPR Agustus ini mereka ingin memboikot sehingga muncul jalan buntu.
“Itulah yang menyebabkan tokoh umat islam dan tokoh partai Islam bertemu,” kata
Amien Rais.
Makna Positif dari Pertemuan
Selain yang khawatir, suudzon (curiga) dan menghebohkan adanya pertemuan-pertemuan
para pemimpin umat dan pemimpin partai berbasis Islam, banyak pihak yang justru
berfikiran positif. Paling tidak mereka menganggap pertemuan itu wajar-wajar saja.
Agus Purnomo SIP Ketua DPW Partai Keadilan DIY menilai pertemuan semacam itu
merupakan awal dari langkah strategis umat Islam dalam ikut memecahkan masalah
bangsa. Mereka dapat berdialog mencari kata sepakat. Misalnya mencari format baru dan
modus baru dari perpolitikan nasional. Rumusan baru perpolitikan yang dapat
menguntungkan mayoritas bangsa Indonesia agar ahk-hak mereka dihormati dan dihargai
seperti ini sangat strategis sifatnya.
Ir H Muh Nadjib, MSc, Wakil sekjen DPP PAN menyebutkan bertemunya tokoh parpol
Islam itu karena djulu mereka merasa bahwa partai-partai Islam terpecah belah. Ini
dirasakan sangat mengganggu kinerja partai dalam mencari dukunga umat dan simpati
publik dalam Pemilu.
“Kalau partai Islam kemudian dapat bergabung dan membentuk maka yang perlu
difikirkan adalah adanya idiom-idiom politik yang dapat diterima semua pihak,” katanya.
Diharapkan kaukus Islam ini dapat merangkul massa pemilih pemula dan merangkul
massa mengambang menjelang 2004 nanti. Kita dapat belajar dari masa lalu, di mana
Poros Tengah dapat merangkul kelompok santri, setengah santgri, kelompok sekuler dan
yang lainnya.
Dengan demikian berbagai pertemuan tokoh ini nantinya bisa diperluas laki cakupannya
agar agar membesar menjadi kaukus kebangsaan. Dengan demikian cita-cita kita akan
tercapai secara mulus. “Syaratnya, jangan sampai kaukus itu pecah di tengah jalan. Justru
kaukus ini kita perkuat agar tujuan jangka panjang itu bisa dicapai. Misalnya sangat wajar
kalau nanti ada tokoh Islam menjadi pemimpin bangsa Indoneia,” tambah Nadjib.
Tentu semua ini tidak muidah menginat kalangan lain pun sekarang juga tengah
menyusun kekuatan untuk mengganggu jalannya kaukus Islam yang tengah merumuskan
upaya untuk menyelamatkan bangsa ini. Kekuatan politik yang tidak suka dengan upaya
penyelamatan bangsa yang dilakukan oleh pemimpin Islam ini cukup banyak dan mereka
tidak tinggal diam.
Masih sering terjadinya friksi di kalangan politisi Islam menurut Dr joko Suryo karena
partai Islam mengalami fragmentasi dan segmentasi yang tajam. Selain itu wataknya
sering lebih partikularistis dan primordialis. Ini menyebabkan dukungan maysrakat
umum berkurang. “seyogyanya para politisi Islam itu bisa lebih bersatu dan sedia
bersama-sama untuk mencapai tujuannya.
Sebenarnya menurut Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Azyumardi Azra,
pada ranah sosial telah terjadi proses konvergesi atau saling mendekat anara sesama umat
Islam. Tetapi pada raah politik potnesi konflik itu masih terasa kuat. Secara politik, pasca
Soeharto, kalangan umat Islam mengalami fragmentasi yang luar biasa, melebih apa yang
terjadi di tahun 1950an, ketika pemilu muli partia pertama diadakan.
Ini menyebabkan kekuatan politik Islam sebagaimana tercermin pada hasil Pemilu 1999
menjadi tidak signifikan. Untuk mengatasi masalah pelik ini di masa depan, dipelruakn
aliansi atau upaya penyatuan kekuatan politik agar secara politik umat Islam menjadi
siginifikan.
Dalam konteks ini Dr Suhartono dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ebih suka
menyebut kekuatan politik Islam sebagai nasionalis Islam, dan yang lain sebagai
nasionalis sekuler. “Nasionalis Islam itu ada dua macam. Ada yang rasional dan ada yang
emosional. Nasionalis rasional bisa berdekatan dengan kelompok nasionalis sekuler.
Sedang nasionalis emosional kadang terjebak dalam fanatisme dan funbdamentalisme. Ini
dikategorikan sebagai kekuatan subyektif. Padhal tantangan yang dihadapi bangsa ini
bersifat obyektif Yaiut kepentinganobyektif, kepentingan yang memihak pada
kepentingan bersama,” kata Suhartono.
Meski demikian, fungsi dari nasionalis Islam yang subyektif ini tetap ada. Yaitu sebagai
penyeimbang. Ini diperlukan asa bisa dikontrol. Kalau kuat dikhawatirkan bisa
mengakibatkan bahaya bagi persatuan nasional. Itu pandangan orang dapat dipergunakan
untuk melakukan refleksi.
Kita dapat belajar dari sejarah, dimana hubungan antara nasionalis Islam dengan
nasionalis sekuler pada zaman Orde Baru berada pada titik terendah. SebabGolka
rberkuasa. Golkar tampak terlalu kuat, p[adahal semu, tetapi tetap tidak mudah
ditumbangkan. Baru setelah era reformasi Gokar runtuh.
“Mereka yang bersimpati kepada Islam kemudian kembali ke partai politk berbasis masa
Islam. Sedang mereka yang nasionaluis sekuler kembali ke partai yang mereka kenal
sebagai partai nasionalis sekuler,” ungkap Suhatono.
Terlepas dari itu semua, menurut Jeffrie Giovanie, Ketua Umum DFPW PAN Bali,
pertemuan atau silaturahmi para tokoh Islam itu diharapkan menimbulkan dampak postifi
di akar rumput. Misalnya hilangnya kebencian aatu prasangka masyarakat akar rumput
NU kepada akar rumput Muhammadiyah. Sebab dalam silatruahmi itu jelas terlibat
bagaimana tokoh PKB pun tampak akrab dengan Amien Rais. Bahkan Syaifullah Yusuf
pu bersedia rumahnya dijadkan tempat untuk melangsungkan silaturahmi lanjutan.
Betul-betul Masalah Bangsa
Menarik juga disimak bagaimana kesaksian KH Shalahuddin Wahid, Ketua PB NU,
sebagaimana ditulis dalam sebuah harian ibukota. Pertemuan-pertemuan itu betul-betul
membicarakan masalah bangsa.
Ketika pertemuan kedua di rumah Yusuf Kalla, yang dibicarakan masalah ekonomi.
Menghadirkan dr Syarir dan Dr Rizal Ramli. Para tokoh politik yang awam masalah
ekonomi harus memahami pandangan kedua kubu itu untuk bisa mengetahui perspektif
pandagan mereka.
Pertemuan ketiga, sebagaimana diketahui, membahas soal amandemen, sebagaimana
dikatakan oleh Amien Rais sendiri. Kemudian pertemuan berikutnya membahas masalah
lain. Menurut Shalahuddin Wahid, yang dibacarkan dalam pertemuan itu meruakan
masalah nasional.
Ya, memang sejak awal pertemuan itu diranang secara tidak sengaja di rumah Ahmad
Trito Sudiro untuk membahas masalah kebangsaan yang aktual. Agednanya, menurut
Syaifullah Yusuf, dua minggu sekali. Tetapi kalau kondisi mengharuskan untuk
melakukan konsolidasi pertemuian itu bisa dipercepat. Agenda selanjutnya yang
mendesak adalah masalah RUU Pemilu yang dirasa sangat urgen.
Presiden Partai Keadilan, Hidayat Nur Wahid sejak awal mengharap pertemuan itu
disikapi positif. Ia menyebutnya sebagai silatruahmi. Menurut dia itu bersifat terbuka.
Dengan demikian tidak dimakasudkan untuk membuat pertemuan dan kelompok tertuutp.
Untuk masa datang silaturahmi ini diharapkan akan dihadiri kalangan yang l;ebih luas
lagi. Dengan demikian kalau toh nanti akan terbentuk kaukus, maka kaukus itu bukan
kaukus politik tetapi kaukus bangsa.
“Silaturhami ini merupakan bagian dari upaya untuk merekatkan elemen bangsa, karena
lembaga-lembaga negara kini banyak yang tidask dipercayai rakatnya. Masyarakat pun
saling tidak percaya,” kata Hidayat Nur Wahid.
Kalau demikian halnya, bangsa Indonesia patut beryukur dengan masih adanya
komunikasi positif berupa pertemuan para pemimpin umat dan tokoh politik Islam itu.
Suara-suara yang menghendaki agar pertemuan itu dihentikan sungguh bertentangan
dengan keinginan rakyat dan bangsa yang tengah mencari alternatif solusi di masa depan.
(Bahan: mur, naf, ton, wan, tof. Tulisan: tof)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002
Pertemuan para pemimpin dan tokoh politik Islam yang dilangsungkan berkali-kali, yang
kemudian menghebohkan itu, sesungguhnya memiliki agenda jelas. Dimaksudkan
sebagai forum untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Sebagaimana diketahui, persoalan
yang dihadapi bangsa Indonesia cukup banyak.
Sampai hari ini peroalan bangsa itu juga belum kunjung diatasi. Para pemimpin dan
tokoh politik Islam pun terpanggil untuk ikut menyumbangkan fikirannya agar berbagai
persoalan bangsa itu dapat dengan cepat dicarikan solusinya. Baik masalah bangsa
berjangka panjang maupun berjangka pendek. Yang berjangka pendek termasuk masalah
amandemen UUD 45, sebagai keharusan reformasi bangsa Indonesia Sebab UUD yang
ada memiliki keterbatasan yang sangat substansial dan fundamental. Jika dibiarkan hanya
akan menyebabkan malapetaka nasional seperti yang pernah terjadi di zaman Orde Lama
dan Orde Baru. Oleh karena itu rakyat yang pro reformasi mengamanatkan kepada MPR
agar melakukan amandemen.
Amandemen tahap 1,2 dan 3 telah berhasil dilakukan. Tetapi amandemen yang keempat
ini, tiba-tiba menghadapi masalah. Ada yang tiba-tiba enggan, ragu, malah muncul
kekuatan destruktif bangsa yang ingin menggagalkan amandemen UUD 45. Gerakan anti
amandemen yang sesungguhnya juga merupakan gerakan anti reformasi, anti bangsa dan
anti rakyat ini muncul ke permukaan. Bangsa Indonesia pun berada di ambang bahaya
kemacetan konstitusi.
Ketika ada kekuatan anti reformasi ingin menghadang dan menggagalkan amandemen,
maka para pemimpin dan tokoh politik Islam itu berkumpul. Mereka ingin
menyelamatkan bangsa dan menyelamatkan reformasi. Dalam pertemuan di rumah Ketua
MPR, Prof Dr HM Amien Rais yang kemudian dihebohkan itu, berbicara dua ahli hukum.
Prof Dr bagir Manan dan Prof Dr Mahfudz MD. Keduanya mengutarakan keharusan
amandemen UUD 45 dari aspek hukum ketatanegaraan.
Itulah yang seenarnya terjadi dalam pertemuan di rumah Prof dr HM Amien Rais,
sebagaimana dikatakan oleh Amien Rais sendiri kepada SM di Jakarta beberapa waktu
lalu. Ketua DPP PAN ini mengemukakan betapa rumitnya keadaan. Sebab kalangan TNI
terbelah menjadi dua kekuatan. Pertama, kalangan purnawirawan menginginkan
amandemen dibekukan atau dihentikan. Tetapi kalangan TNI aktif dan kelompok Sesilo
Bambang Yudhoyono berpendapat amandemen UUD 45 merupakan suatu keharusan.
Sebab ada beberaoa bab dan pasal yang perlu diamandir. Selain itu di kalangan politisi
ada yang ditengarai yang berubah kiblat menjadi penentang amandemen dan dalam
sidang Tahunan MPR Agustus ini mereka ingin memboikot sehingga muncul jalan buntu.
“Itulah yang menyebabkan tokoh umat islam dan tokoh partai Islam bertemu,” kata
Amien Rais.
Makna Positif dari Pertemuan
Selain yang khawatir, suudzon (curiga) dan menghebohkan adanya pertemuan-pertemuan
para pemimpin umat dan pemimpin partai berbasis Islam, banyak pihak yang justru
berfikiran positif. Paling tidak mereka menganggap pertemuan itu wajar-wajar saja.
Agus Purnomo SIP Ketua DPW Partai Keadilan DIY menilai pertemuan semacam itu
merupakan awal dari langkah strategis umat Islam dalam ikut memecahkan masalah
bangsa. Mereka dapat berdialog mencari kata sepakat. Misalnya mencari format baru dan
modus baru dari perpolitikan nasional. Rumusan baru perpolitikan yang dapat
menguntungkan mayoritas bangsa Indonesia agar ahk-hak mereka dihormati dan dihargai
seperti ini sangat strategis sifatnya.
Ir H Muh Nadjib, MSc, Wakil sekjen DPP PAN menyebutkan bertemunya tokoh parpol
Islam itu karena djulu mereka merasa bahwa partai-partai Islam terpecah belah. Ini
dirasakan sangat mengganggu kinerja partai dalam mencari dukunga umat dan simpati
publik dalam Pemilu.
“Kalau partai Islam kemudian dapat bergabung dan membentuk maka yang perlu
difikirkan adalah adanya idiom-idiom politik yang dapat diterima semua pihak,” katanya.
Diharapkan kaukus Islam ini dapat merangkul massa pemilih pemula dan merangkul
massa mengambang menjelang 2004 nanti. Kita dapat belajar dari masa lalu, di mana
Poros Tengah dapat merangkul kelompok santri, setengah santgri, kelompok sekuler dan
yang lainnya.
Dengan demikian berbagai pertemuan tokoh ini nantinya bisa diperluas laki cakupannya
agar agar membesar menjadi kaukus kebangsaan. Dengan demikian cita-cita kita akan
tercapai secara mulus. “Syaratnya, jangan sampai kaukus itu pecah di tengah jalan. Justru
kaukus ini kita perkuat agar tujuan jangka panjang itu bisa dicapai. Misalnya sangat wajar
kalau nanti ada tokoh Islam menjadi pemimpin bangsa Indoneia,” tambah Nadjib.
Tentu semua ini tidak muidah menginat kalangan lain pun sekarang juga tengah
menyusun kekuatan untuk mengganggu jalannya kaukus Islam yang tengah merumuskan
upaya untuk menyelamatkan bangsa ini. Kekuatan politik yang tidak suka dengan upaya
penyelamatan bangsa yang dilakukan oleh pemimpin Islam ini cukup banyak dan mereka
tidak tinggal diam.
Masih sering terjadinya friksi di kalangan politisi Islam menurut Dr joko Suryo karena
partai Islam mengalami fragmentasi dan segmentasi yang tajam. Selain itu wataknya
sering lebih partikularistis dan primordialis. Ini menyebabkan dukungan maysrakat
umum berkurang. “seyogyanya para politisi Islam itu bisa lebih bersatu dan sedia
bersama-sama untuk mencapai tujuannya.
Sebenarnya menurut Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Dr Azyumardi Azra,
pada ranah sosial telah terjadi proses konvergesi atau saling mendekat anara sesama umat
Islam. Tetapi pada raah politik potnesi konflik itu masih terasa kuat. Secara politik, pasca
Soeharto, kalangan umat Islam mengalami fragmentasi yang luar biasa, melebih apa yang
terjadi di tahun 1950an, ketika pemilu muli partia pertama diadakan.
Ini menyebabkan kekuatan politik Islam sebagaimana tercermin pada hasil Pemilu 1999
menjadi tidak signifikan. Untuk mengatasi masalah pelik ini di masa depan, dipelruakn
aliansi atau upaya penyatuan kekuatan politik agar secara politik umat Islam menjadi
siginifikan.
Dalam konteks ini Dr Suhartono dosen sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM ebih suka
menyebut kekuatan politik Islam sebagai nasionalis Islam, dan yang lain sebagai
nasionalis sekuler. “Nasionalis Islam itu ada dua macam. Ada yang rasional dan ada yang
emosional. Nasionalis rasional bisa berdekatan dengan kelompok nasionalis sekuler.
Sedang nasionalis emosional kadang terjebak dalam fanatisme dan funbdamentalisme. Ini
dikategorikan sebagai kekuatan subyektif. Padhal tantangan yang dihadapi bangsa ini
bersifat obyektif Yaiut kepentinganobyektif, kepentingan yang memihak pada
kepentingan bersama,” kata Suhartono.
Meski demikian, fungsi dari nasionalis Islam yang subyektif ini tetap ada. Yaitu sebagai
penyeimbang. Ini diperlukan asa bisa dikontrol. Kalau kuat dikhawatirkan bisa
mengakibatkan bahaya bagi persatuan nasional. Itu pandangan orang dapat dipergunakan
untuk melakukan refleksi.
Kita dapat belajar dari sejarah, dimana hubungan antara nasionalis Islam dengan
nasionalis sekuler pada zaman Orde Baru berada pada titik terendah. SebabGolka
rberkuasa. Golkar tampak terlalu kuat, p[adahal semu, tetapi tetap tidak mudah
ditumbangkan. Baru setelah era reformasi Gokar runtuh.
“Mereka yang bersimpati kepada Islam kemudian kembali ke partai politk berbasis masa
Islam. Sedang mereka yang nasionaluis sekuler kembali ke partai yang mereka kenal
sebagai partai nasionalis sekuler,” ungkap Suhatono.
Terlepas dari itu semua, menurut Jeffrie Giovanie, Ketua Umum DFPW PAN Bali,
pertemuan atau silaturahmi para tokoh Islam itu diharapkan menimbulkan dampak postifi
di akar rumput. Misalnya hilangnya kebencian aatu prasangka masyarakat akar rumput
NU kepada akar rumput Muhammadiyah. Sebab dalam silatruahmi itu jelas terlibat
bagaimana tokoh PKB pun tampak akrab dengan Amien Rais. Bahkan Syaifullah Yusuf
pu bersedia rumahnya dijadkan tempat untuk melangsungkan silaturahmi lanjutan.
Betul-betul Masalah Bangsa
Menarik juga disimak bagaimana kesaksian KH Shalahuddin Wahid, Ketua PB NU,
sebagaimana ditulis dalam sebuah harian ibukota. Pertemuan-pertemuan itu betul-betul
membicarakan masalah bangsa.
Ketika pertemuan kedua di rumah Yusuf Kalla, yang dibicarakan masalah ekonomi.
Menghadirkan dr Syarir dan Dr Rizal Ramli. Para tokoh politik yang awam masalah
ekonomi harus memahami pandangan kedua kubu itu untuk bisa mengetahui perspektif
pandagan mereka.
Pertemuan ketiga, sebagaimana diketahui, membahas soal amandemen, sebagaimana
dikatakan oleh Amien Rais sendiri. Kemudian pertemuan berikutnya membahas masalah
lain. Menurut Shalahuddin Wahid, yang dibacarkan dalam pertemuan itu meruakan
masalah nasional.
Ya, memang sejak awal pertemuan itu diranang secara tidak sengaja di rumah Ahmad
Trito Sudiro untuk membahas masalah kebangsaan yang aktual. Agednanya, menurut
Syaifullah Yusuf, dua minggu sekali. Tetapi kalau kondisi mengharuskan untuk
melakukan konsolidasi pertemuian itu bisa dipercepat. Agenda selanjutnya yang
mendesak adalah masalah RUU Pemilu yang dirasa sangat urgen.
Presiden Partai Keadilan, Hidayat Nur Wahid sejak awal mengharap pertemuan itu
disikapi positif. Ia menyebutnya sebagai silatruahmi. Menurut dia itu bersifat terbuka.
Dengan demikian tidak dimakasudkan untuk membuat pertemuan dan kelompok tertuutp.
Untuk masa datang silaturahmi ini diharapkan akan dihadiri kalangan yang l;ebih luas
lagi. Dengan demikian kalau toh nanti akan terbentuk kaukus, maka kaukus itu bukan
kaukus politik tetapi kaukus bangsa.
“Silaturhami ini merupakan bagian dari upaya untuk merekatkan elemen bangsa, karena
lembaga-lembaga negara kini banyak yang tidask dipercayai rakatnya. Masyarakat pun
saling tidak percaya,” kata Hidayat Nur Wahid.
Kalau demikian halnya, bangsa Indonesia patut beryukur dengan masih adanya
komunikasi positif berupa pertemuan para pemimpin umat dan tokoh politik Islam itu.
Suara-suara yang menghendaki agar pertemuan itu dihentikan sungguh bertentangan
dengan keinginan rakyat dan bangsa yang tengah mencari alternatif solusi di masa depan.
(Bahan: mur, naf, ton, wan, tof. Tulisan: tof)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002