Informasi Publik – Pusat Penelitian Biomaterial

LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2014
PUSAT PENELITIAN BIOMATERIAL
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Editor:
Kurnia Wiji P
Triyani Fajriutami
Fathul Bari
Ari Kusumaningtyas

Pusat Penelitian Biomaterial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cibinong, 2014

KATA PENGANTAR
Dalam Tahun Anggaran 2014, kegiatan penelitian dan penguasaan
teknologi Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI memiliki 7 tema kegiatan besar,
yaitu (1) Pengembangan Potensi Mikroba Entomopatogen dan Bahan Alam, (2)
Aplikasi Biokomposit Untuk Media Tanam Vertikal, (3) Pengembangan
Teknologi dan Inovasi Eco-House dengan Memanfaatkan Biomaterial untuk
Rumah Tahan Gempa-Pengembangan Beton Ringan Berbasis Limbah Kerang,

(4) Karakterisasi dan Pemanfaatan Kayu Jati Platinum Yang Berpotensi untuk
Dikembangkan Pada Program Invagro, (5) Penerapan Konsep Biorefinery pada
Produksi Bioetanol dari Ampas Tebu, (6) Pembuatan Bio-nanokomposit
Berbasis Mikrofibril Selulosa untuk Bahan Baku Industri (7) Pengembangan
Teknologi Pelengkungan Kayu untuk Diaplikasikan pada Pusat Pengrajin Di
Kabupaten Sumedang. Buku ini memuat laporan hasil-hasil penelitian dari
ketujuh kegiatan di atas dan disusun oleh masing-masing peneliti/penanggung
jawab kegiatan penelitian. Laporan ini merupakan pertanggungjawaban kegiatan
proyek yang harus dilaporkan pada akhir tahun kegiatan.
Penelitian dan penguasaan teknologi ini bertujuan untuk meningkatkan
nilai tambah sumber daya hayati, penggalian potensi baru, diversivikasi produk
dan efisiensi proses pengolahan yang ramah lingkungan.
Kami mengucapkan terimakasih kepada para peneliti dan semua pihak
yang telah terlibat baik dalam kegiatan proyek secara keseluruhan, kegiatan
penelitian, maupun dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini
bermanfaat bagi kita semua.
Cibinong, Desember 2014
Kepala
Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI
Prof. Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr.

NIP. 195812021985031001

i

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .........................................................................
DAFTAR ISI .......................................................................................

i
ii

UJI TOKSISITAS SKALA LABORATORIUM ISOLAT LOKAL
CENDAWAN ENTOMOPATOGEN SEBAGAI BIOLARVASIDA
TERHADAP CULEX SP. ......................................................................

1


TERMITICIDAL ACTIVITY OF AN EXTRACT OF
Brugmansia candida LEAVES AGAINST A SUBTERRANEAN
TERMITE Coptotermes gestroi Wasmann AND A DRYWOOD
TERMITE Cryptotermes cynocephalus Light....................................
PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA
TANAM VERTIKAL ........................................................................
PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA
TANAM VERTIKAL ........................................................................
PEMANFAATAN LIMBAH CANGKANG KERANG PADA
NON AUTOCLAVED-AERATED CONCRETE (NAAC) ..................
PENGARUH
RASIO
AIR
DAN
BINDER
DALAM
PEMBUATAN NON AUTOCLAVED-AERATED CONCRETE
(NAAC) ...............................................................................................
MORPHOLOGY AND PHYSICAL CHARACTERISTICS OF
POLYPROPYLENE-PULPED EMPTY FRUIT BUNCH FIBER

COMPOSITES WITH CHITOSAN AS FILLER ............................
PENGARUH UMUR TERHADAP KOMPONEN KIMIA KAYU
JATI PLATINUM ..............................................................................
SIFAT FISIKA DAN MEKANIKA KAYU JATI PLATINUM
PADA 2 KELAS UMUR ....................................................................
HIDROLISIS ASAM SULFAT PADA SELULOSA AMPAS
TEBU UNTUK PRODUKSI GULA PEREDUKSI ..........................
PRODUKSI
ETANOL
DARI
AMPAS
TEBU
TERDELIGNIFIKASI
ALKALI
MELALUI
PROSES
SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SERENTAK ......................
PRODUKSI
ETANOL
DARI

AMPAS
TEBU
TERDELIGNIFIKASI
ALKALI
MELALUI
PROSES
SAKARIFIKASI DAN FERMENTASI SERENTAK ......................

ii

Laporan Teknik Akhir tahun 2006. UPT BPP Biomaterial-LIPI

9
16
23
30
34
38
46
54

61
70
78

UJI TOKSISITAS SKALA LABORATORIUM ISOLAT LOKAL CENDAWAN
ENTOMOPATOGEN SEBAGAI BIOLARVASIDA TERHADAP CULEX SP.
Apriwi Zulfitri* dan Deni Zulfiana
Pusat Penelitian Biomaterial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia
*E-mail: apriwi.zulfitri@lipi.go.id
ABSTRAK
Lymphatic filariasis (LF) telah dinyatakan sebagai salah satu penyakit yang
menjadi masalah kesehatan dunia oleh WHO. Penggunaan insektisida dan pemberian
obat LF secara serentak merupakan program WHO untuk memberantas LF. Namun
demikian, hasil yang didapatkan belum sesuai target, terutama di Indonesia.
Peningkatan resistensi serangga terhadap insektisida dan residu bahan kimia yang
berbahaya terhadap lingkungan memunculkan alternatif penggunaan agen biokontrol.
Tujuan penelitian ini ialah untuk menguji toksisitas empat isolat cendawan
entomopatogen asal Indonesia sebagai larvasida terhadap serangga vektor LF, Culex sp.

Pada penelitian ini dua formulasi cendawan digunakan yaitu filtrat cendawan dan
tepung konidia. Formulasi filtrat cendawan lebih efektif dan menunjukkan efek
toksisitas yang lebih cepat terhadap larva Culex sp. dibandingkan tepung konidia. Hal
ini mengindikasikan bahwa mortalitas larva tidak hanya disebabkan oleh spora yang
menginvasi larva tetapi diduga karena kandungan senyawa yang disekresikan kedalam
media tumbuh pada perlakuan filtrat karena kandungan spora dalam filtrat lebih sedikit
akibat proses penyaringan. Persentase kematian larva Culex sp. tertinggi dihasilkan oleh
perlakuan filtrat Beauveria bassiana sebesar 92,65% tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan filtrat Nomuraea sp. Hasil uji toksisitas menunjukkan filtrat isolat lokal
cendawan entomopatogen Nomuraea sp dan Beauveria bassiana berpotensi sebagai
larvasida terhadap larva Culex sp.
Kata kunci: Cendawan entomopatogen, Larvasida, Culex sp., Biokontrol
PENDAHULUAN
Lymphatic filariasis (LF) atau kaki gajah adalah penyakit khas iklim tropis dan
subtropis yang ditularkan melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi nematoda parasit
pada manusia yang bersarang di sistem getah bening. Di Indonesia, LF umumnya
disebabkan oleh nematoda Brugia malayi, B. timori dan Wuchereria bancrofti (Sudomo
et al, 2002). LF diakui World Health Organization (WHO) sebagai salah satu masalah
kesehatan dunia sehingga target pemberian obat serentak atau Mass Drug
Administrations (MDA) dalam program Global plan to combat neglected tropical

diseases 2008-2015 karena memiliki dampak sangat signifikan terhadap kualitas
kehidupan manusia walaupun tidak mematikan seperti HIV/AIDS (WHO,2007).
Pada tahun 2009, program tersebut melaporkan sekitar 66% total populasi global
yang berpotensi terinfeksi LF berada di wilayah Asia Tenggara. Diantara 9 negara
endemik, hanya Indonesia yang belum menyelesaikan pemetaan fokus penggunaan
MDA (WHO, 2009). Di distrik Asmat Papua, salah satu daerah endemik LF, program
pemberian obat serentak oleh WHO hanya mencapai 58% dari target populasi karena
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

1

mengalami kesulitan akses dan kurang diapresiasi oleh masyarakat (Bhullar dan
Maikere, 2010).
Selain pemberian obat terhadap masyarakat yang rentan terinfeksi, upaya
pemberantasan LF dapat dilakukan melalui pengendalian vektor penularan nyamuk
Culex sp. baik pada fase dewasa maupun larva. Insektisida berbahan aktif
organophosphate telah digunakan secara luas sebagai larvasida pada Culex sp, namun
terjadi peningkatan resistensi larva terhadap insektisida sehingga menurunkan tingkat
efektifitasnya (WHO, 2001). Masalah lain yang ditimbulkan insektisida kimiawi ialah
menjadi polutan bagi lingkungan dan kesehatan pengguna.

Salah satu alternatif usaha pengendalian tersebut ialah menggunakan
mikroorganisme sebagai agen biokontrol. Menurut Lacey et al. (2001), Beberapa
manfaat dari penggunaan mikroba sebagai agen biokontrol antara lain aman bagi
manusia, spesies non target, mengurangi pemakaian pestisida dan residu pestisida pada
lingkungan. Jika dibandingkan dengan insektisida kimia, agen biokontrol memiliki
beberapa kelemahan, yaitu kemampuannya hanya mengontrol satu atau beberapa
spesies, daya kerjanya lambat dan memiliki viabilitas yang pendek. Walaupun
demikian, penelitian dan pengkajian dibidang ini terus berlanjut karena agen biokontrol
bersifat ramah lingkungan dan tidak menimbulkan dampak negatif serta laju resistensi
yang lebih lambat.
Data hasil penelitian penggunaan produk cendawan dalam usaha pengendalian
nyamuk vektor penyakit pada manusia skala laboratorium dan lapangan telah banyak
diulas (Scholte et al., 2004, Singh dan Parakash, 2014). Produk cendawan yang
digunakan antara lain dalam bentuk tepung konidia, metabolit sekunder, protein, enzim,
mikotoksin dan nanopartikel (Singh dan Prakash, 2014)
Upaya eksplorasi terhadap mikroorganisme lokal Indonesia yang melimpah
memungkinkan untuk ditemukannya isolat-isolat baru cendawan entomopatogen yang
berpotensi sebagai agen biokontrol yang efektif terhadap Culex sp. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui efektivitas 4 isolat lokal cendawan entomopatogen sebagai
biolarvasida terhadap nyamuk Culex sp.

METODE PENELITIAN
Isolat Cendawan
Sebanyak empat isolat lokal cendawan entomopatogen digunakan dalam
penelitian ini, yaitu Metarhizium sp., Beauveria bassiana, Nomuraea sp. asal Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta, dan Humicola sp. koleksi
Laboratorium Mikrobiologi Pusat Penelitian Biomaterial LIPI.
Larva Culex sp.
Larva nyamuk yang digunakan dalam penelitian ini ialah Culex sp. instar 3-4 asal
Cibinong koleksi Laboratorium uji terpadu Pusat Penelitian Biomaterial.
Produksi Filtrat Hasil Fermentasi Cendawan Entomopatogen
Media fermentasi yang digunakan ialah 100 mL media cair Czapex-Dox
(KH2PO4, 0,5g/L; MgSO4.7H2O; 0,5 g/L; KCl, 0,5 g/L; CaCl2.2H2O, 0,1 g/L; dan
NaNO3, 3g/L) yang mengandung yeast extract (30g/L) sebagai sumber nitrogen dalam
erlenmeyer 250 mL. Sebanyak 1 mL starter cendawan entomopatogen yang telah
dikulturkan dalam Potato Dextrose Broth (PDB) dengan kerapatan konidia 107/mL
diinokulasikan ke dalam media fermentasi. Kultur diinkubasi pada suhu ruang diatas
rotary shaker dengan agitasi 120 rpm selama 8 hari.
2

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI


Setelah pemanenan, kultur disaring dengan kertas saring untuk memisahkan
filtrat dengan miselium. Ekstrak kasar hasil penyaringan selanjutnya diujikan
toksisitasnya terhadap larva Culex sp.
Produksi Tepung Konidia Cendawan Entomopatogen
Beras yang telah dicuci dan dikukus setengah matang ditimbang sebanyak 100 gr
kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas dan diautoklaf pada 121 °C, 1 atm
selama 15 menit. Kedalam beras diinokulasikan 1 mL starter cendawan entomopatogen
seperti pada produksi filtrat dan diinkubasi hingga seluruh butir beras terkolonisasi oleh
cendawan. Sebagai kontrol digunakan 1 mL PDB. Beras yang telah diinokulasi
selanjutnya dikeringanginkan selama 3 hari dan dihaluskan menggunakan blender.
Tepung selanjutnya diuji toksisitasnya sebagai perbandingan terhadap penggunaan
filtrat cendawan sebagai biolarvasida.
Uji Toksisitas Filtrat Cendawan Entomopatogen Terhadap Larva Nyamuk Culex
sp.
Uji toksisitas filtrat cendawan entompatogen pada larva Culex sp. dilakukan
dengan menambahkan 15 mL filtrat kedalam 85 mL air sumur dalam gelas plastik
berukuran 200 mL. Sebanyak 25 ekor larva nyamuk selanjutnya dimasukkan ke dalam
masing-masing gelas pengujian dan ditutup dengan kain kasa.
Sebagai kontrol, gelas plastik hanya diisi dengan 100 mL air sumur. Larva pada
gelas kontrol maupun perlakuan di beri makan hati ayam rebus yang telah dihaluskan
sekali sehari. Pengamatan mortalitas larva dilakukan pada 1, 2, 3, 4, 24 dan 48 jam
setelah aplikasi perlakuan.
Uji Toksisitas Tepung Konidia Cendawan Entomopatogen Terhadap Larva
Nyamuk Culex sp.
Sebanyak 0,5 g tepung dilarutkan dalam 100 mL air sumur ke dalam gelas
berukuran 200 mL. Selanjutnya ditambahkan lima tetes tween 20 untuk mengurangi
tegangan permukaan sehingga tepung lebih mudah larut. Jumlah ulangan yang
digunakan dalam uji toksisitas adalah sebanyak 3 ulangan untuk tiap perlakuan.
Penghitungan Spora Dalam Tepung Konidia
Sebanyak 1g tepung dilarutkan dalam 9 mL air dan divortex selama 5-10 menit.
Larutan didiamkan hingga seluruh tepung yang tidak terlarut mengendap. Penghitungan
spora dilakukan dengan menggunakan Haemacytometer dibawah mikroskop pada
perbesaran 400x.
Analisis Data
Larva dikategorikan mati ketika tidak bergerak saat disentuh pada bagian siphon
(corong pernapasan) (WHO, 2005). Persentase mortalitas larva dihitung dengan cara
membandingkan jumlah larva yang mati setelah perlakuan dengan jumlah larva yang
diinfestasikan saat awal perlakuan. Persentase mortalitas larva dari setiap perlakuan
dikoreksi dengan persentase mortalitas larva kontrol menggunakan rumus Abbott
(Abbott, 1925). Data mortalitas larva nyamuk dianalisis mengunakan analisis ANOVA
dan uji lanjut Duncan.

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

3

HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektifitas Filtrat Cendawan Entomopatogen Terhadap Mortalitas Larva Culex
sp.
Pengaruh filtrat kasar hasil fermentasi cendawan entomopatogen terhadap ratarata persentase mortalitas larva nyamuk Culex sp. dapat dilihat pada Gambar 1. Hasil
pengamatan yang dilakukan pada 1, 2, 3, 4, 24 dan 48 jam setelah perlakuan
menunjukkan pola kematian larva yang meningkat seiring dengan lama waktu
pengamatan.
Rata-rata persentase mortalitas kumulatif larva Culex sp. tertinggi ditunjukkan
oleh perlakuan dengan filtrat hasil fermentasi B. bassiana sebesar 92% pada 48 jam
setelah perlakuan seperti yang ditampilkan dalam Gambar 1a. Tetapi hasil ini tidak
berbeda nyata dengan perlakuan filtrat Nomuraea sp pada taraf 0,05. Rata-rata 4% larva
Culex sp yang diuji dengan B. bassiana mati setelah 2 jam perlakuan.
Peningkatan rata-rata persentase mortalitas larva teramati setelah 24 jam
perlakuan dan terlihat peningkatan tajam hingga 48 jam setelah perlakuan yaitu dari
20,59 ke 92,65%. Sedangkan toksisitas Nomuraea sp. terhadap larva Culex sp. terjadi
setelah 2 jam pengamatan dan terus meningkat seiring dengan lama waktu pengamatan.
B. bassiana telah banyak dikaji tentang potensialnya sebagai agen biokontrol
terhadap serangga vektor penyakit dalam fase larva dan dewasa (Singh dan Prakash,
2010, Kikankie et al. 2010) sedangkan Nomuraea sp. selama ini lebih banyak
dimanfaatkan sebagai bioinsektisida hama serangga pertanian dan pemanfaatannya
untuk mengendalikan nyamuk belum banyak diteliti. Walaupun angka mortalitas
terhadap larva Culex sp pada perlakuan Nomuraea sp lebih rendah dibandingkan
B.bassiana, hasil uji lanjut menunjukkan bahwa perbedaan tersebut tidak berbeda nyata
sehingga Nomuraea sp. diduga memiliki potensi sebagai larvasida terhadap Culex sp.

a
b
Gambar 1. Rata-rata persentase mortalitas larva Culex sp. dengan perlakuan empat
isolat lokal cendawan entomopatogen. a. filtrat dan b. tepung konidia.
Efektifitas Tepung Konidia Cendawan Entomopatogen Terhadap Mortalitas
Larva Culex sp.
Hasil uji toksisitas cendawan entomopatogen dalam formulasi tepung konidia
terhadap kematian larva Culex sp. ditampilkan pada Gambar 1b. Pada formulasi tepung
konidia, didapatkan rata-rata persentase kumulatif kematian larva yang lebih rendah
dibandingkan dengan penggunaan filtrat kasar cendawan.
Pada penggunaan formulasi tepung konidia didapatkan pola peningkatan
kematian larva seiring dengan lama waktu pengamatan seperti halnya pada penggunaan
formulasi filtrat. Perlakuan dengan cendawan Nomuraea sp. memberikan rata-rata
persentase kematian larva tertinggi dibandingkan penggunaan cendawan lainnya.
4

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Sedangkan cendawan Metarhizium sp. dan Humicola sp. tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap kematian larva Culex sp. dibandingkan kontrol.
Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian yang dikemukakan oleh Yasmin
dan Fitri (2010), Metarhizium anisopliae dalam formulasi tepung jagung memberikan
efektifitas yang baik sebagai larvasida Aedes aegypti yaitu sebesar 75% pada 4 dan 6
jam pengamatan. Hal ini diduga karena adanya perbedaan jumlah konidiospora yang
terkandung dalam tepung. Tepung jagung M. anisopliae pada penelitian terdahulu
mengandung 0,4x107 konidiospora/mL sedangkan pada penelitian ini tepung
Metarhizium sp. mengandung lebih sedikit konidiospora yaitu 1,8x106/mL. Selain itu
perbedaan efektifitas dimungkinkan karena adanya variasi tingkat resistensi spesies
nyamuk terhadap konsentrasi dan jenis larvasida yang diujikan (Campos dan Andrade,
2003, Soni dan Prakash, 2012).
Pengaruh Jumlah Konidiospora Dalam Tepung Konidia Terhadap Mortalitas
Larva Culex sp.
Hasil uji lanjut interaksi antara jenis dan formulasi isolat lokal cendawan
entomopatogen menunjukkan Nomuraea sp. dan B. bassiana dalam formulasi filtrat
berpengaruh nyata terhadap kematian larva Culex sp. dibandingkan perlakuan lainnya
pada taraf 0,05. Tingkat mortalitas larva yang lebih rendah pada formulasi tepung
konidia mungkin disebabkan oleh menurunnya tingkat viabilitas konidia akibat
berbagai perlakuan pada proses pembuatan tepung. Penghitungan jumlah konidia pada
tepung dapat dilihat pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1, jumlah kandungan konidiospora dalam tepung cendawan
tidak berpengaruh terhadap rata-rata persentase mortalitas larva. Tepung Metarhizium
sp. memiliki jumlah rata-rata konidiospora tertinggi tetapi cendawan ini memberikan
rata-rata mortalitas terendah dibandingkan perlakuan cendawan lainnya dan
memberikan pengaruh yang sama dengan kontrol.
Tabel 1. Rata-rata jumlah konidiaspora dalam tepung konidia terhadap rata-rata
persentase mortalitas larva Culex sp.(log10/mL)
Isolat
Rata-rata jumlah
Rata-rata persentase
konidiaspora (log10/mL)
mortalitas larva Culex sp.
0c

4c

B. bassiana

6.12ab

20b

Humicola sp.

5.51bc

4c

Metarhizium sp

6.26a

5.33c

Nomuraea sp.

6.03ab

41.33a

Kontrol

Keterangan: angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda
nyata pada taraf 0.05
Tepung konidia Nomuraea sp. dan B. bassiana, dengan jumlah kandungan
konidiospora yang tidak berbeda nyata dengan Metarhizium sp., memiliki perbedaan
nyata terhadap mortalitas larva sebagaimana pada uji toksisitas dengan formulasi filtrat.
Pengamatan mikroskopis larva Culex sp.
Larva Culex sp. pada perlakuan kontrol terlihat utuh saat diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 40x (Gambar 2a). Sedangkan pada larva yang terinfeksi
filtrat cendawan entomopatogen terlihat rusak terutama pada bagian thoraks (dada).
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

5

Terlihat daerah dada dan sekitar larva dipenuhi oleh materi yang diduga konidiospora
yang tertelan oleh larva. Semua perlakuan dengan filtrat isolat cendawan memberikan
efek yang sama terhadap larva yang mati.
A

2

1
B

1
2
Gambar 2. Perbandingan larva Culex sp.instar 3 pada perlakuan A. filtrat cendawan B.
bassiana dan B. tepung konidia B. bassiana. 1:kontrol dan 2: terinfeksi
cendawan.
Pada larva kontrol dengan perlakuan tepung konidia, didapatkan bagian kepala
dan dada larva tidak mengalami kerusakan tetapi penuh terisi tepung sedangkan pada
larva yang mati terinfeksi didapatkan ciri yang sama dengan larva mati akibat filtrat
cendawan (Gambar 2b).
Mekanisme virulensi cendawan entomopatogen terhadap mortalitas larva Culex
sp.
Berdasarkan pengamatan Scanning electrone microscope (SEM) pada rayap yang
terinfeksi cendawan entomopatogen, terdapat indikasi bahwa kematian rayap diawali
dengan perkecambahan spora yang membentuk miselia kemudian menginvasi tubuh
rayap melalui kutikel (Zulfiana et al., 2010) Tahap selanjutnya miselium berkecambah
menghasilkan konidiospora yang akan memenuhi bagian kepala, dada dan perut.
Pada penelitian ini, perlakuan filtrat Nomuraea sp. dan B. bassiana menunjukkan
virulensinya terhadap larva saat 2 jam setelah aplikasi. Namun demikian, pada
formulasi tepung konidia, kedua isolat tersebut baru menunjukkan toksisitasnya
masing-masing 4 dan 24 jam setelah aplikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa
mortalitas larva tidak hanya disebabkan oleh spora yang menginvasi larva tetapi diduga
terdapat kandungan metabolit sekunder yang disekresikan kedalam media tumbuh pada
perlakuan filtrat karena kandungan spora dalam filtrat lebih sedikit akibat proses
penyaringan.
Cendawan entomopatogen seperti Metarhizium anisopliae dan Beauveria
bassiana telah lama diketahui mampu menghasilkan senyawa metabolit sekunder
seperti enzim pendegradasi kutikel serta memfasilitasi pembentukan toksin pada

6

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

serangga yang bersifat racun yang menyebabkan kematian pada inang, melawan sistem
pertahanan inang dan menekan kompetisi patogen lain di habitatnya (Charnley, 2003,
Zulfiana et al., 2009). Namun demikian, kandungan metabolit sekunder Nomuraea sp.
belum banyak dikaji sebagai agen biokontrol terhadap larva Culex sp.
Upaya mengidentifikasi virulensi cendawan entomopatogen telah dilakukan oleh
Alves et al. (2002). Penelitian ini berusaha menjelaskan penyebab mortalitas larva
Culex quinquefasciatus yang berasosiasi dengan konidia Metarhizium anisopliae
apakah disebabkan oleh eksotoksin atau infeksi langsung konidiospora.
Hasil yang didapat dari penelitian tersebut tidak dapat mengkonfirmasi peranan
toksin cendawan dalam mortalitas larva ketika larva mencerna konidia yang telah diberi
perlakuan UV dan panas untuk menginaktivasi konidia agar tidak berkecambah.
KESIMPULAN
Isolat lokal cendawan entomopatogen Nomuraea sp. dan B. bassiana berpotensi
sebagai larvasida terhadap Culex sp. Formulasi cendawan dalam bentuk filtrat lebih
efektif dibandingkan formulasi tepung konidia.
DAFTAR PUSTAKA
Abbott WS, 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. Journal
of Economic Entomology 18:265–266.
Alves, S.B. dkk., 2002. Potential of some Metarhizium anisopliae isolates for control of
Culex quinquefasciatus (Dipt., Culicidae). Journal Of Applied Enthomology
126:504–509.
Bhullar, N., Jacob Maikere, 2010. Challenges in Mass Drug Administration for
Treating Lymphatic Filariasis in Papua, Indonesia. Parasites and Vectors 3:70.
Campos, J. dan Carlos F S Andrade. (2003). Larval susceptibility of Aedes aegypti and
Culex quinquefasciatus populations to chemical insecticides. Revista De Saúde
Pública 37(4), 523-527.
Charnley, A.K., 2003. Fungal pathogens of insects: cuticle degrading enzymes and
toxins. Advances In Botanical Research 40:241-321.
Kikankie, C. dkk., 2010. The infectivity of the entomopathogenic fungus Beauveria
bassiana to insecticide-resistant and susceptible Anopheles arabiensis
mosquitoes at two different temperatures. Malaria Journal 9:71.
Lacey, L.A., R. Frutos, H.K. kaya, and P. Vail, 2001. Insect Pathogens as Biological
Control Agents: Do They Have a Future?. Biological Control :21:230-248.
Scholte, E.J., Knols, B.G.J.K. Samson,R.A and Takken, W., 2004. Entomopathogenic
fungi for mosquito control: a review. Journal of Insect Science 4:19.
Singh, G dan Soam Prakash, 2010. Fungi Beauveria bassiana (Balsamo) metabolites for
controlling Malaria and Filaria in Tropical countries. Advances In Biomedical
Research 21: 238-242.
Singh, G., Soam Prakash, 2014. New prospective on fungal pathogens for mosquitoes a
and vectors control technology. Journal of Mosquito Research 4(7):36-52.
Soni, N. dan S. Prakash, 2012. Larvicidal effect of Verticillium lecanii metabolites on
Culex quinquefasciatus and Aedes aegypti larvae. Asian Pacific Journal Of
Tropical Disease 2(3):220-224.
Sudomo, A., Ali Izhar dan Sri Oemijati, 2002. Lymphatic Filariasis in Indonesia. Jurnal
Ekologi Kesehatan 1(1):37-43.

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

7

World Health Organization, 2001. Defining The Roles Of Vector Control And
Xenomonitoring In The Global Programme To Eliminate Lymphatic Filariasis.
Report of The Informal Consultation, Communicable Disease Control,
Prevention and Eradication Parasitic Diseases and Vector Control. Geneva:
World Health Organization
World Health Organization, 2005. Guidelines for laboratory and field testing of
mosquito larvicides. WHO/CDS/ WHOPES/GCDPP/2005. 13.
World Health Organization,2007. Global Plan to combat Neglected Tropical Diseases,
2008–2015.WHO/CDS/NTD/2007.3.
World Health Organization, 2009. Global Programme to Eliminate Lymphatic
Filariasis. Weekly Epidemiological Record 79:417-424.
Yasmin, Y dan Leni Fitri, 2010.The effect of Metarhizium anisopliae fungi on
Mortality of Aedes Aegyti larvae. Jurnal Natural 10:1.
Zulfiana, D., Titik Kartika, Didi Tarmadi, 2009. Pengaruh komposisi media fermentasi
Metarhizium sp. terhadap mortalitas larva Aedes Aegypti. Seminar Nasional
Hari Nyamuk 2009. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Zulfiana D, D. Tarmadi, M. Ismiyati dan S. Yusuf, 2010. Pathogenicity of M.anisopliae
to subterranean termites Coptotermes sp. Pathogenicity of M. anisopliae, 2010.
Proceeding of The Seventh Conference of The Pacific-Rim Termite Research
Group 5:6-11.

8

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

TERMITICIDAL ACTIVITY OF AN EXTRACT OF Brugmansia candida
LEAVES AGAINST A SUBTERRANEAN TERMITE Coptotermes gestroi
Wasmann AND A DRYWOOD TERMITE Cryptotermes cynocephalus Light
Didi Tarmadi1,*, S. Khoirul Himmi1,2, Sulaeman Yusuf1, Deni Zulfiana1, Ikhsan
Guswenrivo1, Arief Heru Prianto1, Apriwi Zulfiri1
1

Research and Development Unit for Biomaterials, Indonesian Institute of Sciences
(LIPI), Jl. Raya Bogor KM. 46, Cibinong, Bogor 16911, Indonesia
2
Research Institute for Sustainable Humanosphere (RISH), Kyoto University, Gokasho,
Uji, Kyoto 611-0011, Japan
*Corresponding author: didi@biomaterial.lipi.go.id
ABSTRACT
Termiticidal activity of B. candida leaves against a subterranean termite
Coptotermes gestroi and a drywood termite, Cryptotermes cynocephalus were
conducted. The extraction of B. candida leaves resulted in three major fractions, nhexane, ethyl acetate and aquadest. Bioassay against C. gestroi and C. cynocephalus
were evaluated by a no-choice feeding test, JWPA no 12 1992 and forced-feeding test,
respectively. The result of bioassay against C. gestroi and C. cynocephalus indicated
that n-hexane fraction and ethyl fraction delivered higher termite mortality compared to
the aquadest fraction. The results of soil treatment against C. gestroi also indicated that
all fractions of B. candida were not able to meet proper efficacy. Weight loss of the
samples was not significantly different between the three fractions in bioassay against
C. gestroi, but the weight-loss results were significantly related to concentration. The
weight loss of the samples after bioassay against C. cynocephalus suggested that the nhexane and ethyl acetate fractions delivered moderate protection at the highest
concentration tested, while the aquadest fraction delivered low efficacy.
Keywords: termiticidal activity, Brugmansia
Cryptotermes cynocephalus.

candida,

Coptotermes

gestroi,

INTRODUCTION
Termites are widely considered destructive polyphagous insect pests, which
largely damage house-hold materials, finished goods, plants and agricultural crops such
as sugarcane, millet, barley and paddy (Elango et al. 2012). The Asian subterranean
termite, Coptotermes gestroi, is a major pest in the Asia Pacific region, recognized as a
destructive and economically important species (Scheffrahn and Su, 2000). Another
important termite species in the region is the Indo-Malaya drywood termite,
Cryptotermes cynocephalus. Both termites cause serious damage to buildings and
structures, estimated at more than $400 million per year in Southeast Asia alone (Yeap
et al. 2011).
Subterranean termite control is very important to protect structures and its
components. The control options include wood treatments, soil barrier treatments, and
population control using bait systems (Himmi et al. 2012). However, most termicides
are chemicals identified as Persistent Organic Pollutants (POPs) such as aldrin,
coldrane, dieldrin, endrin, etc. (UNEP, 2000). The utilization of plant extractives as
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

9

natural preservatives is the appropriate solution along with the rising corcern toward a
sustainable green-environment. The effort on developing some suitable natural
preservatives aims to reduce the use of chemicals-toxic pesticide (Tarmadi et al. 2010).
Plant extracts have been reported to have repellent and toxic effect against termite
(Bläske and Hertel, 2001), and can be promising alternatives for pest control in the
future (Ohmura et al. 20120.
Crude extracts of B. candida leaves has been reported to have insecticidal
actitvity against subterranean termite C. gestroi (Tarmadi et al. 2007). The aim of this
study was to evaluate termiticidal activity of B. candida leaves against a subterranean
termite C. gestroi and a drywood termite, C. cynocephalus.
MATERIALS AND METHODS
Fractionation Procedure
B. candida was obtained from Bogor, Indonesia. Leaves of B. candida were sun
dried and powdered through 40 mesh screen. 2500 g leafpowder was macerated using
methanol, and filtrate collected and separated from residue. The filtrate was evaporated
by rotary evaporator (RV 10 Digital, IKA Works GmbH & Co., Germany) at 40 0C to
obtain dried extract. 200 g dried extract was dissolved on 600 ml aquadest and n-hexane
(1:1) solution and extracted by separating funnel. Aquadest fraction was separated and
added by 300 ml ethyl acetate (EA) for further extraction.
Bioassay Test
Bioassay against C. gestroi was referred to no-choice feeding test according to
Ohmura et. al. (2000). A test container was made of a glass petri dish (rim diameter
6cm height 5cm) with 3 mm hard plaster of Paris at the bottom and moistened with 2 ml
of deionizer water. Paper discs (diameter 13 mm; Whatman International) were
permeated with extract fraction of B. candida in various concentrations 1%, 2%, 3%,
4% and 5% (w/v). The treatment retention was 1.0% (w/w) per disc. The control discs
were untreated. The discs were dried at 60~ for 12h followed by drying in a vacuum
desiccator for 1 day. Fifty workers and 5 soldiers, and treated paper disc were entered
into a test container. Bioassay was carried out for 14 days. Termite mortality was
observed every two days and in the final period observation, the mass loss of paper disc
was evaluated.
Soil barrier: extract fractions were mixed with methanol at various concentrations
(1%; 2%; 3%; 4% and 5%) for the soil barrier test. Each treatment (2.5 ml) was mixed
with 7 g of 20 mesh sandy soil. Soil treatments were made 48 h before each test to
allow the solvent to evaporate. Not-treated sandy soil was used as control for this
experiment. “Bottle H” test units, designed according to JWPA Standard 13 (1992),
were used to evaluate horizontal tunnelling by termites. Sandy soil was used as
supplementary,easy access for termites toward the test substances. One hundred and
fifty workers and 15 soldiers were placed in one side of the bottle H glass container,
while rubber wood (20 mm x 20 ml x 10 mm) was placed in the opposite side as food.
Bottle H units were kept in a dark place with controlled temperature 28 + 2 C and
humidity above 85%. The test was held for 21 days and observations conducted every
day by recording the length of tunnel penetration (mm) made by termites. Termite
survival rate was observed after the test.

10

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Table 1. Efficacy Parameter of Soil Barrier Test
Penetration (cm)
Score
0
0
0,1 - 1,0
1
1,1 - 2,0
2
2,1 - 3,0
3
> 3,0
4

Efficacy criteria
Very High
High
Moderate
Low
Ineffective

Bioassays against C. cynocephalus were carried out by non-choice feeding test.
Wood samples with dimension of 2 cm × 2 cm × 1 cm were treated with extract
fractions of B. candida in various concentrations 1%, 2%, 3%, 4% and 5% (v/v), and
then placed into a glass box size 4 × 4 × 4-cm with 50 workers and 5 soldier. Termite
mortality was observed once per week for 6 weeks and termite mortality and weight
loss of wood sample (rubber wood) was determined at the end of test. Generalization of
efficacy level was conducted based on efficacy criteria presented in table 2.
Table 2. Efficacy/durability criteria against drywood termite
Class
Efficacy/Durability
Weight loss (%)
I
Sound
< 2.0
II
High
2.0 – 4.4
III
Moderate
4.4 – 8.2
IV
Low
8.2 – 28.1
V
Susceptible
> 28.1
Statistical Analysis
The relationship test between concentration and mortality was carried out by
linear regression (P < 0.05), while comparison of mortality rates and weight lost of the
samples between the three fractions (n-Hexane, ethyl acetate, and aquadest) were
analyzed by using ANOVA (Tukey’s test, P < 0.05) (SPSS PASW 18.0).
RESULTS AND DISCUSSION
Fig.1. Shows termite mortality by extract fraction derived from B. candida leaves
at various concentrations. n-Hexane fraction was very toxic agaisnt C. gestroi as it
delivered 100% mortality at concentration 3% and more, and the data indicated
mortality was not significantly related with concentration (R 2= 72,8%, p = 0.06) (P <
0.05). Unlike n-hexane, both ethyl acetate and aquadest showed relation between
concentration and mortality (R2= 95,0%, p = 0.005 and R2=98,7, p = 0.01, respectively)
(P < 0.05). The higher the concentration, the higher mortality rate.

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

11

Termite mortality (%)

100
80
60
40
20
0
0 1% 2% 3% 4% 5% 1% 2% 3% 4% 5% 1% 2% 3% 4% 5%
Untreated

n-Hexane

Ethyl acetate
Fraction

Aquadest

Figure 1. Daily observation of mortality rate of subterranean termite, C. gestroi
Fig. 1 Shows that n-Hexane fraction delivered higher mortality than either the
ethyl acetate or aquadest fractions at the same concentration. The data suggest
significantly different mortality between the fractions of n-Hexane, ethyl acetate and
aquadest (p = 0.002, Tukey`s test: P < 0.05). The n-Hexane fraction indicated no
significant difference with the ethyl acetate fraction (p = 0.538, Tukey`s test: P > 0.05),
but was significantly different from the aquadest fraction, (p = 0.02, Tukey`s test: P <
0.05). Based on this result we conclude, that the n-hexane and ethyl acetate fractions
have higher termiticidal activity against subterranean C. gestroi compared to the
aquadest fraction.
Table 3. Efficacy criteria of extract fraction derived from B. candida leaves after 3
weeks
Concentration
Fraction
Penetration (cm)
Score
Efficacy criteria
(%)
Untreated
0
5±0
4
Ineffective
1
5±0
4
Ineffective
2
5±0
4
Ineffective
n-Hexane
3
5±0
4
Ineffective
4
5±0
4
Ineffective
5
3,77±0,38
4
Ineffective
1
5±0
4
Ineffective
2
5±0
4
Ineffective
Ethyl
3
5±0
4
Ineffective
acetate
4
5±0
4
Ineffective
5
4,63±0,35
4
Ineffective
1
5±0
4
Ineffective
2
5±0
4
Ineffective
Aquadest
3
5±0
4
Ineffective
4
5±0
4
Ineffective
5
5±0
4
Ineffective
12

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Termite mortality (%)

Table 3 Shows the efficacy criteria of the extract fraction derived from B.
candida leaves after 3 weeks. The results show that the extract fraction from B. candida
leaves (n-hexane, ethyl acetate and aquadest fraction) at concentration of 1%, 2%, 3%,
4%, 5% were classified as ineffective. It was indicated that the termiticidal activity of
the extract fraction derived from B. candida leaves is not suitable as a soil barrier.
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0

0

1% 2% 3% 4% 5% 1% 2% 3% 4% 5% 1% 2% 3% 4% 5%

Untreated

n-Hexane

Ethyl acetate
Fraction

Aquadest

Figure 2. Mortality of drywood termite, C. cynocephalus after 3 weeks in bioassay.

Weight Loss (%)

60
50
40
30
20

10
0
0

1

Untreated

2

3

4

n-Hexane

5

1

2

3

4

Ethyl acetate
Fraction

5

1

2

3

4

5

Water

Figure 3. Weight loss of the samples after 14 days in bioassay with C. gestroi
Fig. 2 displays the mortality of C. cynocephalus after 3 weeks in bioassay on
wood treated with an extract of B. candida leaves at various concentrations. The nHexane fraction delivered 100% termite mortality at 4% and 5% concentration, while
the ethyl acetate fraction delivered 90,67% and 99,3% respectively. The aquadest
fraction delivered lower mortality than n-hexane and ethyl acetate fractions, as it caused
73,33% mortality at 5% concentration. The data suggest that mortality was significantly
different between the fractions (p = 0.031, Tukey`s test: P < 0.05). Mortality rate of nHexane fraction was not significantly different from the ethyl acetate fraction (p =

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

13

0.471, Tukey`s test: P < 0.05) but was significantly different than the aquadest fraction
(p = 0.026, Tukey`s test: P < 0.05). The result was in accordance with the C. gestroi
bioassay, suggesting that the n-hexane and ethyl acetate fractions have better
termiticidal activity than aquadest fraction.
Table 4. Sample weight loss after termite bioassay
Fraction
Untreated

Concentration (%)

Weight loss (%)*

0
10,21±0,88
1
9,89±0,74
2
9,44±0,37
n-Hexane
3
8,82±0,32
4
8,06±0,13
5
7,09±0,78
1
10,53±0,31
2
10,06±0,93
Ethyl acetate
3
9,53±0,42
4
9,04±0,28
5
8,09±0,11
1
10,95±0,72
2
10,39±0,37
Aquadest
3
9,92±0,25
4
9,47±0,13
5
8,89±0,13
* Values are means ± standard deviations from three replications.

Efficay (Class)
Low (IV)
Low (IV)
Low (IV)
Low (IV)
Moderate (III)
Moderate (III)
Low (IV)
Low (IV)
Low (IV)
Low (IV)
Moderate (III)
Low (IV)
Low (IV)
Low (IV)
Low (IV)
Low (IV)

Fig. 3 shows the mortality of C. gestroi the after 14 days in bioassay. The results
suggest there were no significant differences between fractions (p = 0.095, Tukey`s test:
P < 0.05), thus generalization for efficacy performance of the fractions should rely on
termite mortality. Weightloss was significantly related with concentration in all
fractions (linear regression test, P < 0.05), n-Hexane (R2= 98,6%, p = 0.001), ethyl
acetate (R2= 94,9%, p = 0.005) and aquadest (R2= 94,9%, p = 0.005). The higher the
concentration, the lower the weight-loss and the better protection provided by the
fractions.
Table 4 shows weight loss of the samples after the force-feeding test against C.
cynocephalus. Generalization of efficacy performance was evaluated according to scale
on table 1. The data suggested that the n-hexane fraction delivered moderate efficacy at
the 4% concentration and more, while the ethyl acetate fraction provided moderate
efficacy at the 5% concentration. Other concentrations provided lower efficacy, and all
treatments of aquadest fraction did not meet the standard. Linear regression analysis (P
< 0.05) indicated that weight loss was significantly related with concentration in all
fractions, n-Hexane (R2= 98,0%, p = 0.01), ethyl acetate (R2= 97,7%, p = 0.001) and
aquadest (R2= 92,3%, p = 0.009). The higher the concentration, the lower the weightloss and the better protection was provided by the fractions.

14

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

SUMMARY
The extraction of B. candida leaves resulted in three major fractions, n-hexane,
ethyl acetate and aquadest. Based on the bioassay of the extract of B. candida leaves
against C. gestroi and C. cynocephalus the n-hexane and ethyl fraction had better
termiticidal activity compared to the aquadest fraction. The results also indicated that
all fractions of B. candida were not suitable for soil treatment.
REFERENCES
Bläske VU., H. Hertel. 2001. Repellent and Toxic Effects of Plant Extracts on
Subterranean Termites (Isoptera: Rhinotermitidae). Journal of Economic
Entomology 94 (5), 1200-1208.
Elango, G., AA. Rahuman, C. Kamaraj, A. Bagavan, A. Abduz Zahir, T.
Santhoshkumar, S. Marimuthu, K. Velayutham, C. Jayaseelan, A. Vishnu Kirthi,
G. Rajakumar. 2012. Efficacy of medicinal plant extracts against Formosan
subterranean termite, Coptotermes formosanus. Industrial Crops and Products
36, 524–530.
Himmi, SK., D.Tarmadi, M. Ismayati, S. Yusuf. 2012. Bioefficacy performance of
neem-based formulation on wood protection and soil barrier against subterranean
termite, Coptotermes gestroi Wasmann (Isoptera: Rhinotermitidae). Pro. Env. Sci
17, 135–141.
Ohmura W., D. Shuichi, M. Aoyama, S. Ohara. 2012. Antifeedant activity of flavonoids
and related compounds against the subterranean termite Coptotermes formosanus
Shiraki. J Wood Sci 46 (2), 149-153.
Scheffrahn RH, & Su NY. 2000. Asian Subterranean Termite, Coptotermes gestroi
(=havilandi) (Wasmann) (Insecta: Isoptera: Rhinotermitidae). University of
Florida IFAS Extension (EENY128): 1-5.
Tarmadi, D., M. Ismayati, SK. Himmi, S. Yusuf. 2010. Antitermite activitiy of Carbera
manghas L seeds extracts. Proc. the 7th Pacific Rim Termite Research Group.
Singapore, 28-31.
Tarmadi, D., AH. Prianto., I. Guswenrivo., T. Kartika., S. Yusuf. 2007. Influence of
Bintaro (Carbera odollam Gaertn) and Kecubung (Brugmansia candida Pers)
Extract against Subterranean Coptotermes sp. (in Indonesian). J. wood sci. tech 5
(1): 38 – 42.
UNEP/FAO/Global IPM Facility Expert Group on Termite and Biology Management.
2000. Finding Alternatives to Persistent Organic Pollutants (POPs) for Termite
Management. United Nations Environment Programme (UNEP).
Yeap BK, AS. Othman AS, CY. Lee. 2011. Genetic Analysis of Population Structure of
Coptotermes gestroi (Isoptera: Rhinotermitidae) in Native and Introduced
Populations. Environmental Entomology 40 (2): 470-476.

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

15

PEMANFAATAN KOMPOSIT SERAT ALAM UNTUK MEDIA TANAM
VERTIKAL
Mohamad Gopar dan Ismadi
Pusat Penelitian Biomaterial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia
ABSTRAK
Konsep vertical garden city (sistem taman vertikal) merupakan sebuah tren baru
dewasa ini didalam dunia arsitektur tata ruang perkotaan (landscaping) dan dapat
diaplikasikan dalam skala perumahan pada daerah sub-urban. Salah satu permasalahan
yang ada pada pengembangan sistem ini adalah material untuk media tanam. Modul
atau media tanam, umumnya terbuat dari bahan polimer seperti polipropilena atau
bahan sintetis geo-tekstil. Disamping bahan sintetis tersebut, bahan alam seperti pohon
pakis (Cycas rumphii miq) dapat dijadikan sebagai modul media tanam vertikal.
Namun, bahan-bahan tersebut cenderung tidak ramah lingkungan, mahal, bahkan
tanaman pakis merupakan pohon konservasi yang dilindungi pemerintah. Oleh karena
itu, diperlukan alternatif media tanam yang dapat mensubstitusi material konvensional
yang ada. Pada penelitian ini dibuat sebuah modul media tanam vertikal yang terbuat
dari serat alam yaitu pelepah kelapa sawit dan bambu. Teknologi yang dikembangkan
merupakan teknologi pembuatan papan komposit namun dengan kerapatan (densitas)
yang rendah sehingga morfologi media yang dihasilkan identik dengan modul media
tanam vertikal dari batang pakis. Bahan yang digunakan adalah partikel bambu dan
pelepah kelapa sawit yang sebelumnya dilakukan perlakuan rendaman dalam air selama
2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu baru dibuat komposit dengan kerapatan 0.4 g/cm 3.
Perekat yang digunakan adalah Phenol formaldehyde (PF) dengan konsentrasi 12%.
Campuran serat dan perekat dikempa panas dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 2 cm pada
suhu 1400C selama 20 menit. Papan komposit diuji sifat mekaniknya dengan
menggunakan acuan standar JIS A-5908. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa
tanaman pangan dan tanaman hias. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi
komposit serat alam sebagai media tanam vertikal yang memenuhi kebutuhan pasar
seperti karakteristik kekuatan, ketahanan terhadap kondisi lingkungan, estetika serta
kelayakan ekonomis. Dampak lain yang diharapkan dari penelitian ini adalah
peningkatan nilai ekonomi limbah pertanian, pengembangan sistem pertanian modern
(garden agriculture) serta menciptakan lingkungan yang asri dan nyaman.
Kata kunci: sistem tanam vertikal, media tanam, pelepah kelapa sawit dan bambu,
komposit.
PENDAHULUAN
Pertumbuhan pembangunan perkotaan di negara maju yang kian pesat
mengakibatkan daerah perkotaan semakin kehilangan area hijau nya. Keberadaan ruang
terbuka hijau di tengah perkotaan menjadi sesuatu yang langka. Sebagai contoh Kota
Jakarta, ruang terbuka hijau pada tahun 1983 berkisar 32185.9 hektar (50.2%) dan pada
tahun 2002 menjadi berkisar 9430.6 hektar (14.7%). Dalam kurun waktu 19 tahun turun
berkisar -22755.3 hektar (-159.0 %) dari luas yang ada. Sebagian besar digunakan
16

Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

sebagai areal urban, dimana urban mengalami kenaikan berkisar 24411.0 hektar (72.7
%). (Suwargana, 2005).
Kondisi pemukiman yang padat memiliki andil negatif dalam kehidupan
perkotaan seperti terbatasnya persediaan udara bersih, pemanasan lingkungan, hingga
percepatan tingkat strees masyarakat. Untuk itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk
mengoptimalkan tersedianya ruang terbuka hijau di daerah pemukiman perkotaan.
Upaya tersebut antara lain melalui penghijauan sisi-sisi kosong dalam lanskape
perkotaan seperti dinding bangunan, jalur pedestrian, lahan sempit, interior
mall/perkantoran, kawasan perumahan bahkan baliho iklan (Taman Vertikal V-ga,
2011).
Pada tahun 1994, seorang botaniawan, Patrick Blanc memperkenalkan konsep
taman vertical modern; yaitu membuat sebuah taman untuk memanfaatkan lahan
kosong yang tidak mungkin ditanami oleh tanaman/pohon pada mulanya. Konsep
tanam vertikal selain diterapkan untuk dekorasi pertamanan, dapat pula dijadikan
sebagai konsep pertanian modern. Konsep ini ditawarkan sebagai solusi semakin
sempitnya lahan pertanian di daerah perkotaan. Sistem pertanian ini sudah banyak
dikembangkan di negara-negara maju. Investasi per-m2 untuk satu sistem taman vertikal
pada tahun 2007 dapat mencapai US$ 2,500 s.d. 10,000 (Cochrane, 2010). Hal ini
memacu inovasi-inovasi teknologi untuk menekan biaya produksi. Saat ini diperkirakan
untuk per-m2 diperlukan biaya US$ 125 s.d 150 atau sekitar 1 juta hingga 4 juta rupiah.
Komponen utama dalam sistem tanam vertikal adalah jenis tanaman, media
tanam dan sistem modul. Pada makalah ini akan dipaparkan mengenai hasil penelitian
tentang Vertical Greening Module (VGM). Agar tanaman dapat tumbuh dengan baik
dan sehat, dilakukan penanaman dengan bibit didalam kotak VGM yang telah diisi
dengan media tanam. Apabila tanaman telah cukup umur, kotak VGM siap dibawa
ketempat pemasangan pilaster (tiang penggantung) beserta sistim drainasenya di lokasi
yang akan dibuat taman vertikal.
Sebagai upaya menekan biaya produksi instalasi taman vertikal, dalam penelitian
ini dilakukan substitusi media tanam yang terbuat dari bahan polimer dan serat sintetis
dengan sebuah desain modul yang terbuat dari papan serat yang terbuat dari serat alam
(biokomposit).
Keuntungan pemakaian serat alam dibandingkan serat sintetis maupun plastik
antara lain bersifat renewable, bisa didaur ulang (recyclable), tidak berbahaya bagi
lingkungan, memiliki sifat mekanis lebih baik, tidak menyebabkan abrasi pada alat, dan
harganya lebih murah (Mohanty et al. 2002, Oksman et al. 2003, Wambua et al. 2003
dan Zimmermann et al. 2004) serta densitas yang lebih rendah. Dengan memanfaatkan
limbah perkebunan, diharapkan upaya ini dapat menjadi solusi penanganan limbah,
meningkatkan nilai ekonomi serta menurunkan biaya produksi VGM.
METODE DAN BAHAN
Pelepah kelapa sawit dan sagu yang masih basah dibersihkan dari daun-daun
yang terikut. Pelepah kemudian di pipihkan dengan menggunakan bamboo crusher
sehingga pelepah terpipihkan dan sebagian cairan yang terkandung pada pelepah akan
terpisahkan. Serat pelepah kelapa sawit kemudian dipotong-potong menjadi ukuran 5-6
cm mempergunakan mesin Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper
dimasukkan pada mesin Ring Flaker sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat
yang diperoleh kemudian dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oCatau
dijemur hingga kadar airnya -+5%. Serat kering disimpan dalam kantong plastik kedap
udara untuk kegiatan penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan
Laporan Akhir Tahun 2014. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

17

perlakuan rendaman selama 2 minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan
dalam oven pada suhu 75oC atau dijemur hingga kadar airnya -+5%.
Bambu betung basah dengan umur tanam 5 tahun dipotong-potong dengan
ukuran kurang lebih 2 meter kemudian dibelah dua untuk bambu berdiameter kecil (7 cm) dibelah empat. Bambu setelah dibelah kemudian
dipipihkan dengan menggunakan bamboo crusher sehingga diperoleh serat bambu.
Serat kemudian dipotong-potong dengan ukuran 5-6 cm dengan menggunakan mesin
Drum Chipper. Serat hasil mesin Drum Chipper dimasukkan pada mesin Ring Flaker
sehingga diperoleh serat yang lebih seragam. Serat yang diperoleh kemudian
dikeringkan dalam oven, dengan temperatur 75oC atau dijemur hingga kadar airnya +5%. Serat kering disimpan dalam plastic kedap udara untuk kegiatan penelitian
selanjutnya. Pada penelitian ini serat kering dilakukan perlakuan rendaman selama 2
minggu; 4 minggu dan 6 minggu kemuadian dikeringkan dalam oven pada suhu 75oC
atau dijemur hinggakadarairnya -+5%.
Perekat yang digunakan adalah phenol formaldehyde (PF) sebanyak 12%
berdasarkan berat kering bahan baku. Pencampuran perekat dan serat alam dilakukan
dengan mempergunakan spray gun di dalam wadah rotary drum. Kerapatan dari modul
panel komposit yang dibuat adalah 0.4 g/cm3. Selanjutnya campuran serat dan perekat
dikempa panas pada suhu 1400C selama 20 menit di dalam cetakan 40 cm x 40 cm x 3
cm. Selanjutnya sampel diuji fisik mekaniknya dengan mengacu standar JIS A 59082003. Jenis tanaman yang diujicobakan berupa tanaman tanaman hias.
Panel komposit untuk uji tanam dibuat modul media tanam vertikal yaitu panel
dicetak dengan cetakan yang salah satu permukaannya dibuat beralurl. Cetakan tersebut
berbahan aluminium dengan panjang 155 cm, lebar 55 cm dan beralu