TINJAUAN FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI PENGAWASAN DPRD KABUPATEN GARUT DALAM PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

(1)

TINJAUAN FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI

PENGAWASAN DPRD KABUPATEN GARUT DALAM

PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG

PEMERINTAHAN DAERAH

SKRIPSI

Oleh: Putri Rahayu NIM. C03212025

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syari’ah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam

Surabaya


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan untuk menjawab pertanyaan bagaimana fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam mekanisme pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beberapa waktu lalu dan bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan tersebut.

Data penelitian dihimpun melalui pembacaan dan kajian teks (text reading) dan selanjutnya dianalisis dengan teknik deskriptif analitis.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terhadap kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah sama halnya dengan fungsi pengawasan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi terhadap khalifah. Fungsi pengawasan yang dilakukan adalah sebagai wujud representasi rakyat demi terciptanya kemaslahatan umat. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidaklah menyebutkan adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah sampai pada ranah keperdataan. Pengawasan yang dilakukan oleh ahl h}alli wa al-‘aqdi tidak memandang sekat privasi maupun keperdataan seorang khalifah atau kepala negara. Kredibilitas khalifah atau kepala negara yang buruk dapat menjadi sebuah alasan kuat untuk melengserkan kekuasaan khalifah. Adanya kasus perkawinan sirih dan perceraian melalui pesan singkat atas perkawinan sirih tersebut menjadi indikasi adanya tindakan pelanggaran etika dan peraturan perundang-undangan oleh kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah. Walaupun dalam ajaran Islam tidak ada kewajiban pencatatan perkawinan dan perceraian (talak) dapat dilakukan secara lisan, hal ini tidak serta merta mengesampingkan hukum positif di Indonesia yang mewajibkan pencatatan perkawinan dan perceraian di depan sidang pengadilan.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka kepada pemegang otoritas pengawasan disarankan untuk merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam pengawasan yang dapat diterima oleh lembaga yang menjadi sasaran dan mitra pengawasannya. Standar akuntabilitas yang baku harus dimiliki dan dipahami oleh anggota DPRD, agar dapat menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan dan terhindar dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM... i

PERNYATAAN KEASLIAN... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

PENGESAHAN... iv

ABSTRAK\... v

KATA PENGANTAR... vi

PERSEMBAHAN... viii

MOTTO... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TRANSLITERASI... xiii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah... 8

C. Rumusan Masalah... 10

D. Kajian Pustaka... 10

E. Tujuan Penelitian... 11

F. Kegunaan Hasil Penelitian... 12

G. Definisi Operasional... 13

H. Metode penelitian... 14


(8)

BAB II AHL AL-H}ALLI WA AL-‘AQDI DALAM BIROKRASI

PEMERINTAHAN ISLAM... 20

A. Pengertian Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 20

B. Dasar Hukum Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 24

C. Kedudukan Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 26

D. Syarat-syarat Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi... 28

E. Tugas dan Fungsi Ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi dalam Pemakzulan Khalifah... 31

BAB III DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITAS NYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH... 39

A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 39

1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 39

2. Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)...40

3. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 41

4. Syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)... 43

5. Otoritas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ DPRD (tugas, fungsi dan wewenang)... 46

B. Pemakzulan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah... 51

1. Makna pemakzulan... 51

2. Dasar hukum pemakzulan... 53

3. Mekanisme pemakzulan di Indonesia... 55

BAB IV ANALISIS FIKIH SIYASAH TERHADAP FUNGSI PENGAWASAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) KABUPATEN GARUT DALAM PEMAKZULAN BUPATI GARUT BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH... 59

A. Pelanggaran Etika... 59

B. Pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan... 62

C. Pemakzulan... 67


(9)

A. Kesimpulan... 73

B. Saran... 74

DAFTAR PUSTAKA... 76


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia menganut asas Trias Politika Montesquieu dalam arti pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian Bab dalam Undang-undang Dasar 1945 yang telah membagi kekuasaan pemerintahan menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif.1 Namun, dalam

perkembangannya Undang-undang Dasar 1945 hasil amandemen menetapkan 4 (empat) kekuasaan dan 7 (tujuh) lembaga negara sebagai berikut:2 Pertama, kekuasaan eksaminatif (inspektif), yaitu Badan

Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, kekuasaan legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang tersusun atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Ketiga, kekuasaan eksekutif, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Keempat, kekuasaan kehakiman (yudikatif), meliputi Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kelima, lembaga negara bantu, yaitu Komisi Yudisial. Konsep pembagian kekuasaan pun diterapkan sampai di tingkat daerah. Di sana, roda pemerintahan dikendalikan oleh lembaga eksekutif

      

1 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), 287-288. 

2 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945 (Jakarta: Kencana, 2010), 77-78. 


(11)

   

(gubernur, walikota atau bupati), legislatif (DPRD) dan yudikatif (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi). Kekhususan inipun memberikan ruang bagi setiap lembaga untuk menjalankan tugasnya masing-masing demi kesejahteraan rakyat.

Sistem kerja antara lembaga-lembaga tersebut melalui suatu mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and ballance) di mana setiap cabang kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan lainnya.3 Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh DPRD

Kabupaten Garut selaku pelaksana kekuasaan legislatif di daerah terhadap Bupati Garut sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif di daerah. Sejalan dengan sistem kerja tersebut, kasus yang menjerat mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri dapat memberikan gambaran bagaimana sistem pengawasan antar lembaga dijalankan.4

Sebelumnya ramai diberitakan oleh media bahwa Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, melalui kuasa hukumnya Eggi Sudjana melaporkan pansus nikah siri, pimpinan DPRD Kabupaten Garut dan anggota DPRD Kabupaten Garut ke Polres Garut atas dugaan perbuatan tidak menyenangkan dan dokumen palsu yang menjadi dasar pengusulan pemakzulannya. Laporan ini terkait dengan upaya pembelaan yang dilakukannya atas kasus nikah siri yang yang dilakukan Aceng HM Fikri

       3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar..., 284. 

4Iman Herdiana, “Pansus Temukan Pelanggaran Bupati Aceng”,

http://daerah.sindonews.com/read/699076/21/pansus-temukan-pelanggaran-bupati-aceng-1355915720, diakses pada 17 Nopember 2015.  


(12)

   

dengan gadis belia, Fani Oktora. Pernikahan itu hanya berumur empat hari sebelum Fani dicerai melalui pesan singkat.5

Laporan Aceng HM Fikri tersebut sebagai adanya upaya kriminalisasi terhadap peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Hal ini penulis nilai sebagai bentuk upaya sistematis untuk melemahkan peran kontrol mereka terhadap bupati yang tengah menjabat.

Masyarakat yang tengah hidup dalam atmosfer kehidupan demokrasi secara konstitusional memiliki hak untuk memilih secara langsung kepala daerahnya, seperti bupati, dan memilih anggota DPRD sebagai perwakilan mereka di lembaga legislatif. Masyarakat juga memiliki peluang untuk menggugat kepemimpinan seorang kepala daerah apabila dianggap melakukan penyimpangan dalam kepemimpinannya. Namun, untuk melakukan pemakzulan, melengserkan atau memberhentikan seorang kepala daerah membutuhkan proses panjang melalui sidang dan kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Melihat kasus pemakzulan mantan Bupati Garut yang melibatkan sejumlah aksi demonstrasi masyarakat yang meminta bupatinya diberhentikan dari jabatannya, menarik untuk mengamati sejauh mana keseriusan dan kemampuan anggota DPRD menampung dan mengeksekusi permintaan masyarakat ini, karena secara konstitusional hanya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang memiliki

      

5Suryanta Bakti Susila, “Bupati Aceng Fikri Datangi Polres Garut”,

http://m.life.viva.co.id/news/read/385112-bupati-aceng-fikri-datangi-polres-garut, diakses pada 17 Nopember 2015. 


(13)

   

wewenang untuk melakukan hal tersebut. Artinya bahwa memakzulkan seorang kepala daerah merupakan domain atau wewenang DPRD yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD.6

Secara kasat mata, demonstrasi yang telah berlangsung tersebut menunjukkan sebagian besar masyarakat mengungkapkan kekecewaannya terhadap kinerja bupati yang tengah menjabat, terutama terhadap tindakan-tindakan yang diduga tidak sebagaimana mestinya. Dalam hal menunjukkan kesalahan fatal bupati ini dibutuhkan proses pembuktian yang lebih lugas dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum (legalitas) maupun konstitusional. Berbicara tentang prosedur administrasi seperti ini maka dapat diprediksi proses yang akan terjadi akan membutuhkan jalur, ruang dan waktu yang panjang, serta menyita energi yang banyak, dengan kata lain prosedurnya akan berbelit-belit.

Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangat strategis dalam melakukan pembelaan terhadap rakyat, karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) memiliki kewajiban untuk memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.7

Namun, tidak jarang terjadi bahwa fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) tersebut tidak dapat terwujud yang pada akhirnya berujung pada penurunan citra terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

      

6 Ateng Syafrudin, Etika Hubungan Legislatif Eksekutif dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Bandung: Fokusmedia, 2003), 10. 


(14)

   

Resiko penurunan citra terhadap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ini setidaknya pernah dihadapi oleh DPRD Kabupaten Garut yang dilaporkan mantan Bupati Garut Aceng HM Fikri atas tuduhan pelanggaran Tata Tertib DPRD dan pemalsuan dokumen terkait pemakzulannya. Menurut Aceng HM Fikri melalui kuasa hukumnya Eggy Sudjana mengatakan bahwa dasar pemberhentian Aceng yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD Garut Nomor 30 Tahun 2012 tentang Pendapat DPRD Garut terhadap Dugaan Pelanggaran Etika dan Peraturan Perundang-undangan yang dilakukan Aceng HM Fikri tidak berdasarkan hukum. Dia mempermasalahkan penggantian form daftar hadir forum ulama Garut menjadi daftar hadir mendukung pemakzulan Bupati Aceng HM Fikri. Selain itu, ketika pembahasan masalah Aceng di DPRD Garut, terjadi pergantian salah satu anggota panitia khusus yang tanpa melewati sidang paripurna. Pelanggaran tata tertib lain adalah pengambilan Keputusan DPRD atas dasar desakan masyarakat. Dia mempermasalahkan sidang yang berlangsung terbuka sehingga DPRD terpengaruh massa yang masuk. Menurutnya, hal-hal itu melanggar Tata Tertib (tatib) DPRD.8

Dengan demikian masih banyak hal yang harus ditegaskan mengenai analisis dari kontekstualisasi fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam Pemakzulan Bupati Garut Aceng HM Fikri beberapa waktu lalu. Dengan latar belakang inilah

      

8Didit Putra Erlangga, “Pengacara Aceng: Keputusan Presiden Sesat”,

http://m.kompas.com/bola/read/2013/02/21/11294863/pengacara.aceng.keputusan.presiden, diakses pada 5 Oktober 2015. 


(15)

   

penulis akan meneliti hal-hal tersebut yang dikaitkan dengan fikih siyasah atau hukum tata negara Islam.

Adapun pengertian fikih siyasah atau hukum tata negara Islam adalah salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.9

Lembaga perwakilan rakyat sebagai representasi sistem ketatanegaraan dalam konsep fikih siyasah atau hukum tata negara Islam telah ada setelah masa Rasulullah. Lembaga ini disebut dengan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.10 Hubungan lembaga ini dengan umat merupakan hubungan pengganti atau wakil.11 Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi memiliki tugas

dan fungsi yang berkaitan dengan konsep perwakilan rakyat layaknya Dewan Perwakilan Rakyat/ Rakyat Daerah (DPR/DPRD) di Indonesia. Tugas mereka tidak hanya bermusyawarah dalam perkara-perkara umum kenegaraan, mengeluarkan undang-undang yang berkaitan dengan kemaslahatan dan tidak bertabrakan dengan satu dasar dari dasar-dasar syariat yang baku dan melaksanakan peran konstitusional dalam memilih pemimpin tertinggi negara saja. Tetapi tugas mereka juga mencakup melaksanakan peran pengawasan atas kewenangan legislatif sebagai

      

9 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 3-4. 

10 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, Faturrahman A. Hamid (Jakarta: AMZAH, 2005), 78.  11 Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, Abd. Aziz (Jakarta: Yayasan al-Amin,1984), 26. 


(16)

   

wewenang pengawasan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah dan penguasa untuk mencegah mereka dari tindakan pelanggaran terhadap suatu hak dari hak-hak Allah.12

Hal ini merupakan tanggung jawab kita bersama dalam mengubah kemungkaran dalam politik atau dalam perundang-undangan yang dilakukan oleh u>li> al-amri serta memastikan prinsip pengawasan atas kerja pemerintah telah dijalankan, karena tidak cukup menjaga rakyat dari tindakan sewenang-wenang penguasa atau dari penyalahgunaan kekuasaannya hanya melalui komitmen penguasa dengan bermusyawarah, tetapi harus ditambah dengan adanya satu jenis pengawasan atas kerjanya, karena penguasa dapat bebas berbuat dalam batas-batas spesialisasinya dengan adanya kekuasaan evaluatif yang luas.

Konsep kekuasaan modern cenderung untuk menobatkan negara atau kepemimpinan politiknya dengan berbagai kekuasaan konstitusi yang besar dalam kawasan hukum dan undang-undang. Sedangkan konsep kekuasaan Islam, terutama jika dilihat dari sisi metodologi konotik Ibn Taimiyah, mereduksi negara sebagai suatu sarana untuk menerapkan hukum Allah atau syariah. Ulama dan umara, kata Ibn Taimiyah, adalah mereka yang diisyaratkan al-Qur’an sebagai u>li> al-amri atau mereka yang memerintah, pihak yang harus ditaati oleh umat Islam. Ia juga menambahkan bahwa kelompok itu terdiri dari orang-orang yang terpilih yang memenuhi syarat-syarat komplementer seperti keberanian, kekuatan,

       12 Ibid., 80. 


(17)

   

pengetahuan dan akal. Ia mengharapkan agar mereka sungguh memberikan suri tauladan bagi segenap lapisan masyarakat karena kebanyakan orang cenderung meniru tingkah laku pemimpin mereka.13

Sesungguhnya sanksi keras yang tersimbol dalam pencabutan kepemimpinan saat seorang pemimpin melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajibannya sangatlah penting sekali. Namun, itu bisa dilakukan setelah terjadi kemudaratan yang timbul dari perbuatan pemimpin tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya pengawasan yang mampu menghentikan penyelewengan-penyelewengan sebelum terjadi kemudaratan yang ditimbulkan dari perbuatan penyelewengan tersebut.14

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka penulis dapat mengetahui masalah-masalah sebagai berikut:

1. Tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 2. Hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 3. Syarat-syarat pemberhentian kepala daerah menurut UU Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

4. Mekanisme pemakzulan kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

      

13 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), 67-68. 


(18)

   

5. Urgensitas pengajuan usul atau pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam Keputusan DPRD dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.

6. Posisi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.

7. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah.

8. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah menurut fikih siyasah atau hukum tata negara Islam.

Agar penelitian ini tetap mengarah pada permasalahan yang akan dikaji dan tidak menyimpang dari pokok pembahasan, maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mekanisme pemakzulan kepala daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


(19)

   

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka pokok masalah yang akan diteliti sebagai berikut:

1. Bagaimana fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ?

2. Bagaimana tinjauan fikih siyasah terhadap fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah?

D. Kajian Pustaka

Sejauh yang penulis ketahui, skripsi di Fakultas Syariah belum ada yang membahas “Tinjauan Fikih Siyasah terhadap Fungsi Pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam Pemakzulan Bupati Garut. Akan tetapi yang ada adalah “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzula<n Presiden dan Wakil Presiden yang Berbuat Tindak Pidana Berat menurut UUD 1945 dalam Kajian Fiqh Dustu>riyah”. Skripsi tersebut ditulis oleh Abdulloh Faqor. Hasil dari penelitian tersebut ialah menerangkan bahwa makanisme pemakzulan yang berdasarkan pasal 7A-7B UUD 1945 adalah prosedur beracara untuk memutus pendapat DPR dan meminta pertanggungjawaban Presiden dan/atau Wakil Presiden serta kewenangan Wilayah al-Mazalim dalam pemakzulan pada prinsipnya sama dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia yakni meminta pertanggungjawaban kepala negara melalui lembaga ahl h}alli wa


(20)

   

‘aqdi dengan jalan musyawarah dan sekaligus berwenang untuk memutuskan serta memberhentikan kepala negara.15

Dalam penelitian kali ini, lebih menekankan pada analisis dari kontekstualisasi fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut serta pandangan fikih siyasah terkait hal tersebut.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan apa yang terdapat dalam rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui gambaran tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2. Selanjutnya untuk memberikan perspektif baru mengenai pandangan Fikih siyasah terhadap fungsi Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

F. Kegunaan Hasil Penelitian       

15 Abdulloh Faqor, “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden yang Berbuat Tindak Pidana Berat Menurut Fiqh Dusturiyah”, (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012), 72-73. 


(21)

   

Atas dasar tujuan tersebut, maka penelitian ini akan memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis:

a. Memperkaya khasanah ilmu fikih siyasah atau hukum tata negara Islam modern guna membangun argumentasi ilmiah bagi penelitian normatif dalam bentuk putusan atau keputusan hukum atau perundang-undangan dengan konsekuensi ilmiah. Apabila ada ketidaksesuaian sebuah aturan hukum dengan praktiknya, khususnya Keputusan DPRD Kabupaten Garut yang menjadi fokus penelitian ini, sehingga dapat disempurnakan.

b. Dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian dan kajian tentang eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD) dalam menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Secara Praktis:

a. Memberikan pedoman argumentasi hukum yang diperlukan agar diperoleh daya guna yang diharapkan bagi penegakan profesionalitas politisi dan wakil rakyat di parlemen, demi terciptanya iklim yang adil dan kondusif.

b. Diharapkan bermanfaat bagi upaya terciptanya keadilan dan kemaslahatan bagi rakyat serta penegasan mekanisme checks and balances bagi kekuatan trias politika Indonesia.


(22)

   

G. Definisi Operasional

Definisi operasional ini memberikan batasan-batasan tentang pengertian atas variabel-variabel dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Fungsi Pengawasan yaitu fungsi untuk melakukan pengawasan

terhadap pelaksanaan UUD 1945, undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.16 Fungsi pengawasan yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah yang berkaitan dengan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Pemakzulan Bupati merupakan proses, cara, perbuatan menurunkan

dari takhta, memberhentikan dari jabatan orang yang mengepalai suatu wilayah daerah tingkat II.17 Pemakzulan bupati yang dimaksud pada

penelitian ini adalah pemakzulan Bupati Garut, Aceng Holik Munawar Fikri, oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut.

3. Fikih siyasah atau hukum tata negara Islam adalah salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri. Kata siyasah sendiri mengandung tujuan untuk mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu

      

16 Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum..., 193.  17 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Offline) 


(23)

   

yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.18 Pada penelitian ini akan

lebih menitikberatkan pada kajian yang berkaitan dengan perundang-undangan (fikih dusturiyah).

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif analitis dan pengumpulan data melalui metode penelitian pustaka (library research).

1. Data yang dikumpulkan, yakni data yang akan ditulis pada bab III, meliputi:

a. Data mengenai fungsi pengawasan badan legislatif.

b. Data mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban Dewan Perwakilan Rakyat daerah (DPRD).

c. Data mengenai mekanisme pemakzulan kepala daerah.

d. Data mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor 1/P/Khs/2013 tentang permohonan uji pendapat terhadap Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Garut Nomor 30 Tahun 2012 tanggal 21 Desember 2012 tentang pendapat DPRD Kabupaten Garut terhadap dugaan pelanggaran etika dan peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh H. Aceng H. M. Fikri sebagai Bupati Garut.

2. Sumber Data

       18 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah..., 3-4. 


(24)

   

a. Sumber primer, yakni sumber yang berasal dari aturan hukum berdasarkan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sumber data yang dimaksud adalah dokumen terkait fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

b. Sumber sekunder merupakan sumber yang bersifat membantu atau menunjang dalam melengkapi dan memperkuat serta memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, diantaranya adalah:

1) Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam.

2) Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam.

3) Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah.

4) Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik.

5) Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam.

6) Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.

3. Teknik Pengumpulan Data

Bertolak dari sumber data yang dikumpulkan, maka teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara membaca, menelaah dan menulis sumber-sumber data yang


(25)

   

bersumber dari: 1) Peraturan perundang-undangan, 2) Buku, 3) Jurnal, dan 4) Koran online, berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan dan kemudian dilakukan penulisan secara sistematis dan komprehensif.

4. Teknik Pengelolaan Data

Bertolak dari sumber-sumber data yang telah dikumpulkan, maka teknik pengelolaan data yang dilakukan dalam penelitian ini kemudian adalah pengidentifikasian data, pengklasifikasian data dan yang terakhir adalah penganalisisan data.

5. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang dilakukan pada penelitian ini adalah deskriptif analitis dengan melakukan pendekatan perundang-undangan. Melalui pendekatan perundang-undangan dilakukan pengkajian terhadap aturan hukum yang menjadi fokus dan berhubungan dengan topik permasalahan. Dalam hal analisis diarahkan kepada fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut menurut fikih siyasah. Langkah-langkah analitis dilakukan untuk memperoleh hipotesis hukum, apakah fungsi pengawasan DPRD Kabupaten Garut telah sesuai dengan prinsip fikih siyasah atau tidak.

Adapun pola pikir yang digunakan dalam mengolah data yang telah dikumpulkan adalah dengan cara deduktif, yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap


(26)

   

permasalahan konkret yang bersifat khusus.19 Artinya, mengemukakan

teori yang bersifat umum, yaitu teori ahl al-h}alli wa al-‘aqdi kemudian ditarik pada permasalahan yang lebih khusus tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam upaya untuk menjadikan alur pembahasan menjadi sistematis, maka penulisan skripsi dibagi ke dalam lima bab. Dalam masing-masing bab terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang akan diteliti.

Bab I sebagai pendahuluan berupa uraian latar belakang masalah yang berkaitan dengan urgensi penelitian, dilanjutkan dengan identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode yang digunakan dalam penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II membahas landasan teori tentang konsep ahl h}alli wa al-‘aqdi yang mencakup pengertian ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, dasar hukum ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, syarat-syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dan tugas serta fungsi ahl h}alli wa al-‘aqdi dalam pemakzulan kepala negara yang dianalogikan dengan konsep pemakzulan kepala daerah.

      


(27)

   

Bab III berisi data tentang fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut yang akan diteliti dalam penelitian ini. Hal ini mencakup pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), otoritas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah yang meliputi tugas, fungsi dan wewenang.

Bab IV merupakan pembahasan yang paling inti dalam skripsi ini, yaitu analisis terhadap fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut, yang mencakup tentang: otoritas pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut terhadap tindak pelanggaran yang dilakukan oleh Bupati Garut, yang menjadi dasar keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk memakzulkannya, dengan memadukannya terhadap konsep fungsi dan peran pengawasan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemberhentian seorang khalifah.

Bab V adalah sebagai penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


(28)

   


(29)

BAB II

AHL AL-HALLI WA AL-‘AQDI

DALAM BIROKRASI PEMERINTAHAN ISLAM

A. Pengertian Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

Baik di dalam al-Qur’an maupun sunah tidak ditemukan sebutan atau spesifikasi apa yang disebut dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi. Istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi mulai timbul dalam kitab-kitab para ahli tafsir dan ahli fikih setelah masa Rasulullah. Abu Bakar selalu menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah. Apabila ia dihadapkan dengan suatu permasalahan dan ia tidak menemukan penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan sunah, ia langsung mengumpulkan para sahabat, lalu ia bermusyawarah dengan mereka. Jika mereka semua sepakat atas satu keputusan, ia pun memutuskan permasalahan tersebut dengan keputusan itu. Begitupun dengan Umar, ia mempunyai orang-orang khusus dari para u>li> al-amri.1

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah orang-orang yang ahli dalam memilih dan bermusyawarah, juga orang-orang yang ahli dalam mengawasi para pejabat. Mereka adalah u>li> al-amri dalam umat dan tugas mereka masuk dalam ruang lingkup politik keagamaan.2 Secara global dapat dikatakan

bahwa ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah orang yang bertanggung jawab atas semua kemaslahatan rakyat. Mereka adalah orang-orang yang mewakili

      

1 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 78. 


(30)

   

kekuasaan rakyat. Mereka juga adalah orang-orang yang telah dipercayai oleh rakyat dalam memperjuangkan aspirasi dan kemaslahatan rakyat yang dengannya akan makmur kehidupan mereka. Rakyat juga akan selalu mengikuti apa yang mereka tetapkan, baik dalam perkara agama atau dalam perkara dunia.3

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi diartikan dengan orang-orang yang mempunyai wewenang untuk melonggarkan dan mengikat. Istilah ini dirumuskan oleh ulama fikih untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka. Tugasnya antara lain memilih khalifah, imam, dan kepala negara secara langsung. Paradigma

pemikiran ulama fikih merumuskan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

didasarkan pada sistem pemilihan empat khalifah pertama yang dilaksanakan oleh para tokoh sahabat yang mewakili dua golongan, Ansar dan Muhajirin. Mereka ini oleh ulama fikih diklaim sebagai ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang bertindak sebagai wakil umat.4

Mengenai siapa yang disebut sebagai ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang berhak memilih khalifah, Muhammad Rasyid Ridha berpendapat mereka itu tidak hanya terdiri dari ulama atau ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid saja, tetapi juga dari pemuka-pemuka masyarakat di berbagai bidang, termasuk bidang perdagangan, perindustrian, dsb. Tetapi hanya sampai batas itu pendapat Ridha, pendapatnya tentang konsep ahl al-h}alli wa al-‘aqdi tetap tidak jelas. Misalnya, ia tidak menjelaskan tentang

      

3 Ibid., 112. 


(31)

   

bagaimana cara pengangkatannya, dipilih oleh rakyat atau dari kalangan rakyat atau khalifah yang menunjuk mereka.5

Abu A’la al-Maududi menyebutkan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa, ia juga menyebutkan lembaga tersebut sebagai lembaga legislatif.6 Al-Razi menyamakan pengertian antara ahl

al-h}alli wa al-‘aqdi dan u>li> al-amri, yaitu para pemimpin dan penguasa.7

Muhammad Abduh menyatakan yang dimaksud dengan u>li> al-amri

adalah golongan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dari kalangan orang-orang muslim, yang terdiri dari para amir, para hakim, para ulama, para pemimpin militer, dan semua penguasa serta pemimpin yang dijadikan rujukan oleh umat dalam masalah kebutuhan dan kemaslahatan publik.8 Demikian pula al-Maraghi,

rumusannya sama seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.9 Sedangkan, al-Mawardi menyebutkan ahl h}alli wa

al-‘aqdi dengan ahl al-ikhtiya>r atau dewan pemilih.10

Ibn Taimiyah cenderung tidak mengakui keberadaan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi (dewan perumus undang-undang dan pemilih) seperti yang berlaku pada teori-teori khilafah tradisional. Menurut pendapatnya, tidak satupun ayat al-Qur’an maupun sunah Nabi yang mendukung eksistensi badan pemerintahan dengan supremasi yuridis itu, baik untuk menobatkan atau mencopot seorang pemimpin. Peranan penting yang mereka berikan kepada

      

5 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1990), 134. 

6 Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Asep Hikmat (Bandung:

Mizan, 1995), 245. 

7 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah..., 69. 

8 Ibid., 68.  9 Ibid.,69. 


(32)

   

ulama dalam administrasi negara tidak berarti bahwa mereka mempunyai wewenang untuk menunjuk seorang pemimpin. Tidak hanya kerjasama mereka yang diperlukan untuk memilih pemimpin yang baru, tetapi juga kerjasama semua unsur efektif lain dalam masyarakat.11

Banyaknya sebutan bagi kelompok ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam tura>ts fikih kita sejak awal Islam, di mana kelompok ini merupakan sebutan lain dari “Dewan Perwakilan Rakyat” atau ahl al-Ikhtiya>r. Para khalifah selalu merujuk dan berkomitmen dengan pendapat-pendapat mereka dalam perkara-perkara rakyat. Kelompok ini memiliki hak untuk memilih atau menobatkan khalifah dan juga memberhentikannya. Kelompok ini terdiri dari para ulama, para pemimpin suku dan pemuka masyarakat. Banyaknya nama bagi kelompok ini disebabkan karena keberagaman atau heterogenitas tugas dan fungsi yang mereka emban.12

Abu A’la al-Maududi menyebutkan bahwa legislatif merupakan lembaga yang berdasarkan terminologi fikih disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa yang biasa dikenal dengan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.13 Dasar dalam masalah ini adalah, bahwa rakyat yang memiliki

kekuasaan dalam memilih pemimpin, sementara ahl al-h}alli wa al-‘aqdi mewakili mereka, kecil jumlahnya dari rakyat, tetapi memiliki kapabilitas untuk memikul tanggung jawab memilih pemimpin. Perkara ini mendorong para pakar di bidang perbandingan antara undang-undang konstitusional modern dan fikih politik Islam untuk menyimpulkan bahwa dewan-dewan

      

11 Khalid Ibrahim Jindan, Teori Pemerintahan Islam..., 82-83. 

12 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 79-80. 


(33)

   

parlementer sama dengan majelis permusyawaratan ahl shu>ra dalam Islam.14

Majelis shu>ra berarti majelis permusyawaratan atau badan legislatif. Al-Maududi percaya bahwa majelis shu>ra atau ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah ditunjuk oleh kepala negara bukan dipilih melalui pemilu. Mungkin pemikiran ini didasarkan kepada sikap Umar bin Khattab yang menunjuk enam orang majelis shu>ra atau ahl al-h}alli wa al-‘aqdi sebagai tim yang memilih penggantinya ketika menjelang beliau tiada. Lagipula majelis shu>ra yang memilih dan membaiat Abu Bakar menjadi khalifah pertamapun tidak dipilih melalui pemilu.15

Maka, dapat disimpulkan bahwa ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Mereka adalah sekelompok orang dari kalangan kaum muslimin yang dipandang paling baik agamanya, akhlaknya, kecemerlangan idenya dan pengaturannya dalam birokrasi pemerintahan.

B. Dasar Hukum ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi

Al-Qur’an dan sunah sebagai dua sumber perundang-undangan Islam tidak menyebutkan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau Dewan Perwakilan Rakyat, namun sebutan itu hanya ada di dalam tura>ts fikih kita di bidang politik keagamaan dan pengambilan hukum substansial dari dasar-dasar menyeluruh,

      

14 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 245. 


(34)

   

maka dasar sebutan ini di dalam al-Qur’an yang disebut dengan u>li> al-amri dalam firman Allah Swt.:

ﺴأ

ﺴﷲاﻮُﻌْـِ

ﺴأﺴو

ﺴﺮ ااﻮُﻌْـِ

ْا

ِﱃْوُأﺴو

ﺴلﻮُ

ُﻜِِْﺮْﺴﻷ

ْ

Taatilah Allah dan taatilah rasul (-Nya), dan u>li> al-amri di antara kamu. (QS. al-Nisa: 59)

Juga dalam firmanNya:

ُ ﺴِﺴﻌﺴ

ْ ُﻬْـِِﺮْﺴ ْا

ِﱃوُا

ﺴﱃِاﺴو

ِلﻮُ ﺴﺮا

ﺴﱃِا

ْْوُدﺴرْﻮﺴﺴو

ﺴا

ِﺬ

ﺴـﺘْ ﺴ

ﺴ ْ

ْ ُﻬْـِ

ُﺴْﻮُ ِﺒْ

Dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan u>li> al-amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan u>li> al-amri). (QS. al-Nisa: 83)

Dengan demikian, fikih politik Islam telah menciptakan satu bentuk musyawarah di masa awal timbulnya daulat Islamiah, sebagaimana ia juga telah menciptakan satu bentuk konstitusi yang dikenal dengan konstitusi

Madinah (Madinah charter/ piagam Madinah). Bentuk musyawarah itu tidak

lain adalah apa yang kita kenal dengan istilah ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau Dewan Perwakilan Rakyat atau ahl al-ikhtiya>r di masa awal Islam. Di mana kelompok ini telah dipercaya oleh rakyat karena keilmuan dan kecendekiawanan serta keikhlasan mereka. Juga karena keseriusan mereka dalam membuat hukum-hukum yang diperlukan, baik yang berkenaan dengan peraturan sipil, politik dan administratif. Mereka termasuk dalam ranah u>li> al-amri yang Allah Swt. wajibkan bagi kita untuk menaati mereka.16

      


(35)

   

Kebutuhan akan dibentuknya lembaga ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

memang sangat penting dalam birokrasi pemerintahan. Para ahli fikih siyasah menyebutkan alasan pentingnya pembentukan majelis shu>ra ini. Pertama, rakyat secara keseluruhan tidak mungkin dimintai pendapatnya tentang masalah kenegaraan. Kedua, secara individual rakyat tidak mungkin berkumpul dan bermusyawarah secara keseluruhan dalam satu tempat. Ketiga, musyawarah hanya mungkin dilakukan jika pesertanya terbatas. Keempat, kewajiban amar makruf nahi mungkar hanya bisa dilakukan apabila ada lembaga yang berperan menjaga kemaslahatan antara pemerintah dengan rakyatnya. Kelima, ajaran Islam sendiri memerintahkan perlunya pembentukan lembaga musyawarah, sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur’an surah al-Syura ayat 38 dan Ali Imran ayat 159.17

C. Kedudukan ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi mempunyai kedudukan yang penting dalam

pemerintahan Islam. Antara khalifah dan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

bekerjasama dalam menyelenggarakan pemerintahan yang baik demi kemaslahatan umat. Kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemerintahan adalah sebagai wakil rakyat yang salah satu tugasnya adalah memilih khalifah dan mengawal khalifah menuju kemaslahatan umat.18 Dengan kata lain,

kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam pemerintahan adalah sebuah

      

17 Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi..., 142-143. 


(36)

   

lembaga yang mempunyai tugas dan wewenang sendiri tanpa adanya campur tangan atau intervensi dari khalifah.

Al-Maududi mengharuskan adanya lembaga yang berfungsi sebagai pengukur dan pemutus perkara yang harus selalu berpedoman kepada kitab Allah dan sunah Rasul secara ketat. Selanjutnya, al-Maududi mengemukakan tiga lembaga penting yang rakyat harus memberikan ketaatan terhadap negara melalui peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh ketiga lembaga atau badan tersebut, yaitu lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.19

Menurut al-Maududi, lembaga legislatif adalah lembaga yang berdasarkan terminologi fikih disebut dengan lembaga penengah dan pemberi fatwa atau sama dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.20Dalam memformulasikan

hukum, lembaga ini harus dibatasi dengan batasan-batasan Allah dan RasulNya dan tidak boleh bertolak belakang dengan legislasi yang ditetapkan Allah dan Rasul walaupun rakyat menghendakinya. Begitu juga tidak seorang muslimpun memberi dan memutuskan persoalan sesuai dengan pendapatnya sendiri yang tidak sejalan dengan ketentuan Allah dan Rasul. Lebih tegas lagi ia menyatakan bahwa orang-orang yang membuat keputusan tidak berdasarkan al-Qur’an termasuk orang-orang kafir.21 Dengan kata lain, semua

bentuk legislasi harus mencerminkan semangat atau jiwa dari undang-undang dasar al-Qur’an dan hadis.

D. Syarat-syarat ahl al-H}alli wa al-‘Aqdi

      

19 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 167. 

20 Abu A’la al-Maududi, Hukum dan Konstitusi..., 245. 


(37)

   

Menurut al-Maududi, ahl al-h}alli wa al-‘aqdi atau majelis shu>ra terdiri dari warga negara yang beragama Islam, dewasa, dan laki-laki, yang terhitung saleh serta cukup terlatih untuk dapat menafsirkan dan menerapkan syariat dan menyusun undang-undang yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunah nabi. Jadi, wanita tidak diperkenankan duduk dalam jabatan majelis shu>ra.22

Menurut al-Maududi, mengenai pemilihan kaum wanita untuk badan-badan legislatif, hal ini mutlak bertentangan dengan jiwa dan ajaran Islam dan hanya peniruan buta terhadap barat. Menurut Islam, politik dan administrasi (pemerintahan) aktif bukanlah bidang kegiatan kaum wanita tetapi berada di bawah lingkup tanggung jawab kaum pria. Namun, harus diingat bahwa pernyataan ini hanya merupakan pandangan pribadi al-Maududi. Masalah mengenai peranan wanita dalam politik masih merupakan masalah kontroversial.23

Cara yang tepat untuk memecahkan masalah ini adalah dengan membentuk dewan terpisah yang anggota-anggotanya terbatas untuk kaum wanita saja dan yang kesemuanya dipilih oleh para pemilih wanita. Fungsi utama dari dewan ini adalah menjaga urusan-urusan khusus wanita seperti pendidikan wanita, rumah sakit wanita, dsb. Tentu saja, dewan ini perlu diberi hak untuk mengkritik masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan umum bangsa. Selanjutnya, dewan ini harus diajak

      

22 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 169. 


(38)

   

bermusyawarah oleh badan-badan legislatif mengenai masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan kaum wanita.24

Selain itu, al-Maududi juga memberikan syarat untuk jabatan khalifah atau kepala negara, untuk keanggotaan majelis shu>ra, atau untuk jabatan-jabatan lain yang penting, jangan dipilih orang-orang yang yang mencalonkan diri untuk jabatan tersebut atau mereka yang berupaya untuk menduduki jabatan-jabatan tersebut. Kemudian, anggota majelis shu>ra tidak dibenarkan terbagi menjadi kelompok-kelompok atau partai-partai. Masing-masing anggota majelis harus mengemukakan pendapatnya yang benar secara perorangan. Islam melarang anggota majelis terbagi dalam partai-partai dan melarang mereka mendukung pendapat partai masing-masing tanpa melihat apakah pendapat itu benar ataupun salah.25

Berbeda dengan al-Maududi, Muhammad Rasyid Ridha menyatakan bahwa untuk menjadi ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, mereka harus memenuhi dua syarat yaitu berilmu dan mampu berijtihad. Namun, pendapat ini menjadi tidak jelas karena ia tidak menjelaskan tentang bagaimana mekanisme pengangkatan mereka.26

Dalam bahasa lain ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dikenal sebagai dewan pemilih. Dewan pemilih yang bertugas memilih imam (khalifah) bagi umat tersebut memiliki kriteria-kriteria legal yang harus mereka dimiliki yaitu:27

1. Adil dengan segala syarat-syaratnya.

      

24 Ibid. 

25 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 168. 

26 Ibid.,134. 


(39)

   

2. Ilmu yang mampu membuatnya mampu mengetahui siapa yang berhak

menjadi imam (khalifah) sesuai dengan kriteria-kriteria yang legal.

3. Wawasan dan sikap bijaksana yang membuatnya mampu memilih

siapa yang paling tepat menjadi imam (khalifah) dan paling efektif serta paling ahli dalam mengelola semua kepentingan.

Di antara hal yang jelas dalam syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah spesialisasi mereka sebagai berikut:28

1. Membaiat (menobatkan) orang yang menurut mereka mampu untuk memegang tongkat kepemimpinan.

2. Melakukan ijtihad dalam hukum-hukum untuk mencapai kesepakatan

(ijmak).

Spesialisasi pertama menuntut adanya syarat mempunyai pemikiran dan kebijaksanaan, sedangkan spesialisasi yang kedua menuntut adanya syarat mempunyai pengetahuan tentang perundang-undangan dan cukup mengenal kemaslahatan rakyat. Hal tersebut memasukkan mereka ke dalam kelompok para mujtahid, artinya bahwa kedudukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dapat dipandang sebagai tugas perundang-undangan yang menuntut adanya pengenalan terhadap hukum-hukum fatwa dan pengambilan hukum dalam masalah-masalah umum seperti masalah keamanan dan ketakutan.29

Syarat-syarat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi yang disebutkan oleh para fukaha termasuk dalam politik substansial yang tunduk dengan kemaslahatan,

      

28 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 110. 


(40)

   

berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman. Apabila ada yang mengira bahwa ini adalah termasuk dalam syariat umum dan lazim bagi umat sampai hari kiamat, maka sebenarnya tidaklah demikian. Syarat-syarat ini termasuk salah satu pemahaman fleksibel dan tidak terbatas yang harus selalu diperbaharui sesuai dengan perubahan kondisi dan zaman. Ia bukan termasuk agama, juga bukan termasuk dasar-dasarnya yang tidak bisa berubah.

E. Tugas dan Fungsi ahl al-h}alli wa al-‘aqdi

Suatu gagasan yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha mengenai tugas dan fungsi dari ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah ia menekankan bahwa tugas dari orang-orang pilihan itu tidak berakhir dengan usainya pemilihan atau pengangkatan khalifah. Mereka terus berperan sebagai pengawas terhadap jalannya pemerintahan khalifah dan harus menghalanginya dari berbuat penyelewengan. Menurut Ridha, mereka harus mengadakan perlawanan terhadap kezaliman dan ketidakadilan khalifah, dan apabila penyelewengan tersebut berakibat pada kepentingan umat ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dapat mengakhiri kekuasaannya dengan perang atau kekerasan sekalipun.30

Al-Maududi memberikan pendapatnya tentang tugas-tugas majelis shu>ra, meliputi:31

      

30 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 135. 


(41)

   

1. Merumuskan dalam peraturan perundang-undangan

petunjuk-petunjuk yang secara jelas telah didapatkan dalam al-Qur’an dan hadis serta pelaturan pelaksanaannya.

2. Jika terdapat perbedaan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an atau hadis, maka memutuskan penafsiran mana yang ditetapkan.

3. Jika tidak terdapat petunjuk yang jelas, menentukan hukum dengan

memperhatikan semangat atau petunjuk umum dari al-Qur’an dan hadis.

4. Dalam hal sama sekali tidak terdapat petunjuk-petunjuk dasar, dapat saja menyusun dan mengesahkan undang-undang, asalkan tidak bertentangan dengan huruf maupun jiwa syariat.

Lembaga yang disebut ahl al-h}alli wa al-‘aqdi bertugas untuk

memberi nasihat kepada kepala negara mengenai masalah-masalah hukum, pemerintahan dan kebijaksanaan negara. Dalam masalah penting negara, seperti perumusan kebijaksanaan atau pemberian peraturan-peraturan dalam berbagai masalah pemerintahan atau hukum, khalifah mau tidak mau harus berkonsultasi dengan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi.32

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi memiliki tugas dan fungsi untuk mengkaji perkara-perkara umum atas dasar musyawarah antara anggotanya untuk mencari kata sepakat dalam suatu hal yang dapat mewujudkan kemaslahatan dan menjauhkan dari kerusakan. Adapun tugas kedua dari ahl al-h}alli wa al-‘aqdi adalah menunaikan kewajiban amar makruf nahi munkar sebagai

      


(42)

   

fardu kifayah, dan tugas pengawasan atas para pejabat merupakan satu cabang dari kewajiban ini yang pada intinya mengingkari atau memberikan teguran keras kepada para pejabat dengan adanya indikasi tindakan mungkar mereka, yang mencakup pelanggaran atas hak-hak Allah, untuk mencegah kemungkinan terjadinya kemungkaran ini.33

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dalam menjalankan tugas dan fungsinya ini mempunyai wewenang untuk meminta pertanggungjawaban penguasa, diawali dengan wajib memberikan nasihat kepada penguasa, kemudian diteruskan dengan tingkatan-tingkatan pertanggungjawaban dan terakhir dengan memberhentikan penguasa atau pemerintahan apabila diperlukan dan tidak adanya penghalang lain.34 Al-Mawardi berpendapat apabila

khalifah melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama dan rakyat, maka ahl al-h}alli wa al-‘aqdi berhak untuk menyampaikan mosi tidak percaya kepadanya.35

Ahl al-h}alli wa al-‘aqdi dipandang sebagai tugas politik yang menuntut bahwa mereka terdiri dari para cendekiawan dan para pakar serta mempu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan juga kepentingan-kepentingan umum, baik sosial, ekonomi, ataupun politik, dengan kapasitas mereka sebagai majelis permusyawaratan yang apabila mereka menyepakati suatu perkara dari perkara kemaslahatan umat yang tidak ada nasyang jelas dari Allah Swt., maka taat kepada mereka adalah wajib, dan wajib atas para

      

33 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik..., 158-159. 

34 Ibid. 


(43)

   

penguasa memutuskan sesuai dengan apa yang mereka sepakati itu serta wajib pula melaksanakannya.36

Bisa juga dipandang sebagai tugas pengawasan atas orang-orang yang memiliki kekuasaan, yang menuntut syarat-syarat yang harus ada pada para pengawas, diantaranya mengenal objek pengawasan sebagai fardu ain. Maka, mereka harus menyelidiki tentang kemungkaran-kemungkaran para penguasa, yakni yang melakukan pelanggaran terhadap satu hak dari hak-hak Allah atau hak-hak-hak-hak bersama yang hak-hak Allah lebih dominan di dalamnya. Juga wajib menyelidiki tentang kebaikan atau yang makruf, yang tidak dilaksanakan agar mereka dapat memerintahkan untuk ditegakkan, baik yang berhubungan dengan perkara-perkara agama atau perkara-perkara dunia. Sebagaimana mereka juga harus mengajukan gugatan untuk mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin akan dilakukan oleh para pejabat terhadap hak-hak individual atau kebebasan manusia, dan wajib memberhentikan penguasa tersebut apabila keadaannya telah menuntut untuk diberhentikan.37

Berangkat dari para pemikir politik Islam sampai zaman pertengahan terdapat beberapa pemikiran terkait pemecatan seorang khalifah. Mawardi dengan jelas mengemukakan bahwa seorang imam dapat digeser dari kedudukannya sebagai khalifah atau kepala negara apabila ternyata sudah menyimpang dari keadilan, kehilangan panca indera atau organ-organ tubuh

      

36 Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik...,111. 


(44)

   

yang lain, atau kehilangan kebebasan bertindak karena telah menjadi tawanan orang-orang dekatnya. Tetapi Mawardi hanya berhenti sampai di situ dan tidak menjelaskan tentang bagaimana cara atau mekanisme pemberhentian imam yang sudah tidak layak memimpin negara atau umat itu, dan pemberhentian itu harus dilakukan oleh siapa.38

Imam al-Mawardi mengemukakan tiga perubahan sifat kepala negara yang membuatnya keluar dari kompetensi sebagai kepala negara, yaitu: 1. Kredibilitas pribadinya rusak, 2. Terjadi ketidaklengkapan pada anggota tubuhnya, dan 3. Ketidakmampuan kepala negara bertindak.39 Rusaknya

kredibilitas kepala negara terkait dengan perbuatan melanggar ajaran agama antara lain melakukan kemungkaran, menuruti hawa nafsu, serta membuat keputusan yang menyalahi kebenaran. Terkait ketidaklengkapan anggota tubuhnya, yaitu kehilangan anggota tubuh yang dapat menghalangi seseorang memangku jabatan kepala negara seperti hilang akal atau hilang penglihatan. Ketidakmampuan kepala negara bertindak, berarti kepala negara tidak lagi berfungsi karena dikuasai oleh para pembantunya atau ditawan musuh. Akan tetapi, tidak ada suatu ketentuan atau praktik baku dalam ketatanegaraan Islam yang dapat dijadikan landasan teoritik dalam memakzulkan kepala negara atau seorang khalifah (pemimpin).40

Menurut al-Baqillani, seperti yang dikutip oleh J. Suyuthi Pulungan, menjelaskan kasus atau keadaan yang menyebabkan pemberhentian kepala

      

38 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata..., 65-66. 

39 Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden..., 11. 


(45)

   

negara, karena: 1. tidak jujur, berbuat bid’ah, tidak adil dan berbuat dosa, 2. lemah fisik dan mental, seperti gila dan kehilangan kemampuan, tuli dan bisu atau lanjut usia sehingga tidak lagi mampu melaksanakan tanggung jawab dan tugasnya, 3. kehilangan kebebasan karena ditawan oleh musuh. Sementara al-Baghdadi menjelaskan bahwa seorang imam yang tanpa cacat dan tindakannya tidak bertentangan dengan syariat, umat wajib mendukung dan mantaatinya. Tetapi apabila ia menyimpang dari ketetapan syariat, masyarakat harus memilih di antara dua tindakan kepadanya, yaitu mengembalikannya dari berbuat salah kepada kebaikan, atau mencopot jabatannya dan memberikannya kepada yang lain.41

Kepala negara yang diangkat melalui pemilihan tidak boleh diberhentikan kecuali ada suatu peristiwa atau perubahan sesuatu dalam dirinya yang membolehkan untuk itu. Hal ini kata al-Juwaini, telah menjadi kesepakatan. Apabila ia fasiq dan fa>jir (perbuatan dosa dan tidak berlaku adil), maka memberhentikannya adalah mungkin. Dikatakan mungkin karena tidak ada dasar hukum (ketetapan) untuk memberhentikannya. Pengunduran diri seorang kepala negara apabila ia merasa tidak lagi mampu memikul tanggung jawab kedudukannya, juga adalah mungkin. Hal ini ia dasarkan pada kasus Hasan bin Ali bin Abu Thalib yang mengundurkan diri dari jabatannya karena lemah dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Sufyan. 42

      

 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah ..., 261-262. 


(46)

   

Maka, secara umum dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dalam suatu negara Islam memiliki sejumlah fungsi yang harus dilakukan, meliputi:43

1. Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasulullah,

meskipun legislatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, maka hanya legislatiflah yang akan kompeten untuk menegakkannya dalam susunan dan bentuk pasal demi pasal, menggunakan definisi-definisi yang relevan serta rincian-rinciannya, serta menciptakan peraturan-peraturan dan undang-undang untuk mengundangkannya.

2. Jika pedoman al-Qur’an dan sunah mempunyai kemungkinan

interpretasi lebih dari satu, maka legislatiflah yang berhak memutuskan penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam Kitab Undang-undang Dasar.

3. Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam al-Qur’an dan sunah, fungsi lembaga legislatif ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan menjaga jiwa hukum Islam.

4. Jika dalam masalah apapun al-Qur’an dan sunah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi al-Khulafa>’ al-Ra>shidu>n, maka kita harus mengartikan bahwa Tuhan telah membiarkan kita bebas melakukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik.

      


(47)

   

BAB III

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) DAN OTORITASNYA DALAM PEMAKZULAN KEPALA DAERAH DAN

WAKIL KEPALA DAERAH

A. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

1. Pengertian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah dan berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah,1 yang memiliki fungsi

pengawasan, yaitu melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD), kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah dan kerjasama internasional di daerah.2 Tugas

itu secara normatif sebagai cerminan kehidupan demokrasi dalam pemerintahan daerah, yang harapannya adalah sebagai pelaksanaan

check and balance lembaga di luar kekuasaan pemerintah daerah agar

terdapat keseimbangan. Kemudian, agar kepala daerah tidak semaunya sendiri dalam menjalankan tugasnya, maka keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sangat diperlukan dalam pembangunan daerah. Namun, perlu diingat bahwa Dewan Perwakilan

      

1 Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 


(48)

   

Rakyat Daerah (DPRD) merupakan bagian sinergi yang tidak terpisahkan dengan pemerintah daerah sebagai penyelenggara pemerintahan di daerah. Maka, perlu adanya upaya-upaya antisipasi dari adanya kemungkinan-kemungkinan dominasi atau persaingan yang syarat akan unsur politik antara pengontrol kekuasaan (legislatif) dan eksekutif di daerah.

2. Dasar hukum Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah,3 di provinsi/kabupaten/kota di

Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) disebutkan dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3: “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kemudian diatur lebih lanjut dengan undang-undang, terakhir pada BAB VI Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah.4

Pada BAB VI Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

      

3 Pasal 40 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004... 

4 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah 


(49)

   

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara jelas mengatur tentang susunan dan kedudukan, fungsi, wewenang dan tugas, keanggotaan, hak dan kewajiban anggota, fraksi, alat kelengkapan, pelaksanaan hak DPRD, pelaksanaan hak anggota, persidangan dan pengambilan keputusan, tata tertib dan kode etik, larangan dan sanksi, pemberhentian antarwaktu, penggantian antarwaktu dan pemberhentian sementara.5

3. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengalami peningkatan posisi yang strategis sebagai lembaga penampung, penyalur sekaligus representasi aspirasi masyarakat di daerah. Sedangkan dalam kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah kabupaten/kota dapat ditemukan dalam pasal 342 Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menyebutkan bahwa: “DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.” Masuknya DPRD dalam komposisi penyelenggara pemerintahan di daerah

       5 Ibid. 


(50)

   

memberikan penjelasan bahwa dikotomi yang mengarah oposisi peran antara kepala daerah dan DPRD mulai dihindari.6

Hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan pemerintah daerah dalam otonomi daerah sebenarnya tidak sulit untuk dipahami, karena dengan memperhatikan fungsi-fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja sudah ditemukan pola hubungan yang terbangun itu. Apalagi jika dilihat dari sudut yang lebih politis dan ideologis, yakni Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai representasi rakyat dan pemerintah daerah yang melaksanakan tugas pelayanan publik, maka hubungan antara kedua institusi ini menjadi sebuah keharusan dalam negara demokrasi, di samping kedudukannya sebagai deskripsi akan sistem penyelenggaraan pemerintah daerah.

Dinamika hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pembangunan, pemerintah dan pelayanan publik di daerah terbagi dalam tiga pola hubungan yakni dominasi eksekutif, dominasi legislatif dan hubungan yang seimbang. Pola hubungan yang ideal antara legislatif dan eksekutif adalah terjadinya keseimbangan antara kedua lembaga tersebut, namun hal itu akan sangat bergantung pada sistem politik yang dibangun. Semakin demokratis sistem politik itu

      

6 Khairil Anwar, et al., “Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Pengawasan Pelayanan Publik di Kabupaten Situbondo”, Reformasi, No. 2, Vol. 5 (2015), 4. 


(51)

   

maka hubungan antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan pemerintah daerah akan semakin seimbang. Sebaliknya, semakin tidak demokratis sistem politik suatu negara, maka yang tercipta dua kemungkinan yaitu dominasi eksekutif yang menciptakan rezim otoriter dan dominasi legislatif yang menciptakan anarki politik.7

4. Syarat-syarat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, BAB VII, bagian kesatu tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi persyaratan setidaknya sebagai berikut: a. Telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, c. Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, d. Cakap berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia, e. Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas atau madrasah aliyah sekolah kejuruan, atau pendidikan lain yang sederajat, f. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, g. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara

       7 Ibid., 3. 


(52)

   

berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dan h. Sehat jasmani dan rohani.8

Selain persyaratan di atas, juga terdapat persyaratan-persyaratan lain seperti, a. Terdaftar sebagai pemilih, b. Bersedia bekerja penuh waktu, c. Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, d. Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, e. Bersedia untuk tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah

      

8 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 


(53)

   

serta badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, f. Menjadi anggota partai politik peserta pemilu, g. Dicalonkan hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan, dan h. Dicalonkan hanya di 1 (satu) daerah pemilihan.9

Pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) melalui pemilihan langsung yang dipilih oleh rakyat langsung tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. Setelah terpilih menjadi anggota dewan, maka selanjutnya anggota dewan diambil sumpahnya terlebih dahulu sebagai wujud kesediaan dan kesiapan dimulainya tugas pengembanan dan amanah dari rakyat yang diberikan kepadanya. Berdasarkan paragraf kelima Bab Penetapan Calon Terpilih dan Pelantikan, pada pasal 110 ayat (2) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sebagai berikut:10

Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah /wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.

       9 Ibid. 


(54)

   

5. Otoritas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/ DPRD (tugas, fungsi dan wewenang)

Tugas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dibatasi pada pengawasan proses penyelenggaraan otonomi daerah. Mengacu pada paragraf ketiga tugas dan wewenang DPRD yang termaktub pada pasal 42 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

DPRD mempunyai tugas dan wewenang yang meliputi: a. Membentuk perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama, b. Membahas dan menyetujui rancangan perda tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) bersama dengan kepala daerah, c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda dan peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan kepala daerah, APBD, kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah, dan kerjasama internasional di daerah.11

Selain itu, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga memiliki tugas dan wewenang dalam bidang lain, seperti: a. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kepada presiden melalui menteri dalam negeri bagi DPRD Provinsi dan kepada menteri dalam

       11 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004... 


(55)

   

negeri melalui gubernur bagi DPRD Kabupaten/ Kota, b. Memilih wakil kepala daerah dalam hal kekosongan jabatan wakil kepala daerah, c. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah, d. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan pemerintah daerah, e. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, f. Membentuk panitia pengawas pemilihan kepala daerah, g. Melakukan pengawasan dan meminta laporan KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, dan h. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama antardaerah dan dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah.12

Sedangkan dari segi fungsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sejalan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di pemerintahan pusat yang memiliki fungsi penting dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Lebih lanjut, revitalisasi peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dapat dicermati dari Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, di mana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mendapatkan kewenangan untuk membuat peraturan daerah (perda), penyusunan anggaran dan pengawasan,

       12 Ibid. 


(56)

   

sebagaimana yang diamanahkan dalam pasal 41: “DPRD Kabupaten/ Kota mempunyai fungsi: 1) legislasi, 2) anggaran, dan 3) pengawasan.” Ayat (2) menjelaskan, ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/ kota.13 Adapun fungsi lain dari Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diantaranya adalah perencanaan, pengorganisasian, pengisian lowongan, pemotivasian dan pemimpinan dalam rangka memperjuangkan aspirasi masyarakat yang diwakilinya.14

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan kepala daerah mempunyai suatu hubungan linear di antara keduamya yaitu hubungan pengawasan yang dimiliki baik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai kelembagaan sebagai pencerminan dari pemerintahan yang demokratis, dengan maksud agar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak menyimpang dari norma-norma dan peraturan perundang-undangan serta pedoman lainnya yang ditetapkan bersama atau yang digariskan oleh pemerintah yang lebih tinggi.15 Kemudian dari hubungan

pengawasan tersebut melahirkan beberapa hak, yaitu meminta

      

13 Khairil Anwar, et al., “Fungsi Dewan Perwakilan..., 4. 

14 Hidayat, “Peran DPRD dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsinya sesuai dengan Undang-undang Otonomi Daerah”, Jurnal Ilmiah Magister Ilmu Administrasi (JIMIA), No. 2 (2010), 9. 

15 M. Agus Santoso, “Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Menjalankan Fungsi Pengawasan”, Jurnal Hukum, No. 4 (Oktober, 2011), 612. 


(57)

   

keterangan kepada kepala daerah, melakukan rapat kerja dengan kepala daerah atau perangkat daerah, mengadakan rapat dengar pendapat dengan kepala daerah, mengajukan pertanyaan dan hak menyelidiki serta melakukan kunjungan ke lapangan, dan lain sebagainya. Sebagai tindak lanjut dari hubungan pengawasan itu adalah hubungan pertanggungjawaban. Hal tersebut tercermin dalam pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mempunyai hak: a) Interpelasi, b) Angket dan c) Menyatakan pendapat.16

Pengawasan berarti mengontrol proses, cara, perbuatan mengontrol. Pengawasan diartikan sebagai kegiatan mengawasi dalam arti melihat sesuatu dengan saksama, sehingga tidak ada kegiatan lain di luar itu. Hubungan antara pengawasan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah pada dasarnya adalah segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak. Dengan demikian, manifestasi dari kinerja pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan

itu untuk melakukan cross check apakah kegiatan yang

dilaksanakan sesuai dengan tolak ukur yang telah ditentukan

       16 Ibid. 


(58)

   

sebelumnya atau tidak, demikian pula dengan tindak lanjut dari pengawasan tersebut.17

Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) selain dimuat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga dimuat dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian sebagai operasional dari Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 ditetapkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.18

Mengenai fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) lebih lanjut termuat dalam pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menyatakan bahwa: DPRD mempunyai fungsi: a. Legislasi, b. Anggaran, dan c. Pengawasan. Kemudian dalam ayat (4)nya menyebutkan bahwa

      

17 M. Agus Santoso, “Peran Dewan Perwakilan..., 611.  18 Ibid., 613. 


(59)

   

fungsi pengawasan diwujudkan dalam mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan APBD.19

Fungsi pengawasan yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai penyeimbang dari kekuasaan kepala daerah yang diberikan kewenangan dalam menjalankan pemerintahan oleh undang-undang, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan dalam menjalankan tugasnya dalam rangka menyejahterakan rakyat seperti yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) juga merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah tentu saja dalam menjalankan tugasnya harus berorientasi pada kesejahteraan rakyat, di samping itu juga menjalankan kontrol terhadap penggunaan kewenangan agar tidak terjadi abuse of power yang pada akhirnya berimplikasi pada

kerugian negara.20

B. Pemakzulan Kepala Daerah

1. Makna pemakzulan

Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti

meminta pertanggungjawaban. Apabila tuntutannya terbukti, maka

      

19 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 


(1)

   

ini merupakan tugas mulia untuk memberikan telaahan dan saran berupa tindakan perbaikan.


(2)

   

73  BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut adalah sebagai wujud representasi rakyat demi terciptanya kemaslahatan umat. Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidaklah menyebutkan adanya pengawasan DPRD terhadap kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah sampai pada ranah keperdataan. Fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut dalam pemakzulan Bupati Garut sudah sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sekalipun pengawasan yang dimaksudkan tidak tercantum secara eksplisit di dalam pasal-pasal undang-undang tersebut. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak menyebutkan adanya kewenangan bagi DPRD untuk melakukan pengawasan terhadap keperdataan seorang pejabat publik. Namun, adanya kewajiban bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah untuk menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat menjadi legalitas bagi pengawasan terhadap etika keperdataan seorang kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah .


(3)

75   

2. Pengawasan yang dilakukan oleh ahl al-h}alli wa al-‘aqdi tidak memandang sekat publik maupun keperdataan. Kredibilitas kepala negara yang buruk dapat menjadi sebuah alasan kuat untuk melengserkan kekuasaan khalifah. Fungsi pengawasan yang dilakukan ahl al-h}alli wa al-‘aqdi, dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut, terhadap pemakzulan Bupati Garut telah sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam rangka amar makruf nahi mungkar mewujudkan kemaslahatan umat.

B. Saran

1. Adanya pro kontra terhadap fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) dalam pemakzulan kepala daerah akibat adanya ketidaksepahaman atas kasus yang terjadi, setidaknya ada hal-hal mendasar yang perlu dibenahi dalam upaya mengoptimalkan fungsi pengawasan DPRD yaitu dengan merumuskan standar akuntabilitas yang baku dalam pengawasan yang dapat diterima oleh lembaga yang menjadi sasaran dan mitra pengawasannya. Standar akuntabilitas yang baku harus dimiliki dan dipahami oleh anggota DPRD, agar dapat menghindarkan diri dari politisasi fungsi pengawasan dan terhindar dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.

2. Bagi masyarakat, dengan dikabulkannya pemakzulan Bupati Garut, Aceng HM Fikri, oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Garut, bukan berarti setiap kepala daerah dan/atau wakil


(4)

75   

mudah. Masyarakat harus lebih jeli membedakan mana pelaksanaan otoritas kewenangan fungsi pengawasan yang dijalankan dengan benar dan mana yang dipenuhi dengan kepentingan politik semata.

3. Islam memberikan hak untuk setiap laki-laki muslim mempunyai istri lebih dari satu, namun hak tersebut bukan tanpa alasan dan syarat ketentuan. Kita hidup dalam lingkup negara hukum yang menjunjung tinggi eksistensi penegakan hukum, maka sebagai warga negara yang baik, kita dapat meminta hak kita tersebut tetapi dengan tetap mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku.


(5)

   

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Khairil. et al. “Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam

Pengawasan Pelayanan Publik di Kabupaten Situbondo”. Reformasi, No. 2,

Vol. 5, 2015.

Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2008.

Erlangga, Didit Putra. “Pengacara Aceng: Keputusan Presiden Sesat”, dalam http://m.kompas.com/bola/read/2013/02/21/11294863/pengacara.aceng.kep utusan.presiden, diakses pada 5 Oktober 2015.

Faqor, Abdulloh. “Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden yang Berbuat Tindak Pidana Berat Menurut Fiqh Dusturiyah”. Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2012.

Herdiana, Iman. “Pansus Temukan Pelanggaran Bupati Aceng”, dalam http://daerah.sindonews.com/read/699076/21/pansus-temukan-pelanggaran-bupati-aceng-1355915720, diakses pada 17 Nopember 2015.

Hidayat. “Peran DPRD dalam Pelaksanaan Tugas dan Fungsinya sesuai dengan

Undang-undang Otonomi Daerah”. Jurnal Ilmiah Magister Ilmu

Administrasi (JIMIA), No. 2, 2010.

Iqbal, Muhammad. Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2001.

Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibn Taimiyah.

Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI Offline)

Khaliq, Farid Abdul. Fikih Politik Islam, Faturrahman A. Hamid. Jakarta:

AMZAH, 2005.

Al-Maududi, Abu A’la. Hukum dan Konstitusi Sistem Politik Islam, Asep Hikmat.

Bandung: Mizan, 1995.

Al-Mawardi, Imam. al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Jakarta: PT. Darul Falah, 2006.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.


(6)

 

 

 

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah. Jakarta: Rajagrafindo, 1997.

Rasyad, Aslim. Metode Ilmiah: Persiapan Bagi Peneliti. Pekanbaru: UNRI Pers,

2005.

Santoso, M. Agus. “Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Menjalankan

Fungsi Pengawasan”. Jurnal Hukum, No. 4, Oktober, 2011.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1990.

Saleh, M. “Impeachment Kepala Daerah”. Jurnal Hukum, No. 19, Vol. XIX,

Oktober, 2010.

Susila, Suryanta Bakti. “Bupati Aceng Fikri Datangi Polres Garut”, dalam http://m.life.viva.co.id/news/read/385112-bupati-aceng-fikri-datangi-polres-garut, diakses pada 17 Nopember 2015.

Syafrudin, Ateng. Etika Hubungan Legislatif Eksekutif dalam Pelaksanaan

Otonomi Daerah. Bandung: Fokusmedia, 2003.

Tutik, Titik Triwulan. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2010.

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan perwakilan Rakyat Daerah.

Zaidan, Abdul Karim. Masalah Kenegaraan dalam Pandangan Islam, Abd. Aziz.

Jakarta: Yayasan al-Amin, 1984.

Zoelva, Hamdan. Pemakzulan Presiden di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika,


Dokumen yang terkait

Pengawasan Keuangan Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

3 97 90

KAJIAN YURIDIS FUNGSI PELAYANAN KECAMATAN SEBAGAI BAGIAN DARI PEMERINTAHAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

0 3 16

KAJIAN YURIDIS PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

0 6 16

KAJIAN YURIDIS TERHADAP PEMBERHENTIAN SEMENTARA BUPATI JEMBER MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

0 5 18

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DPRD SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN DAN LEMBAGA LEGISLATIF DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

0 4 17

KEDUDUKAN DAN FUNGSI DPRD SEBAGAI LEMBAGA PERWAKILAN DAN LEMBAGA LEGISLATIF DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

0 4 17

KEWENANGAN DPRD DALAM PEMBERHENTIAN KEPALA DAERAH MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1999 DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 6

PELAKSANAAN FUNGSI PENGAWASAN OLEH DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.

0 0 10

Memahami Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

0 2 8

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

0 0 20