KAUKUS POLITIK MUSLIM

KAUKUS POLITIK MUSLIM
Bermula dari rumah Amien Rais. Hari itu, Rabu 15 Mei 2002. Para politisi dan
tokoh Islam berkumpul. Ada Mahfud MD, Syaifullah Yusuf, AM Fatwa, Hamdan Zoelva,
Marwah Daud Ibrahim, Hidayat Nur Wahid, Fuad Bawazier, dan para politisi Islam
lainnya. Ada pula M. Din Syamsuddin, Adi Sasono, Jimly Assidhiqie, Tuty Alawiyah,
Amidhan, bahkan Yusuf Kalla, Bagir Manan, dan Shalahuddin Wahid. Tentu saja tuan
rumah, M. Amien Rais. Sebelumnya, sempat hadir Hamzah Haz dan Zainuddin MZ,
mengunjungi rumah Ketua MPR-RI di Jakarta Selatan itu.
Tak pelak lagi, muncul spekulasi. Isu yang paling mencuat dan empuk untuk
diangkat, tentu saja menghadapi Pemilu 2004. Spekulasi politik di luar menduga,
pertemuan elit-elit muslim itu untuk menggalang kekuatan guna memenangkan Pemilu,
dengan maskot M. Amien Rais. Tentu saja, para elit yang hadir di rumah manta Ketua PP
Muhammadiyah itu membantah. “Kami hanya membahas tentang soal amandemen UUD
1945”, demikian hampir semua yang hadir mengamini. Mahfud MD, yang menjadi
pembicara, bahkan mengatakan bahwa forum tersebut untuk menelaah gejala kelompok
konservatif yang ingin menggagalkan amandemen UUD 1945 yang kini tengah bergulir
sebagai agenda reformasi.
Tapi, setiap pertemuan para tokoh tentu saja selalu ada nuansa politik. Publik
selalu menilai begitu. Dan itu wajar saja. Lebih-lebih dengan kehadiran para politisi PKB
(Partai Kebangkitan Bangsa), yang selama ini dianggap berseberangan jauh dengan
Amien Rais dan kawan-kawan. Ada apa dengan pertemuan di Widya Candra IV nomor

16 Jakarta Selatan itu? Apalagi, setiap ada Amien Rais, selalu menjadi sorotan publik,
lebih-lebih dia menjadi tuan rumah. Kehadiran Shalahuddin Wahid yang Ketua PBNU,
juga menarik perhatian. Ada agenda apa dengan para elit puncak muslim itu?
Dugaan yang kuat adalah untuk membentuk kaukus politik Islam memasuki 2004.
Tentu saja, dugaan tersebut juga dibantah. “Hanya membahas agenda bangsa”, ujar Fuad
Bawazier, tokoh yang selalu berada di balik setiap forum-forum politik yang
kontroversial atau menarik minat publik. “Hanya silaturahmi biasa”, ujar Amien Rais.
Baiklah, kita tunggu perkembangan politik berikutnya. Ada apa lagi setelah silaturahmi
elit muslim di kediaman tokoh reformasi itu.
Namun, kalaupun pertemuan itu untuk menggalang kekuatan politik Islam, lantas
salah atau tidak penting? Justru menjadi penting. Kenapa harus takut? Soal kaukus elit
muslim, jelas merupakan agenda penting. Para elit muslim, khususnya di arena politik,
selama ini sulit sekali bersatu. Bahkan sering saling menjatuhkan. Hingga, tak muncul
tokoh kuat. Tak ada penokohan. Ini penyakit kronis para tokoh Islam. Padahal, kalau ada
penokohan, mesti akan ada kekuatan.
Penyakit kronis yang lain, tak ada tanda-tanda koalisi atau kaukus partai-partai
politik yang berbasis umat Islam. Baik partai yang berasas Islam, maupun partai yang
terbuka, cenderung sulit bersatu bahkan centang perenang. Bahkan antar partai berasas
Islam saja, hingga kini tidak bisa berkoalisi. Sekadar berkoalisi, apalagi melebur menjadi
satu kekuatan partai Islam. Maka, hasil akhirnya adalah lemahnya kekuatan politik yang

berbasis Islam. Akibat buruknya, kekuatan “sekular” dan “nasionalis” naif selalu
mengambil untuk dan kemudian memegang tampuk pemerintahan. Sedang kekuatankekuatan politik Islam menjadi penonton atau sekadar pelengkap saja, kalau tidak malah
oposisi setengah hati.

Kenapa tidak dijajagi lahirnya kaukus politik berbasis umat Islam. Itu bisa
dimulai dari kaukus antar elit muslim yang selama ini berseberangan. Tidak inginkah
kekuatan Islam lahir memimpin bangsa ini untuk pencerahan ke depan? Gerakan kultural
saja tanpa sokongan payung politik yang kuat, sulit untuk membawa bangsa dan negara
Indonesia tercinta ini ke masa depan yang tercerahkan. Kenapa tidak dimulai? (Abu
Nuha)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 13 2002