Index of /ProdukHukum/kehutanan B U K U

(1)

B U K U:

REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb.

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan buku Rekalkulasi Sumber Daya Hutan Indonesia Tahun 2005 yang menampilkan Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain berdasarkan penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2002/2003 untuk seluruh wilayah Indonesia.

Buku Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2005 merupakan pembaharuan hasil rekalkulasi sumber daya hutan pada tahun 2003. Pada edisi tahun 2005 ini, rekalkulasi penutupan lahan Indonesia disajikan dalam 31 provinsi termasuk Provinsi Sulawesi Barat. Beberapa penyempurnaan juga telah dilakukan, antara lain pada visualisasi hasil perhitungan dalam bentuk grafik serta penyajian data pendukung.

Data dan informasi yang tersaji dalam buku ini merupakan basis data penutupan lahan yang dapat diolah lebih lanjut sesuai dengan kebutuhan pengguna. Diharapkan data dan informasi penutupan lahan di dalam dan di luar kawasan hutan dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam pembangunan baik secara regional maupun nasional serta dapat mendukung perencanaan pembangunan wilayah yang terintegrasi sebagai satu kesatuan ekosistem.

Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi pembangunan kehutanan dengan memperhatikan berbagai komitmen tentang pembangunan kehutanan yang mengacu pada Resource Base Management.

Wassalamu’alaikum wr.wb.

Jakarta, Oktober 2005 Dr. Ir. BOEN M. PURNAMA, MSc NIP. 080 037 272

ABSTRAK

Penutupan lahan pada kawasan hutan, terutama yang terkait dengan tutupan hutan berubah dengan cepat dan sangat dinamis. Kondisi hutan yang semakin menurun dan berkurang luasnya telah menyebabkan laju pengurangan hutan pada kawasan hutan mencapai angka ± 2,84 juta ha/tahun pada periode 1997 – 2000 atau ± 8,5 juta ha selama 3 tahun. Tingginya tekanan terhadap keberadaan hutan telah mendorong dilakukannya monitoring sumber daya hutan secara periodik dengan interval waktu 3 tahunan. Diharapkan dari hasil monitoring dapat diketahui: 1) Kondisi hutan Indonesia terkini sebagai bahan pendukung dalam perencanaan pembangunan kehutanan di masa yang akan datang; 2) Laju perubahan penutupan hutan sebagai bahan monitoring dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan; 3) Kecenderungan perubahannya di masa yang akan datang sehingga dapat diantisipasi perubahan ke arah yang tidak diinginkan.

Rekalkulasi atau penghitungan ulang telah dilakukan terhadap kawasan hutan seluruh Indonesia berdasarkan data digital penutupan lahan skala 1:250.000 hasil penafsiran citra landsat 7 ETM+ liputan tahun 2002/2003. Rekalkulasi dilakukan terhadap keberadaan dan luas tutupan lahan berhutan pada kawasan hutan, baik pada kawasan hutan yang memiliki fungsi konservasi, lindung maupun produksi dan Areal Penggunaan Lain di seluruh Indonesia.

Hasil rekalkulasi menunjukkan bahwa lahan berhutan terdapat pada: 1) Hutan lindung seluas 22,10 juta ha (23,53 %); 2) Hutan konservasi seluas 14,37 juta ha (15,29 %); 3) Hutan produksi seluas 49,49 juta ha (52,70 %) dan 4) Areal penggunaan lain seluas 7,96 juta ha (8,47 %). Persentase dihitung terhadap luas lahan berhutan seluruh Indonesia seluas 93,92 juta ha.


(2)

Perubahan penutupan lahan hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000 terhadap liputan tahun 2002/2003 yang diperlihatkan oleh persentase penutupan lahan terhadap luas total daratan Indonesia untuk masing-masing liputan, menunjukkan peningkatan persentase penutupan lahan berhutan pada sebagian besar pulau kecuali Sumatera dan Kalimantan. Namun peningkatan persentase lahan berhutan selain dapat disebabkan oleh adanya kegiatan reforestasi juga karena bertambahnya data baru yang dapat diamati .

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang masih memiliki hutan tropis terluas setelah Brazil dan Zaire. Keberadaan hutan tropis Indonesia menjadi sangat penting, karena merupakan bagian dari paru-paru dunia. Oleh karena itu banyak negara maju merasa berkepentingan untuk menyelamatkan hutan tropis yang masih tersisa dari kerusakan, melalui berbagai kerjasama dan bantuan pendanaan kegiatan untuk mempertahankan dan meningkatkan luas tutupan hutan.

Hutan sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa ini, untuk dikelola bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan menjamin luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional, sehingga dapat memberikan manfaat ekologi, sosial dan ekonomi secara simultan, optimal dan berkesinambungan bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang, sebagaimana diamanatkan pada pasal 3 UU tentang Kehutanan No. 41 tahun 1999.

Untuk mewujudkan optimalisasi manfaat hutan, pemerintah telah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan secara proporsional dan penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai dan atau pulau, yaitu minimal 30 % (tiga puluh persen), seperti dituangkan pada pasal 18 UU No. 41 tahun 1999. Kawasan hutan dimaksud kemudian dideliniasi sesuai dengan fungsinya, yaitu sebagai hutan konservasi, lindung atau produksi.

Sementara itu penutupan lahan pada kawasan hutan, terutama yang terkait dengan tutupan hutan sangat dinamis dan berubah dengan cepat dimana kondisi hutan semakin menurun dan berkurang luasnya. Berdasarkan data yang ada, luas hutan selama periode 1985 – 1997 untuk tiga pulau besar (Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi) telah berkurang seluas ± 1,6 juta ha/tahun. Sedangkan perhitungan untuk lima pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Maluku menunjukkan luas penutupan hutan telah berkurang seluas ± 1,8 juta ha/tahun, atau lebih dari 21 juta ha selama kurun waktu tersebut yang setara dengan luas Pulau Jawa. Untuk periode 1997 – 2000 laju pengurangan hutan di dalam kawasan hutan mencapai angka ± 2,84 juta ha/tahun atau ± 8,5 juta ha selama 3 tahun.

Beberapa kegiatan yang ditengarai sebagai penyebab pengurangan luas hutan adalah konversi kawasan hutan untuk tujuan pembangunan sektor lain misalnya untuk perkebunan dan transmigrasi; pencurian kayu atau penebangan liar (illegal logging); perambahan dan okupasi lahan serta kebakaran hutan.

Tingginya tekanan terhadap keberadaan hutan telah mendorong dilakukannya monitoring sumber daya hutan secara periodik dengan interval waktu 3 tahunan. Diharapkan dari hasil monitoring dapat diketahui: 1. kondisi hutan Indonesia terkini sebagai bahan pendukung dalam perencanaan pembangunan kehutanan di masa yang akan datang; 2. laju perubahan penutupan hutan sebagai bahan monitoring dan pengawasan terhadap pengelolaan hutan yang telah dilaksanakan; 3. kecenderungan perubahannya di masa yang akan datang sehingga dapat diantisipasi perubahan ke arah yang tidak diinginkan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dilakukan rekalkulasi atau penghitungan ulang terhadap keberadaan dan luas tutupan lahan berhutan dan tidak berhutan pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain. Penghitungan ulang penutupan lahan Indonesia dilakukan berdasarkan hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2002/2003.

B.

Tujuan

Tujuan dilakukan rekalkulasi sumberdaya hutan adalah untuk menyajikan data kondisi penutupan lahan terbaru pada kawasan hutan (hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi) dan areal penggunaan lain sebagai bahan dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan secara lestari (Sustainable Forest Management), mulai dari aspek perencanaan sampai pada pemantauan dan evaluasi.


(3)

Tersedianya data dan informasi penutupan lahan Indonesia terkini, meliputi luas dan sebarannya (peta) pada Hutan Konservasi, Hutan Lindung, dan Hutan Produksi serta Areal Penggunaan Lain.

D.

Ruang Lingkup

Penutupan lahan pada 31 provinsi di seluruh Indonesia, baik pada Kawasan Hutan maupun Areal Penggunaan Lain yang dirinci ke dalam 23 kelas jenis penutupan hutan, kelompok hutan dan non hutan serta kondisi hutan (primer dan sekunder).

BAB II

METODOLOGI

A. Sumber Data

Data yang digunakan dalam rekalkulasi sumberdaya hutan adalah data digital yang tersedia pada Pusat Inventarisai dan Perpetaan Kehutanan Badan Planologi Kehutanan pada tingkat ketelitian skala 1:250.000. Data tersebut meliputi:

1. Data digital penutupan lahan hasil penafsiran citra Landsat 7 ETM+ liputan tahun 2002/2003. Penutupan lahan diklasifikasi menjadi 23 klas, yaitu sebagai berikut:

a. Hutan;

1. Hutan lahan kering primer 2. Hutan lahan kering sekunder 3. Hutan rawa primer

4. Hutan rawa sekunder 5. Hutan mangrove primer 6. Hutan mangrove sekunder 7. Hutan tanaman

b. Non Hutan; 1. Semak/Belukar 2. Belukar rawa 3. Savana 4. Perkebunan

5. Pertanian lahan kering

6. Pertanian lahan kering dan Semak 7. Transmigrasi

8. Sawah 9. Tambak 10. Tanah Terbuka 11. Pertambangan 12. Pemukiman 13. Rawa 14. Airport


(4)

16. Awan

17. Tidak Ada Data

2. Data digital kawasan hutan bersumber dari Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan untuk 24 provinsi (Tahun 1999-2004) termasuk didalamnya 5 provinsi yang merupakan hasil pemekaran wilayah (Provinsi Banten, Bangka Belitung, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara), sedangkan untuk Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah bersumber dari Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). Penutupan lahan disajikan pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain. Kawasan Hutan berdasarkan fungsinya terdiri dari Hutan Lindung, Hutan Konservasi (KSA-KPA dan Taman Buru), Hutan Produksi (Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK)). B. Analisa dan Penyajian Data

Rekalkulasi sumber daya hutan dilaksanakan melalui analisa data penutupan lahan pada kawasan hutan provinsi dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis. Tahapan rekalkulasi adalah sebagai berikut :

1. Penyiapan data digital kawasan hutan dan penutupan lahan provinsi, 2. Overlay data digital penutupan lahan dengan data kawasan hutan,

3. Penghitungan luas penutupan lahan pada setiap kawasan hutan. Dalam penghitungan luas menggunakan spesifikasi: proyeksi yang digunakan adalah Mercator, spheroid WGS 84, angka luas dibulatkan kedalam ribu ha (belum memperhatikan tubuh air: danau dan sungai besar).

4. Penyajian luas penutupan lahan dalam bentuk peta, diagram dan tabel. Proses selengkapnya disajikan pada Bagan 1.

Gambar 1. Bagan Alur Proses Rekalkulasi Sumberdaya Hutan

BAB III

HASIL REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN


(5)

Salah satu hasil rekalkulasi penutupan lahan Indonesia berdasarkan data digital hasil penafsiran citra landsat 7 ETM+ liputan tahun 2002/2003 berupa peta penutupan lahan Indonesia tahun 2003 yang tersaji pada Gambar 2.

Sumber : Data Digital Penutupan Lahan Hasil Penafsiran Citra Landsat 7 ETM+ Liputan Tahun 2002/2003

Gambar 2. Peta Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2003

Kalkulasi penutupan lahan dilakukan terhadap seluruh daratan Indonesia seluas 187,9 juta ha pada 7 kelompok pulau besar atau 31 provinsi, yang terdiri dari kawasan hutan seluas 133,57 juta ha atau 71,1 % dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 54,34 juta ha atau 28,9 % (Tabel III.1). Persentase dihitung terhadap luas seluruh daratan Indonesia (187,9 juta ha). Hasil rekalkulasi penutupan lahan selengkapnya adalah:

1. Luas penutupan lahan berhutan adalah 93,92 juta ha atau 49,9 %, non hutan seluas 83,21 juta ha atau 44,3 % dan tidak teramati karena tertutup awan atau tidak tersedia data seluas 10,73 juta ha atau 5,7 %. (Tabel III.1 dan Gambar 3).

Gambar 3. Diagram Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2003

2. Penutupan lahan pada kawasan hutan sebesar 71,1 % atau 133,48 juta ha, 45,7 % atau 85,96 juta ha masih berhutan, 20,8 % atau 39,09 juta ha merupakan lahan tidak berhutan (non hutan) dan selebihnya 4,5 % atau 8,52 juta ha tidak teramati karena awan dan tidak ada data (Tabel III.1). Persentase dihitung terhadap luas seluruh daratan Indonesia (187,9 juta ha).


(6)

Gambar 4. Diagram Penutupan Lahan Indonesia Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan

3. Penyebaran penutupan lahan berhutan untuk total kawasan hutan dan areal penggunaan lain menurut kelompok pulau besar, yang terluas terdapat di Pulau Papua yaitu seluas 31,73 juta ha atau 33,8 % dari luasan total lahan berhutan 93,92 juta ha, dan Kalimantan seluas 25,44 juta ha atau 27,1 %, sedangkan yang terkecil adalah pada Pulau Bali dan Nusa Tenggara seluas 1,41 juta ha atau 1,5 %. Pulau-pulau yang lain memiliki luas penutupan lahan hutan kurang dari 15 %. Data selengkapnya tersaji pada Tabel III.2. Tabel III.2 Penutupan Lahan Berhutan pada 7 Kelompok Pulau Besar

Gambar 5. Diagram Penutupan Lahan Berhutan pada 7 Kelompok Pulau Besar

4. Penyebaran penutupan lahan berhutan pada kawasan hutan seluruh Indonesia adalah 14,37 juta ha atau 15,29 % terdapat pada kawasan hutan konservasi, 22,10 juta ha atau 23,53 % pada kawasan hutan lindung dan 49,50 juta ha atau 52,70 % pada kawasan hutan produksi. Lahan behutan pada Areal Penggunaan Lain seluas 7,96 juta ha atau 8,47 % (Tabel III.3). Persentase dihitung terhadap luas total lahan berhutan Indonesia seluas 93,92 juta ha.


(7)

Gambar 6. Diagram Penutupan Lahan Berhutan Indonesia Di Dalam dan Di Luar Kawasan Hutan

5.

Kondisi kawasan hutan dapat dikelompokkan atas hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman (Tabel III.4). Pada penutupan lahan berhutan seluas 93,92 juta ha, 44,77 juta ha atau 47,7 % merupakan hutan primer, 45,15 juta ha atau 48,1 % merupakan hutan sekunder dan selebihnya merupakan hutan tanaman, yaitu seluas 4 juta ha (4,3 %). Kondisi hutan primer terluas pada hutan lindung, sedangkan hutan sekunder umumnya terdapat pada hutan produksi, dan sebagian pada hutan lindung. Kondisi hutan pada areal penggunaan lain sebagian besar merupakan hutan sekunder. Hutan tanaman banyak terdapat pada hutan produksi.


(8)

Gambar 7. Diagram Kondisi Penutupan Lahan Berhutan

Luas penutupan lahan berdasarkan kondisi hutan per fungsi kawasan hutan untuk masing-masing provinsi disajikan pada lampiran 1. Sedangkan kondisi penutupan lahan berdasarkan 23 klas penutupan beserta peta per provinsi untuk 31 provinsi disajikan secara lengkap pada Lampiran 2.

B.

Rekalkulasi pada Kawasan Hutan Konservasi (KSA-KPA)

Penutupan lahan pada kawasan hutan konservasi meliputi penutupan lahan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru.

Berdasarkan hasil penghitungan luas penutupan lahan pada hutan konservasi per provinsi pada Tabel III.5, terlihat bahwa :

a.

Provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan lebih dari 80 % terhadap luas total kawasan hutan konservasi wilayahnya, terdapat di Pulau Sumatera (Provinsi N.A Darussalam: 89,2 % atau 734,3 ribu ha dari luasan 823,2 ribu ha, Sumatera Utara: 88 % atau 237,6 ribu ha dari luasan 269,9 ribu ha, Riau: 88,5 % atau 325,2 ribu ha dari luasan 367,6 ribu ha, Bengkulu: 87,6 % atau 399,8 ribu ha dari luasan 456,5 ribu ha), Pulau Jawa (Jawa Timur 83,6 % atau 191,4 ribu ha dari luasan 228,8 ribu ha) dan Pulau Sulawesi (Provinsi Gorontalo: 88 % atau 170,8 ribu ha dari luasan 194,1 ribu ha, Sulawesi Tengah: 81,7 % atau 495,8 ribu ha dari luasan 607,1 ribu ha, Sulawesi Utara: 81,4 % atau 201,7 ribu ha dari luasan 247,9 ribu ha).

b.

Provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan berkisar 50 - 80 % terhadap luas total kawasan hutan konservasi wilayahnya terdapat di Pulau Sumatera (Provinsi Sumatera Barat: 79 % atau 608,5 ribu ha dari luasan 770,6 ribu ha, Jambi: 59 % atau 418,4 ribu ha dari luasan 709,7 ribu ha), Pulau Jawa (Provinsi Jawa Barat: 74,5 % atau 98,6 ribu ha dari luasan 132,3 ribu ha, Banten: 73,9 % atau 61,6 ribu ha dari luasan 83,4 ribu ha), Pulau Sulawesi (Provinsi Sulawesi Selatan: 75,3 % atau 97,4 ribu ha dari luasan 129,4 ribu ha), Pulau Bali dan Nusatenggara (Provinsi Bali: 71,5 % atau 17,1 ribu ha dari luasan 23,9 ribu ha dan seluruh provinsi di Pulau Kalimantan, Pulau Maluku dan Maluku Utara serta Papua.

c.

Provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan kisaran 25 - 50 % terdapat di Pulau Sumatera (Provinsi Sumatera Selatan: 48,7 %, Lampung: 35,9 %), Pulau Jawa (Provinsi DIY: 43,4 %, Jawa Tengah: 31 %), Pulau Sulawesi (Provinsi Sulawesi Tenggara: 43,3 %), Pulau Bali dan Nusatenggara (Provinsi NTT: 44,8 %, NTB: 31,7 %).

d.

Pulau Jawa merupakan pulau yang memiliki provinsi dengan penutupan lahan hutan paling kecil yaitu provinsi DKI Jakarta seluas 100 ha (20,6 % dari luasan 400 ha). Sedangkan provinsi yang tidak memiliki kawasan hutan konservasi adalah Provinsi Bangka Belitung (Pulau Sumatera).

Data penutupan lahan di kawasan hutan konservasi selengkapnya disajikan pada Tabel III.5 berikut ini : Tabel III.5 Luas Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Konservasi per Provinsi (Ribu Ha)


(9)

Hutan Konservasi terdiri dari: Kawasan Suaka Alam (KSA), yang meliputi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa; Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yang meliputi Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam; serta Taman Buru. Masing-masing kawasan memiliki karakteristik yang berbeda sehingga pengelolaannya pun akan berbeda pula. Kondisi penutupan lahan pada masing-masing kawasan konservasi merupakan bahan pertimbangan dalam penyusunan rencana pengelolaannya.

C.

Rekalkulasi pada Kawasan Hutan Lindung (HL)

Berdasarkan hasil penghitungan luas penutupan lahan pada hutan lindung per provinsi pada Tabel III.6, terlihat bahwa :

0.

Provinsi Kalimantan Tengah memiliki lahan berhutan terluas di dalam kawasan hutan lindungnya yaitu 95,5 % atau 797,1 ribu ha dari luasan 834,7 ribu ha. Sedangkan provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan ≥ 80 % selain Provinsi Kalimantan Tengah yaitu Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (84,5 % atau 1,57 juta ha dari luasan 1,86 juta ha), Jawa Timur (85,3 % atau 300,3 ribu ha dari luasan 351,9 ribu ha), Kalimantan Barat (80 % atau 1,84 juta ha dari luasan 2,30 juta ha), Kalimantan Timur (83,5 % atau 2,33 juta ha dari luasan 2,79 juta ha), Gorontalo (80,7 % atau 139,0 ribu ha dari luasan 172,3 ribu ha), Sulawesi


(10)

Tengah (85,5 % atau 1,14 juta ha dari luasan 1,34 juta ha) dan Papua (83,1 % atau 7,59 juta ha dari luasan 9,15 juta ha).

1.

Provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan pada kawasan hutan lindungnya berkisar 50 – 80 % terdapat di Pulau Sumatera (Provinsi Riau: 65,6 % atau 254,2 ribu ha dari luasan 387,4 ribu ha, Sumatera Barat: 59,4 % atau 556,9 ribu ha dari luasan 938,2 ribu ha, Bengkulu: 70,6 % atau 173,6 ribu ha dari luasan 245,9 ribu ha, Jambi: 70,1 % atau 121,5 ribu ha dari luasan 173,3 ribu ha), Pulau Jawa (Provinsi Banten: 60,8 % atau 18,2 ribu ha dari luasan 30 ribu ha, DKI Jakarta: 65,5 % atau 78 ha dari luasan 119 ha, Jawa Barat: 56,6 % atau 164,7 ribu ha dari luasan 290,9 ribu ha, Jawa Tengah: 63,2 % atau 47,1 ribu ha dari luasan 74,6 ribu ha), Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Selatan: 75,3 % atau 367,8 ribu ha dari luasan 488,8 ribu ha), Pulau Sulawesi (Provinsi Sulawesi Utara: 52,2 % atau 95,6 ribu ha dari luasan 183,0 ribu ha, Sulawesi Tenggara: 65 % atau 701,9 ribu ha dari luasan 1,08 juta ha, Sulawesi Barat: 76 % atau 512,9 ribu ha dari luasan 675,3 ribu ha, Sulawesi Selatan: 53,6 % atau 704,8 ribu ha dari luasan 1,31 juta ha), Pulau Bali dan Nusatenggara (Provinsi NTB: 54,4 % atau 261,2 ribu ha dari luasan 480,4 ribu ha, NTT: 51,5 % atau 358,2 ribu ha dari luasan 695,3 ribu ha), Provinsi Maluku (59,9 % atau 381,0 ribu ha dari luasan 635,7 ribu ha) dan Provinsi Maluku Utara (76,7 % atau 551,3 ribu ha dari luasan 719,1 ribu ha.

2.

Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, DI Yogyakarta dan Bali memiliki lahan berhutan di kawasan hutan lindungnya kurang dari 50 %. Provinsi Lampung memiliki lahan berhutan terkecil yaitu 13,9 % atau 44,4 ribu ha dari luasan 318,1 ribu ha.

3.

Data penutupan lahan pada kawasan hutan lindung selengkapnya disajikan pada Tabel III.6 berikut ini :


(11)

Untuk Provinsi DKI Jakarta dengan luasan lahan berhutan yang minim memerlukan peran kawasan lindung setempat yaitu sempadan sungai, danau dan jalur hijau serta pembangunan hutan kota sebagai upaya konservasi dan pengatur tata air untuk wilayah tersebut.

Hutan lindung merupakan kawasan yang memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, memelihara kesuburan tanah dan mencegah intrusi air laut. Di sisi lain pertambahan penduduk telah menyebabkan meningkatnya tekanan terhadap kawasan hutan, khususnya hutan lindung, untuk memenuhi kebutuhan akan lahan garapan bagi masyarakat sekitar hutan. Terbukanya penutupan lahan berhutan pada hutan lindung akibat penebangan liar dan alih guna lahan menjadi lahan pertanian telah menyebabkan berbagai bencana erosi dan tanah longsor, timbulnya kekeringan pada saat musim kemarau dan banjir pada saat musim hujan, seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini. Untuk mencegah terbukanya penutupan lahan berhutan di hutan lindung, pemanfaatan kawasan hutan lindung yang sesuai dengan daya dukung kawasan dapat dilakukan dengan mempertahankan jenis kayu-kayuan penghasil produk hasil hutan bukan kayu dan tanaman budidaya bagi


(12)

masyarakat. Dengan demikian dapat mengakomodir kepentingan fungsi tata air hutan lindung dan sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar hutan.

D.

Rekalkulasi pada Kawasan Hutan Produksi

Penutupan lahan pada kawasan hutan produksi terdiri dari penutupan lahan di Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK).

0.

Hutan Produksi Tetap (HP)

Berdasarkan hasil penghitungan luas penutupan lahan pada hutan produksi tetap per provinsi pada Tabel III.7, terlihat bahwa :

a.

Provinsi Papua memiliki lahan berhutan terluas yaitu 81,3 % atau 8,09 juta ha dari luasan 9,95 juta ha. Sedangkan provinsi yang memiliki lahan berhutan berkisar antara 50 – 80 % terdapat di Pulau Sumatera (Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: 61,4 % atau 396,5 ribu ha dari luasan 645,5 ribu ha, Riau: 63,8 % atau 1,16 juta ha dari luasan 1,82 juta ha, Sumatera Barat: 64,9 % atau 274,9 ribu ha dari luasan 423,8 ribu ha, Bengkulu: 54 % atau 20,5 ribu ha dari luasan 38,0 ribu ha), Pulau Jawa (Provinsi Jawa Tengah: 69,6 % atau 331,0 ribu ha dari luasan 475,6 ribu ha, DI Yogyakarta: 69,9 % atau 8,8 ribu ha dari luasan 12,6 ribu ha, Jawa Timur: 76,8 % atau 647,5 ribu ha dari luasan 842,6 ribu ha), Pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Tengah; 54,9 % atau 3,29 juta ha dari luasan 5,99 juta ha), Pulau Sulawesi (Provinsi Sulawesi Utara: 51,5 % atau 34,2 ribu ha dari luasan 66,4 ribu ha, Gorontalo: 61,9 % atau 61,5 ribu ha dari luasan 99,4 ribu ha, Sulawesi Tengah: 67,8 % atau 315,9 ribu ha dari luasan 465,9 ribu ha , Sulawesi Barat: 66,3 % atau 42,7 ribu ha dari luasan 64,4 ribu ha), Provinsi NTT (54 % atau 169,4 ribu ha dari luasan 313,8 ribu ha) dan Provinsi Maluku Utara (60,8 % atau 323,4 ribu ha dari luasan 531,5 ribu ha).

b.

Provinsi yang memiliki lahan berhutan kurang dari 50 % yaitu Provinsi Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Bali, NTB dan Maluku.

c.

Provinsi yang memiliki lahan berhutan kurang dari 5 % yaitu Lampung (4,9 % atau 8,2 ribu ha dari luasan 169,9 ribu ha), DKI Jakarta (2,8 % atau 6 ha dari 200 ha) dan Bali (4,5 % atau 100 ha dari luasan 2,1 ribu ha).

Data penutupan lahan pada kawasan hutan produksi tetap, selengkapnya disajikan pada Tabel III.7 berikut ini :


(13)

Kawasan hutan produksi tetap umumnya diperuntukkan bagi pemanfaatan hasil hutan kayu. Dari 31 provinsi di seluruh Indonesia, 16 provinsi diantaranya memiliki penutupan lahan berhutan di hutan produksi tetap lebih dari 50 %.

Kondisi Hutan Produksi Tetap didominasi oleh jenis hutan sekunder kecuali pulau Papua yang masih memiliki hutan primer cukup luas. Hutan sekunder di Pulau Sumatera meliputi 2,56 juta ha sedangkan hutan primernya hanya 142,7 ribu ha. Pulau Jawa memiliki hutan tanaman yang terluas dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya (antara lain tanaman jati dan pinus, sesuai kelas perusahaan yang dikelola oleh Perum Perhutani). Pulau Bali, Sulawesi dan Papua memiliki hutan tanaman yang relatif sedikit dibandingkan dengan hutan tanaman di pulau lainnya. Oleh karena itu, kegiatan hutan tanaman di wilayah tersebut dapat lebih dikembangkan guna meningkatkan pasokan kayu untuk memenuhi kebutuhan industri kehutanan.


(14)

Berdasarkan hasil penghitungan luas penutupan lahan pada hutan produksi terbatas per provinsi pada Tabel III.8, terlihat bahwa :

a.

Provinsi Kalimantan Tengah memiliki lahan berhutan terluas sebesar 88 % atau 2,97 juta ha dari luasan 3,38 juta ha. Provinsi-provinsi lain yang memiliki lahan berhutan lebih dari 80 % adalah provinsi Gorontalo (81,1 % atau 285,7 ribu ha dari luasan 352,4 ribu ha), Sulawesi Tengah (83,7 % atau 1,19 juta ha dari luasan 1,42 juta ha) dan Papua (87,2 % atau 3,21 juta ha dari luasan 3,68 juta ha).

b.

Provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan berkisar antara 50-80 % untuk Pulau Sumatera adalah: Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 50,9 % (19,2 ribu ha dari luasan 37,7 ribu ha), Riau 55,1 % (1,28 juta ha dari luasan 2,33 juta ha), Sumatera Barat 61,2 % (136,6 ribu ha dari luasan 223,3 ribu ha), Bengkulu 55,8 % (103,6 ribu ha dari luasan 185,5 ribu ha), Jambi 60,2 % (181,1 ribu ha dari luasan 301,0 ribu ha). Di Pulau Jawa adalah: Jawa Tengah 57,9 % atau 68,3 ribu ha dari luasan 117,8 ribu ha), dan di Kalimantan adalah: Kalimantan Barat 62,5 % (1,5 juta ha dari luasan 2,41 juta ha), Kalimantan Timur 77,7 % (4,02 juta ha dari luasan 5,17 juta ha), Kalimantan Selatan 68,5 % (90,8 ribu ha dari luasan 132,6 ribu ha). Di Pulau Sulawesi adalah: Sulawesi Utara 64,3 % (140,2 ribu ha dari luasan 218,1 ribu ha), Sulawesi Tenggara 68,1 % (314,6 ribu ha dari luasan 462,2 ribu ha), Sulawesi Barat 76,2 % (275,7 ribu ha dari luasan 361,6 ribu ha). Provinsi lainnya adalah: NTB 56,4 % (157,0 ribu ha dari luasan 278,2 ribu ha), Maluku 65 % (604,9 ribu ha dari luasan 929,9 ribu ha), Maluku Utara 70,6 % (468,3 ribu ha dari luasan 663,3 ribu ha).

c.

Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Bali memiliki lahan berhutan kurang dari 50 %. Sedangkan Provinsi Lampung memiliki lahan berhutan dengan persentase terkecil yaitu 14,1 % atau 5 ribu ha dari luasan 35,3 ribu ha.

d.

Data penutupan lahan pada kawasan hutan produksi terbatas, selengkapnya disajikan pada Tabel III.8 berikut ini :


(15)

Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) merupakan cadangan potensi kayu dan sumber benih permudaan alam. Dari hasil rekalkulasi sumberdaya hutan pada seluruh provinsi, sebagian besar provinsi memiliki lahan berhutan kurang dari 80 % dengan penutupan hutan sekunder yang lebih luas dibandingkan hutan primernya. Hanya 4 provinsi yang memiliki lahan berhutan yang lebih dari 80 % yaitu Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Tengah dan Papua.

Pada hutan produksi terbatas, pulau Sumatera dan Jawa memiliki hutan tanaman yang relatif lebih luas dibandingkan pulau-pulau lainnya. Upaya regenerasi jenis-jenis kayu unggulan dan langka penting untuk dipertimbangkan dalam rangka pengembangan hutan tanaman dan mempertahankan keanekaragaman jenis flora endemik yang ada di Indonesia.

2.

Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK)

Berdasarkan hasil penghitungan luas penutupan lahan pada hutan produksi yang dapat dikonversi per provinsi pada Tabel III.9, terlihat bahwa :

a.

Tidak seluruh provinsi memiliki kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. Provinsi NA. Darussalam, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, Lampung, Kalimantan Timur, Bali, NTB dan seluruh provinsi di Pulau Jawa tidak memiliki kawasan HPK.


(16)

b.

Provinsi yang memiliki lahan berhutan lebih dari 70 % adalah Provinsi Sulawesi Tengah (73,9 % atau 201,2 ribu ha dari luasan 272,2 ribu ha) dan Papua (75,9 % atau 6,66 juta ha dari luasan 8,78 juta ha).

c.

Provinsi yang memiliki lahan berhutan berkisar antara 50 – 70 % adalah Provinsi Sumatera Barat (52,1 % atau 93,2 ribu ha dari luasan 178,9 ribu ha), Kalimantan Barat (57,1 % atau 287,9 ribu ha dari luasan 504,3 ribu ha) dan Sulawesi Utara (61,3 % atau 9,4 ribu ha dari luasan 15,3 ribu ha).

d.

Provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan kurang dari 50 % adalah Provinsi Sumatera Utara (16,6 % atau 59,7 ribu ha dari luasan 360,4 ribu ha), Riau (21,3 % atau 982,6 ribu ha dari luasan 4,61 juta ha), Sumatera Selatan (1,2 % atau 7,1 ribu ha dari luasan 590,5 ribu ha), Kalimantan Tengah (31% atau 1,34 juta ha dari luasan 4,32 juta ha), Kalimantan Selatan (20,3 % atau 40,4 ribu ha dari luasan 199,3 ribu ha), Gorontalo (45,7 % atau 9,3 ribu ha dari luasan 21,5 ribu ha), Sulawesi Tenggara (22,3 % atau 38,7 ribu ha dari luasan 173,6 ribu ha), Sulawesi Barat (32,1 % atau 25,9 ribu ha dari luasan 80,7 ribu ha), Sulawesi Selatan (44,3 % atau 10,1 ribu ha dari luasan 22,7 ribu ha), NTT (13 % atau 14,9 ribu ha dari luasan 114,3 ribu ha), Maluku (36,4 % atau 597,3 ribu ha dari luasan 1,64 juta ha) dan Maluku Utara (36,7 % atau 313 ribu ha dari luasan 853,5 ribu ha).

e.

Provinsi Sumatera Selatan memiliki lahan berhutan terkecil seluas 7,1 ribu ha atau 1,2 % dari luasan 590,5 ribu ha.

f.

Provinsi yang memiliki luas kawasan HPK relatif kecil dibandingkan provinsi lainnya adalah Provinsi Sulawesi Utara seluas 15,3 ribu ha dengan penutupan berhutan sebesar 61,3 %.

Data penutupan lahan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi selengkapnya disajikan pada Tabel III.9 berikut ini :

Tabel III.9 Luas Penutupan Lahan pada Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Di-Konversi per Provinsi (Ribu Ha)


(17)

Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK) adalah kawasan hutan di luar hutan tetap dan tidak setiap provinsi memiliki HPK. Umumnya kawasan HPK diperuntukkan bagi kegiatan transmigrasi dan perkebunan, dengan alternatif pelepasan kawasan menjadi kawasan Non Hutan Negara atau Areal Penggunaan Lain (APL).

Pelaksanaan kegiatan transmigrasi dan perkebunan yang belum dilaksanakan sesuai ketentuan dapat mengakibatkan timbulnya okupasi areal oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penyempurnaan pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan yang dapat dikonversi, terutama dalam hal regulasi proses pelepasan kawasan hutan untuk penggunaan non kehutanan, sehingga kegiatan pemanfaatan kawasan tersebut dapat memberikan jaminan sumber daya alam dan keberlangsungan pengusahaannya.

E.

Rekalkulasi pada Areal Penggunaan Lain

Berdasarkan hasil penghitungan luas penutupan lahan pada areal penggunaan lain per provinsi pada Tabel III.10, terlihat bahwa :


(18)

0.

Provinsi yang memiliki lahan berhutan lebih dari 30 % adalah Provinsi Kalimantan Timur (34 % atau 1,64 juta ha dari luasan 4,81 juta ha), Sulawesi Tengah (33,2 % atau 641,3 ribu ha dari luasan 1,93 juta ha), NTT (34,5 % atau 1,07 juta ha dari luasan 3,10 juta ha) dan Papua (57,8 % atau 625,6 ribu ha dari luasan 1,08 juta ha).

1.

Provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan berkisar antara 10-30% di Pulau Sumatera adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (17,3 % atau 392,2 ribu ha dari luasan 2,26 juta ha), Sumatera Barat (11,6 % atau 191,3 ribu ha dari luasan 1,64 juta ha), di Pulau Jawa adalah: Jawa Timur (12,1 % atau 419 ribu ha dari luasan 3,46 juta ha). Di Kalimantan adalah: Kalimantan Barat (16,7 % atau 942,4 ribu ha dari luasan 5,64 juta ha), Kalimantan Tengah (15,8 % atau 10,2 ribu ha dari luasan 64,6 ribu ha), Kalimantan Selatan (10,4 % atau 198,4 ribu ha dari luasan 1,91 juta ha). Di Pulau Sulawesi adalah: Gorontalo (12,9 % atau 44,9 ribu ha dari luasan 348,8 ribu ha), Sulawesi Tenggara (11,3 % atau 123,4 ribu ha dari luasan 1,09 juta ha), Sulawesi Barat (10,5 % atau 51,9 ribu ha dari luasan 496,4 ribu ha). Provinsi lainnya adalah: NTB (22,7 % atau 210,4 ribu ha dari luasan 925,1 ribu ha), Maluku (24,9 % atau 92,3 ribu ha dari luasan 370,5 ribu ha) dan Maluku Utara (25,6 % atau 83,7 ribu ha dari luasan 326,6 ribu ha).

2.

Provinsi Lampung (0,5 % atau 11,3 ribu ha dari luasan 2,43 juta ha) dan DKI Jakarta (0,1 % atau 100 ha dari luasan 70 ribu ha) merupakan provinsi dengan luasan lahan berhutan kurang dari 1 %.

3.

Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas kawasan areal penggunaan lain terkecil seluas 64,6 ribu ha dengan lahan berhutan sebesar 15,8 % atau 10,2 ribu ha dari luasan 64,6 ribu ha.

Data penutupan lahan pada areal penggunaan lain selengkapnya disajikan pada Tabel III.10 berikut ini : Tabel III.10 Luas Penutupan Lahan pada Areal Penggunaan Lain (APL) Per Provinsi (Ribu Ha)


(19)

Dari total Areal Penggunaan Lain seluas 54.34 juta ha, seluas 7.96 juta ha atau 14,6 % merupakan penutupan berhutan. Penutupan lahan berhutan di APL didominasi oleh penutupan hutan sekunder seluas 5,79 juta ha. Keberadaan hutan primer pada APL seluas 1,06 juta ha memerlukan kecermatan dalam pengelolaannya yaitu dalam hal penataan batas dan pemanfaatannya, karena merupakan aset yang penting sebagai sistem penyangga kehidupan di tengah maraknya penebangan di dalam kawasan hutan. Areal ini juga dapat dicadangkan sebagai kawasan hutan negara sebagai alternatif pengganti peran fungsi hutan dari kawasan hutan yang telah terdegradasi. Sebagai contoh, hutan primer di APL pada Provinsi Kalimantan Timur yang meliputi 295,9 ribu ha, sementara kerusakan hutan akibat penebangan liar dan kebakaran hutan terus bertambah.

F.

Perbandingan Persentase Luas Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2000 dan 2003

Penafsiran penutupan lahan Indonesia dengan menggunakan citra landsat 7 ETM+ telah dilakukan berdasarkan liputan tahun 1999/2000 dan tahun 2002/2003. Untuk mengetahui perubahan penutupan lahan antara tahun 1999/2000 sampai tahun 2002/2003, pada Tabel III.11 berikut disajikan perbandingan luas penutupan lahan berdasarkan citra landsat liputan tahun 1999/2000 dan liputan tahun 2002/2003 dalam bentuk persentase terhadap luas total daratan Indonesia.


(20)

Tabel III.11 Perbandingan Persentase Luas Penutupan Lahan Tahun 2000 dan Tahun 2003

Pada tabel di atas terlihat persentase penutupan lahan berhutan di dalam kawasan hutan bertambah untuk Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku dan Papua. Sedangkan Pulau Sumatera dan Kalimantan mengalami pengurangan penutupan lahan berhutan. Bertambahnya penutupan berhutan belum tentu disebabkan oleh adanya reforestasi atau penghutanan kembali, karena persentase Tidak Ada Data umumnya juga berkurang. Hal ini berarti di tahun 2003 ada data baru yang dapat diamati, dimana pada pengamatan tahun 2000 tertutup awan atau tidak tersedia data sedangkan di tahun 2003 teramati berupa penutupan berhutan. Kecuali untuk kawasan hutan di Pulau Jawa, peningkatan persentase lahan berhutan (dari 14,0 % menjadi 16,2 %) diiringi dengan pengurangan lahan non hutan (dari 8,9 % menjadi 6,7 %), dengan persentase yang tetap untuk Tidak Ada Data (0,5 %). Untuk Pulau Sulawesi peningkatan persentase lahan berhutan dibarengi dengan peningkatan lahan non hutan, sedangkan persentase Tidak Ada Data berkurang, sehingga dapat diduga selain reforestasi juga dapat disebabkan oleh adanya data yang baru diketahui.

Perubahan penutupan lahan untuk APL memiliki kecenderungan perubahan yang sama dengan kawasan hutan, kecuali APL di Pulau Sulawesi mengalami penurunan persentase penutupan lahan berhutan, sementara non hutan meningkat dan Tidak Ada Data berkurang. Sedangkan di Papua luas berhutan di APL relative tetap walaupun non hutan meningkat dan Tidak ada Data menurun.

Kondisi penutupan lahan bersifat dinamis dan berubah dengan cepat. Dalam perkembangannya selama tahun 2000 sampai dengan 2003, terjadi perubahan penutupan lahan pada kawasan hutan khususnya pada kawasan hutan produksi. Pada hutan produksi yang terkait dengan HPH terjadi pengurangan jumlah HPH yang cukup signifikan yang berdampak pada berkurangnya perubahan lahan hutan menjadi lahan non hutan. Jumlah HPH pada tahun 2000 sebanyak 362 unit dengan total luas 39,16 juta ha, sedangkan pada tahun


(21)

2003 berkurang menjadi 267 unit dengan total luas 27,80 juta ha. Untuk hutan produksi kaitannya dengan pembangunan HTI juga terjadi perubahan penutupan lahan yang berdampak pada penambahan lahan berhutan. Sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2002, total realisasi penanaman HTI seluruh Indonesia adalah seluas 268.297 ha . Namun realisasi penanaman HTI dalam kurun waktu 2000 – 2003 ini pada citra satelit dengan resolusi sedang akan tampak sebagai lahan terbuka sampai semak/belukar.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, pada tahun 2000 sebaran kawasan konservasi daratan di Indonesia sebanyak 356 unit dengan luas total 17,85 juta ha. Pada tahun 2003 mengalami peningkatan luas kawasan konservasi daratan menjadi 447 unit dengan luas total 21,51 juta ha dan menjadi seluas 4,73 juta ha (39 unit) pada kawasan konservasi laut. Dengan meningkatnya luas kawasan konservasi diharapkan dapat menekan laju deforestasi/ degradasi hutan.

Kegiatan pelepasan kawasan untuk kegiatan perkebunan dan transmigrasi serta penggunaan kawasan untuk kuasa pertambangan juga berpengaruh terhadap dinamika kondisi penutupan lahan. Sampai dengan tahun 2000, kawasan hutan seluas 4,56 juta ha telah dilepaskan untuk digunakan bagi kegiatan perkebunan dan transmigrasi. Adanya moratorium (penghentian sementara) pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan pada tahun 2000 menyebabkan tidak ada lagi pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan sampai dengan tahun 2003 . Akan tetapi moratorium ini hanya berlaku bagi permohonan baru, sedangkan proses permohonan yang sudah berjalan tetap dilanjutkan walaupun sampai tahun 2003 belum ada realisasi pelepasan kawasan hutan. Demikian pula untuk kegiatan transmigrasi, dari 1997 sampai dengan Agustus 2005 tidak ada SK Pelepasan Kawasan Hutan yang diterbitkan.

Kawasan hutan yang telah dipinjampakaikan untuk kegiatan non kehutanan sampai dengan Maret 2005 adalah seluas 76.975,14 ha, dan seluas 76.962,08 ha diantaranya digunakan untuk kegiatan pertambangan terbuka antara lain batubara, emas dmp (dan mineral pengikutnya), serta pengeboran panasbumi (Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan). Kegiatan pertambangan terbuka, termasuk sarana pendukungnya seperti jalan, base camp, dan lainnya, menjadi salah satu sebab terbukanya tutupan hutan menjadi tidak berhutan.

Realisasi tahun 2003 tidak dimasukkan dalam perhitungan untuk menghindari over estimate, karena data

citra landsat yang digunakan merupakan hasil akuisisi dari tanggal 2 Februari 2002 sampai 31 Mei 2003, sedangkan penanaman HTI umumnya dilaksanakan pada musim hujan di akhir tahun. (Sumber data realisasi hutan tanaman: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan).

Berdasarkan surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 603/MENHUTBUN-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.

Kesimpulan

1.

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat 7 ETM+ liputan tahun 2002/2003 Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 133,57 juta ha (71,1 %) dan areal penggunaan lain seluas 54,34 juta (28,9 %). Persentase dihitung terhadap luas seluruh daratan Indonesia (187,9 juta ha).

2.

Berdasarkan hasil rekalkulasi penutupan lahan pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain, terdapat lahan berhutan seluas 93,92 juta ha atau 49,9 % dari luas daratan Indonesia, lahan tidak berhutan seluas 83,21 juta ha (44,3 %) dan tidak teramati karena tertutup awan seluas 10,73 juta ha (5,7 %).

3.

Di dalam kawasan hutan terdapat lahan berhutan seluas 85,96 juta ha atau 45,7 % dari luas daratan Indonesia (187,9 juta ha), lahan tidak berhutan (non hutan) seluas 39,09 juta ha atau 20,8 % dan selebihnya 8,52 juta ha atau 4,5 % tidak teramati (tertutup awan atau tidak tersedia data citra).

4.

Hasil rekalkulasi menunjukkan total penutupan lahan berhutan untuk seluruh Indonesia pada hutan konservasi seluas 14,37 juta ha (72,3 % dari luas total hutan konservasi 19,88 juta ha); hutan lindung seluas 22,10 juta ha (73,5 % dari luas total hutan lindung 30,05 juta ha); hutan produksi tetap seluas 20,62 juta ha (58,5 % dari luas total hutan produksi tetap 35,26 juta ha); hutan produksi terbatas seluas 18,18 juta ha (70,9 % dari luas total hutan produksi terbatas 25,66 juta ha); hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 10,69 juta ha (47 % dari luas total hutan produksi yang dapat dikonversi 22,73 juta ha) dan areal penggunaan lain seluas 7,96 juta ha (14,6 % dari luas total areal penggunaan lain 54,34 juta ha).


(22)

5.

Perbandingan antara hasil penafsiran citra landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000 dengan tahun 2002/2003 berdasarkan persentase penutupan lahan terhadap total luas daratan Indonesia, umumnya terjadi peningkatan penutupan lahan berhutan baik di dalam kawasan hutan maupun APL. Perubahan ini selain disertai oleh penurunan penutupan non hutan juga berkurangnya persentase Tidak Ada Data, sehingga penambahan lahan berhutan dapat disebabkan oleh kegiatan reforestasi dan tersedianya data baru yang dapat diamati.

B.

Saran dan Rekomendasi

1.

Sebagai bahan pertimbangan pembangunan kehutanan yang berorientasi Resource Base Management, data dan informasi hasil rekalkulasi penutupan lahan pada kawasan hutan perlu terus disempurnakan, antara lain dengan data batas kawasan hutan yang lebih akurat dan lebih mendekati kondisi di lapangan.

2.

Guna meningkatkan akurasi data perubahan penutupan lahan, perlu segera dilakukan penyesuaian data dasar yang digunakan, sehingga perubahan penutupan lahan baik dalam angka maupun peta dapat disajikan.

3.

Secara bertahap perlu dilakukan penyusunan basis data spasial terpadu mulai dari di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam satu system. Karena perubahan beberapa data lebih mudah diakses dari level provinsi atau kabupaten/kota (seperti misalnya pemekaran wilayah), maka pemutakhiran data dapat dilakukan dengan lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2000. Statistik Kehutanan 2000. Departemen Kehutanan. Anonimous, 2003. Statistik Kehutanan 2003. Departemen Kehutanan. Anonimous, 2004. Data Strategis Kehutanan 2004. Departemen Kehutanan.


(1)

Hutan Produksi yang dapat di-Konversi (HPK) adalah kawasan hutan di luar hutan tetap dan tidak setiap provinsi memiliki HPK. Umumnya kawasan HPK diperuntukkan bagi kegiatan transmigrasi dan perkebunan, dengan alternatif pelepasan kawasan menjadi kawasan Non Hutan Negara atau Areal Penggunaan Lain (APL).

Pelaksanaan kegiatan transmigrasi dan perkebunan yang belum dilaksanakan sesuai ketentuan dapat mengakibatkan timbulnya okupasi areal oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya penyempurnaan pelaksanaan pengelolaan kawasan hutan yang dapat dikonversi, terutama dalam hal regulasi proses pelepasan kawasan hutan untuk penggunaan non kehutanan, sehingga kegiatan pemanfaatan kawasan tersebut dapat memberikan jaminan sumber daya alam dan keberlangsungan pengusahaannya.

E.

Rekalkulasi pada Areal Penggunaan Lain

Berdasarkan hasil penghitungan luas penutupan lahan pada areal penggunaan lain per provinsi pada Tabel III.10, terlihat bahwa :


(2)

0.

Provinsi yang memiliki lahan berhutan lebih dari 30 % adalah Provinsi Kalimantan Timur (34 % atau 1,64 juta ha dari luasan 4,81 juta ha), Sulawesi Tengah (33,2 % atau 641,3 ribu ha dari luasan 1,93 juta ha), NTT (34,5 % atau 1,07 juta ha dari luasan 3,10 juta ha) dan Papua (57,8 % atau 625,6 ribu ha dari luasan 1,08 juta ha).

1.

Provinsi-provinsi yang memiliki lahan berhutan berkisar antara 10-30% di Pulau Sumatera adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (17,3 % atau 392,2 ribu ha dari luasan 2,26 juta ha), Sumatera Barat (11,6 % atau 191,3 ribu ha dari luasan 1,64 juta ha), di Pulau Jawa adalah: Jawa Timur (12,1 % atau 419 ribu ha dari luasan 3,46 juta ha). Di Kalimantan adalah: Kalimantan Barat (16,7 % atau 942,4 ribu ha dari luasan 5,64 juta ha), Kalimantan Tengah (15,8 % atau 10,2 ribu ha dari luasan 64,6 ribu ha), Kalimantan Selatan (10,4 % atau 198,4 ribu ha dari luasan 1,91 juta ha). Di Pulau Sulawesi adalah: Gorontalo (12,9 % atau 44,9 ribu ha dari luasan 348,8 ribu ha), Sulawesi Tenggara (11,3 % atau 123,4 ribu ha dari luasan 1,09 juta ha), Sulawesi Barat (10,5 % atau 51,9 ribu ha dari luasan 496,4 ribu ha). Provinsi lainnya adalah: NTB (22,7 % atau 210,4 ribu ha dari luasan 925,1 ribu ha), Maluku (24,9 % atau 92,3 ribu ha dari luasan 370,5 ribu ha) dan Maluku Utara (25,6 % atau 83,7 ribu ha dari luasan 326,6 ribu ha).

2.

Provinsi Lampung (0,5 % atau 11,3 ribu ha dari luasan 2,43 juta ha) dan DKI Jakarta (0,1 % atau 100 ha dari luasan 70 ribu ha) merupakan provinsi dengan luasan lahan berhutan kurang dari 1 %.

3.

Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas kawasan areal penggunaan lain terkecil seluas 64,6 ribu ha dengan lahan berhutan sebesar 15,8 % atau 10,2 ribu ha dari luasan 64,6 ribu ha.

Data penutupan lahan pada areal penggunaan lain selengkapnya disajikan pada Tabel III.10 berikut ini : Tabel III.10 Luas Penutupan Lahan pada Areal Penggunaan Lain (APL) Per Provinsi (Ribu Ha)


(3)

Dari total Areal Penggunaan Lain seluas 54.34 juta ha, seluas 7.96 juta ha atau 14,6 % merupakan penutupan berhutan. Penutupan lahan berhutan di APL didominasi oleh penutupan hutan sekunder seluas 5,79 juta ha. Keberadaan hutan primer pada APL seluas 1,06 juta ha memerlukan kecermatan dalam pengelolaannya yaitu dalam hal penataan batas dan pemanfaatannya, karena merupakan aset yang penting sebagai sistem penyangga kehidupan di tengah maraknya penebangan di dalam kawasan hutan. Areal ini juga dapat dicadangkan sebagai kawasan hutan negara sebagai alternatif pengganti peran fungsi hutan dari kawasan hutan yang telah terdegradasi. Sebagai contoh, hutan primer di APL pada Provinsi Kalimantan Timur yang meliputi 295,9 ribu ha, sementara kerusakan hutan akibat penebangan liar dan kebakaran hutan terus bertambah.

F.

Perbandingan Persentase Luas Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2000 dan 2003

Penafsiran penutupan lahan Indonesia dengan menggunakan citra landsat 7 ETM+ telah dilakukan berdasarkan liputan tahun 1999/2000 dan tahun 2002/2003. Untuk mengetahui perubahan penutupan lahan antara tahun 1999/2000 sampai tahun 2002/2003, pada Tabel III.11 berikut disajikan perbandingan luas penutupan lahan berdasarkan citra landsat liputan tahun 1999/2000 dan liputan tahun 2002/2003 dalam bentuk persentase terhadap luas total daratan Indonesia.


(4)

Tabel III.11 Perbandingan Persentase Luas Penutupan Lahan Tahun 2000 dan Tahun 2003

Pada tabel di atas terlihat persentase penutupan lahan berhutan di dalam kawasan hutan bertambah untuk Pulau Jawa, Bali, Sulawesi, Maluku dan Papua. Sedangkan Pulau Sumatera dan Kalimantan mengalami pengurangan penutupan lahan berhutan. Bertambahnya penutupan berhutan belum tentu disebabkan oleh adanya reforestasi atau penghutanan kembali, karena persentase Tidak Ada Data umumnya juga berkurang. Hal ini berarti di tahun 2003 ada data baru yang dapat diamati, dimana pada pengamatan tahun 2000 tertutup awan atau tidak tersedia data sedangkan di tahun 2003 teramati berupa penutupan berhutan. Kecuali untuk kawasan hutan di Pulau Jawa, peningkatan persentase lahan berhutan (dari 14,0 % menjadi 16,2 %) diiringi dengan pengurangan lahan non hutan (dari 8,9 % menjadi 6,7 %), dengan persentase yang tetap untuk Tidak Ada Data (0,5 %). Untuk Pulau Sulawesi peningkatan persentase lahan berhutan dibarengi dengan peningkatan lahan non hutan, sedangkan persentase Tidak Ada Data berkurang, sehingga dapat diduga selain reforestasi juga dapat disebabkan oleh adanya data yang baru diketahui.

Perubahan penutupan lahan untuk APL memiliki kecenderungan perubahan yang sama dengan kawasan hutan, kecuali APL di Pulau Sulawesi mengalami penurunan persentase penutupan lahan berhutan, sementara non hutan meningkat dan Tidak Ada Data berkurang. Sedangkan di Papua luas berhutan di APL relative tetap walaupun non hutan meningkat dan Tidak ada Data menurun.

Kondisi penutupan lahan bersifat dinamis dan berubah dengan cepat. Dalam perkembangannya selama tahun 2000 sampai dengan 2003, terjadi perubahan penutupan lahan pada kawasan hutan khususnya pada kawasan hutan produksi. Pada hutan produksi yang terkait dengan HPH terjadi pengurangan jumlah HPH yang cukup signifikan yang berdampak pada berkurangnya perubahan lahan hutan menjadi lahan non hutan. Jumlah HPH pada tahun 2000 sebanyak 362 unit dengan total luas 39,16 juta ha, sedangkan pada tahun


(5)

2003 berkurang menjadi 267 unit dengan total luas 27,80 juta ha. Untuk hutan produksi kaitannya dengan pembangunan HTI juga terjadi perubahan penutupan lahan yang berdampak pada penambahan lahan berhutan. Sepanjang tahun 2000 sampai dengan 2002, total realisasi penanaman HTI seluruh Indonesia adalah seluas 268.297 ha . Namun realisasi penanaman HTI dalam kurun waktu 2000 – 2003 ini pada citra satelit dengan resolusi sedang akan tampak sebagai lahan terbuka sampai semak/belukar.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, pada tahun 2000 sebaran kawasan konservasi daratan di Indonesia sebanyak 356 unit dengan luas total 17,85 juta ha. Pada tahun 2003 mengalami peningkatan luas kawasan konservasi daratan menjadi 447 unit dengan luas total 21,51 juta ha dan menjadi seluas 4,73 juta ha (39 unit) pada kawasan konservasi laut. Dengan meningkatnya luas kawasan konservasi diharapkan dapat menekan laju deforestasi/ degradasi hutan.

Kegiatan pelepasan kawasan untuk kegiatan perkebunan dan transmigrasi serta penggunaan kawasan untuk kuasa pertambangan juga berpengaruh terhadap dinamika kondisi penutupan lahan. Sampai dengan tahun 2000, kawasan hutan seluas 4,56 juta ha telah dilepaskan untuk digunakan bagi kegiatan perkebunan dan transmigrasi. Adanya moratorium (penghentian sementara) pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan pada tahun 2000 menyebabkan tidak ada lagi pelepasan kawasan hutan untuk kegiatan perkebunan sampai dengan tahun 2003 . Akan tetapi moratorium ini hanya berlaku bagi permohonan baru, sedangkan proses permohonan yang sudah berjalan tetap dilanjutkan walaupun sampai tahun 2003 belum ada realisasi pelepasan kawasan hutan. Demikian pula untuk kegiatan transmigrasi, dari 1997 sampai dengan Agustus 2005 tidak ada SK Pelepasan Kawasan Hutan yang diterbitkan.

Kawasan hutan yang telah dipinjampakaikan untuk kegiatan non kehutanan sampai dengan Maret 2005 adalah seluas 76.975,14 ha, dan seluas 76.962,08 ha diantaranya digunakan untuk kegiatan pertambangan terbuka antara lain batubara, emas dmp (dan mineral pengikutnya), serta pengeboran panasbumi (Pusat Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan). Kegiatan pertambangan terbuka, termasuk sarana pendukungnya seperti jalan, base camp, dan lainnya, menjadi salah satu sebab terbukanya tutupan hutan menjadi tidak berhutan.

Realisasi tahun 2003 tidak dimasukkan dalam perhitungan untuk menghindari over estimate, karena data citra landsat yang digunakan merupakan hasil akuisisi dari tanggal 2 Februari 2002 sampai 31 Mei 2003, sedangkan penanaman HTI umumnya dilaksanakan pada musim hujan di akhir tahun. (Sumber data realisasi hutan tanaman: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan).

Berdasarkan surat Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 603/MENHUTBUN-VIII/2000 tanggal 22 Mei 2000

BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.

Kesimpulan

1.

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat 7 ETM+ liputan tahun 2002/2003 Indonesia memiliki kawasan hutan seluas 133,57 juta ha (71,1 %) dan areal penggunaan lain seluas 54,34 juta (28,9 %). Persentase dihitung terhadap luas seluruh daratan Indonesia (187,9 juta ha).

2.

Berdasarkan hasil rekalkulasi penutupan lahan pada kawasan hutan dan areal penggunaan lain, terdapat lahan berhutan seluas 93,92 juta ha atau 49,9 % dari luas daratan Indonesia, lahan tidak berhutan seluas 83,21 juta ha (44,3 %) dan tidak teramati karena tertutup awan seluas 10,73 juta ha (5,7 %).

3.

Di dalam kawasan hutan terdapat lahan berhutan seluas 85,96 juta ha atau 45,7 % dari luas daratan Indonesia (187,9 juta ha), lahan tidak berhutan (non hutan) seluas 39,09 juta ha atau 20,8 % dan selebihnya 8,52 juta ha atau 4,5 % tidak teramati (tertutup awan atau tidak tersedia data citra).

4.

Hasil rekalkulasi menunjukkan total penutupan lahan berhutan untuk seluruh Indonesia pada hutan konservasi seluas 14,37 juta ha (72,3 % dari luas total hutan konservasi 19,88 juta ha); hutan lindung seluas 22,10 juta ha (73,5 % dari luas total hutan lindung 30,05 juta ha); hutan produksi tetap seluas 20,62 juta ha (58,5 % dari luas total hutan produksi tetap 35,26 juta ha); hutan produksi terbatas seluas 18,18 juta ha (70,9 % dari luas total hutan produksi terbatas 25,66 juta ha); hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 10,69 juta ha (47 % dari luas total hutan produksi yang dapat dikonversi 22,73 juta ha) dan areal penggunaan lain seluas 7,96 juta ha (14,6 % dari luas total areal penggunaan lain 54,34 juta ha).


(6)

5.

Perbandingan antara hasil penafsiran citra landsat 7 ETM+ liputan tahun 1999/2000 dengan tahun 2002/2003 berdasarkan persentase penutupan lahan terhadap total luas daratan Indonesia, umumnya terjadi peningkatan penutupan lahan berhutan baik di dalam kawasan hutan maupun APL. Perubahan ini selain disertai oleh penurunan penutupan non hutan juga berkurangnya persentase Tidak Ada Data, sehingga penambahan lahan berhutan dapat disebabkan oleh kegiatan reforestasi dan tersedianya data baru yang dapat diamati.

B.

Saran dan Rekomendasi

1.

Sebagai bahan pertimbangan pembangunan kehutanan yang berorientasi Resource Base Management, data dan informasi hasil rekalkulasi penutupan lahan pada kawasan hutan perlu terus disempurnakan, antara lain dengan data batas kawasan hutan yang lebih akurat dan lebih mendekati kondisi di lapangan.

2.

Guna meningkatkan akurasi data perubahan penutupan lahan, perlu segera dilakukan penyesuaian data dasar yang digunakan, sehingga perubahan penutupan lahan baik dalam angka maupun peta dapat disajikan.

3.

Secara bertahap perlu dilakukan penyusunan basis data spasial terpadu mulai dari di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam satu system. Karena perubahan beberapa data lebih mudah diakses dari level provinsi atau kabupaten/kota (seperti misalnya pemekaran wilayah), maka pemutakhiran data dapat dilakukan dengan lebih cepat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous, 2000. Statistik Kehutanan 2000. Departemen Kehutanan. Anonimous, 2003. Statistik Kehutanan 2003. Departemen Kehutanan. Anonimous, 2004. Data Strategis Kehutanan 2004. Departemen Kehutanan.