s | Materi Perkuliahan STKIP Purnama Pertemuan 7 dan 8

(1)

A. Masyarakat Transisi

Salah-satu ciri masyarakat Indonesia di mana sebagia besar remaja kita bertempat tinggal adalah masyarakat transisi yang sedang beranjak dari keadaannya yang tradisional menuju kepada kondisi yang lebih modern. Hanya sebagian kecil remaja yaitu yang tinggal di masyarakat yang belum terjangkau prasarana. komunikasi (misalnya di kalangan suku terasing, atau di pedesaan yang terisolir), yang masih hidup di alam yang benar-benar masih tradisional. Sebagian besar remaja yang lain, apalagi yang tinggal di kota-kota besar, sudah jelas harus berhadapan dengan masyarakat yang sedang dalam keadaan transisi.

Masyarakat transisi ini dalam istilah J. Useem dan Useem (1968) dinamakan "modernizing society". Masyarakat seperti ini berbeda dari "tradition oriented society" (masyarakat tradisional) dan "modern society" (masyarakat modern). Dikatakannya bahwa ciri masyarakat tradisional adalah mencoba mengekalkan nilai-nilai dari masa lalunya ke masa: depan dengan cara mempraktekkan terus adat-istiadat, upacara-upacara, dan kebiasaan-kebiasaan yang sudah berlaku sejak zaman nenek moyang mereka. Bahkan sesuatu yang belum terjadi dicoba untuk diramalkan, diatur dan dikendalikan dengan; menggunakan tradisi lama. Demikianlah maka masyarakat tradisional ini mencoba mendatangkan hujan dengan bahtuan jampi-jampi dari dukun dan menjodohkan anak dengan bantuan pramalan, primbon kelahiran agar kedua mempelai berbahagia selamanya.

Masyarakat transisi, menurut Useem & Useem

Masyarakat yang sedang mencoba untuk membebaskan diri dari nilai-nilai masa lalu dan menggapai masa depan dengan terus-menerus membuat nilai-nilai baru atau hal-hal baru. Masa transisi di Eropa ditandai dengan mulai dikenalnya teknologi mesin uap, alat fotografi dan listrik, yang bersamaan terjadinya dengan dikenalnya sistem demokrasi yang menggantikan monarki. Dalam masyarakat Indonesia, teknologi juga merupakan hal yang baru, yang mulai dikenal masyarakat walaupun bukan langsung merupakan hasil ciptaan sendiri. Bersamaan dengan itu adat-istiadat yang berhubungan dengan hubungan pria-wanita, misalnya, mulai ditinggalkan orang dan digantikan dengan tata-cara yang lebih bebas, sesuai dengan kondisi yang berlaku sekarang dan di masa depan.

Bergesernya tatanan masyarakat itu menurut Allan Schnei-berg (1980) disebabkan antara lain oleh teknologi itu sendiri yang pada hakikatnya mengandung sifat menimbulkan masalah pada lingkungannya jika digunakan secara meluas. Masyarakat tidak dapat mengubah dirinya dengan cepat untuk mengimbangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh teknologi. Misalnya, dengan ditemukannya mesin-mesin untuk menggantikan tenaga manusia dalam proses produksi, maka banyak tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan. Di fihak lain dituntut pendidikan yang lebih u'nggi untuk dapat diterima di lapangan pekerjaan yang tersedia. Selanjutnya, dengan terbukanya kesempatan pendidikan, maka lapisan masyarakat yang selama ini terbelakang (rakyat jelata, kaum wanita, dan sebagainya) punya kesempatan untuk menggeser anggota


(2)

masyarakat yang secara tradisional punya kedudukan tinggi (bangsawan, dan sebagainya). Maka timbulah berbagai masalah masyarakat transisi.

Berbeda dari masyarakat transisi, masyarakat yang modern digambarkan oleh Useem & Useem sebagai masyarakat yang. bertatanan luas, dengan berbagai sistem nilai yang secara ter dinyatakan ada dan orang bebas memilih sistem nilai mana yang akan dianut. Nilai-nilai tradisional pun diakui sebagai salah satu alternatif dan hidup berdampingan dengan nilai-nilai yang lain. Sebagai konsekuensi dari kondisi masyarakat modern yang dikemukakan Useem & Useem tersebut manusia-manusia modern dikatakan juga mempunyai sifat-sifat yang khusus. J. A. i (1968) mencoba merumuskan ciri-ciri manusia modern ini dan ia mengemukakan pendapat sebagai berikut ini. "Seorang manusia modern adalah seorang yang aktif. la merasa bahwa ia mampu membuat rencana untuk kehidupannya dan ia percaya bahwa rencananya itu akan menjadi kenyataan. Untuk melaksanakan rencananya ini, seorang manusia modern bersedia untuk menjauhi kerabatnya sendiri karena ia lebih caya kepada inisiatif-inisiatifnya sendiri. Untuk dia, kekeluarga dan kekerabatan bukannya memberikan rasa aman, tetapi malahan menimbulkan beban. la menghindari peleburan diri kepada kelompoknya dan ingin muncul dengan ide-idennya sendiri, walaupun untuk itu ia harus berbeda pendapat dengan teman-temannya. Lingkungan yang disukainya adalah kota-kota besar, karena ia melihat lebih banyak kesempatan untuk mengembangkan ide-idenya dan karirnya di situ ketimbang di daerah-daerah yang strata sosialnya masih sangat kuat dan kaku."

Deskripsi lain tentang ciri manusia modern diajukah ole A. Reich (dalam: D. Wilhelm, 1979). Reich mengemukakan Trilogi kesadaran pada orang-orang modern, sebagai berikut: a. Kesadaran I : Percaya bahwa keberhasilan ditentukan ole karakter, moralitas, kerja keras

dan peningkatan diri.

b. Kesadaran II: Yakin bahwa apa yang dihasilkan manusia dengan sarana nalar adalah realitas yang sebenarnya.

c. Kesadaran III:Diri sendiri individual adalah satu-satunya realitas sejati, karena itu manusia berusaha memulih unsur-unsur non-material dari eksistensi dirinya (contoh: manusia bisa mencapai status sosial tinggi tanpa menggunakan simbol status yang bersifat material).

Dampak dari ciri-ciri manusia modern ini pada kehidupan sehari-hari nampak antara lain dalam hal perubahan nilai anak di mata orang tua. R.A. Bulatao (1979, him. 52), setelah mem-bandingkan berbagai hasil penelitian tentang nilai anak di berbagai negara yang angka kelahirannya masih tinggi (Filipina, Turki, Indonesia dan Muangthai), sudah agak rendah (Korea Selatan, Taiwan, Singapura) dan rendah (Amerika Serikat dan jerman Barat), menemukan bahwa makin modern suatu masyarakat, struktur ekonominya berubah sedemikian rupa sehingga anak-anak tidak perlu bekerja lagi (dilarang oleh undang-undang), bahkan mereka bukan lagi merupakan jaminan hari tua bagi orang tua. Citra anak tidak lagi merupakan manusia-manusia produktif yang diharapkan menunjang perekonomian keluarga, akan tetapi anak dipandang sebagai manusia yang memerlukan perawatan khusus dan perhatian khusus. Orang tua tidak lagi mengharapkan hasil dari anak, tetapi orang tua harus memberi kepada anak. Sebagai imbalannya orang tua mendapat kepuasan psikologik dengan membesarkan anak-anak. Untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar, orang tua mengurangi jumlah anak.


(3)

Kalau penulis-penulis tersebut di atas secara deskripsi telah menguraikan ciri-ciri masyarakat dan manusia modern, Alfin Toffler dalam bukunya yang terkenal The Third Wave (1981) mengajukan analisis yang dinamis dari masyarakat yang sedang dalam transisi. Tesis Toffler dalam buku itu adalah bahwa sejarah kemanusiaan telah dan akan mengalami tiga gelombang perubahan:

a. Gelombang I : Revolusi pertanian yang sudah berjalan sejak 3000 tahun yang lalu. Dengan pertanian, pola kebudayaan manusia berubah. Mulai ada desa-desa, keluarga-keluarga, raja-raja, yang semua berpusat pada tanah pertanian. Ciri-ciri gelombang I ini antara lain adalah keluarga besar, pemerintahan otoriter, mobilitas sosial rendah, konsumen sekaligus merangkap produsen, menggunakan energi alam yang bisa dikembangkan kembali atau tidak akan habis (kayu, air, sinar matahari).

b. Gelombang II : Revolusi Industri, sudah berjalan 300 tahun. Sejak itu terjadi perubahan radikal, industrialisasi, cara hidup yang ketat, individualisme, keluarga inti, demokrasi mayoritas, penekanan pada ekonomi, spesialisasi, energi habis-pakai (minyak, gas bumi, batubara), pemisahan antara konsumen dan produsen, berkembangnya produksi massal dan; media massa.

c. Gelombang III : Masa pasca-industri yang baru berjalan 3CM tahun (yaitu terhitung pada waktu buku tersebut diterbitkan pada tahun 1981). Pada masa ini manusia ingin kembali kepada hakikatnya sebagai manusia, ingin lepas dari perannya sebagai bagian dari mesin dan industri. Manusia ingin kembali kepada "privacy"-nya, bekerja di rumah yang dihubungkan dengan telekomunikasi (telepon, TV, telepon, telex, fascimile) dan komputer ke kantor. Orang ingin bekerja sesuai dengan seleranya sendiri dan kantor-kantor serta toko-toko buka 24 jam oleh karena orang bekerja bergantian. Keluarga batihn mulai ditinggalkan dan mulai timbul keluarga dengan anak-anak tetapi tanpa suami atau istri, orang-orang; yang tidak menikah dan pasangan-pasangan homoseksual. Pemerintah dan perusahaan raksasa tidak menjalankan manajemen terpusat lagi tetapi lebih menerapkan sistem desentralisasi. Demokrasi menjadi demokrasi minoritas dan media dengan sirkulasi terbatas untuk orang-orang tertentu (contoh: majalah kedokteran, buletin RW, radio lokal, video-TV) akan muncul menggeser dominasi media yang sifatnya massal (koran nasional, radio nasional, TV nasional). Sumbei energi akan kembali ke sumber lokal yang tidak habis-pakai.

Pertemuan antara gelombang-gelombang ini, menurut Toffler, menimbulkan konflik dan membawa korban fisik maupun mental. Perang orang Amerika melawan Indian adalah contoh dari konflik masyarakat pra-gelombang dengan masyarakat gelombang I (pertanian). Perang saudara di Amerika Serikat dan revolusi Bolsyevik di Rusia merupakan contoh dari konflik antara gelombang I dan II (industri). Sedangkan terorisme, banyaknya "broken-home" dan meningkatnya kriminalitas yang banyak terjadi akhir-akhir ini merupakan akibat dari konflik gelombang II dan III (pasca-industri).


(4)

B. Remaja dan Masyarakat Transisi

Keadaan masyaraka transisi seperti yang diuraikan di atas oleh Emile Durkheim dikatakan akan membawa individu anggota masyarakat kepada keadaan "anomie". Anomie menurut Durkheim adalah "normlessness" yaitu suatu sistem sosial di mana tidak ada petunjuk atau pedoman buat tingkah laku. Jadi adalah keadaan eksternal seperti dalam keadaan hukum rimba yang terdapat dalam masyarakat yang tiba-tiba dilanda perang. Kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan yang biasa berlaku tiba-tiba tidak berlaku lagi. Akibatnya adalah "individualisme" di mana individu-individu bertindak hanya menurut kepentingan-nya masing-masing. (Durkheim, 1951).

Kondisi anomie ini tentu saja tidak hanya berlaku terhadap anggota masyarakat dewasa, melainkan juga terhadap para remaja. Salah-satu bukti tentang adanya kondisi anomie ini di ka-langan remaja adalah dalam segi kehidupan seksual yang diungkapkan dalam sebuah penelitian di Muangthai. 11% dari penduduk negara tersebut berusia antara 15-19 tahun, tetapi dari survai yang dilakukan terhadap mereka ternyata 45% tidak tahu-menahu tentang proses terjadinya haid dan 68% tidak dapat menyebutkan bagaimana caranya untuk mengetahui adanya kehamilan (ICARP, 1980). Dalam pertemuan yang akan datang akan dikemukakan juga data yang senada yang diperoleh dari peneli-tian-penelitian di Indonesia sendiri. Keadaan serba tidak tahu seperti ini, yang banyak terjadi di negara-negara berkembang atau dalam masyarakat transisi cukup membingungkan dan berbahaya bagi remaja yang bersangkutan sebab sementara mereka tidak banyak tahu tentang keadaan dirinya sendiri, mereka harus berhadapan dengan perubahan pola kehidupan seperti penundaan usia perkawinan, pergaulan yang lebih bebas, dan sebagainya. Remaja jadinya tidak mempunyai petunjuk atau pedoman yang jelas tentang bagaimana caranya untuk bertindak secara benar dalam menghadapi masalah. Apalagi penelitian di Muangthai tersebut juga membuktikan bahwa lebih besar dari seperempat dari remaja termaksud sama sekali belum pernah diberitakan tentang perubahan-perubahan fisik yang terjadi selama masa pubertas.

Contoh lain dari kebingungan remaja dapat dilihat dari kecenderungan remaja untuk bertindak yang menarik perhtian orang dan bahkan cenderung merusak. Misalnya seperti yang dilaporkan oleh harian Kompas 3 November 1985 tentang tindakan. Polisi Sektor Tebet dalam menertibkan remaja pencorat-coret "Sudah banyak warga yang mengeluh atas ulah anak-anak ini. Soalnya selain pagar rumah, dinding sekolah, juga papapn praktek dokter dan rambu lalu-lintas dicorat-coret", ujar Kapol Tebet Kapten (Pol) Harbangan Siagian.

Di fihak lain, para remaja itu sendiri mengaku bahwa kalimat-kalimat yang ditulis di pagar-pagar rumah itu adalah nama klub masing-masing seperti BBG, TBC, GPC, Geter, da sebagainya. Menurut mereka, kelompok itu kebanyakan adalah perkumpulan sepeda atau "breakdance". "Kalau soal nyoret dinding, kayaknya semuanya juga sering", tutur salah seorang dari mereka.

Kalau ditilik ucapan remaja yang terakhir ini nampak bahwa mereka tidak begitu menghayati bahwa perbuatan itu salah dan melanggar norma. Mereka merasa bahwa orang lain berbuat yang sama, mengapa mereka sendiri yang disalahkan. Jika ditarik ke alam masyarakat dewasa, ketidakmampuan untuk menilai suatu kesalahan karena merasa bahwa semua orang punya melakukannya dapat dilihat juga pada gejala-gejala korupsi, pungli, perbuatan maksiat, dan sebagainya. Jadi sekali lagi, kondisi remaja pada hakikatnya tidak jauh berbeda daripada kondis masyarakat luas secara umum.


(5)

Durkheim. Merton mengatakan bahwa keadaan anomie memang berawal dari suatu situasi sosial (Incondisi objektif), tetapi Merton selanjutnya nyatakan bahwa anomie juga menunjuk kepada manusia yang "ambivalent" (tidak jelas nilai yang dianutnya) dan "ambigous" (tidak jelas bentuk kelakuannya) dalam masyarakat yang juga tidak konsisten (Merton, 1957). Akibatnya memang ada manusia-manusia yang bertingkah laku konform, yaitu menerima nilai (oleh Merton diartikan sebagai tujuan umum dari suatu kebudayaan) dan norma (artinya aturan-aturan khusus dari lembaga masyarakat tertentu). Akan tetapi selanjutnya Merton mengatakan bahwa di samping mereka yang bersikap konform terhadap nilai dan norma, ada orang-orang yang menentang (bertingkah laku "deviant" atau menyimpang) nilai atau norma itu atau kedua-duanya.

1. "Innovation", yaitu tingkah laku yang menyetujui nilai tetapi menentang norma. Individu (termasuk remaja) jenis inilah yang barangkali paling banyak kita jumpai. Misalnya remaja Tebet yang mencorat-coret tersebut di atas. Mereka tidak melakukan sesuatu yang menentang nilai-nilai umum masyarakat, tetapi mereka melakukan sesuatu yang berten-tangan dengan norma masyarakat setempat. Oleh karena itulah ketika di Yogyakarta pernah diadakan lomba corat-coret dinding dengan menyediakan dinding sekeliling kolam renang Umbang Tirto sebagai arenanya, banyak remaja yang ikut serta dan tingkah laku remaja itu tidak lagi merusak (destruktif) karena ada norma setempat yang menampungnya dan tingkah laku mereka malah jadi konstruktif (memper-indah). Tetapi tingkah laku "innovation" (inovasi) ini memang tidak selamanya berakibat negatif. Malah dengan inovasi ini banyak temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan orang. Demikian pula di kalangan remaja. Usaha Indra dan kawan-kawannya untuk menjadi wiraswasta dalam kesulitan menghadapi ma depan yang §jrba ketat persaingannya dapat dianggap bagai inovasi positif. Demikian pula mungkin pertanyaa yang dilontarkan kepada penceramah oleh remaja yang pena saran karena jarang adanya seminar mengenai kenakala orang tua (kasus 4) dapat dianggap 'tingkah laku inovasij Mereka ini tidak menentang nilai yang umum yang mer pakan cita-cita masyarakat (misalnya mencita-cita masyarakat yang bebas kejahatan), tetapi mereka hanya tida menyukai cara-cara sekelompok masyarakat tertentu ya terlalu bersibuk diri dengan seminar tentang kenakalan maja saja.

2. "Ritualism": Yaitu tingkah laku yang menolak nilai-nila tetapi menerima norma. Gadis Umi (kasus 2) mungk memang tidak sepenuhnya menolak nilai-nilai dala masyarakat seperti misalnya yang terjadi pada para pengiku| sekte Jim Jones yang mengasingkan diri dari Amerika Serikat dan membuat perkampungan mereka sendiri di Guya (akhirnya hampir seluruh pengikut sekte ini mati bunuh dir bersama pemimpin mereka). Walaupun demikian, yang dilakukannya dengan melibatkan diri pada kelompok remaja masjid, dapat juga digolongkan ke dalam ritualisme. Di satu| fihak Umi kurang memahami apa yang sebenamya dikehen-? j daki oleh masyarakat (termasuk ayah-ibunya), di lain fihakj dia menghadapi masalah nyata yang perlu segera di atasij Maka Umi pun memilihuntuk mengikuti saja secara ketat danf dalam arti sempit norma-norma yang berlaku dalam sat kelompok tertentu (dalam hal ini norma-norma agama yanj diberlakukan secara ketat dalam kelompok remaja masjid] yang diikutinya).

3. "Retreatism": reaksi nonkonformis jenis ini oleh Merton 1 dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap nilai maupun norma. Bentuk reaksinya adalah pelarian-diri dari nilai-nilai ] dan norma-norma yang berlaku. Pelarian-diri itu bisa berupa j tingkah laku penyalahgunaan obat atau minuman keras, misalnya, atau tingkah laku mengasingkan diri, atau bahkan bunuh diri.


(6)

4. "Rebellion": sama halnya dengan "retreatism", "rebellion" atau pemberontakan ini juga menolak nilai dan norma. Tetapi berbeda dari pelarian-diri, pemberontakan justru menerima nilai dan norma yang lain, yang berasal dari luar masyarakat di mana individu yang bersangkutan tinggal. Berbeda dari inovasi, pelaku-pelaku pemberontakan tidak menemukan sendiri nilai dan norma yang dijadikannya alternatif, melainkan mengadopsi dari luar (orang lain atau masyarakat lain). Lenin dan Karl Mark, misalnya, yang mencetuskan gagasan masyarakat sosialis di Rusia sebagai alternatif dari sistem monarki di bawah kekuasaan Tsar yang berlaku pada waktu itu, adalah contoh tingkah laku inovasi dalam klasi-fikasi Merton. Akan tetapi gerakan-gerakan mahasiswa di beberapa negara Barat yang menentang pemerintah dengan menamakan diri gerakan "New-Left" (Gerakan Kiri Baru) atau Neo-Marxisme lebih dekat kepada jenis "rebellion" oleh karena mereka sesungguhnya tidak melontarkan gagasan baru selain yang diadopsinya dari pandangan-pandangan yang sudah terlebtfi dahulu ada.

Dapatlah kiranya sekarang difahami bahwa tindakan nonkonformis atau tindakan menyimpang yang dilakukan oleh sementara remaja dalam suatu masyarakat transisi bukanlah se-lalu khas remaja, karena apa yang dilakukan remaja sebagai reaksi terhadap keadaan anomie, dilakukan juga oleh anggota masyarakat lain sebagaimana uraian Merton tersebut di atas. Jika pun ada hal-hal yang khas remaja, hal itu lebih disebabkan oleh kondisi lingkungan dan kepribadian remaja yang tidak sama dengan kondisi orang dewasa, sedangkan jenis-jenis reaksinya pada hakikatnya tidak berbeda.

C. Remaja Sebagai Anggota Keluarga

Kiranya tidak dapat diingkari lagi bahwa keluarga merupakan lingkungan primer hampir setiap individu, sejak ia lahir sampai datang masanya ia meninggalkan rumah untuk memben-; tuk keluarga sendiri. Sebagai lingkungan primer, hubungan antar-manusia yang paling intensif dan paling awal terjadi dalam keluarga. Sebelum seorang anak mengenal lingkungan yang lebih luas, ia terlebih dahulu mengenal lingkungan keluarganya. Karena itu sebelum ia mengenal norma-norma dan nilai-nilai dari masyarakat umum, pertama kali ia menyerap norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk dijadikan bagian dari kepribadiannya. Maka kita dapat menyaksikan tindak-tanduk orang suku tertentu yang berbeda dari suku lainnya dan di 1 dalam suku tertentu itupun pola perilaku orang yang berasal dari kelas sosial atas berbeda dari yang kelas sosial bawah. Demikian pula agama dan pendidikan bisa mempengaruhi kelakuan seseorang. Semua itu pada hakikatnya ditimbulkan oleh norma dan nilai yang berlaku dalam keluarga, yang diturunkan melalui pendidikan dan pengasuhan orang tua terhadap anak-anak mereka, turun-temurun. Tidak mengherankan jika nilai-nilai yang dianut oleh orang tua akhirnya juga dianut oleh remaja. Tidak mengherankan kalau ada pendapat bahwa segala sifat negatif yang ada pada anak sebenarnya ada pula pada orang tuanya. Bukan semata-mata karena faktor bawaan atau keturunan, akan tetapi karena proses pendidikan, proses sosialisasi atau kalau mengutip Sigmund Freud: proses identifikasi.

Tetapi dalam masyarakat yang modem, masalah penerusan nilai-nilai dalam keluarga menjadi lebih rumit. Bermacam-macam norma dan nilai yang ada, tidak terbendung lagi masuk ke dalam masyarakat yang dalam bentuknya yang masih tradisional hanya mengenai sejumlah norma dan nilai yang terbatas. Tekno-logi komunikasi menyebabkan masuknya norma dan nilai baru dari luar dan perkembangan-perkembangan dalam masyarakat sendiri pun menyebabkan


(7)

timbulnya norma dan nilai baru. Pada gilirannya, norma dan nilai baru ini masuk ke dalam lingkungan keluarga sehingga terjadilah berbagai macam konflik dan kesenjangan dalam keluarga.

Di fihak lain orang tua pun menghadapi berbagai nilai alternatif. la ingin bertindak otoriter terhadap anaknya, karena ia dididik seperti itu oleh orang tuanya sendiri, tetapi kenyataannya anak tidak bisa dididik secara keras seperti itu. Buku-buku dan tulisan-tulisan di majalah pun menganjurkan pendidikan yang lebih demokratis buat anak remaja. Tetapi orang tua berfikir lagi, kalau ia melonggarkan cara mendidiknya, dikhawatirkan anaknya akan menjadi manja dan tidak disiplin. Satu contoh yang seder-hana saja: orang tua menghadapi permintaan anaknya yang mau nyetir mobil sementara usianya baru 14 tahun atau anak gadisnya minta izin ke pesta dan pulangnya lewat tengah malam. Akan diizinkankah permintaan-permintaan seperti ini? Jawabannya serba salah: diizinkan salah, tidak diizinkan pun salah. Padahal 25 tahun yang lalu permintaan seperti ini muncul pun tidak dari fihak si anak.

Tetapi terlepas dari keadaan para orang tua pada umumnya yang memang menghadapi masalah karena adanya berbagai perkembangan dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap kehidupan keluarga, dalam masyarakat manapun ada saja orang tua tertentu yang memang tidak bisa mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik. Kita masih ingat misalnya kasus Arie Hanggara yang tewas di tangan ayah kandungnya sendiri setelah menjalani hnkuman melebihi batas yang dijatuhkan ayahnya karena kesalahan-kesalahan yang memang biasa dilakukan oleh anak-anak seusianya. Sebagian orang tua yang bertipe seperti ayahnya Arie Hanggara ini mungkin memang tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk mendidik anak, sedangkan se-bagian yang lain mungkin memang mempunyai kelainan atau gangguan jiwa atau bahkan hanya sekedar sikap yang kurang baik, 1 sehingga mereka salah mengasuh dan mendidik anak sampai akhirnya terjadilah anak-anak yang bermasalah.

Pengasuhan dan pendidikan yang salah ini oleh Kempe & Heifer digambarkan sebagai lingkungan yang khas untuk anak-anak yang memberi pengaruh yang khusus pula. Mereka mena-makan lingkungan yang khas ini dengan istilah "World of Abnormal Rearing" (dunia pengasuhan yang ti.dak normal) yang dising-kat WAR (arti harafiahnya: "perang").

Arti WAR didefinisikan sebagai: kondisi di mana lingkungan tidak memungkinkan anak untuk mempelajari kemam-puan-kemampuan yang paling dasar dalam hubungan antar-manusia (Kempe & Heifer, 1980, him. 38). Selanjutnya dikatakan bahwa ciri-ciri WAR adalah sebagai berikut (tidak perlu semua ciri terdapat dalam suatu WAR tertentu):

1. Anak dipukuli (pada sebagian keluarga WAR)

2. Anak disalahgunakan secara seksual (misalnya dijadikan korban incest atau dipaksakan kawin pada usia masih kanak-kanak, ini pun hanya pada sebagian keluarga WAR)

3. Anak tidak diperdulikan (ini lebih banyak terjadi)

4. Anak dianggap seperti anak kecil terus atau dianggap tidak berarti (paling banyak terjadi). Sebagai akibat dari WAR, maka anak-anak menjadi terkckang sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik di luar rumah sendiri. Dengan perkataan lain keluarga WAR seringkali dianggap sebagai lingkungan keluarga di mana banyak terjadi penelantaran dan penyalahgunaan anak. Secara sosiologis, faktor-faktor yang ada kaitannya dengan penelantaran dan penyalahgunaan anak ini menurut Wolff (1981) adalah sebagai berikut:


(8)

1. Dalam lingkungan masyarakat modern, keluarga modern terisolasi dari lingkungannya sehingga apa yang terjadi dalam keluarga itu tidak dapat sepenuhnya dipantau oleh tetangga-tetangganya.

2. Kepcntingan bersama antara anak dan orang tua makin lama makin melemah sehingga sekarang makin banyak pasangan suami-istri yang tidak ingin mempunyai anak dan kalau ada anak di rumah mudah timbul sikap negatif pada terhadap anak-anak.

3. Anggota-anggota keluarga makin jarang berada di rumah oleh karena adanya kegiatan-kegiatan lain seperti keharusan untuk bekcrja, sekolah, dan sebagainya, yang sebagian besar dilakukan di luar rumah. Ikatan antaranggota keluarga se-makin mengendor sehingga terjadilah pcrceraian dan perpisahan antaranggota keluarga yang makin tinggi.

4. Dalam pada itu tujuan dan harapan pendidikan makin lama makin tinggi, sehingga sejak awal anak sudah dipaksa untuk meraih prestasi akademik yang tinggi. Anak menjadi objek dari ambisi-ambisi pendidikan.

5. Faktor ekonomi yang tidak memungkinkan pemerataan walaupun ada pertumbuhan perekonomian yang pesat. Akibatnya golongan sosial ekonomi rendah tetap tcrlibat dalam tekanan ekonomi dan mereka tidak dapat keluar dari situ. Di Amerika Serikat ini terjadi khususnya di kalangan masyarakat kulit berwama dan kaum emigran.

Sementara itu dalam penyelidikannya P.J. Caplan (1984, him. 343-351) menyatakan bahwa berbagai penelitian telah membuktikan bahwa dalam kasus-kasus penelantaran dan pe-nyalahgunaan (termasuk menyakiti anak secara fisik dan/atau psikis) terdapat faktor-faktor tertentu yang seringkali muncul. Pada fihak anak didapat bahwa anak-anak yang menjadi korban penelantaran dan penyalahgunaan anak ini berusia 4-15 tahun, lebih banyak anak laki-laki daripada anak perempuan dan tidak menyandang cacat bawaan. Di Amerika Serikat juga tcrbukti bahwa anak-anak ini berasal dari ibu yang tidak menikah atau pemah mengalami perpisahan dengan keluarga semasa Balita (pisah dari ayah, ditinggal ibu, dimasukkan ke panti asuhan, dan sebagainya). Mengcnai dua hal yang terakhir ini kiranya masih perlu pembuktian lebih lanjut untuk kondisi Indonesia.

Selanjutnya Caplan mengatakan bahwa pada sisi orang tua, faktor-faktor yang sering muncul dalam kasus penelantaran dan penyalahgunaan anak adalah usia orang tua yang masih terlaUj muda, orang tua mengalami gangguan emosional, keadaan sosis ekonomi orang tua rendah, pendidikan juga rendah dan biasan) pekerjaan orang tua hanya sebagai tenaga kasar ("unskilled job") ada riwayat kriminal pada masa lalu orang tua dan ada konflil antar orang tua.

Faktor-faktor yang mengawali penelantaran dan pen) lahgunaan anak menurut Caplan lebih lanjut adalah penya-| lahgunaan obat dan alkohol (alkoholisme) oleh orang tua da tingkah laku anak nampak tidak normal (menangis tanpa alasa nakal berlebihan, dan sebagainya). Caplan justru tidak men mukan banyak anak seperti itu yang orang tuanya menderita sa atau gangguan jiwa yang berat seperti misalnya Psikosis. Hal ir bertentangan dengan anggapan umum bahwa orang tua ya menelantarkan dan menyalahgunakan anaknya tentulah orang tuS yang menderita gangguan jiwa berat.

Anggapan umum ini dapat dimengerti oleh karena bent penelantaran dan penyalahgunaan anak ini bisa berupa tindakarwj tindakan kejam yang melebihi batas perikemanusiaan seper" memukuli anak, mengunci anak dalam gudang berjam-j£ membiarkan anak kedinginan di luar rumah dengan tidak mer bukakan pintu jika anak terlambat pulang, menyiram anak denga air


(9)

panas atau menyulut anak dengan api rokok. Pada kasus ya ekstrim perlakuan iiii bisa sampai mengambil nyawa anak seper yang terjadi pada kasus Arie Hanggara.

Tetapi anggapan-anggapan umum ini, yang dalam bebe*| rapa hal didukung pula oleh hasil penelitian, menurut Capl memang banyak yang tidak benar. Hal-hal lain yang suda menjadi anggapan umum juga terbantah oleh penelitian Capla sendiri yaitu bahwa sebagian besar mereka bukan anak sulun| atau anak pertama (hanya 31% yang anak sulung atau ana" pertama), hanya sedikit yang lahir prematur, hanya sedikit ya ada masalah waktu bayi (sulit tidur, sakit-sakitan, tidak respons dan sebagainya), orang tua anak-anak itu tidak mengalami kete belakangan mental, orangtua bukan orang yang terisolir secasosial (berbeda dari penelitian Wolff tersebut di atas) dan kedua orang tua sama berperan sebagai pelaku (bukan hanya ibu).

Keadaan di Indonesia sendiri sudah barang tentu tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan di Amerika Serikat di mana penelitian-penelitian tersebut di atas dilakukan. Akan tetapi beberapa kecenderungan memang terjadi juga di Indonesia. Misalnya faktor sosial-ekonomi dan faktor pendidikan. Baik karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi maupun karena keti-daktahuan orang tua yang bersangkutan, kita bisa menyaksikan banyak anak-anak di bawah umur yang mengalami penelantaran dan penyalahgunaan, misalnya anak yang ditarik dari sekolahnya (biasanya masih di tingkat sekolah dasar) untuk membantu orang—" tuanya mencari nafkah, atau anak-anak dipekerjakan sebagai buruh di industri-industri tertentu atau disuruh bekerja di sektor informal (pedagang kecil, penjaja koran, dan lain-lain). Kadang-kadang keadaan kebudayaan setempat tidak memungkinkan pemisahan anak-anak dari tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat yang sama kewajibannya dengan orang-orang de-wasa. Maka seperti sudah diungkapkan dalam bab yang terdahulu, kita selalu akan menjumpai kasus-kasus seperti yang terjadi di kalangan masyarakat.desa Singapura (kasus 3, Bab II), atau kasus lyah yang dikawinkan pada umur 13 tahun (kasus 3, Bab I) atau Bonar yang harus ngenek Metro Mini dalam usia remajanya (kasus 2, Bab I). Apakah ini merupakan penelantaran dan penyalahgunaan anak? Dari sudut kepentingan anak, apalagi jika digunakan ukuran masyarakat di negara maju, tentunya tidak dapat disangkal lagi. Tetapi ditinjau dari ukuran masyarakat setempat rasanya tidak bisa begitu saja kita nyatakan demikian.

Walaupun demikian, terlepas dari adanya situasi yang khas di Indonesia atau di masyarakat berkembang lainnya, ada hal lain yang memungkinkan terjadinya penelantaran dan penya-lahgunaan anak di masyarakat kita. Hal tersebut adalah sikap orang tua yang cenderung dominan dan hak orang tua atas diri anak adalah mutlak. Hal ini dibenarkan oleh masyarakat, sehingga jika ada orang tua yang bertindak melebihi batas atas diri anaknya, diadakan di dua kota tersebut (Jakarta dan Banjarmasin) bah| remaja pelajar SLTA kelas II tidak bertanya kepada orang tua manakala .mereka membutuhkan sesuatu informasi seperti salnya masalah seksual.

Dari tabel di atas jelas bahwa remaja di Jakarta maupun.J Banjarmasin sedikit sekali bertanya tentang masalah seks kepad ibuny'a daripada kepada sumber-sumber lain. Mungkin hal if tidak sepenuhnya menggambarkan kesenjangan komunikasi tara anak dan orang tua, akan tetapi bagaimanapun jelas bahv kesenjangan itu ada.

Seberapa jauh kadar kesenjangan itu? Penelitian Majala Tempo (No 34, Thn. XI, 24 Oktober 1981) atas diri 203 pelaji SLTP dan SLTA mengungkapkan bahwa 11 % di antara respor mengaku sering tidak menurut pada orang tua dan 63.8% mer aku hanya kadang-kadang saja patuh. Padahal 65.1 % menyata bahwa mereka sering dimintai pendapat oleh orang tua. Artinj ada usaha dari orang tua untuk mendekati anak remajanya. Ha dari usaha ini mungkin bukan


(10)

berupa kepatuhan atau ketaattetapi lebih berupa perasaan hidup dalam keluarga yang bahagia, yang diakui oleh 82.7% dari responden.

Dari uraiandi atasjelaslahbahwatidakbegitumudahuntuk memperkirakan keadaan anak remaja dalam keluarga dalam jnasyarakat yang sedang berkembang. Sifat transisi dari masya-rakat i'u sendiri sudah menyebabkan segala sesuatu tidak terga-riskan dengan jelas. Karena tidak adanya garis yang jelas ini maka kesamaan pandangan, ketaatan, kepatuhan, kedisiplinan antara anak dengan orang tuanya menjadi hal yang tidak lagi mudah untuk dipertahankan.Walaupun demikian, perasaan aman dan bahagia yang timbul pada remaja yang hidup dalam keluarga yang harmonis merupakan hal bagaimanapun akan bisa mempengaruhi daya penyesuaian-sosial pada diri para remaja itu di masa depan. Hal ini kiranya cukup untuk menjadi alasan untuk memper-tahankan lembaga keluarga yang harmonis jika kita menghendaki generasi masa datang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap gelombang-gelombang perubahan norma dan nilai yang akan terus melanda masyarakat kita.

D. Remaja di Sekolah

Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah bersekolah, maka lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah sekolahnya. Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP atau SLTA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari di-liwatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja cukup besar.

Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja, karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di samping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya. Akan tetapi, seperti halnya juga dengan keluarga, fungsi sekolah sebagai pembentuk nilai dalam diri anak sekarang ini ban} menghadapi tantangan. Khususnya karena sekolah berikut se§ kelengkapannya tidak lagi merupakan satu-satunya lingkung setelah lingkungan keluarga, sebagaimana yang pernahberlaku^ masalalu. Terutama di kota-kota besar, sekarang ini sangat ter adanya banyak lingkungan lain yang dapat dipilih remaja sel sekolahnya: pasar swalayan, pusat perbelanjaan, taman hit atau bahkan sekedar waning di tepi jalan di seberang sekolah at rumah salah seorang teman yang kebetulan sedang tidak tunggui orangtuanya, mungkin saja merupakan altcmatif ya lebih menarik daripada sekolah itu sendiri. Apalagi serin§ motivasi belajar murid memang menurun akibat dari adanj berbagai hal di sekolah.

Salah-satu faktor yang sering dianggap menurunkan motivasi siswa remaja untuk belajar adalah materi pelajaran itu sendi dan guru yang menyampaikan materi pelajaran itu. Menger materi pelajaran serinj dikeluhkan oleh para siswa sebaj membosankan, terlalu sulit, tidak ada manfaatnya um kehidupan sehari-hari, terlalu banyakbahannya untuk waktu ya teirbatas, dan sebagainya. Akan tetapi lebih utama dari fake materi pelajaran, sebenarnya adalah faktor guru. S

Mengenai guru ini, sebuah penelitian di suatu perguruan;.ij Aceh mengungkapkan

kenyataan tentang pendapat siswa tenta cara guru menyampaikan pelajarannya. Pendapat tersebut daf dilihat dalam tabel 5.2.


(11)

guru-guru yang menyajil pelajarannya dengan cara yang kurang menarik. Padahal di ma orang tua, faktor sulitnya pelajaran yang disampaikan guru sedik lebih banyak dikemukakan daripada faktor kurang mej guru tersebut. Kenyataan ini kiranya tidak khas di Aceh saj melainkan sudah umum di seluruh negeri.

Persentase yang hampir separuh dari responden guru yang meny atakan puas terhadap statusn>,J^aknya mendukung temuan dalam survai yang dilakukan majalah Tempo (24 Oktober 1981) yang sudah disebutkan di atas, yang menyatakan bahwa 52.2% dari responden siswa SLTA dan SLTP yang menjadi responden (seluruhnya berjumlah 203 responden) mengakui bahwa hanya kurang dari separuh saja dari guru yang patut disegani. Ini berbeda dari temuan yang sudah diungkapkan di muka, juga dari survai Tempo ini yang menyatakan bahwa terhadap orang tua walaupun mulai banyak yang tidak patuh, namun 82.7% masih merasa hidup dalam keluarga yang bahagia.

E. Remaja Dalam Masyarakat

Masyarakat sebagai lingkungan tertier (ketiga) adala lingkungan yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banj menawarkan pilihan. Terutama dengan maju pesatnya teknoloj komunikasi massa maka hampir-hampir tidak ada batas-bat geografis, etnis, politis maupun sosial antara satu masyara dengan masyarakat lainnya. Waktu "Breakdance" digandrungf remaja di Amerika Serikat, di lapangan Parkir Timur Senaya Jakarta, setiap malam Minggu ada pameran keterampilan ber "breakdance" yang merupakan acara spontanitas dari remaja remaja Jakarta. Tetapi yang lebih menakjubkan buday| "breakdance" ini juga menyebar ke seluruh pelosok tanah ail Demikian pula gaya busana wanita Timur Tengah (berkerudv makin lama makin banyak dipakai wanita dan remaja putri di: donesia. Bahkanbahasa "Prokem", yaitu bahasayangkhasremajj (kata-katanya diubah-ubah sedemikian rupa sehingga hanya bis dimengerti di antara mereka) bisa difahami oleh harnpir selur remaja di tanah air yang terjangkau oleh media massa, pada istilah-istilah itu berkembang, berubah dan bertambah hamj setiap hari. Salah-satu contoh dari efektifhya media massa unt menyebarkan suatu istilah baru adalah ketika istilah "Hebringl (artinya: hebat) sering diucapkan oleh salah seorang pema (Connie Suteja) sandiwara TV "Pondokan" di tahun 1988. Istila itu menjadi istilah yang sering dipakai oleh masyarakat terlepa dari batasan usia, kelas sosial-ekonomi, dan sebagainya.

Tetapi tidak saja istilah yang berhasil disebarluaskan ole media massa. Semua hal lain yang menyangkut gaya hidup, nila dan perilaku juga dimasyarakatkan. Pada gilirannya remaja: dihadapkan kepada berbagai pilihan yang tidak jarang menimbu kan pertentangan batin di dalam din remaja itu sendiri. Per tangan batin itu bisa berupa "konflik" (menurut istilah Kt Lewin) yang ada beberapa macam jenisnya (Sarlito, 1986, 144), yaitu:

1. Konflik mendekat-mendekat: di mana ada dua hal yang sa kuat nilai positifhya, tetapi saling bertentangan. Misalnya sudah janji kepada kawan-kawannya untuk ikut berkemah (merupakan hal positif pertama), tetapi ia tidak mau memban-tah orang tuanya yang masih diseganinya (hal positif kedua).

2. Konflik menjauh-menjauh: di mana ada dua hal yang hams dihindari akan tetapi tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus. Misalnya: seorang remaja tahu bahwa teman-temannya banyak yang nakal bahkan menjurus kepada kejahatan (hal negatif pertama). la ingin menyingkir dari kelompok itu, tetapi ia tidak berpaling kepada orang tuanya karena ia


(12)

sudah jenuh, bosan dan marah kepada orang tuanya (hal negatif kedua).

3. Konflik mendekat-menjauh: yaitu jika suatu hal tertentu sekaligus mengandung nilai positif dan negatif. Misalnya seorang anak diajak menonton film cabul di rumah seorang kawannya. la sangat ingin menonton film itu karena keingin-tahuannya (nilai positif), tetapi ia pun tahu bahwa film itu tidak boleh dilihatnya (hal negatif).

Pengaruh lingkungan pada tahapnya yang pertama diawali dengan pergaulan dengan teman. Pada usia 9-15 tahun hubungan perkawanan merupakan hubungan yang akrab yang diikat oleh minat yang sama, kepentingan bersama dan saling membagi perasaan, saling tolong-menolong untuk memecahkan masalah bersama. Pada usia ini mereka bisa juga mendengar pendapat fihak ketiga. Pada usia yang anak lebih tinggi 12 tahun ke atas, ikatan emosi bertambah kuat -Oh mereka makin saling mernbu-tuhkan akan tetapi mereka juga saling memberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya masing-masing (Selman & Selman, 1979, him. 71-72).

Ikatan emosi yang sangat kuat terbukti antara lain dalam penelitian Arswendo dkk., (1985) terhadap 210 pelajar dari 5 SLTA di Jakarta dan 3 SLTA di Bogor di mana 81.4% dari respon-den itu menyatakan pernah berkelahi dalam 1 tahun yang terakhir. Dalam penelitian yang mencoba menggali faktor-faktor yang berkaitan dengan perkelahian remaja di sekolah ini, terungkap bahwa alasan mereka berkelahi adalah karena lawan yang mulai


(1)

timbulnya norma dan nilai baru. Pada gilirannya, norma dan nilai baru ini masuk ke dalam lingkungan keluarga sehingga terjadilah berbagai macam konflik dan kesenjangan dalam keluarga.

Di fihak lain orang tua pun menghadapi berbagai nilai alternatif. la ingin bertindak otoriter terhadap anaknya, karena ia dididik seperti itu oleh orang tuanya sendiri, tetapi kenyataannya anak tidak bisa dididik secara keras seperti itu. Buku-buku dan tulisan-tulisan di majalah pun menganjurkan pendidikan yang lebih demokratis buat anak remaja. Tetapi orang tua berfikir lagi, kalau ia melonggarkan cara mendidiknya, dikhawatirkan anaknya akan menjadi manja dan tidak disiplin. Satu contoh yang seder-hana saja: orang tua menghadapi permintaan anaknya yang mau nyetir mobil sementara usianya baru 14 tahun atau anak gadisnya minta izin ke pesta dan pulangnya lewat tengah malam. Akan diizinkankah permintaan-permintaan seperti ini? Jawabannya serba salah: diizinkan salah, tidak diizinkan pun salah. Padahal 25 tahun yang lalu permintaan seperti ini muncul pun tidak dari fihak si anak.

Tetapi terlepas dari keadaan para orang tua pada umumnya yang memang menghadapi masalah karena adanya berbagai perkembangan dalam masyarakat yang berpengaruh terhadap kehidupan keluarga, dalam masyarakat manapun ada saja orang tua tertentu yang memang tidak bisa mengasuh dan mendidik anaknya dengan baik. Kita masih ingat misalnya kasus Arie Hanggara yang tewas di tangan ayah kandungnya sendiri setelah menjalani hnkuman melebihi batas yang dijatuhkan ayahnya karena kesalahan-kesalahan yang memang biasa dilakukan oleh anak-anak seusianya. Sebagian orang tua yang bertipe seperti ayahnya Arie Hanggara ini mungkin memang tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk mendidik anak, sedangkan se-bagian yang lain mungkin memang mempunyai kelainan atau gangguan jiwa atau bahkan hanya sekedar sikap yang kurang baik, 1 sehingga mereka salah mengasuh dan mendidik anak sampai akhirnya terjadilah anak-anak yang bermasalah.

Pengasuhan dan pendidikan yang salah ini oleh Kempe & Heifer digambarkan sebagai lingkungan yang khas untuk anak-anak yang memberi pengaruh yang khusus pula. Mereka mena-makan lingkungan yang khas ini dengan istilah "World of Abnormal Rearing" (dunia pengasuhan yang ti.dak normal) yang dising-kat WAR (arti harafiahnya: "perang").

Arti WAR didefinisikan sebagai: kondisi di mana lingkungan tidak memungkinkan anak untuk mempelajari kemam-puan-kemampuan yang paling dasar dalam hubungan antar-manusia (Kempe & Heifer, 1980, him. 38). Selanjutnya dikatakan bahwa ciri-ciri WAR adalah sebagai berikut (tidak perlu semua ciri terdapat dalam suatu WAR tertentu):

1. Anak dipukuli (pada sebagian keluarga WAR)

2. Anak disalahgunakan secara seksual (misalnya dijadikan korban incest atau dipaksakan kawin pada usia masih kanak-kanak, ini pun hanya pada sebagian keluarga WAR)

3. Anak tidak diperdulikan (ini lebih banyak terjadi)

4. Anak dianggap seperti anak kecil terus atau dianggap tidak berarti (paling banyak terjadi). Sebagai akibat dari WAR, maka anak-anak menjadi terkckang sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik di luar rumah sendiri. Dengan perkataan lain keluarga WAR seringkali dianggap sebagai lingkungan keluarga di mana banyak terjadi penelantaran dan penyalahgunaan anak. Secara sosiologis, faktor-faktor yang ada kaitannya dengan penelantaran dan penyalahgunaan anak ini menurut Wolff (1981) adalah sebagai berikut:


(2)

1. Dalam lingkungan masyarakat modern, keluarga modern terisolasi dari lingkungannya sehingga apa yang terjadi dalam keluarga itu tidak dapat sepenuhnya dipantau oleh tetangga-tetangganya.

2. Kepcntingan bersama antara anak dan orang tua makin lama makin melemah sehingga sekarang makin banyak pasangan suami-istri yang tidak ingin mempunyai anak dan kalau ada anak di rumah mudah timbul sikap negatif pada terhadap anak-anak.

3. Anggota-anggota keluarga makin jarang berada di rumah oleh karena adanya kegiatan-kegiatan lain seperti keharusan untuk bekcrja, sekolah, dan sebagainya, yang sebagian besar dilakukan di luar rumah. Ikatan antaranggota keluarga se-makin mengendor sehingga terjadilah pcrceraian dan perpisahan antaranggota keluarga yang makin tinggi.

4. Dalam pada itu tujuan dan harapan pendidikan makin lama makin tinggi, sehingga sejak awal anak sudah dipaksa untuk meraih prestasi akademik yang tinggi. Anak menjadi objek dari ambisi-ambisi pendidikan.

5. Faktor ekonomi yang tidak memungkinkan pemerataan walaupun ada pertumbuhan perekonomian yang pesat. Akibatnya golongan sosial ekonomi rendah tetap tcrlibat dalam tekanan ekonomi dan mereka tidak dapat keluar dari situ. Di Amerika Serikat ini terjadi khususnya di kalangan masyarakat kulit berwama dan kaum emigran.

Sementara itu dalam penyelidikannya P.J. Caplan (1984, him. 343-351) menyatakan bahwa berbagai penelitian telah membuktikan bahwa dalam kasus-kasus penelantaran dan pe-nyalahgunaan (termasuk menyakiti anak secara fisik dan/atau psikis) terdapat faktor-faktor tertentu yang seringkali muncul. Pada fihak anak didapat bahwa anak-anak yang menjadi korban penelantaran dan penyalahgunaan anak ini berusia 4-15 tahun, lebih banyak anak laki-laki daripada anak perempuan dan tidak menyandang cacat bawaan. Di Amerika Serikat juga tcrbukti bahwa anak-anak ini berasal dari ibu yang tidak menikah atau pemah mengalami perpisahan dengan keluarga semasa Balita (pisah dari ayah, ditinggal ibu, dimasukkan ke panti asuhan, dan sebagainya). Mengcnai dua hal yang terakhir ini kiranya masih perlu pembuktian lebih lanjut untuk kondisi Indonesia.

Selanjutnya Caplan mengatakan bahwa pada sisi orang tua, faktor-faktor yang sering muncul dalam kasus penelantaran dan penyalahgunaan anak adalah usia orang tua yang masih terlaUj muda, orang tua mengalami gangguan emosional, keadaan sosis ekonomi orang tua rendah, pendidikan juga rendah dan biasan) pekerjaan orang tua hanya sebagai tenaga kasar ("unskilled job") ada riwayat kriminal pada masa lalu orang tua dan ada konflil antar orang tua.

Faktor-faktor yang mengawali penelantaran dan pen) lahgunaan anak menurut Caplan lebih lanjut adalah penya-| lahgunaan obat dan alkohol (alkoholisme) oleh orang tua da tingkah laku anak nampak tidak normal (menangis tanpa alasa nakal berlebihan, dan sebagainya). Caplan justru tidak men mukan banyak anak seperti itu yang orang tuanya menderita sa atau gangguan jiwa yang berat seperti misalnya Psikosis. Hal ir bertentangan dengan anggapan umum bahwa orang tua ya menelantarkan dan menyalahgunakan anaknya tentulah orang tuS yang menderita gangguan jiwa berat.

Anggapan umum ini dapat dimengerti oleh karena bent penelantaran dan penyalahgunaan anak ini bisa berupa tindakarwj tindakan kejam yang melebihi batas perikemanusiaan seper" memukuli anak, mengunci anak dalam gudang berjam-j£ membiarkan anak kedinginan di luar rumah dengan tidak mer bukakan pintu jika anak terlambat pulang, menyiram anak denga air


(3)

panas atau menyulut anak dengan api rokok. Pada kasus ya ekstrim perlakuan iiii bisa sampai mengambil nyawa anak seper yang terjadi pada kasus Arie Hanggara.

Tetapi anggapan-anggapan umum ini, yang dalam bebe*| rapa hal didukung pula oleh hasil penelitian, menurut Capl memang banyak yang tidak benar. Hal-hal lain yang suda menjadi anggapan umum juga terbantah oleh penelitian Capla sendiri yaitu bahwa sebagian besar mereka bukan anak sulun| atau anak pertama (hanya 31% yang anak sulung atau ana" pertama), hanya sedikit yang lahir prematur, hanya sedikit ya ada masalah waktu bayi (sulit tidur, sakit-sakitan, tidak respons dan sebagainya), orang tua anak-anak itu tidak mengalami kete belakangan mental, orangtua bukan orang yang terisolir secasosial (berbeda dari penelitian Wolff tersebut di atas) dan kedua orang tua sama berperan sebagai pelaku (bukan hanya ibu).

Keadaan di Indonesia sendiri sudah barang tentu tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan di Amerika Serikat di mana penelitian-penelitian tersebut di atas dilakukan. Akan tetapi beberapa kecenderungan memang terjadi juga di Indonesia. Misalnya faktor sosial-ekonomi dan faktor pendidikan. Baik karena terdesak oleh kebutuhan ekonomi maupun karena keti-daktahuan orang tua yang bersangkutan, kita bisa menyaksikan banyak anak-anak di bawah umur yang mengalami penelantaran dan penyalahgunaan, misalnya anak yang ditarik dari sekolahnya (biasanya masih di tingkat sekolah dasar) untuk membantu orang—" tuanya mencari nafkah, atau anak-anak dipekerjakan sebagai buruh di industri-industri tertentu atau disuruh bekerja di sektor informal (pedagang kecil, penjaja koran, dan lain-lain). Kadang-kadang keadaan kebudayaan setempat tidak memungkinkan pemisahan anak-anak dari tanggung jawabnya sebagai anggota masyarakat yang sama kewajibannya dengan orang-orang de-wasa. Maka seperti sudah diungkapkan dalam bab yang terdahulu, kita selalu akan menjumpai kasus-kasus seperti yang terjadi di kalangan masyarakat.desa Singapura (kasus 3, Bab II), atau kasus lyah yang dikawinkan pada umur 13 tahun (kasus 3, Bab I) atau Bonar yang harus ngenek Metro Mini dalam usia remajanya (kasus 2, Bab I). Apakah ini merupakan penelantaran dan penyalahgunaan anak? Dari sudut kepentingan anak, apalagi jika digunakan ukuran masyarakat di negara maju, tentunya tidak dapat disangkal lagi. Tetapi ditinjau dari ukuran masyarakat setempat rasanya tidak bisa begitu saja kita nyatakan demikian.

Walaupun demikian, terlepas dari adanya situasi yang khas di Indonesia atau di masyarakat berkembang lainnya, ada hal lain yang memungkinkan terjadinya penelantaran dan penya-lahgunaan anak di masyarakat kita. Hal tersebut adalah sikap orang tua yang cenderung dominan dan hak orang tua atas diri anak adalah mutlak. Hal ini dibenarkan oleh masyarakat, sehingga jika ada orang tua yang bertindak melebihi batas atas diri anaknya, diadakan di dua kota tersebut (Jakarta dan Banjarmasin) bah| remaja pelajar SLTA kelas II tidak bertanya kepada orang tua manakala .mereka membutuhkan sesuatu informasi seperti salnya masalah seksual.

Dari tabel di atas jelas bahwa remaja di Jakarta maupun.J Banjarmasin sedikit sekali bertanya tentang masalah seks kepad ibuny'a daripada kepada sumber-sumber lain. Mungkin hal if tidak sepenuhnya menggambarkan kesenjangan komunikasi tara anak dan orang tua, akan tetapi bagaimanapun jelas bahv kesenjangan itu ada.

Seberapa jauh kadar kesenjangan itu? Penelitian Majala Tempo (No 34, Thn. XI, 24 Oktober 1981) atas diri 203 pelaji SLTP dan SLTA mengungkapkan bahwa 11 % di antara respor mengaku sering tidak menurut pada orang tua dan 63.8% mer aku hanya kadang-kadang saja patuh. Padahal 65.1 % menyata bahwa mereka sering dimintai pendapat oleh orang tua. Artinj ada usaha dari orang tua untuk mendekati anak remajanya. Ha dari usaha ini mungkin bukan


(4)

berupa kepatuhan atau ketaattetapi lebih berupa perasaan hidup dalam keluarga yang bahagia, yang diakui oleh 82.7% dari responden.

Dari uraiandi atasjelaslahbahwatidakbegitumudahuntuk memperkirakan keadaan anak remaja dalam keluarga dalam jnasyarakat yang sedang berkembang. Sifat transisi dari masya-rakat i'u sendiri sudah menyebabkan segala sesuatu tidak terga-riskan dengan jelas. Karena tidak adanya garis yang jelas ini maka kesamaan pandangan, ketaatan, kepatuhan, kedisiplinan antara anak dengan orang tuanya menjadi hal yang tidak lagi mudah untuk dipertahankan.Walaupun demikian, perasaan aman dan bahagia yang timbul pada remaja yang hidup dalam keluarga yang harmonis merupakan hal bagaimanapun akan bisa mempengaruhi daya penyesuaian-sosial pada diri para remaja itu di masa depan. Hal ini kiranya cukup untuk menjadi alasan untuk memper-tahankan lembaga keluarga yang harmonis jika kita menghendaki generasi masa datang yang mampu menyesuaikan diri dengan baik terhadap gelombang-gelombang perubahan norma dan nilai yang akan terus melanda masyarakat kita.

D. Remaja di Sekolah

Sekolah adalah lingkungan pendidikan sekunder. Bagi anak yang sudah bersekolah, maka lingkungan yang setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah sekolahnya. Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP atau SLTA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari di-liwatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja cukup besar.

Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja, karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat di samping mengajarkan berbagai keterampilan dan kepandaian kepada para siswanya. Akan tetapi, seperti halnya juga dengan keluarga, fungsi sekolah sebagai pembentuk nilai dalam diri anak sekarang ini ban} menghadapi tantangan. Khususnya karena sekolah berikut se§ kelengkapannya tidak lagi merupakan satu-satunya lingkung setelah lingkungan keluarga, sebagaimana yang pernahberlaku^ masalalu. Terutama di kota-kota besar, sekarang ini sangat ter adanya banyak lingkungan lain yang dapat dipilih remaja sel sekolahnya: pasar swalayan, pusat perbelanjaan, taman hit atau bahkan sekedar waning di tepi jalan di seberang sekolah at rumah salah seorang teman yang kebetulan sedang tidak tunggui orangtuanya, mungkin saja merupakan altcmatif ya lebih menarik daripada sekolah itu sendiri. Apalagi serin§ motivasi belajar murid memang menurun akibat dari adanj berbagai hal di sekolah.

Salah-satu faktor yang sering dianggap menurunkan motivasi siswa remaja untuk belajar adalah materi pelajaran itu sendi dan guru yang menyampaikan materi pelajaran itu. Menger materi pelajaran serinj dikeluhkan oleh para siswa sebaj membosankan, terlalu sulit, tidak ada manfaatnya um kehidupan sehari-hari, terlalu banyakbahannya untuk waktu ya teirbatas, dan sebagainya. Akan tetapi lebih utama dari fake materi pelajaran, sebenarnya adalah faktor guru. S

Mengenai guru ini, sebuah penelitian di suatu perguruan;.ij Aceh mengungkapkan

kenyataan tentang pendapat siswa tenta cara guru menyampaikan pelajarannya. Pendapat tersebut daf dilihat dalam tabel 5.2.


(5)

guru-guru yang menyajil pelajarannya dengan cara yang kurang menarik. Padahal di ma orang tua, faktor sulitnya pelajaran yang disampaikan guru sedik lebih banyak dikemukakan daripada faktor kurang mej guru tersebut. Kenyataan ini kiranya tidak khas di Aceh saj melainkan sudah umum di seluruh negeri.

Persentase yang hampir separuh dari responden guru yang meny atakan puas terhadap statusn>,J^aknya mendukung temuan dalam survai yang dilakukan majalah Tempo (24 Oktober 1981) yang sudah disebutkan di atas, yang menyatakan bahwa 52.2% dari responden siswa SLTA dan SLTP yang menjadi responden (seluruhnya berjumlah 203 responden) mengakui bahwa hanya kurang dari separuh saja dari guru yang patut disegani. Ini berbeda dari temuan yang sudah diungkapkan di muka, juga dari survai Tempo ini yang menyatakan bahwa terhadap orang tua walaupun mulai banyak yang tidak patuh, namun 82.7% masih merasa hidup dalam keluarga yang bahagia.

E. Remaja Dalam Masyarakat

Masyarakat sebagai lingkungan tertier (ketiga) adala lingkungan yang terluas bagi remaja dan sekaligus paling banj menawarkan pilihan. Terutama dengan maju pesatnya teknoloj komunikasi massa maka hampir-hampir tidak ada batas-bat geografis, etnis, politis maupun sosial antara satu masyara dengan masyarakat lainnya. Waktu "Breakdance" digandrungf remaja di Amerika Serikat, di lapangan Parkir Timur Senaya Jakarta, setiap malam Minggu ada pameran keterampilan ber "breakdance" yang merupakan acara spontanitas dari remaja remaja Jakarta. Tetapi yang lebih menakjubkan buday| "breakdance" ini juga menyebar ke seluruh pelosok tanah ail Demikian pula gaya busana wanita Timur Tengah (berkerudv makin lama makin banyak dipakai wanita dan remaja putri di: donesia. Bahkanbahasa "Prokem", yaitu bahasayangkhasremajj (kata-katanya diubah-ubah sedemikian rupa sehingga hanya bis dimengerti di antara mereka) bisa difahami oleh harnpir selur remaja di tanah air yang terjangkau oleh media massa, pada istilah-istilah itu berkembang, berubah dan bertambah hamj setiap hari. Salah-satu contoh dari efektifhya media massa unt menyebarkan suatu istilah baru adalah ketika istilah "Hebringl (artinya: hebat) sering diucapkan oleh salah seorang pema (Connie Suteja) sandiwara TV "Pondokan" di tahun 1988. Istila itu menjadi istilah yang sering dipakai oleh masyarakat terlepa dari batasan usia, kelas sosial-ekonomi, dan sebagainya.

Tetapi tidak saja istilah yang berhasil disebarluaskan ole media massa. Semua hal lain yang menyangkut gaya hidup, nila dan perilaku juga dimasyarakatkan. Pada gilirannya remaja: dihadapkan kepada berbagai pilihan yang tidak jarang menimbu kan pertentangan batin di dalam din remaja itu sendiri. Per tangan batin itu bisa berupa "konflik" (menurut istilah Kt Lewin) yang ada beberapa macam jenisnya (Sarlito, 1986, 144), yaitu:

1. Konflik mendekat-mendekat: di mana ada dua hal yang sa kuat nilai positifhya, tetapi saling bertentangan. Misalnya sudah janji kepada kawan-kawannya untuk ikut berkemah (merupakan hal positif pertama), tetapi ia tidak mau memban-tah orang tuanya yang masih diseganinya (hal positif kedua).

2. Konflik menjauh-menjauh: di mana ada dua hal yang hams dihindari akan tetapi tidak mungkin keduanya dihindari sekaligus. Misalnya: seorang remaja tahu bahwa teman-temannya banyak yang nakal bahkan menjurus kepada kejahatan (hal negatif pertama). la ingin menyingkir dari kelompok itu, tetapi ia tidak berpaling kepada orang tuanya karena ia


(6)

sudah jenuh, bosan dan marah kepada orang tuanya (hal negatif kedua).

3. Konflik mendekat-menjauh: yaitu jika suatu hal tertentu sekaligus mengandung nilai positif dan negatif. Misalnya seorang anak diajak menonton film cabul di rumah seorang kawannya. la sangat ingin menonton film itu karena keingin-tahuannya (nilai positif), tetapi ia pun tahu bahwa film itu tidak boleh dilihatnya (hal negatif).

Pengaruh lingkungan pada tahapnya yang pertama diawali dengan pergaulan dengan teman. Pada usia 9-15 tahun hubungan perkawanan merupakan hubungan yang akrab yang diikat oleh minat yang sama, kepentingan bersama dan saling membagi perasaan, saling tolong-menolong untuk memecahkan masalah bersama. Pada usia ini mereka bisa juga mendengar pendapat fihak ketiga. Pada usia yang anak lebih tinggi 12 tahun ke atas, ikatan emosi bertambah kuat -Oh mereka makin saling mernbu-tuhkan akan tetapi mereka juga saling memberi kesempatan untuk mengembangkan kepribadiannya masing-masing (Selman & Selman, 1979, him. 71-72).

Ikatan emosi yang sangat kuat terbukti antara lain dalam penelitian Arswendo dkk., (1985) terhadap 210 pelajar dari 5 SLTA di Jakarta dan 3 SLTA di Bogor di mana 81.4% dari respon-den itu menyatakan pernah berkelahi dalam 1 tahun yang terakhir. Dalam penelitian yang mencoba menggali faktor-faktor yang berkaitan dengan perkelahian remaja di sekolah ini, terungkap bahwa alasan mereka berkelahi adalah karena lawan yang mulai