KE MANA KAUKUS POLITIK ISLAM

KE MANA KAUKUS POLITIK ISLAM?
Oleh: Abdut Munir Mulkhan
Kesadaran kolektif sebagai dasar dari sebuah kaukus bisa dibangun dari nilainilai dasar Islam yang fungsional pemecahan persoalan kemanusiaan dan
masalah-masalah publik. Dari sini baru bisa dikembangkan problem partisipasi
politik, khususnya dalam pemilu, dimana kaukus politik Islam perlu merumuskan
program yang mencerminkan kepentingan publik umat sekaligus kepentingan
mayoritas pemilih. Tahap berikut ialah power sharing tentang bagaimana semua
kekuatan yang tergabung dalam sebuah kaukus ttu memperoleh harapan
pembagian kekuasaan secara adil sesuai perolehan suara dan kemampuan
profesional elite partai bersangkutan. Peluang kaukus bisa tumbuh sebagai
koalisi relatif permanen, sekurangnya koalisi strategis untuk suatu tahapan
pemilu, mungkin bisa dibangun dari partai Islam dan partai berbasis umat
Islam ,jika ada kesadaran kolektif, program bagi kepentingan publik dan power
sharing tersebut.
Di sisi lain pertumbuhan kaukus dan koalisi di atas, memerlukan penjernihan
atas banyak persoalan di sekitar penggolongan partai Islam dan partai berbasis
umat Islam. Partai Islam mungkin lebih mudah dikenali, tetapi penggolongan
partai berbasis umat Islam, tidak mudah dilakukan ketika ia dimaksudkan
sebagai partai yang pendukungnya mayoritas muslim atau dipimpin elite Muslim.
Tidak bisa dipungkiri bahwa PDI-P dan Golkar adalah partai yang pendukungnya
mayoritas Muslim, bahkan juga PNI dan PKI di masa Orde Lama. Jika yang

dimaksud umat Islam itu ialah kaum santri, tidak seluruh pendukung partai
Islam, atau PKB dan PAN dapat digolongkan sebagai kaum santri, selain banyak
aktivis dan pendukung PDI-P dan Golkar yang tergolong sebagai santri.
Dalam hubungan itu, program partai yang mencerminkan kepentingan publik
dan sekaligus nilai-nilai hakikiah ajaran lslam, mungkin lebih terbuka bagi dasar
penggolongan. Program partai tentang penegakan keadilan, kejujuran, amanah
dan transparansi, kesejahteraan soslal dan ekonomi bagi publik rakyat yang
mayoritas memeluk Islam, akan lebih mudah dijadikan dasar bagi penjaringan
sebuah kaukus atau koalisi. Simbol-simbol primordial selain tidak lagi sesuai era
keterbukaan dan reformasi, juga sulit membangkitkan partisipasi politik secara
lebih rasional, terbuka, dan dalam cakupan sosial yang luas.
Beberapa permasalahan di atas sekaligus bisa dijadikan dasar penjernihan
kesalahpahaman aktivis gerakan Islam terhadap kekalahan partai-partai Islam di
sepanjang sejarah pemilu di negeri ini sejak 1945. Penempatan rekayasa
kekuatan anti Islam sebagai penyebab kekalahan partai Islam atau partai
berbasis umat Islam, belum pernah melahirkan strategi efektif karena yang
disebut kekuatan anti Islam itu tidak pernah bisa dirumuskan secara jelas dan
kongkrit, kecuali kategori-kategori primordial dan simbolis.
Mungkin lebih realistik jika mencoba melihat hubungan partisipasi politik dan
religiusitas pemeluk Islam Itu sendiri. Pemeluk Islam di negeri ini meliputi hampir

200 juta (88%) dari keseluruhan jumlah penduduk. Namun hanya sekitar 25%
yang memenuhi kewajiban Salat Jum’at, walaupun hampir 100% nikah secara

Islam. Banyak pihak menyatakan bahwa ketaatan memenuhi kewajiban syari’ah
yang 25% (dengan ukuran minimal Salat Jum’at) itu berhubungan signifikan
(berarti) dengan dukungan terhadap partai Islam.
Seorang tokoh santri terkemuka bahkan membedakan antara partai Islam dan
partai berbasis umat Islam, ketika menjawab pertanyaan sekitar koalisi Islam
yang berkait dengan kaukus politik Islam yang mengemuka setelah pertemuan
beberapa tokoh Islam belakangan ini. Dalam kesempatan itu, Amien Rais
menyatakan: "Memang representasi peserta dari umat dan dari partai cukup
luas. Dari partai ada PPP, PBB, dan Partai Keadilan yang berasaskan Islam.
Selain itu, ada dua partai terbuka berbasis umat Islam, yaitu PKB dan PAN.
KAHMI dan ICMI juga hadir, dan secara tidak langsung beberapa eksponen
Golkar, seperti Pak Jusuf Kalla dan Marwah Daud.” (Tempo, Edisi 27- 2 Juni
2002, him 33).
Di luar perspektif pernyataan di atas, kaum santri pada umumnya memandang
adanya hubungan fungsional bahkan struktural antara partai Islam dan umat
Islam. Realitas politik perolehan suara partai-partai Islam di sepanjang sejarah
pemilu di Indonesia sejak kemerdekaan hingga era reformasi sejak 21 Mei 1998

sulit diakui sebagai sebuah fakta politik. Partai Istam dianggap sebagai
representasi Islam dan kepentingan umat Islam sebagai mayoritas penduduk.
Kekalahan partai Islam cenderung selalu dianggap sebagai kakalahan umat
Islam akibat rekayasa kekuatan-kekuatan anti Islam dari dalam atau luar negeri.
Komposis! anggota perlemen di DPR atau MPR yang mayoritas Muslim dan
posisi pemeluk Islam sebagai mayoritas penduduk atau pemlih selalu dijadikan
dasar penyusunan strategi pemenangan partai Islam dalam pemilu.
Konseptualisasi strategi poiltik ini kemudian meluas bagi tujuan-tujuan politik di
lembaga parlemen dan pemerintahan. Kaum santri cenderung menganggap
bahwa partai Islam ltu ialah partainya umat pemeluk Islam. Perlu disadari bahwa
naiknya Abdurrahman Wachld sebagai presiden ke-4 bukanlah karena hebatnya
suara partai Islam, seperti halnya naiknya Amien Rais sebagai Ketua MPR hasil
pemilu 1999 yang lain. Perolehan suara dari seluruh partai Islam, termasuk
yang belakangan disebut partai berbasis umat Islam, belum pernah mencapai
lebih dari 45 %.
Fakta politik tentang perolehan suara partai Islam atau partai berbasis umat
Islam (yang masih perlu diperdebatkan itu) pertu dicermati untuk melihat nasib
kaukus politik Islam atau politik santri di waktu dekat atau nanti menjelang dan
sesudah pemilu 2004. Persoalan yang selalu penting dijernihkan ialah untuk
tujuan apa dan siapa kaukus itu dilakukan? Jika pertemuan itu bisa membuka

peluang bagi banyak kekuatan politik dari partai Islam, partai berbasis umat
Islam, atau partai sekuter di atas nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan publik
sebagai realisasi fungsional nilai-nilai hakikiah ajaran Islam, bukan saja kaukus
dan kemudian koalisi strategis atau permanen akan tumbuh, tapi etika Islam
akan menjadi wahana bagi pengembangan perpolitikan nasional. Dari sinilah
personalitas atau kepribadian Islam akan menjadi standar bagi rekrutmen politik
dan elite nasional di kemudian hari.

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002