s | Materi Perkuliahan STKIP Purnama Pertemuan 9 dan 10

(1)

Pendidikan Seksual

Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.

Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak ( dalam Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga, 1991). Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar.(www.e-psikologi.com:2002)

Pendidikan Seks pada Anak

Dalam pendidikan seks pada anak-anak, Pendidikan seks lebih diarahkan sebagai pendidikan mengenai anatomi organ tubuh, reproduksi seksual, sanggama serta aspek lain dari perilaku seksual.

Memberikan pendidikan kepada buah hati, terutama yang masih duduk di Sekolah Dasar (SD) harus dilakukan dengan bahasa konkrit (bukan abstrak) dan operasional.

Menurut pakar psikologi, Dr. Rose Mini A.P., M.Psi., “Memberikan pendidikan seks pada anak sangat penting, bahkan meski dia tidak bertanya soal itu. Seiring perkembangan zaman, anak bisa mendapatkan informasi seks dari mana saja. jangan sampai dia menerima informasi yang salah, karena konsepnya berbeda.” Anak yang memiliki konsep beda mengenai seks akan terbawa hingga dewasa dan memengaruhi pola pikirnya kelak.


(2)

Sebelum mencapai usia pubertas, hal-hal yang perlu diketahui anak adalah: [1] Nama dan fungsi organ reproduksi, [2] Perubahan yang akan dialami saat memasuki masa puber (ditandai mimpi basah pada laki-laki dan haid pada anak perempuan), [3] Masalah menstruasi (jelaskan sesuai dengan batas kemampuan anak menerimanya), [4] Hubungan seksual dan kehamilan (imbangi pendidikan seks dengan moral dan agama yang kuat), [5] Bagaimana mencegah kehamilan (Berikan gambaran mengenai dampaknya, jangan lupa memasukkan unsur moral dan agama), [6] Masturbasi (hal yang normal, namun berikan batasan-batasan pada si anak), [7] Penyakit yang mungkin ditularkan melalui hubungan seksual, [8] Harapan dan nilai-nilai orang tua (mengenai pergaulan, yang boleh dan tidak boleh). (www.hanyawanita.com:2006)

Pendidikan seks tetap harus diberikan, sesuai dengan tingkat perkembangan anak, tujuannya tak lain adalah memberikan bekal pengetahuan serta membuka wawasan anak dan remaja seputar masalah seks secara benar dan jelas. Dengan pendidikan seks yang benar berarti menghindarkan anak dan remaja dari berbagai risiko negatif perilaku seksual, seperti kehamilan di luar nikah, pelecehan seksual dan penyakit menular seksual. Dalam pendidikan seks pada anak, sebaiknya menggunakan istilah yang sebenarnya. Menggunakan istilah aneh-aneh hanya akan

membingungkan si anak.

(Dr. Rose Mini A.P., M.Psi)

Namun, orang tua punya alasan sendiri kenapa enggan membahas masalah seks dengan anak-anak. “Mereka menganggap seks tabu dibicarakan secara terbuka. Tapi jangan lupa, anak-anak bisa mendapatkan informasi ini dari teman sebaya, yang belum terjamin kebenarannya.” (www.hanyawanita.com:2006)

Definisi dan Permasalahan

Masalah seks pada remaja seringkali mencemaskan para orang tua, juga pendidik, pejabat pemerintah, para ahli dan se-bagainya. Kasus Indra dan Lela tersebut di atas, merupakan contoh betapa masalah seks bisa sampai meminta korban jiwa. Mungkin masalahnya jadi lain, jika Indra dan Lela berada dalam masyarakat di mana anak-anak dinikahkan sejak usia dini. Di masyarakat seperti itu, pada usia 13 dan 17 mereka bisa saja menikah sehingga tak usah bunuh diri. Akan tetapi seperti halnya perkawinan pada usia awal remaja pun pada akhimya menimbulkan masalah juga yang tidak kalah peliknya. Jadi, dalam situasi apa pun tingkah laku seksual pada remaja tidak menguntungkan nampaknya. Padahal remaja adalah periode peralihan ke masa dewasa, di mana mereka seyogyanya mulai mempersiapkan diri menuju kehidupan dewasa, termasuk dalam aspek seksualnya. Dengan demikian memang dibutuhkan sikap yang sangat bijaksana dari para orang tua, pendidik dan masyarakat nada umumnya serta tentunya dari para remaja itu sendiri, agai nJteka dapat meliwati masa transisi itu dengan selamat.

Adapun yang dimaksud dengan perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini bisa bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu, dan bersenggama. Objek seksualnya bisa berupa orang lain, orang dalam hayalan atau diri sendiri. Sebagian dari tingkah laku itu memang tidak berdampak apa-apa, terutama jika tidak ada akibat fisik atau sosial yang dapat ditimbulkannya. Tetapi pada sebagian Perilaku seksual yang lain, dampaknya bisa cukup serius, seperti perasaan bersalah, depresi, marah, misalnya pada para gadis yang terpaksa menggugurkan kandungannya (Sir 1984, him. 53). Akibat psiko-sosial lainnya adalah ketega mental, dan kebingungan akan peran psiko-sosial yang tiba-tiba 1 jika


(3)

seorang gadis tiba-tiba hamil. Juga akan terjadi cemooh penolakan dari masyarakat sekitarnya. Akibat lainnya terganggunya kesehatan dan risiko kehamilan serta kematianf yang tinggi. Selain itu juga ada akibat-akibat putus sekolah akibat-akibat ekonomis karena diperlukan ongkos perawa lain-lain (Sanderowitz & Paxman, 1985, him. 24-26). Akibat tidak terlalu nampak jika hanya dilihat sepintas, sehingga, kurang banyak dibicarakan adalah berkembangnya penj kelamin di kalangan remaja. Prof. Dr. M. Sukandar selaku Panitia Konggres Nasional IV Perkumpulan Ahli Dermato\ rologi (penyakit kulit dan kelamin) Indonesia, Juni 1983 di| marang menyatakan bahwa sebagian besar penyakit kel; kelas berbahaya asal impor telah melanda remaja umur 16 tahun baik di kota maupun di pedesaan. Salah-satu jenis penyakit menular seksual (PMS) iu adalah Gonorhoea (kencing yang saat ini sudah tidak mempan lagi diberantas dengan 300. IJ unit Penicilin, tetapi paling tidak harus dengan 24 juta unit: penderita nampaknya jadi lebih kebal terhadap pengot karena semakin ganasnya penyakit itu (Sinar Harapan, 24 1983).

Pada remaja yang tidak melakukan hubungan seks, tunya tidak terdapat PMS, karena panyakit ini hanya bias menular melalui hubungan seks. Akan tetapi hal itu tidak berarti remaja yang tidak atau belum bersenggama otomatis masalah. Misalnya dalam kenyataannya perasaan takut dan 1 dosa tetap melanda diri remaja yang melakukan mastur Padahal jumlah remaja yang melakukan masturbasi cukup til sebagaimana terlihat dalam hasil penelitian Atswendo At wiloto di bawah ini:

1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan seksual (libido seksualitas) remaja. Peningkatan seksual ini membutuhkan penyaluran dalam bentuk tir laku seksual tertentu. 2. Akan tetapi penyaluran itu tidak dapat segera dilaki karena adanya penundaan usia

perkawinan, baik hukum oleh karena adanya undang-undang tentang per winan yang menetapkan batas usia menikah (sedikitnya tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria), maupun ka norma sosial yang makin lama makin menuntut persyarat yang makin tinggi untuk perkawinan (pendidikan, pekerjj persiapan mental, dan lain-lain).

3. Sementara usia kawin ditunda, norma-norma agama berlaku di mana seseorang dilarang untuk melakukan bungan seks sebelum menikah. Bahkan larangannya berke bang lebih jauh kepada tingkah-tingkah laku yang lain ser. berciuman dan masturbasi. Untuk remaja yang tidak da menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melangg saja larangan-larangan tersebut. 4. Kecenderungan .pelanggaran. makin meningkat oleh ka adanya penyebaran informasi dan

rangsangan set melalui media massa yang dengan adanya teknologi canj (video casette, foto copy, satelit Palapa, dan lain-la menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dala periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa ya dilihat atau didengamya dari media massa, khususnya ka mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masa seksual secara lengkap dari orang tuanya.

5. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya mauf karena sikapnya yang masih mentabukan pembic mengenai seks dengan anak tidak terbuka terhadap malah cenderung membuat jarak dengan anak dalam masa yang satu ini.

5 Di fihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.


(4)

B. Faktor-faktor Penyebab

1. Meningkatnya Libido Seksualitas

Menurut Robert Havighurst, seorang remaja menghadapi tugas-tugas perkembangan (developmental tasks) sehubungan dengan perubahan-perubahan fisik dan peran-sosial yang sedang terjadi pada dirinya. Tugas-tugas perkembangan itu antara lain adalah menerima kondisi fisiknya (yang berubah) dan meman-faatkan dengan teman sebaya dari jenis kelamin yang mana pun, menerima peranan seksual masing-masing (laki-laki atau perem-puan) dan mempersiapkan perkawinan dan kehidupan berkeluarga.

Di dalam upaya mdfigisi peran sosialnya yang baru itu, seorang remaja mendapatkan motivasinya dari meningkatnya energi seksual atau libido. Menurut Sigmund Freud, energi seksual ini berkaitan erat dengan kematangan fisik. Sedangkan menurut Anna Freud, fokus utama dari energi seksual ini adalah perasaan-perasaan di sekitar alat kelamin, objek-objek seksual dan tujuan-tujuan seksual (Jensen, 1982, him. 55-56). Dalam kaitannya dengan kematangan fisik, Sanderowitz & Paxman, mencatat bahwa di berbagai masyarakat sekarang ini ada kecenderungan menurunnya usia kematangan seksual seseorang. Di Inggris, usia haid pertama (menarche) menurun dari rata-rata 14tahun(padatahun 1900) menjadi 12.9 tahun (pada tahun 1980). Di Nigeria usia menarche merosot dari 14 tahun (1900) menjadi 12.3 tahun di kalangan kelas sosial-ekonomi tingkat bawah

Menumnnya usia kematangan seksual ini kiranya terja hampir seluruh dunia, sehubungan dengan membaiknya gizi s masa kanak-kanak di satu fihak dan meningkatnya infor melalui media massa atau hubungan antar orang di fihak Menurut L. Simkins, di negara-negara maju rata-rata usia narche menurun 4 bulan setiap 10 tahun, dan akan mencapai i stabil pada usia 12 tahun 9 bulan (Simkins, 1984, him. 39-| Pada gilirannya, menurunnya usia kematangan seksual ini diikuti oleh meningkatnya aktivitas seksual pada usia-usia dini. Gejala ini antara lain diungkapkan oleh K. Fury (1980,1 61-64) yang membandingkan hasil survey Kinsey (1950) den|j temuannya sendiri pada akhir 1970-an. Dalam laporan Kir yang terkenal itu tercatat 2% anak perempuan dan 10% anak 1 laki di bawah usia 16 tahun telah melakukan hubungan Dalam penelitian Fury sendiri yang dilakukan 25-30 tahun 1 dian, ternyata angka itu sudah menjadi 33% untuk anak per puan dan 50% untuk anak laki-laki di bawah usia 16 tersebut.

2. Penundaan Usia Perkawinan

Di Indonesia, terutama di daerah-daerah pedesaan, ma terdapat banyak perkawinan di bawah umur. Kebiasaan ini 1 dari adat yang berlaku sejak dahulu yang masih terbawa sa sekarang. Ukuran perkawinan di masyarakat seperti itu kematangan fisik belaka (haid, bentuk tubuh yang sudah me jukkan tanda-tanda seksual sekunder), atau bahkan hal-hal yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan calon pengantin. salnya: masa panen, utang-piutang antar orang tua, dan bagainya. Tidak mengherankan jika di beberapa tempat di Indc sia masih terjadi anak-anak berumur 9-13 tahun sudah dinili Akan tetapi dengan makin meningkatnya taraf pendidikan masyarakat, dengan makin banyaknya anak-anak perempuan yang bersekolah, makin tertunda kebutuhan untuk mengawinkan anak-anak. Para orang tua menyadari bahwa persiapan yang lebih lama diperlukan untuk lebih menjamin masa depan anak-anak jnereka, sehingga para orang tua menyuruh anak-anaknya sekolah dulu sebelum mengawinkan mereka. Kecenderungan ini terutama terjadi pada masyarakat di kota-kota besar atau di kalangan fflasyarakat kelas


(5)

ekonomi menengah ke atas. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah remaja di Yogyakarta, Medan, Surabaya dan Kupang misalnya menunjuk-kan bahwa para remaja itu sendiri fnengidealkan perkawinan pada usia 26 tahun (untuk putra) dan 21.5 tahun (untuk putri) (Sarlito, dkk., 1986, him. 12).

Kecenderungan pada masyarakat untuk meningkatkan usia perkawinan ini ternyata didukung juga oleh undang-undang yang berlaku di Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 1/1974 tentang perkawinan. Pasal 7 ayat 1 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa "Perkawinan hanya diizinkan jika fihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan fihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun". Sedangkan bagian lain dari Undang-undang itu, yaitu Pasal 6 ayat 2 berbunyi: "untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 tahun, harus mendapat izinkeduaorang ^\.

Dengan adanya undang-undang tersebut, yang pelak-sanaannya cukup ketat di lapangan, maka makin terbataslah kesempatan untuk menikah di bawah usia yang ditetapkan. Ter-lebih lagi, pemerintah sendiri melalui program KB-nya.berusaha untuk lebih meningkatkan lagi batas usia perkawinan ke umur 20 tahun untuk wanita, dengan pertimbangan bahwa kehamilan pada wanita di bawah usia 20 tahun adalah kehamilan berisiko tinggi sehingga harus dihindari.

Dari fihak individu-individu yang bersangkutan sendiri, menurut J.T. Fawcett ada sejumlah faktor yang menyebabkan orang memilih untuk tidak menikah untuk sementara. Faktor-faktor itu antara lain adalah apa yang dinamakannya "costs" (beban) dan "barriers" (hambatan) dari perkawinan. Yang ter dalam "costs" antara lain adalah hilangnya kebebasan dan

mobilitas pribadi, bertambahnya kewajiban-kewajiban usaha, bertambahnya beban ekonomi. Sedangkan yang ter dalam "barriers" adalah kebiasaan-kebiasaan dan norma-n yang menyulitkan perkawinan, adanya pilihan lain ketimt menikah,. adanya hukum yang mempersulit perceraian perkawinan, ada keserbabolehan seksual, adanya persya yang makin tinggi untuk melakukan perkawinan dan undang-undang yang membatasi usia minimum dari perkaM Dalam masyarakat di mana "costs"dan "barriers" tersebut ter dalam jumlah besar, maka dengan sendirinya rata-rata perkawinan lebih tinggi (Fawcett, 1973, him. 22-24).

3. Tabu-Larangan

Kebiasaan-kebiasaan dan norma-norma yang menyuliti perkawinan yang disebutkan oleh Fawcett tersebut di atas mu dalam masyarakat dalam berbagai bentuk. Hull & Adioet menyebutkan dalam tulisan mereka (1984) beberapa pene tentang hubungan antar usia perkawinan yang legal (sah menu hukum). Perkawinan di Barat biasanya didahului atau seg diikuti dengan hubungan seksual dan hidup bersama (cohat tion). Tetapi di masyarakat-masyarakat yang sedang berkemt termasuk di Jawa, terdapat kebiasaan yang lain. Di sana ada tahapan perkawinarj yang bisa berurutan dalam waktu de tetapi bisa juga saling berjauhan dalam waktu. Keempat Dari berbagai jenis perkawinan yang disebutkan di atas, jelaslah bahwa dalam masyarakat tradisional, pernikahan tidak langsung terkait dengan hubungan seks. Dengan demikian, tingginya angka perkiK^ian juga tidak akan langsung menye-babkan tingginya angka kehamilan atau kelahiran. Bahkan dengan berlangsungnya waktu, mungkin saja sebuah perkawinan (R .L atau S) tidak diikuti dengan seks (X) sama sekali, atau sebuah hubungan seks tidak jadi diikuti oleh perkawinan.


(6)

Pola nyata yang sekarang terjadi dalam masyarakat modem pada hakikatnya tidak jauh berbeda dari pola no. 5 atau 6 pada skema Hull & Adioetomo tersebut di atas, khususnya dengan lebih permisifnya (keserbabolehan) hubungan pergaulan antara pria dan wanita. Dengan demikian, sama dengan pada masyarakat tradisional, pada masyarakat modern juga tidak dapat diramalkan hubungan antara perilaku seks dengan pola perkawinan akan tetapi seringkali masyarakat menganggap bahwa ada kaitan !angsung antara keduanya seakan-akan perkawinan berarti hubungan seks dan hubungan seks sama dengan perkawinan. lebih tinggi daripada di Inggris dan faktor penyebabnya masih kuatnya tabu dalam keluarga untuk bicara tentang seks! kurangnya pendidikan seks (Washington Memo W-87).

4. Kurangnya Informasi Tentang Seks

Dari pengalaman saya. di ruang praktek, saya mend kesan bahwa hubungan seks antarremaja terjadi hanya^ hubungan mereka sudah berjalan sedikitnya 6 bulan. demikian, hubungan tersebut sudah cukup akrab dan Hampir-hampir tidak ada yang langsung berhubungan seks i lah berkenalan tidak begitu lama.

Lamanya waktu yang diperlukan untuk terjadinya hub an seks (khususnya yang pertama kali) dapat dimengerti karena memang diperlukan suasana hati tertentu untuk melakukan hal itu. Khususnya pada remaja putri, harus perasaan cinta, perasaan suka, percaya, menyerah dan sebaj terhadap pasangannya. Tetapi sekali perasaan itu timbul, kalau fihak laki-lakinya cukup tekun dan sabar untuk me pacarnya, remaja putri seringkali tidak dapat lagi mengendalf! diri dan terjadilah hubungan seks itu.

Melihat kenyataan ini, sebenamya cukup waktu remaja putra-putri itu untuk mempersiapkan dirinya mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki. Akan tetapi umumnya mereka ini memasuki usia remaja tanpa penget yang memadai tentang seks dan selama hubungan pacaran langsung pengetahuan itu bukan saja tidak bertambah, akan 1 malah bertambah dengan informasi-informasi yang salah. yang terakhir ini disebabkan orang tua tabu membicarakan: dengan anaknya dan hubungan orang tua-anak sudah terla jauh sehingga anak berpaling ke sumber-sumber lain yang akurat, khususnya teman.

Sikap mentabukan seks ini tidak hanya terdapat pada orang tua saja, tetapi juga pada anak-anak itu sendiri. Sebuah peneliatian yang dilakukan oleh L.C. Jensen terhadap pelajar-pelajar yang hamil menunjukkan bahwa hampir semua responden

ditelitinya tidak tertarik, bahkan jijik mendengarkan telucon-lelucon tentang seks atau gambar-gambar pria tanpa busana dan yang lebih penting lagi mereka tidak pemah membaca buku-buku cabul- Dengan demikian mereka ini tidak terangsang oleh ba-nyaknya rangsang.yang sampai pada mereka, akan tetapi oleh Jensen dibuktikan lebih lanjut bahwa terangsangnya mereka untuk berhubungan intim adalah karena fantasi-fantasi sendiri tentang kemesraan dan cinta, yang jika ia mempunyai pacar di-proyeksikannya pada pacarnya itu. Menurut Jensen perasaan-perasaan ini bisa diperkuat oleh musik-musik tertentu (Jensen, 1985, him. 254).

Dengan demikian jelaslah bahwa sikap mentabukan seks pada remaja hanya mengurangi kemungkinan untuk membica-rakannya secara terbuka akan tetapi tidak menghambat hubungan seks itu sendiri. Hal ini akan semakin nyata jika kita simak hasil penelitian E. Ryde-Blomquist, yang mengungkapkan bahwa di Amerika Serikat dan Finlandia frekuensi remaja yang sudah aktif secara seksual lebih banyak di kota-kota besar dan terjadi pada remaja yang hubungan dengan


(7)

orang tuanya sangat terganggu atau di kalangan remaja berkulit hi tarn yang keadaan sosial-eko-nominya dan thy ^tt pehdidikahnya tergolong rendah. Sebaliknya di negara yang ftrasih berkembang seperti Afrika (misalnya di Accra), aktivitas seksual di kalangan remaja jauh lebih tinggi di pedesaan, sebab pengetahuan tentang seks tidak ada sama sekali, sedangkan di kota-kota besar, masuknya agama Kristen, makin intensifnya pendidikan formal dan mulai dikenalnya bentuk keluarga inti menyebabkan berkurangnya aktivitas seksual remaja (Ryde-Blomquist, 1978, him. 130-132).

Penelitian lain yang menghubungkan perilaku seksual dengan kadar informasi remaja tentang seks dilakukan di Hong Kong. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1981 terhadap 3917 pelajar ini mengungkapkan bahwa sebagian besar dari mereka memperoleh pengetahuannya terutama dari surat kabar, majalah atau ceramah-ceramah tentang seks. Hanya 11% yang me-nyatakan bahwa mereka bisa bertanya kepada orang tuanya. Dari5, Pergaulan yang Makin Bebas

Kebebasan pergaulan antarjenis kelamin pada remaja, kiranya dengan mudah bisa disaksikan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di kota-kota besar. Dalam penelitian yang pemah dikutip di atas, yang respondennya adalah siswa-siswa kelas II SLTA di Jakarta dan Banjarmasin, terungkap bahwa di antara remaja yang sudah berpacaran hampir semua (di atas 93%) pernah berpegangan tangan dengan pacamya. Jumlah yang per-nah berciuman adalah 61.6% untuk pria dan 39.4% untuk wanita, yang meraba payudara tercatat 2.32% (pria) dan 6.7% (wanita) sedangkan yang memegang alatkelamin ada 7.1 % (pria) dan 1.0% (wanita) dan yang pemah berhubungan kelamin dengan pacamya terdapat 2.0% (senr^^nya pria). Data-data tersebut adalah khusus dari responden Jakarta (Fakultas Psikologi UI, 1987).

Angka-angka tersebut kiranya cukup mencerminkan keadaan pergaulan antara remaja pria dan wanita yang sudah bergeser dan kesediaannya 20 atau 30 tahun yang lalu. Tetapi jika dibandingkan dengan di negara-negara maju, angka-angka tersebut (yang mencerminkan keadaan di Jakarta) bagaimanapun juga relatif masih rendah. Masalahnya sekarang, apakah angka-angka yang dari Jakarta di masa yang akan datang akan berkembang ke arah keadaan di negara-negara maju tersebut di atas atau justru makin berkurang?

C. Nilai-nilai Seksual

Pertanyaan tersebut di atas terkait erat dengan pandangan atau nilai-nilai masyarakat sendiri terhadap seks. Makin permisif

(serba boleh) nilai-nilai itu, makin besar kecender remaja untuk melakukan hal-hal yang makin dalam melibati mereka dalam hubungan fisik antar remaja yang berlainan jenis kelamia

Mengenai nilai-nilai tersebut ada beberapa penelitian; mencoba mengungkapkan dan pada umumnya nilai-nilai terungkap itu ada 2 golongan, yaitu yang tradisional-konser dan yang lebih pennisif . Ini pun masih lagi dalam nilai-nilai; tampil dalam pendapat flisan) dan nilai-nilai yang tampil da perbuatan.

Sebuah penelitian di Muangthai, misalnya, menjj kapkan bahwa remaja yang sudah bisa mencari nafkah (yang bekerja di pabrik-pabrik) lebih permisif daripada yang masih sekolah dalam tindakan mereka, walaupun lisan pendapat mereka sama-sama konservatif. Penelitian diadakan di Bangkok (daerah urban) dan di Provinsi Narkom Rajsima (daerah pedesaan) ini dilakukan atas diri 1600 orang responden (800 orang dari tiap jenis daerah penelitian) (Muangman, 1980)


(8)

Nilai tradisional dalam perilaku seks yang paling utama adalah tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan seorang wanita sebelum menikah. Kegadisan pada wanita seringkali dilambangkan sebagai "mahkota" atau "harta yang paling berharga" atau "tandakesucian" atau"tandakesetiaan pada suami". Hilangnya kegadisan bisa berakibat depresi pada wanita yang bersangkutan, walaupun tidak membawa akibat-akibat lain seperti kehamilan atau penyakit kelamin. Bahkan kemungkinan robekan pada selaput dara tanpa hubungan seks sekalipun, misalnya karena terjatuh atau naik sepeda, bisa me-nimbulkan depresi atau kecemasan yang mendalam pada diri wanita.

Nilai kegadisan yang masih dihargai tinggi nampaknya masih menggejala di kalangan bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Di Manila, Filipina, misalnya, terungkap dari se-buah Survei bahwa,,^ dari remaja berusia 15-20 tahun menya-takan bahwa kegadisan seorang wanita sangat penting artinya bagi perkawinan (Population Forum, 1980). Demikian pula penelitian di Jakarta dan Banjarmasin menunjukkan angka 62% di Jakarta (49% untuk laki-laki dan 75% untuk perempuan) dan 67.8% di Banjarmasin (61.5% untuk laki-laki dan 74.0% untuk perempuan) dari responden pelajar SLTA kelas II yang menya-takan bahwa kegadisan adalah suatu hal yang penting sebelum pernikahan (Fak. Psikologi UI, 1987).

Yang perlu diperhatikan dari penelitian di Jakarta dan Banjarmasin itu adalah bahwa responden pria lebih permisif ketimbang remaja putri. Dengari demikian remaja pria sebenarnya iebih banyak yang bisa mengerti wanita yang sudah tidak gadis lagi.

Yang juga penting untuk diperhatikan dari penelitian yang

kejadian sanggama di rumah sendiri, yang berarti bahwa i remaja yang bersangkutan tidak lagi mempedulikan ke bahwa rumah adalah teritori (wilayah psikologis yang tidak 1 dilanggar) dari orang tua. Dengan peikataan lain, pela teritori prang tua ini berarti jugakurangny a rasahormat dan j kepada orang tua. Basil penelitian ini kiranya tidak meleset j| dari kenyataan, karena penelitian lain yang dilakukan ten juga menunjukkan hasil yang sama. Penelitian dimaksud dari Dra. Ninuk Widiantoro (1988, him. 4) yang mengung bahwa dari pasien-pasien remaja putri yang hamil dan da Klinik Wisma Pancawarga untuk mencari jalan keluar, antaranya melakukan hubungan seks juga di rumah.

D. Kelainan dan Gangguan Seksual

Seringkali dalam masyarakat terdapat pengertian tingkah laku seksual, khususnya yang tidak sesuai dengan nor norma agama atau norma-norma hukum atau susila, yang lakukan remaja adalah kelainan atau gangguan atau pen} pangan seksual. Pengertian ini secara Psikologi tidak benar,< karena tingkah laku seksual itu yaitu hubungan seks set menikah dan bermasturbasi dan bahkan kadang-kadang mimpi basah adalah tingkah laku yang sesuai dengan pr tingkah laku seksual yang lazim, kecuali bahwa hal ter dilakukan bertentangan dengan norma yang berlaku. Dalam ukuran Psikologi, proses tingkah laku yang la terdiri dari ketertarikan pada orang lain, timbulnya gairah, dii1 dengan tercapainya puncak kepuasan seksual (orgasme), dan I akhiri dengan tahap pemulihan atau penenangan kembali (r lusi). Dalam hubungan seks perkawinan (atau di luar winan), semua proses itu terpenuhi, sehingga tidak diragukan 1 kenormalannya berdasarkan norma Psikologi. Masturbasi mimpi basah (pada laki-laki) juga memenuhi semua proses i kecuali pada tingkat orgasme di mana tidak terdapat lawan s (orang lain). Hal ini bukan


(9)

merupakan kelainan, oleh karena 1 adanya lawan seksual itu bukan karena orang yang bersang menginginkannya, melainkan karena memang pada usia remaja masih terbatas sekali kesempatan (atau bahkan belum ada sama sekali) untuk mendapatkan pasangan dalam bertingkah laku seksual. Jadi sebagai penyaluran hasrat seksual mereka, mereka melakukan masturbasi dan jika terlalu lama tidak mengalami orgasme (khususnya pada anak laki-laki, tetapi bisa juga pada anak perempuan), remaja itu akan mengalami mimpi basah. Jadi masturbasi dan mimpi basah secara psikologik pun normal. Be-gitu pula aktivitas-aktivitas seksual remaja lainnya yang pra-sanggama seperti melihat buku atau film cabul, berciuman, ber-pacaran, dan sebagainya, adalah normal menurut kriteria Psikologi karena semua tingkah laku itu merupakan bagian dari proses tingkah laku seksual yang utuh.

Gangguan terhadap proses tingkah laku seksual yang utuh tersebut bisa bersifat psikologik, tetapi bisa juga berasal dari gangguan atau kelainan fisik. Impotensia (ketidakmampuan ereksi penis pada pria), misalnya, bisa disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang belakang (PPDGJ II, 1985, hlm.223). Gangguan seperti ini tidak akan dibicarakan dalam bab ini. Demikian pula gangguan perilaku seksual yang bersumber pada gangguan kejiwaan lainnya (;^ \alnya sadisme yang disebabkan oleh Skizofrenia) tidak akan dibicarakan di sini.

I. Jenis-jenis Gangguan Seksual Pada Umumnya

Gangguan-gangguan pada tingkah laku seksual yang berlaku umum (tidak khusus remaja), menurut Buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi II, 1983 (PPDGJ, 1985, him. 223-249), terdiri dari 4 kelompok besar yang masing-masing terdiri lagi dari beberapa subkelompok.

a. Gangguan identitas jenis b. Parafilia

c- Disfungsi Psikoseksual

d- Gangguan Psikoseksual lainnya.

Semua jenis gangguan tersebut di atas bisa saja terdapat pada orang-orang normal sebagai variasi dari tingkah laku ; yang normal, akan tetapi kalau tingkah laku tertentu menjadi keharusan, dilakukan berulang-ulang dan merap satu-satunya syarat untuk tercapainya kepuasan seksual, tingkah laku itu dilakukan sebagai kelainan, penyimpangan i gangguan.

(a) Gangguan identifikasi jenis

Gambaran utama dari gangguan ini adalah ketidakses antara alat kelamin dengan identitas jenis yang terdapat pada < seseorang. Jadi seorang yang beralat kelamin laki-laki me dirinya wanita, atau sebaliknya. Identitas jenis yang menyimp ini dinyatakan dalam perbuatan (cara berpakaian, ma kegemarannya seperti anak laki-laki suka bermain boneka sebaliknya anak perempuan suka bermain sepak bola), uc maupun objek seksualnya:

1. Transeksualisme. Pada orang dewasa, gangguan ic jenis ini dinamakan transeksualisme. Minat seksual transeksual ini biasanya adalah yang sejenis kelamin I seksual, walaupun mereka tidak mau disebut sebagai 1 seks), tetapi ada juga yang melaporkan pernah menga hubungan heteroseksual dan beberapa di antara mereka i laporkan aseksual (tidak berminat


(10)

pada seks).

2. Gangguan Identitas Jenis Masa Kanak-kanak. Walaup transeksualisme biasanya mulai timbul sejak masa ka kanak, akan tetapi ada gangguan identitas jenis yang; terjadi pada masa kanak-kanak saja.

3. Gangguan Identitas Jenis Tidak Khas, yaitu tidak seper nya menunjukkan tanda-tanda transeksualisme, akan tet ada perasaan-perasaan tertentu yang menolak struktur •< mi dirinya seperti merasa tidak mempunyai vagina atau va nanya akan tumbuh menjadi penis (pada wanita), atau mer tidak punya penis atau jijik pada penisnya sendiri (pada prM

(b) Parafilia (Deviasi Seksual)

Ciri utama gangguan jiwa yang satu ini adalah diperlu nya suatu khayalan atau perbuatan seksual yang tidak lazim untuk jnendapatkan gairah seksual.

1. Zoofilia (Bestialitas): Terdapat perbuatan atau fantasi mehg-adakan aktivitas seksual dengan hewan.

2. Pedqfilia: Perbuatan atau fantasi untuk melakukan aktivitas dengan anak prapubertas.

3. Transvestisme: Pemakaian pakaian wanita oleh laki-laki heteroseksual untuk mendapatkan kegairahan seksual. Transvestisme berlaku bagi laki-laki yang bukan transeksual.

4. Ekshibisionisme: Mempertunjukkan alat kelamin secara tak terduga kepada orang yang tak dikenalnya dengan tujuan untuk mendapat kegairahan seksual tanpa upaya lanjut untuk mengadakan aktivitas seksual dengan orang yang tak dikenalnya itu.

5. Fetishisme: Penggunaan benda (fetish) yang lebih disukai atau sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan kegairahan seksual. Benda itu tidak terbatas pada perangkat pakaian wanita atau alat-alat perangsang gairah seksual (seperti vibrator).

6. Voyeurisme: Mengintip prang lain telanjang, membuka pakaian atau mel^Jkan aktivitas seksual tanpa sepengetahu-annya dan tidak ada upaya lanjut untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang diintip itu.

7. Masokisme Seksual: Mendapatkan kegairahan seksual melalui cara dihina, dipukul atau penderitaan lainnya.

8. Sadisme Seksual: Mencapai kepuasan seksual dengan cara menimbulkan penderitaan psikologik atau fisik (bisa berakibat cedera ringan sampai kejnatian) pada pasangan seksnya. 9. Parafilia tidak khas: Yaitu pencapaian kepuasan melalui cara-cara yang tidak lazim yang

belum disebut di atas mis-alnya dengan tinju (koprofilia), dengan menggosok (froteur-isme), dengan kotoran (misofilia), dengan mayat (nekrofilia), dengan air seni (urofilia) dan dengan bicara kotor melalui telepon (skatologia telpon).

(c) Disfungsi Psikoseksual..

Gambaran utama dari Disfungsi Psikoseksual ada dapat hambatan pada selera (minat) seksual atau terdapat ] batan pada perubahan psikofisiologik yang biasanya terja orang yang sedang bergairah seksual.


(11)

1. Hambatan selera seksual: sukar atau tidak bisa timbuli seksual sama sekali secara menetap dan meresap.

2. Hambatan gairah seksual:

a. Pada laki-laki: gagal sebagian atau seluruhnya mencapai atau mempertahankan ereksi sampai aktivitas seksual (impotensia).

b. Pada wanita: gagal sebagian atau seluruhnya untuk b capai atau mempertahankan pelumasan dan bengkakan vagina (yang merupakan respons seksual wanita) sehingga akhir dari aktivitas (frigiditas).

3. Hambatan orgasme wanita: berulang-ulang atau dm tidak tenadi orgasme pada wanita setelah terjadi "seksual yang lazim selama aktivitas seksual.

4. Hambatan orgasmepria: berulang-ulang atau menetapl terjadi ejakulasi atau terlambat berejakulasi setelah fase gairah seksual yang lazim selama aktivitas seksual^

5. Ejakulasi Prematur: secara berulang-ulang dan menetapl jadi ejakulasi sebelum dikehendaki karena tidak ada pengendalian yang wajar terhadap ejakulasi selama akti\ seksual. .

6. Dispareunia Fungsional: rasa nyeri yang berulang dan i tap pada alat kelamin sewaktu sanggama, baik pada: maupun wanita.

7. Vaginisme Fungsional: ketegangan otot vagina yang terkendali sehingga menghalangi sanggama.

8. Disfungsi Psikoseksual tidak khas: disfungsi psikosei lain yang tidak tergolong di atas, misalnya terjadi ane (mati rasa) pada alat kelamin walaupun terjadi kegaii seksual dan orgasme.

Gangguan Psikoseksual lainnya.

Termasuk dalam golongan ini adalah Homoseksualitas yang akan dibicarakan pada bagian tersendiri.

2. Gangguan Seksual Pada Remaja

Tidak semua gangguan seksual tersebut di atas sering terjadi pada remaja. Tetapi berapa banyak prevalensi (kemungkinan terjadinya) setiap jenis gangguan seksual tersebut pada remaja, khususnya di Indonesia, belum diketahui dengan pasti. Akan tetapi dari pengalaman penulis dengan kasus remaja diperoleh kesan bahwa yang paling banyak terjadi adalah kasus homoseksual (baik yang egosintonik maupun yang egodistonik), disusul dengan kasus-kasus transeksualisme dengan minat homoseksual. Oleh karena itulah mengenai homo-seksualitas ini akan dibicarakan secara khusus dalam bagian tersendiri.

Kasus gangguan seksual yang pernah penulis jumpai pada remaja pria adalah ejakulasi prematur atau impotensia. Menurut Skinner (1977, Bab 7) ada 2 jenis impotensia yaitu impotensia primer (tidak pernah ereksi sama sekali) dan impotensia sekunder (pernah ereksi tetapi su^ah beberapa saat ereksi tersebut meng-hilang). Yang juga pernah dijumpai adalah hambatan selera seksual dan hambatan gairah seksual (menurut Skinner: libido rendah).


(12)

Pada remaja putri, selain libido rendah dan kecemasan yang berkaitan terhadap seks, juga pernah penulis jumpai hambatan orgasme, vaginismus, dan dyspareunia.

Akan tetapi sebagian besar dari gangguan itu belum bersifat menetap, melainkan bersifat situasional. Jadi belum dapat di-golongkan kelainan. Faktor penyebabnya terutama adalah kece-masan dan perasaan bersalah yang begitu kuat sehingga meng-hambat dorongan seksual oleh karena status mereka yang belum boleh melakukan hubungan tersebut (biasanya di rumah di kala sedang sepi atau di tempat tersembunyi yang lain) juga tidak memberi peluang kepada mereka untuk melakukan hubungan dengan tenang, sehingga terjadilah gangguan-gangguan ter di atas. Hal lain yang menyebabkan timbulnya ganj gangguan tersebut di atas adalah ketidaktahuan para remaja dan pengalaman yang sangat terbatas sehingga mereka tidak c melakukan hubungan seks tersebut dengan sebaik-baiknya \ mencapai kepuasan kedua-belah fihak. Pada fihak remaja sering timbul perasaan dipaksa atau terpaksa, sekedar memenuhi kemauan pacarnya.

Dengan demikian, dapatlah diperkirakan bahwa gang seksual pada remaja ini akan menghilang dengan sendirinj kemudian hari. Dengan perkataan lain, gangguan-ganj tersebut lebih merupakan akibat dari belum mampunya membawakan perasaan seksual mereka, ketimbang menif penyimpangan atau kelainan.

3. Penyalahgunaan Seksual Pada Anak-anak

Mungkin yang cukup banyak terjadi di kalangan adalah gangguan perilaku seksual (misalnya adanya ha terhadap selera dan gairah seksual atau adanya kecemasan! atau hilangnya kepercayaan diri dan depresi) yang diseba pengalaman seksual yang traumatis di masa kanak-kanak men

Dalam penelitian penulis di 4 kota (Purworedjo, Banja gara, Pontianak, dan Jakarta), dari 367 responden remaja, ter 2 orang yang mengaku pernah dipaksa untuk berhubungan; oleh orang tua mereka (Sarlito, 1985). Selain orang tua, da pengalaman klinis penulis, pemaksaan hubungan seks pada i anak dapat juga dilakukan oleh pembantu, kakak, paman, kost atau orang lain yang akrab dengan korban. Ada kemung pelakunya adalah penderita pedofilia, atau mungkin pelakunya hanya sekedar ingin menyalurkan hasrat sek sesaat karena tidak ada penyaluran lain. Akan tetapi baga napun juga pengalaman traumatik ini bisa menimbulkan yang sangat mendalam pada jiwa korban.

Korban yang biasanya adalah, anak-anak perempuan, Isanya menderita kecemasan yang mendalam sehubungan dia inerasa diririya tidak gadis lagi. Hal ini terkait dengan status kegadisan yang masih dinilai tinggi dalam masyarakat Indonesia. Akibat lain yang bisa timbul dari penyalahgunaan seks semasa anak-anak ini adalah perasaan rendah diri, sulit bergaul terutama dengan pria dan tidak pemah berani menjalin hubungan yang terlalu akrab dengan pria, takut kalau menikah akan ketahuan statusnya yang bukan gadis lagi.

Angka prevalensi untuk penyalahgunaan seks anak di Indonesia sampai sekarang belum diketahui. Hasil survei penulis sendiri yang telah disebutkan di atas (2 respons dari 367 respon-den atau 0,5%) kiranya masih perlu pembuktian lebih lanjut untuk dapat dijadikan patokan yang pasti. Apalagi penyalahgunaan seks itu hanya oleh orang tua, jadi tidak termasuk oleh orang dewasa lainnya. Tetapi pengalaman klinis juga tidak dapat mem-buktikan berapa banyaknya kasus-kasus seperti itu dalam popu-lasi umum. Walaupun demikian, hasil penelitian di luar


(13)

negeri membuktikan bahwa kemungkinan terjadinya kasus tersebut bisa sangat tinggi.

Penelitian dim Jud dilakukan di Los Angeles County, Amerika Serikat terhadap 248 wanita kulit putih dan kulit hitam yang berusia 18-36 tahun. Dari penelitian tersebut ternyata 154 responden (62%) melaporkan bahwa mereka pemah dipaksa untuk melakukan hubungan seks atau diperlakukan secara seksual sedikitnya sekali selama mereka hidup sampai menginjak usia 18 tahun (Wyatt, 1985, him. 507-519).

Sebuah penelitian lain di Inggris terhadap 2019 pria dan wanita menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan angka di Los Angeles tersebut di atas. Dalam penelitian yang bersifat nasional di Inggris ini, diperoleh informasi bahwa 10% dari responden pernah mengalami usaha penyalahgunaan seks sebelum mereka berusia 16 tahun. Tetapi yang mengherankan di sini adalah adanya pria yang melaporkan usaha penyalahgunaan seks itu atas dirinya (8%) sedangkan memang pada responden wanita kecenderungannya lebih besar (12%) (Baker & Duncan).


(1)

Nilai tradisional dalam perilaku seks yang paling utama adalah tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah. Nilai ini tercermin dalam bentuk keinginan untuk mempertahankan kegadisan seorang wanita sebelum menikah. Kegadisan pada wanita seringkali dilambangkan sebagai "mahkota" atau "harta yang paling berharga" atau "tandakesucian" atau"tandakesetiaan pada suami". Hilangnya kegadisan bisa berakibat depresi pada wanita yang bersangkutan, walaupun tidak membawa akibat-akibat lain seperti kehamilan atau penyakit kelamin. Bahkan kemungkinan robekan pada selaput dara tanpa hubungan seks sekalipun, misalnya karena terjatuh atau naik sepeda, bisa me-nimbulkan depresi atau kecemasan yang mendalam pada diri wanita.

Nilai kegadisan yang masih dihargai tinggi nampaknya masih menggejala di kalangan bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Di Manila, Filipina, misalnya, terungkap dari se-buah Survei bahwa,,^ dari remaja berusia 15-20 tahun menya-takan bahwa kegadisan seorang wanita sangat penting artinya bagi perkawinan (Population Forum, 1980). Demikian pula penelitian di Jakarta dan Banjarmasin menunjukkan angka 62% di Jakarta (49% untuk laki-laki dan 75% untuk perempuan) dan 67.8% di Banjarmasin (61.5% untuk laki-laki dan 74.0% untuk perempuan) dari responden pelajar SLTA kelas II yang menya-takan bahwa kegadisan adalah suatu hal yang penting sebelum pernikahan (Fak. Psikologi UI, 1987).

Yang perlu diperhatikan dari penelitian di Jakarta dan Banjarmasin itu adalah bahwa responden pria lebih permisif ketimbang remaja putri. Dengari demikian remaja pria sebenarnya iebih banyak yang bisa mengerti wanita yang sudah tidak gadis lagi.

Yang juga penting untuk diperhatikan dari penelitian yang

kejadian sanggama di rumah sendiri, yang berarti bahwa i remaja yang bersangkutan tidak lagi mempedulikan ke bahwa rumah adalah teritori (wilayah psikologis yang tidak 1 dilanggar) dari orang tua. Dengan peikataan lain, pela teritori prang tua ini berarti jugakurangny a rasahormat dan j kepada orang tua. Basil penelitian ini kiranya tidak meleset j| dari kenyataan, karena penelitian lain yang dilakukan ten juga menunjukkan hasil yang sama. Penelitian dimaksud dari Dra. Ninuk Widiantoro (1988, him. 4) yang mengung bahwa dari pasien-pasien remaja putri yang hamil dan da Klinik Wisma Pancawarga untuk mencari jalan keluar, antaranya melakukan hubungan seks juga di rumah.

D. Kelainan dan Gangguan Seksual

Seringkali dalam masyarakat terdapat pengertian tingkah laku seksual, khususnya yang tidak sesuai dengan nor norma agama atau norma-norma hukum atau susila, yang lakukan remaja adalah kelainan atau gangguan atau pen} pangan seksual. Pengertian ini secara Psikologi tidak benar,< karena tingkah laku seksual itu yaitu hubungan seks set menikah dan bermasturbasi dan bahkan kadang-kadang mimpi basah adalah tingkah laku yang sesuai dengan pr tingkah laku seksual yang lazim, kecuali bahwa hal ter dilakukan bertentangan dengan norma yang berlaku. Dalam ukuran Psikologi, proses tingkah laku yang la terdiri dari ketertarikan pada orang lain, timbulnya gairah, dii1 dengan tercapainya puncak kepuasan seksual (orgasme), dan I akhiri dengan tahap pemulihan atau penenangan kembali (r lusi). Dalam hubungan seks perkawinan (atau di luar winan), semua proses itu terpenuhi, sehingga tidak diragukan 1 kenormalannya berdasarkan norma Psikologi. Masturbasi mimpi basah (pada laki-laki) juga memenuhi semua proses i kecuali pada tingkat orgasme di mana tidak terdapat lawan s (orang lain). Hal ini bukan


(2)

merupakan kelainan, oleh karena 1 adanya lawan seksual itu bukan karena orang yang bersang menginginkannya, melainkan karena memang pada usia remaja masih terbatas sekali kesempatan (atau bahkan belum ada sama sekali) untuk mendapatkan pasangan dalam bertingkah laku seksual. Jadi sebagai penyaluran hasrat seksual mereka, mereka melakukan masturbasi dan jika terlalu lama tidak mengalami orgasme (khususnya pada anak laki-laki, tetapi bisa juga pada anak perempuan), remaja itu akan mengalami mimpi basah. Jadi masturbasi dan mimpi basah secara psikologik pun normal. Be-gitu pula aktivitas-aktivitas seksual remaja lainnya yang pra-sanggama seperti melihat buku atau film cabul, berciuman, ber-pacaran, dan sebagainya, adalah normal menurut kriteria Psikologi karena semua tingkah laku itu merupakan bagian dari proses tingkah laku seksual yang utuh.

Gangguan terhadap proses tingkah laku seksual yang utuh tersebut bisa bersifat psikologik, tetapi bisa juga berasal dari gangguan atau kelainan fisik. Impotensia (ketidakmampuan ereksi penis pada pria), misalnya, bisa disebabkan oleh kerusakan sumsum tulang belakang (PPDGJ II, 1985, hlm.223). Gangguan seperti ini tidak akan dibicarakan dalam bab ini. Demikian pula gangguan perilaku seksual yang bersumber pada gangguan kejiwaan lainnya (;^ \alnya sadisme yang disebabkan oleh Skizofrenia) tidak akan dibicarakan di sini.

I. Jenis-jenis Gangguan Seksual Pada Umumnya

Gangguan-gangguan pada tingkah laku seksual yang berlaku umum (tidak khusus remaja), menurut Buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia Edisi II, 1983 (PPDGJ, 1985, him. 223-249), terdiri dari 4 kelompok besar yang masing-masing terdiri lagi dari beberapa subkelompok.

a. Gangguan identitas jenis b. Parafilia

c- Disfungsi Psikoseksual

d- Gangguan Psikoseksual lainnya.

Semua jenis gangguan tersebut di atas bisa saja terdapat pada orang-orang normal sebagai variasi dari tingkah laku ; yang normal, akan tetapi kalau tingkah laku tertentu menjadi keharusan, dilakukan berulang-ulang dan merap satu-satunya syarat untuk tercapainya kepuasan seksual, tingkah laku itu dilakukan sebagai kelainan, penyimpangan i gangguan.

(a) Gangguan identifikasi jenis

Gambaran utama dari gangguan ini adalah ketidakses antara alat kelamin dengan identitas jenis yang terdapat pada < seseorang. Jadi seorang yang beralat kelamin laki-laki me dirinya wanita, atau sebaliknya. Identitas jenis yang menyimp ini dinyatakan dalam perbuatan (cara berpakaian, ma kegemarannya seperti anak laki-laki suka bermain boneka sebaliknya anak perempuan suka bermain sepak bola), uc maupun objek seksualnya:

1. Transeksualisme. Pada orang dewasa, gangguan ic jenis ini dinamakan transeksualisme. Minat seksual transeksual ini biasanya adalah yang sejenis kelamin I seksual, walaupun mereka tidak mau disebut sebagai 1 seks), tetapi ada juga yang melaporkan pernah menga hubungan heteroseksual dan beberapa di antara mereka i laporkan aseksual (tidak berminat


(3)

pada seks).

2. Gangguan Identitas Jenis Masa Kanak-kanak. Walaup transeksualisme biasanya mulai timbul sejak masa ka kanak, akan tetapi ada gangguan identitas jenis yang; terjadi pada masa kanak-kanak saja.

3. Gangguan Identitas Jenis Tidak Khas, yaitu tidak seper nya menunjukkan tanda-tanda transeksualisme, akan tet ada perasaan-perasaan tertentu yang menolak struktur •< mi dirinya seperti merasa tidak mempunyai vagina atau va nanya akan tumbuh menjadi penis (pada wanita), atau mer tidak punya penis atau jijik pada penisnya sendiri (pada prM

(b) Parafilia (Deviasi Seksual)

Ciri utama gangguan jiwa yang satu ini adalah diperlu nya suatu khayalan atau perbuatan seksual yang tidak lazim untuk jnendapatkan gairah seksual.

1. Zoofilia (Bestialitas): Terdapat perbuatan atau fantasi mehg-adakan aktivitas seksual dengan hewan.

2. Pedqfilia: Perbuatan atau fantasi untuk melakukan aktivitas dengan anak prapubertas.

3. Transvestisme: Pemakaian pakaian wanita oleh laki-laki heteroseksual untuk mendapatkan kegairahan seksual. Transvestisme berlaku bagi laki-laki yang bukan transeksual.

4. Ekshibisionisme: Mempertunjukkan alat kelamin secara tak terduga kepada orang yang tak dikenalnya dengan tujuan untuk mendapat kegairahan seksual tanpa upaya lanjut untuk mengadakan aktivitas seksual dengan orang yang tak dikenalnya itu.

5. Fetishisme: Penggunaan benda (fetish) yang lebih disukai atau sebagai satu-satunya cara untuk mendapatkan kegairahan seksual. Benda itu tidak terbatas pada perangkat pakaian wanita atau alat-alat perangsang gairah seksual (seperti vibrator).

6. Voyeurisme: Mengintip prang lain telanjang, membuka pakaian atau mel^Jkan aktivitas seksual tanpa sepengetahu-annya dan tidak ada upaya lanjut untuk melakukan aktivitas seksual dengan orang yang diintip itu.

7. Masokisme Seksual: Mendapatkan kegairahan seksual melalui cara dihina, dipukul atau penderitaan lainnya.

8. Sadisme Seksual: Mencapai kepuasan seksual dengan cara menimbulkan penderitaan psikologik atau fisik (bisa berakibat cedera ringan sampai kejnatian) pada pasangan seksnya. 9. Parafilia tidak khas: Yaitu pencapaian kepuasan melalui cara-cara yang tidak lazim yang

belum disebut di atas mis-alnya dengan tinju (koprofilia), dengan menggosok (froteur-isme), dengan kotoran (misofilia), dengan mayat (nekrofilia), dengan air seni (urofilia) dan dengan bicara kotor melalui telepon (skatologia telpon).

(c) Disfungsi Psikoseksual..

Gambaran utama dari Disfungsi Psikoseksual ada dapat hambatan pada selera (minat) seksual atau terdapat ] batan pada perubahan psikofisiologik yang biasanya terja orang yang sedang bergairah seksual.


(4)

1. Hambatan selera seksual: sukar atau tidak bisa timbuli seksual sama sekali secara menetap dan meresap.

2. Hambatan gairah seksual:

a. Pada laki-laki: gagal sebagian atau seluruhnya mencapai atau mempertahankan ereksi sampai aktivitas seksual (impotensia).

b. Pada wanita: gagal sebagian atau seluruhnya untuk b capai atau mempertahankan pelumasan dan bengkakan vagina (yang merupakan respons seksual wanita) sehingga akhir dari aktivitas (frigiditas).

3. Hambatan orgasme wanita: berulang-ulang atau dm tidak tenadi orgasme pada wanita setelah terjadi "seksual yang lazim selama aktivitas seksual.

4. Hambatan orgasmepria: berulang-ulang atau menetapl terjadi ejakulasi atau terlambat berejakulasi setelah fase gairah seksual yang lazim selama aktivitas seksual^

5. Ejakulasi Prematur: secara berulang-ulang dan menetapl jadi ejakulasi sebelum dikehendaki karena tidak ada pengendalian yang wajar terhadap ejakulasi selama akti\ seksual. .

6. Dispareunia Fungsional: rasa nyeri yang berulang dan i tap pada alat kelamin sewaktu sanggama, baik pada: maupun wanita.

7. Vaginisme Fungsional: ketegangan otot vagina yang terkendali sehingga menghalangi sanggama.

8. Disfungsi Psikoseksual tidak khas: disfungsi psikosei lain yang tidak tergolong di atas, misalnya terjadi ane (mati rasa) pada alat kelamin walaupun terjadi kegaii seksual dan orgasme.

Gangguan Psikoseksual lainnya.

Termasuk dalam golongan ini adalah Homoseksualitas yang akan dibicarakan pada bagian tersendiri.

2. Gangguan Seksual Pada Remaja

Tidak semua gangguan seksual tersebut di atas sering terjadi pada remaja. Tetapi berapa banyak prevalensi (kemungkinan terjadinya) setiap jenis gangguan seksual tersebut pada remaja, khususnya di Indonesia, belum diketahui dengan pasti. Akan tetapi dari pengalaman penulis dengan kasus remaja diperoleh kesan bahwa yang paling banyak terjadi adalah kasus homoseksual (baik yang egosintonik maupun yang egodistonik), disusul dengan kasus-kasus transeksualisme dengan minat homoseksual. Oleh karena itulah mengenai homo-seksualitas ini akan dibicarakan secara khusus dalam bagian tersendiri.

Kasus gangguan seksual yang pernah penulis jumpai pada remaja pria adalah ejakulasi prematur atau impotensia. Menurut Skinner (1977, Bab 7) ada 2 jenis impotensia yaitu impotensia primer (tidak pernah ereksi sama sekali) dan impotensia sekunder (pernah ereksi tetapi su^ah beberapa saat ereksi tersebut meng-hilang). Yang juga pernah dijumpai adalah hambatan selera seksual dan hambatan gairah seksual (menurut Skinner: libido rendah).


(5)

Pada remaja putri, selain libido rendah dan kecemasan yang berkaitan terhadap seks, juga pernah penulis jumpai hambatan orgasme, vaginismus, dan dyspareunia.

Akan tetapi sebagian besar dari gangguan itu belum bersifat menetap, melainkan bersifat situasional. Jadi belum dapat di-golongkan kelainan. Faktor penyebabnya terutama adalah kece-masan dan perasaan bersalah yang begitu kuat sehingga meng-hambat dorongan seksual oleh karena status mereka yang belum boleh melakukan hubungan tersebut (biasanya di rumah di kala sedang sepi atau di tempat tersembunyi yang lain) juga tidak memberi peluang kepada mereka untuk melakukan hubungan dengan tenang, sehingga terjadilah gangguan-gangguan ter di atas. Hal lain yang menyebabkan timbulnya ganj gangguan tersebut di atas adalah ketidaktahuan para remaja dan pengalaman yang sangat terbatas sehingga mereka tidak c melakukan hubungan seks tersebut dengan sebaik-baiknya \ mencapai kepuasan kedua-belah fihak. Pada fihak remaja sering timbul perasaan dipaksa atau terpaksa, sekedar memenuhi kemauan pacarnya.

Dengan demikian, dapatlah diperkirakan bahwa gang seksual pada remaja ini akan menghilang dengan sendirinj kemudian hari. Dengan perkataan lain, gangguan-ganj tersebut lebih merupakan akibat dari belum mampunya membawakan perasaan seksual mereka, ketimbang menif penyimpangan atau kelainan.

3. Penyalahgunaan Seksual Pada Anak-anak

Mungkin yang cukup banyak terjadi di kalangan adalah gangguan perilaku seksual (misalnya adanya ha terhadap selera dan gairah seksual atau adanya kecemasan! atau hilangnya kepercayaan diri dan depresi) yang diseba pengalaman seksual yang traumatis di masa kanak-kanak men

Dalam penelitian penulis di 4 kota (Purworedjo, Banja gara, Pontianak, dan Jakarta), dari 367 responden remaja, ter 2 orang yang mengaku pernah dipaksa untuk berhubungan; oleh orang tua mereka (Sarlito, 1985). Selain orang tua, da pengalaman klinis penulis, pemaksaan hubungan seks pada i anak dapat juga dilakukan oleh pembantu, kakak, paman, kost atau orang lain yang akrab dengan korban. Ada kemung pelakunya adalah penderita pedofilia, atau mungkin pelakunya hanya sekedar ingin menyalurkan hasrat sek sesaat karena tidak ada penyaluran lain. Akan tetapi baga napun juga pengalaman traumatik ini bisa menimbulkan yang sangat mendalam pada jiwa korban.

Korban yang biasanya adalah, anak-anak perempuan, Isanya menderita kecemasan yang mendalam sehubungan dia inerasa diririya tidak gadis lagi. Hal ini terkait dengan status kegadisan yang masih dinilai tinggi dalam masyarakat Indonesia. Akibat lain yang bisa timbul dari penyalahgunaan seks semasa anak-anak ini adalah perasaan rendah diri, sulit bergaul terutama dengan pria dan tidak pemah berani menjalin hubungan yang terlalu akrab dengan pria, takut kalau menikah akan ketahuan statusnya yang bukan gadis lagi.

Angka prevalensi untuk penyalahgunaan seks anak di Indonesia sampai sekarang belum diketahui. Hasil survei penulis sendiri yang telah disebutkan di atas (2 respons dari 367 respon-den atau 0,5%) kiranya masih perlu pembuktian lebih lanjut untuk dapat dijadikan patokan yang pasti. Apalagi penyalahgunaan seks itu hanya oleh orang tua, jadi tidak termasuk oleh orang dewasa lainnya. Tetapi pengalaman klinis juga tidak dapat mem-buktikan berapa banyaknya kasus-kasus seperti itu dalam popu-lasi umum. Walaupun demikian, hasil penelitian di luar


(6)

negeri membuktikan bahwa kemungkinan terjadinya kasus tersebut bisa sangat tinggi.

Penelitian dim Jud dilakukan di Los Angeles County, Amerika Serikat terhadap 248 wanita kulit putih dan kulit hitam yang berusia 18-36 tahun. Dari penelitian tersebut ternyata 154 responden (62%) melaporkan bahwa mereka pemah dipaksa untuk melakukan hubungan seks atau diperlakukan secara seksual sedikitnya sekali selama mereka hidup sampai menginjak usia 18 tahun (Wyatt, 1985, him. 507-519).

Sebuah penelitian lain di Inggris terhadap 2019 pria dan wanita menunjukkan angka yang lebih kecil dibandingkan dengan angka di Los Angeles tersebut di atas. Dalam penelitian yang bersifat nasional di Inggris ini, diperoleh informasi bahwa 10% dari responden pernah mengalami usaha penyalahgunaan seks sebelum mereka berusia 16 tahun. Tetapi yang mengherankan di sini adalah adanya pria yang melaporkan usaha penyalahgunaan seks itu atas dirinya (8%) sedangkan memang pada responden wanita kecenderungannya lebih besar (12%) (Baker & Duncan).