6 PERADABAN EKONOMI KREATIF.

PERADABAN EKONOMI KREATIF
KAJIAN KAMPUNG BATIK, SEBAGAI PERLINDUNGAN
WARISAN BUDAYA KOTA SOLO

Oleh :

Solichul Hadi Achmad Bakri
Koperasi Batik BATARI, Surakarta
Yayasan Pendidikan Batik (YPB), Surakarta
Yayasan Perguruan Tinggi Islam Batik (YAPERTIB), Surakarta

Jl. Slamet Riyadi 183, Surakarta 57131, Telp. (0271) 632453, 642083
Jl. Slamet Riyadi 445-447, Surakarta 57146, Telp. (0271) 712940
Jl. KH. Agus Salim 10, Surakarta, Telp.(0271) 714751, Fax.(0271) 740160
Email: shadibakri@yahoo.com

1. Pendahuluan
Dunia kini memasuki peradaban gelombang keempat, yang disebut dengan era
kreatif. Tiga gelombang sebelumnya, mengutip futurolog Alvin Toffler dalam bukunya
Future Shock (1970), adalah era pertanian, era industri, dan era informasi. Adapun
penggerak utama pertumbuhan ekonomi sebuah bangsa pada era keempat ini adalah

kreativitas dan inovasi. Kedua hal itu menjadi keniscayaan, jika sebuah bangsa ingin
bersaing di tengah dinamika ekonomi dunia yang penuh guncangan. Dalam lima tahun
terakhir, misalnya, dunia diguncang oleh rentetan krisis ekonomi. Pada tahun 2007/2008,
krisis sub prime mortgage terjadi di Amerika Serikat dan mengakibatkan keruntuhan
raksasa-raksasa ekonomi seperti Lehman Brothers, Bear Stearns, dan AIG. Kini, krisis
ekonomi mengguncang Eropa akibat krisis utang di Yunani, yang mengancam
keberlangsungan Zona Euro.
Beruntung dampak krisis global terhadap Indonesia tidak terlalu besar, mengingat
pangsa ekspor Indonesia terhadap GDP hanya sekitar 45%. Angka itu jauh berbeda
dengan Singapura yang mencapai 377% atau Hong Kong yang mencapai 380% (data riset
Standard Chartered Bank). Indonesia juga memiliki ketahanan ekonomi yang kuat dari
sisi cadangan devisa, mencapai USD112,2 miliar di akhir Februari 2012.
Kondisi tersebut merupakan momentum yang harus dimanfaatkan, khususnya oleh
para wirausahawan yang bergerak di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah. Sebab,
ekonomi Indonesia saat ini ditopang oleh konsumsi domestik dan tidak bergantung pada
luar negeri. Menurut catatan Kementerian Koperasi dan UMKM, dalam setahun terakhir
terjadi penambahan wirausahawan baru yang luar biasa, sekitar 3,2 juta. Tentu saja kita
tidak menginginkan penambahan yang tinggi itu tidak disertai kualitas dan kontinuitas
dari usaha yang dilakukan para wirausahawan. Kuncinya adalah inovasi dan kreativitas.
Belakangan ini kita kerap mendengar istilah industri kreatif. Industri ini diartikan sebagai

kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan
pengetahuan dan informasi. Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan, dengan
menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta. Industri kreatif dipandang
semakin penting dalam mendukung kesejahteraan dalam perekonomian. Dalam hal ini
kreativitas manusia adalah sumber daya ekonomi utama.

Semangat pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kreatif, menurut catatan
penulis, setidaknya dimulai ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan
sambutannya dalam acara pembukaan Pekan Produk Budaya Indonesia pada Juli 2007
silam. Ekonomi kreatif, sebagaimana disampaikan Presiden SBY ketika itu, bersumber
dari ide, seni, dan teknologi yang dikelola untuk menciptakan kemakmuran. Penulis juga
mencatat beberapa kali seruan Presiden SBY mengenai pentingnya inovasi dan
kreativitas bagi dunia industri. Hal tersebut menunjukkan besarnya perhatian pemerintah
terhadap ekonomi kreatif. Sampai-sampai ketika melakukan perombakan kabinet pada
Oktober 2011 lalu, Presiden SBY mengubah Kementerian Pariwisata dan Kebudayaan
menjadi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Indonesia.
EKONOMI

EKONOMI


EKONOMI

EKONOMI

PERTANIAN

INDRUSTRI

INFORMASI

KREATIF

AGRICULTURE INDRUSTRIAL INFORMATION CREATIF

GELOMBANG PERTUMBUHAN EKONOMI

Tujuan pembangunan di bidang sosial dan budaya adalah untuk mewujudkan
kesejahteraan rakyat yang ditandai dengan meningkatnya kualitas kehidupan yang layak
dan bermartabat serta memberi perhatian utama pada tercukupinya kebutuhan dasar.

Sasaran umum yang akan dicapai adalah meningkatnya usia harapan hidup, menurunnya
laju pertumbuhan penduduk, menurunnya angka kelahiran total, menurunnya angka
kematian kasar, meningkatnya ketahanan sosial dan budaya, meningkatnya kedudukan
dan peranan perempuan, meningkatnya partisipasi aktif pemuda, serta meningkatnya
pembudayaan dan prestasi olahraga. Untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut, telah
dilaksanakan berbagai kebijakan dan program-program pembangunan di bidang sosial
dan budaya, yang meliputi bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial, termasuk
kependudukan dan keluarga berencana; kebudayaan; kedudukan dan peranan perempuan;
serta pemuda dan olah raga.

2. Kajian Teori
Konsep konomi kreatif merupakan sebuah konsep ekonomi di era ekonomi baru
yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of
knowledge dari Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai faktor produksi utama dalam
kegiatan ekonominya. Struktur perekonomian dunia mengalami transformasi dengan
cepat seiring dengan pertumbuhan ekonomi, dari yang tadinya berbasis Sumber Daya
Alam (SDA) sekarang menjadi berbasis SDM, dari era pertanian ke era industri dan
informasi.
Alvin Toffler (1980) dalam teorinya melakukan pembagian gelombang peradaban
ekonomi kedalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi

pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah gelombang ekonomi
informasi. Kemudian diprediksikan gelombang keempat yang merupakan gelombang
ekonomi kreatif dengan berorientasi pada ide dan gagasan kreatif.
Menurut ahli ekonomi Paul Romer (1993), ide adalah barang ekonomi yang sangat
penting, lebih penting dari objek yang ditekankan di kebanyakan model-model ekonomi.
Di dunia dengan keterbatasan fisik ini, adanya penemuan ide-ide besar bersamaan dengan
penemuan jutaan ide-ide kecil saja yang membuat ekonomi tetap tumbuh. Ide adalah
instruksi yang membuat manusia mengkombinasikan sumber daya fisik yang
penyusunannya terbatas menjadi lebih bernilai. Romer juga berpendapat bahwa suatu
negara miskin karena masyarakatnya tidak mempunyai akses pada ide yang digunakan
dalam perindustrian nasional untuk menghasilkan nilai ekonomi.
Howkins (2008) dalam bukunya “The Creative Economy” menemukan kehadiran
gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor
karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar
yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat.
Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang
dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan
desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang
berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Dos Santos, 2007).


3.

Ekonomi Kreatif
Kurang lebih dua dasawarsa lampau, Alvin Toffler mengejutkan dunia ketika Ia
dalam bukunya “The Third Wave” (1980) membagi peradaban umat manusia dalam tiga
fase. Pertama, peradaban yang lahir akibat munculnya temuan-temuan dalam bidang
pertanian; kedua, peradaban yang lahir sebagai hasil ciptaan dari berkembangnya revolusi
industri dan kemudian, kata Alvin Toffler, yakni gelombang; ketiga, munculnya
peradaban baru yang lahir dan digerakkan oleh revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketiga gelombang peradaban itulah kata Toffler yang sedang menguasai umat manusia
dengan revolusi komunikasi dan informasi serta globalisasi ekonomi dan politik sebagai
ujung tombaknya.
Di era peradaban baru, era gelombang III IPTEK menjadi lokomotif penggerak
zaman, dan IPTEK juga menjadi ikon yang mewarnai peradaban baru umat manusia.
Kalau dicermati secara lebih dalam, mengenai hakekat dan problematika yang dibawa
oleh peradaban baru itu pada bangsa Indonesia, muncul pertanyaan yang mendasar ialah:
Apakah bangsa Indonesia mampu mengikuti irama zaman, irama IPTEK, dalam arti
menguasai dan mengendalikan IPTEK, karena siapa yang mampu mengikuti irama
zaman dan mengendalikan serta mengikuti lajunya, ia akan beruntung dan akan cepat
sampai ke dunia baru yang menjanjikan 1001 pesona dan kesejahteraan. Tapi siapa yang

tidak berhasil ia akan ketinggalan gerbong, frustasi dan mungkin akan tergilas oleh roda
IPTEK hingga kemudian terhempas oleh amukan gelombang peradaban itu sendiri.
Di era Gelombang III yang melahirkan Revolusi Industri dengan munculnya
temuan-temuan baru berupa mesin-mesin yang berhasil melipatgandakan kerja otot dan
secara keseluruhan mengganti tenaga manusia secara fisik untuk bekerja dengan cepat,
tepat, dengan hasil yang berlipat ganda. Tetapi di era IPTEK dalam gelombang III
peradaban manusia, IPTEK tidak hanya menambah kemampuan otot manusia, tapi juga
melipatgandakan kemampuan otak dan kinerja nalarnya.
Teknologi yang melipatgandakan kemampuan dan kinerja nalar otak yang
dicapai umat manusia di gelombang III itu adalah berkat kemajuan IPTEK dalam bidang
computer, komunikasi dan control; yang kemudian melahirkan revolusi komunikasi dan
selanjutnya melahirkan satu tatanan masyarakat dunia baru yang disebut masyarakat
informasi. Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Inggris menjadi warga dunia baru itu di

jajaran negara-negara Barat dan Jepang, Singapura dan Korea Selatan menjadi warganya
di belahan Timur. Sementara di Indonesia warganya hanya di kalangan lapisan tertentu
seperti perbankan, perindustrian konglomerat yang sudah menjadi bahagian integral dari
masyarakat informasi dunia yang mengalami perkembangan sangat pesat.
Ciri-ciri masyarakat informasi adalah ketergantungan kehidupan manusia dalam
berbagai bidang kehidupannya pada informasi yang menjadi tulang punggung

perekonomiannya, karena sektor inilah yang paling banyak memberi pekerjaan kepada
masyarakatnya. Peradaban dunia baru yang dibawa oleh gelombang ke-3 menurut Alvin
Toffler terjadi melalui revolusi komunikasi dan informasi.
Perubahan-perubahan tersebut secara mendasar menyebabkan pula terjadinya
perubahan sikap dan tingkah laku orang dan masyarakat. Peradaban baru ini menurut
Toffler, membawa pula gaya baru dalam kehidupan keluarga, cara kerja baru, perangai
baru dalam bermasyarakat, tingkah laku ekonomi baru, konflik-konflik baru dan di atas
semua itu adalah sebuah kesadaran baru (new consiousness) dengan kata lain bahwa
peradaban dunia baru tersebut mengandung implikasi bahwa bangsa Indonesia yang ingin
dan berhasil meraih perlu mentransformasikan diri dan kebudayaan (Alfian, 1991).
Pendapat Alvin Toffler, semuanya sudah menjadi realitas dan sekarang
masyarakat dunia, warga komunitas informasi global sudah melangkah ke Gelombang IV
peradaban umat manusia, sementara bangsa Indonesia boleh dikatakan masih berada
dalam gelombang pertamanya Alvin Toffler, hanya sebagian kecil saja dari masyarakat
bangsa Indonesia yang hidup di kota-kota besar yang sudah mungkin dapat dikatakan
berada di Gelombang II dan sebagian kecil dari masyarakat dalam jumlah yang sangat
sedikit, baru melangkah memasuki Gelombang III.
Karena itulah dapat dikatakan bahwa pluralisme masyarakat Indonesia tidak hanya
karena perbedaan-perbedaan etnik, suku bangsa, agama dan budaya, tetapi juga
pluralisme dalam tingkat peradaban. Bentuk kehidupan zaman batu hingga kehidupan

maya ada di Indonesia. Kini Gelombang IV pasca Alvin Toffler sudah berlangsung.
Negara dan warga masyarakat informasi serta masyarakat IPTEK di dunia global sudah
memasuki Gelombang IV, sementara Indonesia masih menggapai di luar pagar. Untuk
menjadi anggota/warga masyarakat Gelombang IV dari peradaban umat manusia, posisi
Indonesia sangat penting. Karena komoditas utama Gelombang IV peradaban umat

manusia itu bukan lagi hasil pertanian, bukan lagi hasil manufaktur dan industri berat,
bukan lagi produk-produk IPTEK dalam bidang informasi, dan globalisasi ekonomi,
karena semua produk-produk tersebut kian bertambah murah dan sudah menjadi bagian
dalam peradaban yang universal. Sekarang di gelombang IV sudah bangsa Indonesia
masuki dan budaya menjadi komoditas utamanya.
Era gelombang IV peradaban umat manusia adalah satu era peradaban yang
dicirikan dengan munculnya apa yang disebut ekonomi kreatif. Dalam tatanan itu
Indonesia yang amat kaya dengan deposit budaya menjadi sangat penting, tidak hanya
dari segi pelestariannya sebagai warisan budaya yang perlu dijaga dan dilindungi; demi
harkat dan harga diri bangsa, tetapi dari segi profan era peradaban informasi dapat diolah
hingga dapat memberi nilai tambah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ekonomi kreatif disebut juga dengan Creative Industries, di lain suasana ada juga
yang memberinya nama Industri Budaya atau Culture Industry. Di era Gelombang IV
tersebut, warga masyarakat dunia maju sudah menjelajah seluruh pelosok negeri

Indonesia mengidentifikasi mata-mata budaya Indonesia yang akan diolah sebagai
tambang baru untuk dieksploitasi. Apakah juga kemudian esploitasi tersebut akan
meninggalkan kubangan-kubangan besar dalam kehidupan kebudayaan Indonesia, seperti
kubangan-kubangan fisik yang ditinggalkan oleh eksplorasi tambang-tambang timah di
Pangkal Pinang, kehancuran pulau-pulau kecil di Kepri karena explorasi bauksit, atau
hancurnya infrastruktur dan alam karena explorasi batubara di Kalimantan dan banjir
besar di pedalaman Riau karena kebun-kebun kelapa sawit tidak berperan makan dan
menampung air seperti yang dilakukan pendahulunya almarhum hutan belantara negeri
siak.
Ekonomi politik atau industri budaya memerlukan keahlian khusus untuk
mengolahnya. Memerlukan profesionalisme dan skill yang tepat untuk mengerjakannya
dan juga diperlukan moralita yang tinggi sebagai landasannya. Ekonomi kreatif adalah
sebuah karya yang betul-betul harus menjadi karya dunia, yang mengglobalkan produk
imajinasi kreatif, karya otak yang dilindungki kaidah-kaidah hukum yang berlaku secara
internasional. Karena itulah Intelektual Property Rights tidak hanya sekedar melindungi
karya-karya cipta, tapi lebih dari itu adalah A Power Toal For Economic Growth and
Weath Creation (Kemal Idris, 2001). Dalam hubungan ini, negara berkepentingan

melindungi harta warisannya sebagai pemilik ”Deposit Budaya” dan negara
berkepentingan melindungi masyarakatnya agar tidak menjadi objek eksplorasi industri

tanpa nilai tambah bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Negara juga berkepentingan
menjaga dampak negatif yang ditimbulkan oleh eksplorasi mata budaya terutama jika
eksplorasi itu akan merugikan masyarakat dan negara secara umum. Sebagai contoh
ketika Prancis menghadapi Gelombang III, di era IPTEk merasa perlu mempersiapkan
diri secara matang dan serius menghadapinya.
Ketika komputer mulai mengambil peran utama dalam kehidupan masyarakat
Prancis di tahun 1975, pemerintah Prancis sangat serius mengawasi lajunya
perkembangan teknologi ini, karena komputerisasi kehidupan masyarakat Prancis tidak
bisa dihambat lagi. Karena itu, kabinet Prancis secara serius membicarakannya dalam
sebuah sidang tertutup tanggal 25 April 1975 dan dipimpin langsung oleh Presiden
Giscard d‘Estaring.
4. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif
Howkins (2008) dalam tulisannya The Creative Economy menemukan kehadiran
gelombang ekonomi kreatif setelah menyadari pertama kali pada tahun 1996 ekspor
karya hak cipta Amerika Serikat mempunyai nilai penjualan sebesar US$ 60,18 miliar
yang jauh melampaui ekspor sektor lainnya seperti otomotif, pertanian, dan pesawat.
Menurut Howkins ekonomi baru telah muncul seputar industri kreatif yang
dikendalikan oleh hukum kekayaan intelektual seperti paten, hak cipta, merek, royalti dan
desain. Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan aset kreatif yang
berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Dos Santos, 2007). Konsep ekonomi
kreatif ini semakin mendapat perhatian utama di banyak negara karena ternyata dapat
memberikan kontribusi nyata terhadap perekonomian.

CREATIF EKOCONIC

INTELECTUAL
I
N
D
U
S
T
R
Y

BUSINESS
T
E
C
H
N
O
L
O
G
Y

R
E
S
O
U
R
C
E
S

GOVERMENT
I
N
S
T
I
T
U
T
I
O
N

F
I
N
A
N
C
I
A
L

PEOPLE
CULTUTRE

Gambar 1. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya
Di Indonesia, gaung ekonomi kreatif mulai terdengar saat pemerintah mencari
cara untuk meningkatkan daya saing produk nasional dalam menghadapi pasar global.
Pemerintah melalui departemen perdagangan yang bekerja sama dengan Departemen
Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta
didukung oleh KADIN kemudian membentuk tim Indonesia Design Power 2006-2010

yang bertujuan untuk menempatkan produk Indonesia menjadi produk yang dapat
diterima di pasar internasional namun tetap memiliki karakter nasional. Setelah
menyadari akan besarnya kontribusi ekonomi kreatif terhadap Negara, maka pemerintah
selanjutnya melakukan studi yang lebih intensif dalam pengembangan ekonomi kreatif.
Sehubungan dengan informasi tersebut, kemudian dibuat sebuah model pengembangan
ekonomi kreatif Indonesia dalam bentuk bangunan dengan lima pilar dan atap yang saling
menguatkan dengan fungsinya masing-masing.
Penjelasan komponen-komponen bangunan ekonomi kreatif adalah sebagai berikut :
1. Pondasi yaitu culture/budaya dan people/sumber daya insani, aset utama dari industri
kreatif yang menjadi ciri hampir semua subsektor industri kreatif.
2. Lima pilar utama yang harus diperkuat dalam mengembangkan industri kreatif adalah:
1)

Industry (industri) yaitu kumpulan dari perusahaan yang bergerak di dalam bidang
industri kreatif.

2)

Technology (teknologi) yaitu enable untuk mewujudkan kreativitas individu
dalam bentuk karya nyata.

3)

Resources (sumber daya) yaitu input selain kreativitas dan pengetahuan individu
yang dibutuhkan dalam proses kreatif, misal: sumber daya alam, lahan.

4)

Institution (institusi) yaitu tatanan sosial (norma, nilai, dan hukum) yang
mengatur interaksi antara pelaku perekonomian khususnya di bidang industri
kreatif.

5)

Financial yaitu lembaga penyalur keuangan.

3. Atap yaitu bangunan ekonomi kreatif ini dipayungi oleh interaksi triple helix yang
terdiri dari intellectuals (intelektual), business (bisnis), dan government (pemerintah)
sebagai para aktor utama penggerak industri kreatif.
1) Intellectual, kaum intelektual yang berada pada institusi pendidikan formal,
informal dan non formal yang berperan sebagai pendorong lahirnya ilmu dan ide
yang merupakan sumber kreativitas dan lahirnya potensi kreativitas insan
Indonesia.
2) Business, pelaku usaha yang mampu mentransformasi kreativitas menjadi bernilai
ekonomis

3) Government, pemerintah selaku fasilitator dan regulator agar ekonomi kreatif
dalam industri kreatif dapat tumbuh dan berkembang.
Analisis Triple Helix pertama kali diungkapkan oleh Henry Etzkowitz dan Loet
Leydesdorff, dan kemudian diulas lebih lanjut oleh Gibbons et.al.(1994) dalam The New
Production of Knowledge, dan Nowotny et.al. (2001) dalam Re-Thinking Science.
Pemikiran ekonomi kreatif, sistem Triple Helix menjadi payung yang menghubungkan
antara Cendekiawan (Intellectuals), Bisnis (Business), dan Pemerintah (Government)
dalam kerangka bangunan ekonomi kreatif. Di mana ketiga helix tersebut merupakan
aktor utama penggerak lahirnya kreativitas, ide, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang
vital bagi tumbuhnya industri kreatif. Hubungan yang erat, saling menunjang, dan
bersimbiosis mutualisme antara ke-3 aktor tersebut dalam kaitannya dengan landasan dan
pilar-pilar model ekonomi kreatif akan menentukan pengembangan ekonomi kreatif yang
kokoh dan berkesinambungan.
Pertumbuhan industri di Indonesia baik manufaktur maupun jasa terus meningkat
dan berkembang, seiring dengan perkembangan industri didunia. Salah satu strategi
pembangunan ekonomi dan industri di Indonesia yaitu industri kreatif. Industri kreatif
memiliki ketergantungan impor yang rendah, dan memiliki potensi ekspor, karena adanya
keunggulan komparatif. selain itu, di Indonesia juga telah memiliki beberapa kota yang di
dalamnya berkembang industri kreatif yang cukup potensial, yaitu Bandung, Jakarta,
Yogyakarta, Solo, Pekalongan dan Bali. sektor kreatif akan memberikan harapan baru
untuk kegiatan ekonomi (peluang usaha baru) yang mengandalkan kreativitas dan bakat
individu guna menciptakan nilai tambah berupa produk atau jasa kreatif. Jika
dikembangkan dan dikelola dengan baik, industri kreatif mampu menjadi penyumbang
devisa negara apabila diekspor keluar negeri.
Mengutip dari situs resmi Kementerian Perindustrian Indonesia, Direktur Jenderal
Industri Kecil dan Menengah (IKM) Euis Saedah mengatakan bahwa industri kreatif
adalah kegiatan usaha yang fokus pada kreasi dan inovasi. UK DCMS Task Force 1998
menyebut industri kreatif sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas,
keterampilan

serta

bakat

individu

untuk

menciptakan

kesejahteraan

serta

lapanganpekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta

individu tersebut. Menyikapi perkembangan industri kreatif dalam negeri, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) telahmenggolongkan industri kreatif ke
dalam subsektor-subsektor yang meliputi; industri media; TV dan radio; periklanan;
layanan komputer dan pirantilunak; permainan interaktif; kuliner; film; video, dan foto;
juga

industri

seni.

yang

meliputi

seni

pertunjukan;

arsitektur;

riset

dan

pengembangan;penerbitan dan percetakan; musik; fesyen; desain; kerajinan; dan
pasar seni dan barang antik. Sebenarnya potensi industri kreatif masih begitu besar
untukdapat digarap oleh pelaku bisnis Indonesia khususnya yang ada di kota Solo.
Produk kerajinan yang potensial, di antaranya furniture ukir, rotan,ukiran kaca, kulit,
keris, dan batik. Kota Solo masuk sebagai Kota Kreatif dengan kategori kota desain.
Setelah ditetapkan menjadi Kota Kreatif olehKemenparekraf, selanjutnya Solo akan
didaftarkan ke UNESCO sebagai Kota Kreatif Dunia. Batik Tulis Solo sudah diekspor ke
mancanegara dan menjadi lambang khas Indonesia.
Bahkan di Kota Solo, sentra industri batik dengan berbagai skala kini terus
bertumbuh, seperti Kampoeng Batik Laweyan, Kauman, Tegalsari, Tegalayu, Tegalrejo,
Sondakan, Batikan, dan Jongke. Industri kreatif juga secara nyata dapat mengurangi
angka pengangguran. Industri kreatif sendiri naik sekitar 7% setiap tahunnya.
Untuksubsektor seni pertunjukan, Solo adalah gudang seniman. Ada Institut Seni
Indonesia (ISI) Surakarta dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 yang dulunya
konservatorium, serta puluhan sanggar tari, teater, dan musik yang menyediakan sumber
daya manusia berlimpah. Ada juga Wayang Orang Sriwedari dan Ketoprak
Balekambang.
Kota Solo memiliki potensi industri kreatif yang cukup besar akan tetapi belum
tergarap secara maksimal. Hal ini disebabkan karena belum adanya sinergitas antara
pelaku industri di bidang ini. Cara untuk melakukan sinergitas adalah dengan
menggabungkan industri ini dalam sebuah kerangka pariwisata. Persoalan utama dari
pengembangan industry kreatif di Solo adalah belum adanya komunikasi yang baik antar
pelaku industri di bidang ini.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangka memperkenalkan industri kreatif
seringkali tidak diketahui oleh pelaku industri pariwisata, kerajinan, maupun fashion.
Dalam satu tahun sendiri ada sekitar 100 pertunjukan seni yang digelar di Solo. Acara ini

dapat dimanfaatkan para pelaku industri kreatif dengan cara membuat paket-paket wisata
yang menggabungkan seni pertunjukan dan pameran dalam sebuah event wisata di hotelhotel yang ada di Solo. Masalah lain yang muncul adalah adanya miskomunikasi antar
pelaku industri pariwisata dengan kalangan seniman. Agar lebih memaksimalkan daya
kreativitas masyarakat, Pemerintah Kota Solo perlu memberikan ruang yang cukup untuk
berkembangnya ide-ide kreatif masyarakat yang dieksplorasi sehingga ada temuantemuan baru dari masyarakat Solo yang dapat dijual baik ke pasar lokal, nasional bahkan
internasional. Solo Techno Park ke depan bisa menjadi pusat pengembangan teknologi
yang mampu menghasilkan teknologi kreatif yang diakui kompetensinya di dunia
internasional.
Komitmen Pemkot Solo untuk menjadikan Solo sebagai Kota MICE (meeting,
incentive, convention, exhibition) akan bersinergi dengan pembangunan ekonomi kreatif.
Program MICE seharusnya diikuti dengan pertumbuhan industri kreatif sehingga
multiplier effect dan spillover effect dari MICE dapat ditangkap dengan produk
barang/jasa industri kreatif sehingga secara nyata perekonomian dapat bertumbuh dan
pada akhirnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Solo meningkat.
Potensi wisata tersebut dapat dikembangkan melalui ekonomi kreatif. Ekonomi
kreatif di sini tidak hanya melibatkan masyarakat atau komunitas sebagai sumber daya
yang berkualitas, tetapi juga melibatkan unsur birokrasi dengan pola entrepreneurship
(kewirausahaan). Konsep pelibatan birokrasi dalam ekonomi kreatif adalah bahwa
birokrasi tidak hanya membelanjakan tetapi juga menghasilkan (income generating)
dalam arti positif (Obsore dan Gaebler, 1992). Pertentangan pajak untuk penganggaran
unit-unit birokrasi harus dihentikan dan birokrasi harus dapat menciptakan “pemasukan”
baru melalui ekonomi kreatif (Gale Wilson, Mantan Manajer Kota Fairled, California).
Strategi pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata budaya
kota Solo dirumuskan sebagai berikut:
1) Meningkatkan peran seni dan budaya pariwisata
2) Memperkuat keberadaan kluster-kluster industri kreatif
3) Mempersiapkan sumber daya manusia yang kreatif
4) Melakukan pemetaan aset yang dapat mendukung munculnya ekonomi kreatif.

5) Mengembangkan pendekatan regional, yaitu membangun jaringan antar klusterkluster industri kreatif.
6) Mengidentifikasi kepemimpinan (leadership) untuk menjaga keberlangsungan dari
ekonomi kreatif, termasuk dengan melibatkan unsur birokrasi sebagai bagian dari
leadership dan facilitator.
7) Membangun dan memperluas jaringan di seluruh sektor
8) Mengembangkan dan mengimplementasikan strategi, termasuk mensosialisasikan
kebijakan terkait dengan pengembangan ekonomi kreatif dan pengembangan wisata
kepada

pengrajin.

Pengrajin

harus

mengetahui

apakah

ada

insentif

bagi

pengembangan ekonomi kreatif, ataupun pajak ekspor jika diperlukan.
5. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Sebagai Penggerak Sektor Wisata Budaya
Kota Solo
Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata memerlukan
sinergi antar stakeholder yang terlibat di dalamnya, yaitu pemerintah, cendekiawan, dan
sektor swasta (bisnis). Dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015 yang
disampaikan oleh Dr. Mari Elka Pangestu, berhasil dirumuskan model sinergitas antar
stakeholders ekonomi kreatif, khususnya pada sub sektor kerajinan. Sebagai catatan, sub
sektor kerajinan merupakan bentuk ekonomi kreatif yang paling dekat dengan
pengembangan wisata. Kerajinan termasuk pada pembuatan souvenir atau memorabilia
yang memberikan “kenangan” pada wisatawan sehingga membuka peluang agar
wisatawan tersebut kembali berkunjung di kesempatan lain.
Model pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata dapat
diadaptasi dari model-model kota kreatif. Kota kreatif bertumpu pada kualitas sumber
daya manusia untuk membentuk (bisa dalam bentuk design atau redesign) ruang-ruang
kreatif (UNDP, 2008). Pembentukan ruang kreatif diperlukan untuk dapat merangsang
munculnya ide-ide kreatif, karena manusia yang ditempatkan dalam lingkungan yang
kondusif akan mampu menghasilkan produk-produk kreatif bernilai ekonomi. Festival
budaya, merupakan salah satu bentuk penciptaan ruang kreatif yang sukses
mendatangkan wisatawan. Penjelasan lebih lanjut terdapat pada Bagan model sinegitas
stakeholders ekonomi kreatif sub-sektor kerajinan dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2: Bagan Model Sinergitas Stakeholders Ekonomi Kreatif Sub-Sektor Kerajinan
(sumber: Departemeni Perdagangan Rep. Indonesia, 2008)
Dalam konteks kepariwisataan, diperlukan ruang-ruang kreatif bagi para pengrajin untuk
dapat menghasilkan produk khas daerah wisata yang tidak dapat ditemui di daerah lain. Salah
satu tempat yang paling penting bagi seorang pengrajin untuk bisa menghasilkan karya adalah
bengkel kerja atau studio. Bengkel kerja atau studio sebagai ruang kreatif harus dihubungkan
dengan daerah wisata sehingga tercipta linkage atau konektivitas. Konektivitas tersebut
diperlukan untuk mempermudah rantai produksi (Evans, 2009). Dari segi ekonomi kreatif,
produk kerajinan dalam bentuk souvenir dapat terjual sementara dari sektor wisata, wisatawan
memperoleh suatu memorabilia mengenai daerah wisata tersebut. Konektivitas atau linkage
antara ekonomi kreatif dan wisata dapat berbentuk outlet penjualan yang terletak di daerah
wisata. Dengan kata lain, wisata menjadi venue bagi ekonomi kreatif untuk proses produksi,
didtribusi, sekaligus pemasaran. Seperti dijelaskan pada Gambar 3.

Supply

Venue
WISATA

EKONOMI
KREATIF

OUTLET
Memorabilia

Penyerapan
produk kreatif

Gambar 3: Bagan Linkage Antara Ekonomi Kreatif dan Sektor Wisata Budaya
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam implementasi model linkage tersebut adalah
penetapan lokasi outlet yang harus diusahakan berada di tempat stratgis dan dekat dengan tempat
wisata. Upaya ini telah dilakukan sejumlah industri kreatif, di antaranya Dagadu yang
meletakkan outlet-nya di pusat perbelanjaan. Contoh lain adalah industri batik di Kampung
Laweyan, Solo. Wisatawan dapat melihat proses pembuatan batik, beberapa paket wisata malah
menawarkan wisatawan untuk mencoba membatik, dan setelah melihat proses pembatikan
wisatawan dapat berkunjung ke outlet penjualan batik untuk membeli batik sebagai souvenir.
Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata walau terdengar sangat
menjanjikan, namun tetap memiliki sejumlah tantangan. Tantangan tersebar terkait dengan
keberlanjutan industri kreatif itu sendiri untuk menggerakkan sektor wisata. Trend wisata
cenderung cepat berubah sehingga pengrajin dituntut untuk bisa menciptakan produk-produk
kreatif dan inovatif. Di sisi lain, pengarajin juga tidak boleh terjebak pada selera pasar karena
dapat menghilangkan orisinalitas dan keunikan produk (Syahram, 2000) dan (Ooi, 2006),
mengindentifikasi sejumlah tantangan pengembangan sebagai berikut:
1) Kualitas produk.
2) Dengan bertumpu pada pengembangan wisata, maka produk ekonomi kreatif akan lebih
berorientasi pada selera wisatawan dan diproduksi dalam jumlah yang cukup banyak
sebagai souvenir. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya keunikan ataupun nilai khas
dari produk hasil ekonomi kreatif tersebut.
3) Konflik sosial terkait dengan isu komersialisasi dan komodifikasi.
4) Pengembangan ekonomi kreatif melalui wisata seringkali ”mengkomersialisasikan”
ruang-ruang sosial dan kehidupan sosial untuk dipertontonan pada wisatawan sebagai

atraksi wisata. Bila tidak dikelola dengan melibatkan komunitas lokal, hal ini dapat
berkembang menjadi konflik sosial, karena di beberapa komunitas terdpat ruang-ruang
sosial yang bersifat suci dan tidak untuk dipertontonkan pada wisatawan.
5) Manajemen ekonomi kreatif.
6) Ekonomi kreatif seringkali menyajikan produk-produk yang berbau isu politik ataupun
isu sosial yang sangat sensitif (misal: rasialisme). Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan
manajemen ekonomi kreatif yang baik, dengan salah satu fungsinya menentukan
”guideline” ekonomi kreatif mana yang harus dikembangkan dan mana yang sebaiknya
tidak dikembangkan.
6.

Kesimpulan
Sinergi antara ekonomi kreatif dengan sektor wisata budaya merupakan sebuah model
pengembangan ekonomi yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia, termasuk
Kota Solo. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata
dibutuhkan konektivitas, yaitu dengan menciptakan outlet produk-prouk kreatif di lokasi
yang strategis dan dekat dengan lokasi wisata. Outlet tersebut dapat berupa counter atau
sentra kerajinan yang dapat dikemas dalam paket-paket wisata. Outlet kerajinan berupa
counter atau kios atau toko sebaiknya dikembangkan pada tempat wisata yang sudah popular
seperti mesjid Gede dan alun-alun kidul. Pada sentra kerajinan wisatawan tidak hanya
sekedar membeli souvenir, tetapi juga melihat proses pembuatannya dan bahkan ikut serta
dalam proses pembuatan tersebut (souvenir sebagai memorabilia).
Potensi batik selain untuk kebutuhan souvenir pariwisata juga bisa untuk kebutuhan seragam
sekolah dan pegawai. Untuk menggerakkan industry keratif dalam perekonomian dan
kepariwisataan Solo, maka potensi kerajinan batik perlu dikembangkan dan didukung
melalui kebijakan pemerintah. Sebagai contoh, Pemda Solo bekerja sama dengan DPR, tokoh
dan pengusaha batik menyusun Perda seragam batik untuk para pegawai negeri, swasta,
sekolah (SD, SMP, SMA). Perda perlu disiapkan dengan instansi terkait untuk
mengembangkan produksi batik cap secara bertahap sesuai dengan kebutuhan seragam.
Setelah akes cukup jelas, maka usaha kerajinan perlu ditingkatkan pada aspek ketrampilan
SDM perajin, akses teknologi dan financial atau permodalan. Sehingga peran pemerintah,
perguruan tinggi dan dana bergulir dari BUMN sangat dibutuhkan.

Daftar Pustaka
Alvian, 1991.. “Rethinking of Cities, Culture and Tourism within a Creative Perspective”
sebuah editorial dari PASOS, Vol. 8(3) Special Issue 2010-06-16
Alvin Toffler, 1970. Future Shock . Los Angeles, California.
Departemen Perdagangan Republik Indonesia (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif
Indonesia 2025 : Rencana Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2009 – 2025”
Dos Santos, 2007, “Trip to Kanazawa, City of Crafts 2007 Dates: Jan. 1 - March 31, 207,”
accessed
on
May
12,
2007
from
http://www.kanazawatourism.com/eng/campaign/images/VJY_winter.pdf
Evans, Graeme L, 2009. “From Cultural Quarters to Creative Clusters – Creative Spaces in
The New City Economy” UK.
Gibson et al, 1994.. “The Creative Economy in Maine: Measurement dan Analysis”, The
Southern Maine Review, University of Southern Maine
Howkins, 2008. “The Creative Economy” New York University, Stanford University
Kemal Idris, 2001. “Intellectual Property, A Pawer Tool Tor Economic Growth”, Wipo
Geneua.
Nowoty et al, 2001. “Creative Economy Strategies For Small and Medium Size Cities:
Options for New York State”, Quality Communities Marketing and Economics
Workshop, Albany New York, April 20, 2004
Obsore and Gaebler, 1992. Protection of Traditional Knowledge and Genetic Resources. A
Bottom-up Approach to Development, WIPO Magazine.
Ooi, Can-Seng, 2006. ”Tourism and the Creative Economy in Singapore”
Pangestu, Mari Elka (2008). “Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia 2025”,
disampaikan dalam Konvensi Pengembangan Ekonomi Kreatif 2009-2015. Yang
diselenggarakan pada Pekan Produk Budaya Indonesia 2008, JCC, 4 -8 Juni 2008.
Paul Romer, 1993. Looting: The Economic Underworld of Bankruptcy for Profit. UK
Rencana Induk Pengembangan Pariwisata (RIPP) Solo, (2010).

UNDP, 2009.. “Creative Economy Report 2009”. USA.
UNESCO, 2009. Panduan Dasar Pelaksanaan Ekowisata. USA.