Informasi Publik – Pusat Penelitian Biomaterial

LAPORAN TEKNIK TAHUN 2015
PUSAT PENELITIAN BIOMATERIAL
LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Editor:
Kurnia Wiji Prasetiyo, M.Si
Triyani Fajriutami, M.Eng
Fathul Bari, M.TI

Pusat Penelitian Biomaterial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cibinong, 2015

KATA PENGANTAR
Pada Tahun Anggaran 2015, kegiatan penelitian biomaterial di Pusat Penelitian
Biomaterial-LIPI yang salah satu ouputnya adalah Penguasaan dan Penerapan Teknologi
Proses dan Produk Biomaterial terbagi dalam 2 sub-kegiatan besar, yaitu (1) Tematik dan
(2) Produk Komersial. Sub-kegiatan tematik terdiri dari 4 komponen penelitian dengan
judul, yaitu (1) Pemanfaatan sumber daya hayati untuk biopestisida dan biokontrol, (2)
Pengembangan biokomposit sebagai bahan baku industri permukiman dan transportasi,
(3) Penerapan konsep biorefinery pada produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa, dan

(4) Karakterisasi rekayasa dan modifikasi sifat kayu cepat tumbuh dan non-kayu sebagai
bahan baku bangunan dan produk biomaterial lainnya. Untuk sub-kegiatan produk
komersial terdiri dari 10 komponen dengan judul, yaitu (1) Pengembangan vertical boards
skala industri untuk mewujudkan lingkungan hijau, (2) Pemanfaatan total batang bambu
untuk produk bambu komposit, (3) Produksi enzim hidrolisis fortifikasi pakan hewan
monogastrik, digastrik pakan ikan, (4) Pembuatan kit diagnostik untuk deteksi dini kanker
serviks dan condyloma berbasis molekuler, (5) Pengembangan suplemen protein
(antioksidan) berbasis ganggang laut (arthrospira), (6) Pengembangan domestikasi
oposum layang (Petaurus breviceps) guna pemanfaatan berkelanjutan, (7) Produksi
biopestisida berbasis ekstrak alam untuk pengendali hama gudang hasil panen, (8)
Produksi starter dalam bentuk powder untuk pupuk organik, (9) Produksi dan diseminasi
bibit jati double platinum dan bibit jati double artenua, (10) Pengembangan turbin angin
dengan blade berbahan baku kayu. Buku ini memuat laporan hasil kegiatan-kegiatan di
atas dan disusun oleh masing-masing penanggung jawab bersama tim di kegiatan masingmasing. Laporan ini merupakan pertanggungjawaban dari kegiatan penelitian biomaterial
di Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI yang harus dilaporkan pada akhir tahun kegiatan.
Kegiatan penelitian biomaterial di Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI ini bertujuan
untuk menjadikan Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI menjadi pusat penelitian terdepan
dalam penelitian dan pengembangan biomaterial dan mitra strategis sektor industri dalam
menghadapi persaingan global serta meningkatkan nilai tambah sumber daya hayati,
penggalian potensi baru, diversivikasi produk dan efisiensi proses pengolahan yang ramah

lingkungan.
Kami mengucapkan terimakasih kepada para penanggung jawab kegiatan dan
semua pihak yang telah terlibat baik dalam kegiatan penelitian biomaterial secara
keseluruhan maupun dalam penyusunan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi
kita semua.

Cibinong, Desember 2015
Kepala
Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Prof. Dr. Sulaeman Yusuf, M.Agr.
NIP. 195812021985031001

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

i

ii

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i
DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii
BAB I LAPORAN TEKNIK SUB-KEGIATAN TEMATIK............................................................... 1
LT 1. EFIKASI BAKTERI ENTOMOPATOGEN TERHADAP LARVA Spodoptera litura F.
(LEPIDOPTERA, NOCTUIDAE) ........................................................................................... 2
LT 2. TOKSISITAS AKUT ORAL EKSTRAK KASAR EMPAT ISOLAT CENDAWAN
ENTOMOPATOGEN TERHADAP TIKUS PUTIH SPRAGUE DAWLEY .................................. 9
LT 3. PENAPISAN ISOLAT BAKTERI BIOSEMENTASI GUA KARST GUNUNG KIDUL ......... 18
LT 4. COMPOSITES OF COCONUT COIR AND BETUNG BAMBOO FIBER: THE EFFECT OF
MIXTURE COMPOSITION AND CITRIC ACID PERCENTATION ......................................... 22
LT 5. PENGARUH KOMBINASI PRETREATMENT MICROWAVE - ASAM OKSALAT PADA
HIDROLISIS ENZIMATIS TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) ................................ 28
LT 6. THE EFFECT OF TEMPERATURE AND TIME OF COMBINED MICROWAVE-OXALIC
ACID PRETREATMENT ON COMPONENT HYDROLYSATE OF OIL PALM EMPTY FRUIT
BUNCH (OPEFB) .............................................................................................................. 35
LT 7. EFFECT OF TEMPERATURE VARIATION OF MICROWAVE ASSISTED-OXALIC ACID
PRETREATMENT ON THE STRUCTURAL PROPERTIES OF OIL PALM EMPTY FRUIT BUNCH

(OPEFB)........................................................................................................................... 44
LT 8. ANATOMICAL PROPERTIES AND FIBER CHARACTERISTICS OF 2 AND 5 YEARS
PLATINUM TEAK WOOD ................................................................................................. 57
LT 9. KAJIAN KOMPONEN KIMIA JATI PLATINUM BERDASARKAN UMUR POHON (II) .. 61
LT 10. KARAKTERISTIK KAYU JABON TERPADATKAN DENGAN PRAPERLAKUAN
PENGUKUSAN................................................................................................................. 69
BAB II. LAPORAN TEKNIK SUB-KEGIATAN PRODUK KOMERSIAL ....................................... 78
LT 11. FEASIBILITY ANALYSIS OF COMPOSITES INDUSTRY BASED ON COCONUT COIR
FOR VERTICAL GARDEN MEDIA...................................................................................... 79
LT 12. ANALISIS FINANSIAL PENGEMBANGAN INDUSTRI KOMPOSIT SERAT SABUT
KELAPA SEBAGAI MEDIA TANAM VERTIKAL .................................................................. 84
LT 13. SIFAT FISIS DAN MEKANIS BAMBU LAPIS DARI BAMBU SEMBILANG
(Dendrocalamus giganteous ) DAN ANDONG ( Gigantochloa pseudoarundinacea) ..... 92
LT 14. PRODUKSI ENZIM HIDROLISIS UNTUK FORTIFIKASI PAKAN HEWAN
MONOGASTRIK, DAN PAKAN IKAN ................................................................................ 99
LT 15. PEMBUATAN KIT DIAGNOSTIK UNTUK DETEKSI DINI KANKER SERVIKS DAN
CONDYLOMA BERBASIS MOLEKULER ........................................................................... 115
LT 16. PENGEMBANGAN SUPLEMEN PROTEIN (ANTIOKSIDAN) BERBASIS GANGGANG
LAUT (ARTHROSPIRA) ................................................................................................... 122
LT 17. MANAJEMEN PEMBERIAN PAKAN, PANTAUAN REPRODUKSI DAN BONDING

PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps) DI PENANGKARAN.............................. 126

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

iii

LT 18. PEMERIKSAAN DAN KASUS MEDIK PADA OPOSUM LAYANG (Petaurus breviceps
WATER HOUSE, 1839) DI PENANGKARAN ................................................................... 131
LT 19. EFEKTIVITAS FORMULASI EMUSIFIABLE CONCENTRATE (EC) MINYAK MIMBA
TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes sp) ............................................................... 138
LT 20. ACUTE ORAL TOXICITY TEST OF Azadirachta indica CRUDE EXTRACT
FORMULATION ON SPRAGUE DAWLEY RAT (Rattus norvegicus L.) ............................ 143
LT 21. EFEKTIFITAS SOIL TREATMENT DENGAN CUKA KAYU TERHADAP RAYAP TANAH
Coptotermes sp ............................................................................................................ 149
LT 22. TEKNOLOGI PEMBUATAN STARTER PUPUK ORGANIK HAYATI (POH) DALAM
BENTUK POWDER......................................................................................................... 154
LT 23. EVALUASI PERTUMBUHAN AWAL VEGETATIF JATI TETRAPLOID DAN
DIPLOIDNYA DALAM KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN .............................................. 162
LT 24. PRODUKSI BIBIT, UJI AGRONOMI DAN ANALISIS ARTEMISININ Artemisia annua
POLIPLOID HASIL INDUKSI KOLKISIN SECARA IN VITRO ............................................... 170

LT 25. PENGEMBANGAN TURBIN ANGIN DENGAN BLADE BERBAHAN BAKU KAYU . 184

iv

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

BAB I
LAPORAN TEKNIK
SUB-KEGIATAN TEMATIK

Judul dan Penanggung Jawab Kegiatan (Kode Laporan Teknik):
1. Pemanfaatan sumber daya hayati untuk biopestisida dan biokontrol / Deni Zulfiana,
M.Si. (LT 1 – LT 2)
2. Pengembangan biokomposit sebagai bahan baku industri permukiman dan
transportasi / Ananto Nugroho, M.Eng. (LT 3 – LT 4)
3. Penerapan konsep biorefinery pada produksi bioetanol dari biomassa lignoselulosa
/ Fitria, MFoodSc. (LT 5 – LT 7)
4. Karakterisasi rekayasa dan modifikasi sifat kayu cepat tumbuh dan non-kayu
sebagai bahan baku bangunan dan produk biomaterial lainnya / Danang Sarwoko
A, S.Hut. (LT 8 – LT 10)


Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

1

LT 1.
EFIKASI BAKTERI ENTOMOPATOGEN TERHADAP LARVA Spodoptera litura F.
(LEPIDOPTERA, NOCTUIDAE)
Ni Putu Ratna Ayu Krishanti*, Bramantyo Wikantyoso, Apriwi Zulfitri, Deni Zulfiana
Pusat Penelitian Biomaterial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia
*E-mail: ratna.krishanti@yahoo.com
ABSTRAK
Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu hama penting yang
menyerang hampir semua jenis tanaman berdaun (herbaceous plants) terutama komoditas
sayuran. Pengendalian hayati menggunakan bakteri entomopatogen merupakan salah satu
strategi alternatif yang efektif dan ramah lingkungan dibandingkan penggunaan insektisida.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh tiga isolat bakteri entomopatogen
terhadap larva S. litura pada berbagai stadium instar. Dua isolat bakteri entomopatogen

(BLSP-3 dan BLSP-4) yang diisolasi dari pupa S. litura yang telah mati, dan satu isolat
Bacillus thuringiensis (BLBt), menunjukkan aktivitas larvasida terhadap larva S. litura. Isolat
BLBt menghasilkan tingkat mortalitas yang tinggi (>87%) terhadap larva instar 1, 2, dan 3,
namun menunjukkan penurunan efektifitas hingga 53% pada larva instar 4. Isolat BLSP-3
dan BLSP-4 menghasilkan tingkat mortalitas tertinggi terhadap larva instar 1 dan 2 hingga
83% dan 86%, secara berurutan, sedangkan terhadap larva instar 3 hanya sebesar 40%.
Pada larva instar 4, isolat BLSP-3 dan BLSP-4 tidak terlalu efektif ditandai dengan tingkat
mortalitas yang rendah. Ketiga isolat ini berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut
sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan populasi S.litura.
Kata kunci: Agen biokontrol, bakteri entomopatogen, larvasidal, Spodoptera litura
PENDAHULUAN
Spodoptera litura F. (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan salah satu serangga hama
yang potensial merusak tanaman pertanian terutama komoditas sayuran. Menurut Marwoto
(2007), kehilangan panen akibat serangan ulat grayak dapat mencapai hingga 80%. Hama
perusak tanaman pertanian ini menyerang pada semua stadia larva. Ulat S.litura instar 1,
2, 3 menyerang daun sehingga bagian yang tertinggal hanya epidermis atas dan tulangtulang daun, sedangkan instar 4 dan 5 merusak tulang-tulang daun sehingga tampak
lubang-lubang bekas gigitan, pada larva instar 6, ulat telah memasuki masa pembentukan
pupa dimana pergerakannya menjadi lamban dan daya makan ulat sudah berkurang (Arifin,
1991).
Bentuk pengendalian untuk melindungi tanaman dari kerusakan akibat serangan ulat

grayak biasanya menggunakan insektisida. Namun, penumpukan residu akibat
penggunaan insektisida di lingkungan dalam dekade terakhir ini meningkat cukup tinggi.
Hal ini membahayakan bagi kelestarian lingkungan dan kesehatan manusia. Beberapa
dampak negatif akibat penggunaan insektisida secara berlebihan adalah: (a) kematian
organisme bukan sasaran, (b) terjadinya resistensi dan resurgensi hama sasaran, dan (c)
residu insektisida pada produk hasil pertanian, sehingga saat ini perlu diusahakan suatu
pengendalian alternatif (Untung 2006).
Alih teknologi dengan memanfaaatkan agen biokontrol untuk mengendalikan serangga
hama pertanian merupakan strategi alternatif yang menjanjikan dibandingkan penggunaan
2

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

pestisida kimia. Pemanfaatan mikroorganisme khususnya bakteri entomopatogen untuk
mengendalikan populasi ulat grayak sangat efektif karena tidak meninggalkan masalah
resistensi dan resurgensi pada hama sasaran (Adam et al. 2014). Produksi senyawa
metabolit sekunder ataupun produksi enzim ekstraselular oleh mikroorganisme telah
terbukti efektif dalam kontrol populasi larva S.litura (Chandrasekaran et al. 2012).
Studi eksplorasi penggunaan mikroorganisme terutama bakteri sebagai agen biokontrol
terhadap serangan ulat grayak masih sangat dibutuhkan untuk mencari bakteri-bakteri yang

memiliki aktivitas insektisidal untuk dikembangkan sebagai pengendali hama S. litura.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan mengevaluasi pengaruh pemberian bakteri
entomopatogen terhadap berbagai stadium instar larva S. litura.
BAHAN DAN METODE

Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Pengendalian
Serangga Hama dan Biodegradasi, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI pada bulan Maret
2015 sampai Agustus 2015.
Isolat bakteri entomopatogen dan karakteristik morfologi
Tiga isolat bakteri yang digunakan yaitu isolat BLBt, BLSP-3, dan BLSP-4. Isolat bakteri
BLBt merupakan Bacillus thuringiensis yang merupakan koleksi Laboratorium IPBCC,
sedangkan isolat bakteri BLSP-3 dan BLSP-4 merupakan koleksi Laboratorium
Mikrobiologi, Pusat Penelitian Biomaterial, LIPI. Ketiga isolat bakteri diremajakan pada
medium Nutrient agar. Karakterisasi morfologi dari ketiga isolat tersebut mencakup
pewarnaan Gram, bentuk koloni, bentuk tepian koloni, warna koloni, dan elevasi.
Perbanyakan dan pemeliharaan larva S.litura
Telur larva Spodoptera litura diperoleh dari Laboratorium Entomologi di Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan dipelihara serta diperbanyak di Laboratorium
Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI.

Perbanyakan dan pemeliharaan larva S.litura mengikuti metode Javar et al. (2013) dengan
modifikasi. Larva S. litura diberi pakan daun talas dan ditempatkan pada kotak plastik (34
cm x 25 cm x 7 cm). Pakan segar selalu diberikan setiap 2 hari. Larva pada tahap stadia
akhir dipindahkan ke kotak plastik lain yang berisikan serutan kayu untuk pembentukan
pupa. Serangga dewasa (imago) dipindahkan dan dipelihara pada kontainer plastik
berbentuk tabung berukuran (diameter 18 cm x tinggi 26 cm) yang didalamnya dilapisi
dengan kertas sebagai tempat peletakkan telur. Imago diberi pakan larutan madu 10%.
Telur yang dihasilkan dikoleksi setiap hari dan ditempatkan pada kotak plastik bersih hingga
menetas menjadi larva. Larva yang digunakan untuk bioassay merupakan larva pada instar
1, instar 2, instar 3, dan instar 4 pada generasi kedua.
Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap larva S.litura
Pengujian dilakukan dengan menggunakan metode pencelupan daun uji (leaf dipping)
(Balfas & Wilis 2009). Kultur bakteri uji ditumbuhkan pada 250 ml media Nutrient broth
hingga mencapai kerapatan 108 CFU/ml. Daun talas sebagai pakan larva dipotong hingga
berukuran sekitar 4 cm2, dicelupkan ke dalam masing-masing kultur bakteri uji berumur 24
jam, dibiarkan terendam selama 10 menit, dan kemudian dikering anginkan. Daun yang
telah diberi perlakuan dimasukkan ke dalam cup percobaan yang diberi alas kertas. Setiap
cup percobaan diinfestasikan sebanyak 1ekor larva uji. Setiap perlakuan bakteri uji
menggunakan 3 ulangan dan tiap ulangan berisikan 10 ekor larva uji. Daun yang hanya
direndam dengan air steril dijadikan sebagai kontrol negatif. Pakan tanpa perlakuan
diberikan satu hari setelah pemberian pakan perlakuan. Pakan diganti dengan daun talas
segar setiap hari. Parameter yang diamati adalah persentase tingkat mortalitas larva uji

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

3

selama 72 jam waktu pengamatan. Selain mortalitas, kelangsungan hidup larva juga
diamati setiap harinya.
Hasil
Periode siklus hidup S. litura
Larva S. litura yang diberi pakan dengan daun talas memiliki siklus hidup lengkap sekitar
35 hari, meliputi : fase telur, fase larva hingga mencapai instar stadia 6, fase pembentukan
pupa, dan fase imago hingga menghasilkan telur kembali. Telur menetas dalam kurun
waktu 2-3 hari, larva instar 1 hingga mencapai instar 6 membutuhkan waktu rata-rata 14
hari, proses pembentukan pupa membutuhkan waktu 2 hari sedangkan masa pupa hingga
menjadi imago membutuhkan waktu 6-8 hari. Masa periode imago S. litura berkisar 3-5
hari.
Karakteristik morfologi isolat bakteri
Karakteristik morfologi pada isolat bakteri BLSP-3, BLSP-4, dan BLBt disajikan pada
Tabel 1. Pengamatan morfologi isolat bakteri meliputi pengamatan koloni bakteri dan
pengamatan mikroskopis.
Tabel 1. Karakteristik morfologi isolat bakteri entomopatogen
Karakteristik koloni bakteri
Kode
Isolat
Ukuran Bentuk Warna Tepian
Elevasi
BL
SP-3
BL
SP-4
BLBt

Mikroskopis
Bentuk
Gram
Spora
sel

2 mm

bulat

kuning

licin

cembung

negatif

kokus

tidak

3 mm

bulat

merah

licin

cembung

negatif

batang
pendek

tidak

7 mm

bulat

putih

kerut

timbul,
kasar

positif

batang

ya

Ketiga isolat bakteri dapat tumbuh dengan baik pada medium Nutrient agar (Gambar 1.
A). Berdasarkan hasil pengamatan pewarnaan Gram dan pengamatan mikroskopis,
diketahui bahwa isolat BLBt termasuk ke dalam kelompok bakteri gram positif, sedangkan
isolat BLSP-3 dan BLSP-4 termasuk ke dalam kelompok bakteri negatif (Gambar 1. B).

A

B

0.1 mm

4

0.1 mm

0.1 mm

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Gambar 1. Koloni isolat bakteri BLBt, BLSP-4, dan BLSP-3 pada media pertumbuhan
Nutrient agar (A) dan pengamatan secara mikroskopis dengan perbesaran 100X
(B).
Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap S.litura
Pengujian efektifitas bakteri entomopatogen terhadap larva S. litura menunjukkan tingkat
mortalitas larva yang beragam pada berbagai stadium instar yang diperlakukan dengan
waktu pengamatan 24 jam, 48 jam, dan 72 jam. Persentase tingkat mortalitas larva S.litura
pada stadium instar 1, 2, 3, dan 4 disajikan pada Gambar 2. Pada stadium larva instar 1
tingkat mortalitas larva pada 24 jam pertama setelah perlakuan diketahui bahwa isolat
BLSP-4 menunjukkan persentase kematian larva paling tinggi yaitu 67% dibandingkan
perlakuan lain. Sementara itu, ketiga isolat menunjukkan persentase mortalitas larva lebih
dari 80% pada jam ke-48. Pada stadium larva instar 2 dan instar 3, isolat BLBt
memperlihatkan tingkat mortalitas yang paling tinggi dan semakin lama semakin meningkat
seiring dengan waktu pengamatan. Isolat BLSP-3 hanya mampu menghasilkan tingkat
mortalitas tertinggi sampai 83% pada larva instar 2 dan 40% pada larva instar 3, sedangkan
persentase mortalitas larva akibat perlakuan isolat BLSP-4 mencapai 87% pada larva instar
3 dan 40% pada larva instar 3. Kedua isolat ini tidak terlalu efektif pada perlakuan larva
instar 4 karena menghasilkan nilai persentase mortalitas yang kurang dari 40%. Berbeda
halnya dengan isolat BLBt yang masih mampu menghasilkan persentase mortalitas lebih
dari 50 % pada larva instar 4.

80

100

67 70

% tingkat mortalitas larva

% tingkat mortalitas larva

100

67

60

4340
40

40
30
23

27
17

20

23
10

0

93
83
73

908787

80

77

60
33
27

40

40
2327

20
0

instar 1 instar 2 instar 3 instar 4

instar 1 instar 2 instar 3 instar 4

A

B

% tingkat mortalitas larva

100

908793

93

8387

80

80
53

60

4040
40

40

33

20
0
instar 1

instar 2

instar 3

instar 4

C
Gambar 2. Persentase tingkat mortalitas larva S. litura pada pengamatan 24 jam setelah
perlakuan (A), 48 jam setelah perlakuan (B), dan 72 jam setelah perlakuan (C).
Keterangan gambar :
Kematian yang teramati akibat pemberian perlakuan isolat bakteri menunjukkan
perbedaan (Gambar 3). Kematian akibat pemberian isolat BLSP-4 yang teramati pada larva
Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

5

instar 4 menunjukkan tubuh larva yang mati melunak, cairan yang keluar dari tubuh larva
berwarna kemerahan, dan menimbulkan bau yang tidak sedap. Pemberian isolat BLSP-3
menunjukkan gejala kematian yang berbeda yaitu tubuh larva menjadi mengeras, kaku,
dan larva memendek dari ukuran sebelum perlakuan. Sementara itu, tubuh larva yang telah
mati akibat pemberian isolat BLBt pada awalnya tidak terlalu terlihat banyak perubahan
dibandingkan larva yang masih hidup. Namun, seiring hari pengamatan tubuh larva
tersebut menjadi lebih kecil, mengkerut, dan menghitam. Beberapa larva yang mati
menghasilkan cairan yang berwarna keputihan dan berbau.

1

2

3

4

Gambar 3. Gejala kematian larva S.litura instar 4 pada masing-masing perlakuan dan larva
S.litura kontrol yang hidup. 1) Pemberian isolat BLSP-3, 2) Pemberian isolat
BLSP-4, 3) Pemberian isolat BLBt, 4) Perlakuan kontrol dengan akuades steril.
PEMBAHASAN
Penelitian ini telah berhasil mengidentifikasi dampak pemberian tiga isolat bakteri BLBt,
BLSP-3, dan BLSP-4 terhadap mortalitas larva S.litura pada beberapa stadium instar ketika
diberikan sebagai racun umpan. Persentase mortalitas larva sangat tinggi dengan
pemberian isolat BLBt, BLSP-3, dan BL-SP4 pada S.litura instar 1 dan 2, namun pada instar
3 dan 4 mulai menunjukkan penurunan. Perlakuan dengan isolat BLBt menghasilkan
mortalitas larva tertinggi pada stadium instar 3 dan 4 yaitu 80 % dan 53 %, sedangkan
mortalitas larva yang diperlakukan dengan isolat BLSP-4 dan BLSP-3 pada perlakuan
instar 3 sama-sama mencapai 40 %, tetapi mortalitas larva yang diperlakukan dengan isolat
BLSP-3 hanya mencapai 33 % pada perlakuan instar 4. Dalam penelitian ini daun yang
diberi perlakuan diberi makan ke ulat hanya satu kali saja pada hari pertama, hal ini dapat
menyebabkan tingkat mortalitas menurun karena periode ulat memakan daun yang
diperlakukan sangat singkat. Mortalitas dapat meningkat apabila pemberian perlakuan
dilakukan dalam periode yang lama, seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh Bouda
et al. (2001) yang memberi perlakuan minyak tanaman obat pada larva S.zeamais.
Efek fisiologi berdasarakan toksisitas isolat bakteri belum dapat dipastikan, namun
melalui gejala kematian yang ditimbulkan pada larva S.litura instar 4 diketahui bahwa ada
interaksi antara toksin bakteri dengan gejala yang ditimbulkan. Gejala kematian larva
S.litura yang diberi perlakuan isolat BLBt menunjukkan gejala yang sama seperti penelitian
yang dilakukan oleh Bravo et al. (2007), dimana larva yang terinfeksi mengerut, warna
tubuh semakin menghitam, dan mengecil, hal ini disebabkan oleh racun bakteri tersebut
merusak sistem pencernaan dari larva sehingga menyebabkan kematian. Bacillus
thuringiensis merupakan salah satu bakteri penting dalam entomopatogen karena memiliki
kristal parasporal di dalam tubuhnya. Kristal protein ini terbentuk oleh protein Cry yang
dikodekan oleh gen Cry (Schnepf et al. 1998; Crickmore et al. 1998). Protein Cry yang
membentuk kristal yang bersifat toksin terhadap serangga ini dapat larut dalam air dan
termasuk ke dalam kelompok δ-endotoksin bakteri (Hansen & Salamitou 2000). Parasporal
kristal Bt yang masuk ke dalam tubuh serangga uji akan melewati saluran pencernaan
serangga. Kristal protein akan teraktivasi oleh lingkungan basa di dalam saluran
pencernaan menjadi protein δ-endotoksin atau protoksin. Protoksin akan menjadi toksin
apabila teraktivasi oleh enzim protease serangga dan terikat secara spesifik pada reseptor
6

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

di saluran pencernaan (Schunemann et al. 2014). Toksin Cry yang menempel pada
peritropik membran dapat melukai hingga menyebabkan kebocoran saluran pencernaan.
Kerusakan ini menyebabkan serangga menjadi tidak makan, dehidrasi, dan mati (Bravo et
al. 2007; Sousa et al. 2010).
Setelah pemberian pakan dengan perlakuan isolat bakteri BLSP-4, terjadi perubahan
perilaku larva yang teramati setelah 24 jam. Larva menjadi tidak mau makan dan kotoran
(feces) lebih cair dibandingkan dengan kotoran pada larva kontrol yang berupa butiran.
Larva yang terinfeksi dan mati tubuhnya menjadi lunak dan bila kulit disentuh akan pecah
dan cairan tubuh keluar berwarna merah kehitaman. Tubuh yang melunak ini dapat
disebabkan oleh penipisan kutikula serangga akibat proses enzimatik oleh bakteri yang
berada didalam tubuh serangga uji. Salah satu enzim yang sangat berperan dalam proses
penghancuran dinding sel serangga adalah enzim kitinase. Kitinase merupakan enzim yang
dapat menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik pada struktur kitin (polisakarida amino-glukosa
N-acetyl- β-D-glukosamine) (Matsumoto 2006). Kitinase akan menginduksi kerusakan pada
membran peritropik di dalam saluran pencernaan serangga dan menyebabkan reduksi
yang signifikan pada penyerapan nutrisi (Gilbert et al. 2005). Oleh karenanya, kitinase yang
terdapat pada pakan serangga dapat menghambat pertumbuhan serangga. Hasil penelitian
Chandrasekaran et al. (2012) menunjukkan bahwa purifikasi kitinase yang dihasilkan oleh
Bacillus subtilis efektif dalam mengendalikan S.litura melalui tingkat mortalitas yang tinggi
dan berat larva yang tereduksi. Produksi kitinase yang berlebihan pada agen
entomopatogen dapat meningkatkan kematian serangga (Fan et al. 2007). Pemberian
isolat bakteri BLSP-3 menunjukkan gejala kematian dengan tubuh larva yang menjadi kaku
dan mengecil. Belum banyak literatur yang menyebutkan efek kematian larva seperti ini,
namun diduga bahwa toksin yang menyerang serangga uji ini juga menyerang membran
peristropik dan dengan cepat membunuh serangga. Walaupun tingkat mortalitas perlakuan
isolat BLSP-3 tidak terlalu efektif dalam menyebabkan kematian larva S.litura namun
dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis toksin yang dihasilkannya.
Penggunaan biopestisida berbahan dasar hayati seperti mikroorganisme diharapkan
sebagai salah satu insektisida alternatif yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
resistensi terhadap serangga S. litura. Ketiga isolat bakteri entomopatogen ini juga akan
dikembangkan lebih lanjut untuk mengetahui potensinya sebagai racun kontak terhadap S.
litura.
KESIMPULAN
Tiga isolat bakteri entomopatogen (BLBt, BLSP3, dan BLSP4) berpotensi untuk
dikembangkan lebih lanjut sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan populasi S.litura.
Ketiga isolat ini menghasilkan tingkat mortalitas yang tinggi (>80%) terhadap larva instar 1,
dan 2. Isolat BLBt menunjukkan persentase mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan
dengan isolat BLSP-3 dan BLSP-4 pada larva instar 3 dan instar 4 hingga 80% dan 57%
secara berurutan, dengan gejala kematian yang bervariasi. Studi awal ini dapat dijadikan
acuan untuk mengembangkan potensi bakteri entomopatogen ini sebagai kontrol biologi
terhadap serangan ulat grayak S.litura.

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

7

DAFTAR PUSTAKA
Adam, T, Juliana, R, Nurhayati, & Thalib, R, 2014, Bioesai bioinsektisida berbahan aktif
Bacillus thuringiensis asal tanah Lebak terhadap larva Spodoptera litura, Prosiding
Seminar Nasional Lahan Suboptimal, pp. 74: 1-7.
Balfas, R, & Wilis, M, 2009, Pengaruh ekstrak tanaman obat terhadap mortalitas dan
kelangsungan hidup Spodoptera litura F. (Lepidoptera: Noctuidae), Buletin
Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, 2: 148-156.
Bouda, H, Tapondjou, LA, Fontem, DA, & Gumedzoe, YD, 2001, Effect of essential oils
from leaves of Ageratum conyzoides, Lantara camara, and Chromolaena odorata
on the mortality of Sitophylus zeamays (Coleoptera, Curculio-nodae), Journal of
Stored Products Research, 37: 103-109.
Bravo, A, Gill, SS, & Soberon, M, 2007, Mode of action of Bacillus thuringiensis Cry and cry
toxins and their potential for insect control, Toxicon, 49: 423-435.
Chandrasekaran, R, Revathi, K, Nisha, S, Kirubakaran, SA, Narayanam, SS, & Nathan SS,
2012, Physiological effect of chitinase purified from Bacillus subtilis against the
tobacco cutworm Spodoptera litura Fab., Pesticide Biochemistry and Physiology,
104: 65-71.
Crickmore, N, Zeigler, DR, & Feitelson, J, 1998, Revision of the nomenclature for the
Bacillus thuringiensis pesticidal crystal proteins, Microbiology and Molecular Biology
Reviews, 62: 807–813.
Fan, YH, Fang, WG, Guo, SJ, Pei, XQ, Zhang, YG, Xiao, YH, Bidochka, MJ, & Pei, Y, 2007,
Increased insect virulence in Beauveria bassiana strains over expressing an
engineered chitinase, Applied Environmental Microbiology, 73: 295–302.
Gilbert, GI, Iatrou, K, & Gill, SS, 2005, Biochemistry of digestion, in: Comprehensive
Molecular Insect Science Biochemical and Molecular Biology, Elsevier Press,
Oxford, UK, pp: 171-224.
Hansen, BM, & Salamitou, S, 2000, Virulence of Bacillus thuringiensis, in
Entomopathogenic Bacteria: From Laboratory to Field Application, Kluwer
Academic, Dodrecht, The Netherlands, pp: 41–44.
Javar, S, Sajap, AS, Mohamed, R, & Hong, LW, 2013, Suitability of Centella asiatica
(pegaga) as a food source for rearing Spodoptera litura (F) (Lepidoptera: Noctuidae)
under laboratory conditions, Journal of Plant Protection Research, 53: 184-189.
Marwoto, 2007, Dukungan pengendalian hama terpadu dalam program bangkit kedelai,
Iptek Tanaman Pangan, 1: 79-92.
Matsumoto, KS, 2006, Fungal chitinases, Biotechnology Department, Lab. Biopolymers,
Av. San Rafael Atlixco, Col. Vicentina, Mexico, pp: 186.
Schunemann, R, Knaak, N, & Fluza, LM, 2014, Mode of action and specifity of Bacillus
thuringiensis toxins in the control of caterpillars and stink bugs in soybean culture,
ISRN Microbiology, 2014: 1-12.
Schnepf, E, Crickmore, N, & J. van Rie, 1998, Bacillus thuringiensis and its pesticidal crystal
proteins, Microbiology and Molecular Biology Reviews, 62: 775–806.
Sousa, MEC, Santos, FAB, & Wanderley-Teixeira, V, 2010, Histopathology and
ultrastructure of midgut of Alabama argillacea (H¨ubner) (Lepidoptera: Noctuidae)
fed Bt-cotton, Journal of Insect Physiology, 56: 1913–1919.
Untung, K, 2006, Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.

8

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

LT 2.
TOKSISITAS AKUT ORAL EKSTRAK KASAR
EMPAT ISOLAT CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
TERHADAP TIKUS PUTIH SPRAGUE DAWLEY
Bramantyo Wikantyoso*, Apriwi Zulfitri, Ni Putu Ratna Ayu Krishanti, Deni Zulfiana
Pusat Penelitian Biomaterial
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Cibinong Science Center, Jln. Raya Bogor Km. 46, Cibinong Bogor, Indonesia
*E-mail: zulfiana@yahoo.com
ABSTRAK
Pengembangan cendawan entomopatogen sebagai agen biokontrol dan biopestisida
dalam usaha pengendalian populasi serangga sudah banyak dilakukan. Setiap spesies
cendawan entomopatogen memiliki karakter yang berbeda dalam mempengaruhi tingkat
patogenitas dan resistensi di alam. Pada penelitian sebelumnya dihasilkan empat isolat
cendawan entomopatogen yang memiliki kemampuan infeksi yang paling baik terhadap
rayap tanah Coptotermes gestroi berdasarkan nilai mortalitasnya. Keempat isolat tersebut
yaitu Beauveria bassiana, Humicola sp., Nomuraea rileyi, dan Metarhizium anisopliae
M622. Meskipun keempat isolat ini menunjukkan kemampuan patogenitas yang baik pada
rayap, namun daya toksisitasnya pada organisme lain belum diketahui. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat toksisitas empat isolat cendawan entomopatogen ini terhadap
organisme lain yang direpresentasikan dengan tikus putih Sprague Dawley melalui uji
toksisitas akut oral. Dosis tunggal oral yang digunakan pada tiap perlakuan adalah 5000
mg/kgBB. Parameter yang diamati adalah mortalitas dan gejala klinis yang ditimbulkan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keempat ekstrak cendawan entomopatogen
(SD1M622, SD2Beau, SD3Hum, SD4Nom) tidak menimbulkan kematian tikus. Semua
isolat tergolong aman untuk akut oral karena memiliki dosis toksisitas di atas 5000
mg/kgBB.
Kata kunci: cendawan entomopatogen, mortalitas, toksisitas, akut oral
ABSTRACT
Development of entomopathogenic fungi as biocontrol agent and biopesticide natural
source have been carried out in considerable amount, since controlling insect pest
population is more recently needed. Each entomopathogenic fungi species has different
traits which work on leveling patogenicity and resistence rate. Seven isolates of
entomopathogenic fungus had been tested on subterranian termite Coptotermes gestroi
and generated four isolates with the highest termite mortality rates. The fourth of the fungus
are Beauveria bassiana, Humicola sp., Nomuraea rileyi, and Metarhizium anisopliae M622.
Although they showed favorable abilities in suppressing termite population under laboratory
condition, the exposure effects on non target organisms is still unknown. This study aiming
on acute oral toxicity observation on mammal which is represented by Sprague Dawley rats.
5000 mg/kgBW entomopathogenic fungus crude extracts as oral single dose had been
used. Mortality and clinical signs are monitored as well as body weight alteration. The
research indicated that four crude extracts of entomopathogenic fungus (SD1M622,
SD2Beau, SD3Hum, SD4Nom) had no clinical impact and yielded 0% mortality in treatment
groups. The isolates are safe to acute oral administration and have higher single dose than
5000 mg/kgBW.
Key words: entomoathogenic fungi, mortality, toxicity, acute oral
Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

9

PENDAHULUAN
Saat ini kegiatan pengendalian hama adalah salah satu hal yang perlu perhatian
lebih karena banyak aspek yang akan terkena dampak dari pengendalian hama yang tidak
sesuai. Tidak sedikit petani lokal di indonesia yang masih memiliki ekspektasi produksi yang
rendah dan toleransi terhadap kerusakan panen karena hama. Selain itu perspektif
kedaerahan yang menganggap hama merupakan makhluk sesama dan berbagi sumber
makanan dengan hama merupakan hal yang wajar asal tidak menyebabkan kerusakan
lebih dari 50% (Marten, 1986).
Gangguan organ endokrin seperti gondok, kekurangan hormon pertumbuhan,
hipoglikemik dan lainnya sering terjadi pada daerah dengan tingkat penggunaan
pestisidanya tinggi. Pesticide Action Network Asia and the Pacific (PANAP) pada
pertemuannya dalam United Nations Environment Program: Global Major Groups and
Stakeholders Forum (2011) menyatakan bahwa 66% pestisida kimia yang digunakan oleh
petani di Asia termasuk di Indonesia merupakan pestisida yang berbahaya tinggi bagi
kesehatan berdasarkan kriteria klasifikasi dari Pesticide Action Network (PAN). PANAP
menyatakan bahwa penggunaan dosis rendah bahan kimia yang berbahaya dapat memicu
gangguan sistem endokrin dalam tubuh, khususnya pada wanita, anak anak, usia lanjut
dan pada masyarakat yang sakit atau kurang nutrisi (Whittle, 2010). Selain itu pestisida
kimia memiliki kelemahan yaitu pemakaian yang tidak tepat akan menyebabkan resistensi.
Sebagai contoh pada tahun 1986–1987, penggunaan pestisida kimia yang berlebihan dan
tidak sesuai prosedur menyebabkan adanya resistensi hama dan membunuh predator
alaminya. Petani kehilangan 1 juta ton beras dan setara dengan 180.000.000 US Dollar.
Limbah dari polusi ini masuk ke dalam aliran sungai dan merusak lingkungan juga
kesehatan warga setempat (Barbier, 1989).
Usaha Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan salah satu upaya yang
memberikan jalan bagi petani dan pengguna pestisida untuk lebih bijak baik dari segi
metode yang lebih ramah lingkungan dan sehat, serta segi ekonomi yang efektif. PHT
merupakan sistem fleksibel yang baik digunakan karena menggunakan sumber bahan lokal
dengan penelitian yang selalu berkembang, teknologi terbaharui, dan ramah untuk
kesehatan manusia dan lingkungan. Beberapa pilihan dapat dilakukan dengan PHT adalah
dengan mencegah akses hama secara fisik, peningkatan kualitas lingkungan melalui
variasi penanaman, dan penurunan populasi hama salah satunya menggunakan musuh
alami hama sebagai kontrol secara biologis (James et al. 2010).
Menurut James et al. (2010), beberapa organisme memiliki potensi untuk digunakan
sebagai kontrol biologis hama, salah satunya organisme entomopatogen. Entomopatogen
merupakan organisme yang mengontrol dan membunuh hama dalam hal ini serangga
dengan menyebarkan penyakit dalam tubuh dan populasi hama tersebut. Entomopatogen
dapat berasal dari cendawan, nematoda, bakteri, protozoa atau virus. Tiga mekanisme
kerja cendawan entomopatogen adalah invasi, sekresi toksikan, dan destruksi. Ketiga
mekanisme tersebut dapat terjadi secara bertahap atau kombinasi (Yendol & Paschke,
1965; Zulfiana et al. 2010).
Potensi yang dimiliki oleh cendawan entomopatogen tersebut memiliki kesempatan
besar untuk bisa diformulasi dan diproduksi untuk aplikasi skala lapangan. Namun
pengamatan dan observasi lebih jauh merupakan hal yang penting untuk mengetahui
interaksi dengan lingkungan hidupnya, sebagai bentuk penilaian dampak ekologi dan
keselamatan (Syaharaj & Namachivayam, 2011).
Latar belakang tersebut merupakan landasan untuk melakukan evaluasi toksisitas
akut oral cendawan entomopatogen. Pada penelitian sebelumnya tujuh isolat cendawan
entomopatogen telah dilakukan pengujian bioassay pada rayap tanah Coptotermes gestroi
dan empat isolat menunjukkan angka mortalitas rayap tertinggi (Gambar 3). Empat isolat
cendawan tersebut adalah Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi, Humicola sp., dan
Metarhizium anisopliae M622. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui toksisitas empat
cendawan entomopatogen terhadap tikus putih Sprague Dawley sebagai representasi
organisme mamalia.
10

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Mortalitas rayap (%)

60
40
20
0
JAM 1

JAM 2

JAM 3

JAM 4

JAM 5

JAM 6

JAM 24 JAM 48

Waktu
M1543

Hum

M1570

Nom

M622

MBPTP

BeauBPTP

Kontrol

Gambar 3. Grafik persentase mortalitas rayap tanah Coptotermes gestroi yang
diperlakukan dengan ekstrak kasar cendawan entomopatogen selama 48 jam.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggnakan metode uji toksisitas oral akut yang merujuk pada Hall et
al. (1982) dengan modifikasi dosis, rentang waktu pengujian dan jumlah hewan coba yang
digunakan.
Tempat Penelitian
Penelitian dimulai pada bulan Agustus hingga September 2015 di Laboratorium
Pengendalian Hama Permukiman dan Pertanian, Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI,
Cibinong.
Persiapan Bahan Uji Ekstrak Kasar Cendawan
Ekstrak cendawan yang digunakan untuk uji akut oral adalah empat cendawan yang
menunjukkan persentase mortalitas rayap paling tinggi pada uji pendahuluan (Gambar 3),
yaitu Beauveria bassiana, Nomuraea rileyi, Humicola sp., dan Metarhizium anisopliae
M622. Ekstrak cendawan merupakan hasil fermentasi pada medium Czapex-dox Broth
dengan penambahan 10% pepton sebagai sumber nitrogen berdasarkan Zulfiana et al.
(2009). Bahan uji ekstrak kasar yang digunakan untuk administasi oral diperoleh melalui
penyaringan menggunakan disposable filter (0.20 µl Minisart-Sartorius). Perhitungan berat
jenis ekstrak dilakukan dengan menggunakan piknometer, untuk menentukan konversi
dosis tunggal 5000 mg/kgBB.
Aklimatisasi dan Pengelompokan Hewan Uji
Sebagai hewan uji digunakan tikus putih dewasa Sprague Dawley, yang diperoleh
dari Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tikus dalam kondisi sehat, umur
8-12 minggu, bobot badan berkisar 176 gram dan jenis kelamin betina. Jumlah tikus yang
digunakan 15 ekor dibagi kedalam empat kelompok perlakuan dan satu kelompok kontrol
dengan tiga kali ulangan (ulangan I: Hijau [H], ulangan II: Biru [B], ulangan III: Putih [P]).
Masing-masing perlakuan diberikan kode sesuai dengan perlakuan isolat cendawan yang
digunakan (SD1M622: M. anisopliae; SD2Beau: B. bassiana; SD3Hum: Humicola sp.;
SD4Nom: N. rileyi). Sebelum pengujian dilakukan, tikus diaklamatisasikan selama satu
minggu dalam kotak plastik (39x30x12,5 cm). Makan dan minum diberikan secara adlibitum. Pelet standar digunakan sebagai pakan tikus selama masa pengujian.
Perlakuan dan Administrasi Bahan Uji
Sehari sebelum perlakuan semua tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 24 jam.
Administrasi per oral dilakukan dengan jarum oral tumpul dan syringe (1 ml One Med). Pada
kelompok perlakuan diinjeksikan dengan 1 ml ekstrak kasar masing-masing isolat,
sedangkan pada kelompok kontrol digunakan akuades steril. Pengamatan dilakukan pada
jam ke-1, 2, 3, 4 dan per hari hingga hari ke 14 serta dilakukan penimbangan berat badan
Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

11

tikus setiap 3 hari sekali. Pengamatan terhadap kemungkinan adanya gejala klinis
dilakukan setiap hari. Pada hari ke-15 tikus semua tikus yang masih hidup dimatikan
dengan cara dieuthanasi dan dilakukan nekropsi untuk pengamatan patologi gross. Organ
yang diamati adalah organ gastrointestinal liver dan ginjal.
Pengamatan
Selama pengujian dilakukan pengamatan pada mortalitas tikus hingga hari ke 14.
Ketika ada kematian tikus maka tikus diambil dari kandang dan dilakukan nekropsi untuk
kemudian diamati secara makroanatomi untuk mendapatkan data patologi gross. Dilakukan
pengukuran organ berdasarkan aksis anteroposterior (AP) dan laterolateral (LL).
Penimbangan berat badan dilakukan setiap 3 hari sekali. Selain itu dilakukan pengamatan
terhadap terhadap tanda-tanda klinis yang nampak seperti hipersalivasi, hiperlakrimasi,
mengigil, rambut berdiri, kecemasan, kelemahan, diare dan kejang. Setelah nekropsi (hari
ke-15) dilakukan pengamatan secara makro anatomi untuk melihat patologi gross.
Analisis Data
Data dari patologi gross yang ditemukan di organ ditunjukkan sebagai persentase,
sedangkan data berat di analisis menggunakan ANOVA (= 0.05) (SPSS version 16).
Koreksi data dilakukan dengan menggunakan uji Post Hoct - Bonferroni.
HASIL
Pada penelitian sebelumnya dilakukan uji toksisitas tujuh ekstrak kasar isolat
cendawan entomopatogen terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi yaitu perlakuan
dengan 7 isolat cendawan entomopatogen selama 48 jam menghasilkan mortalitas rayap
signifikan terhadap kontrol yang ditunjukkan oleh isolat B. bassiana (54%), Humicola sp.
(52%), N. rileyi (49,33%), dan M. anisopliae M622 (47,33%) (Lampiran 1). Hasil tersebut
kemudian yang menjadi dasar untuk dilanjutkan uji toksisitas akut oral terhadap mamal
untuk mengetahui adanya gejala klinis dari toksisitas keempat isolat tersebut.

Berat badan (g)

Gejala Klinis dan Mortalitas
Pada uji toksisitas akut oral menggunakan empat ekstrak cendawan
entomopatogen, tidak ditemukan adanya tanda-tanda klinis seperti hiperlakrimasi,
hipersalivasi, tremor, horipilasi, kejang serta tidak ada perubahan pada mata, bulu,
respirasi, sistem syaraf dan perilaku (Tabel 1). Selain itu keempat ekstrak tidak
menyebabkan kematian pada tikus, dimana semua tikus dapat bertahan hidup dan tidak
ada tanda-tanda tikus sakit sampai akhir pengujian (Tabel 2). Selama waktu studi berat
badan tikus pada masing-masing perlakuan juga menunjukkan peningkatan (Gambar 1).
210
190
170
150
0

3

6

9

12

15

Hari keKontrol

SD1M622

SD3Hum

SD4Nom

SD2Beau

Gambar 1. Perubahan berat badan dari H0 – H15 pada kelompok perlakuan oleh dosis
tunggal 5000 mg/kgBB empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan
kelompok kontrol oleh akuades steril.
Pada penghitungan berat badan hari ke-15 didapatkan data bahwa masing-masing
perlakuan tidak menunjukkan berat badan yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan
12

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

kontrol (186,67 ± 20,82 g) yaitu sebesar 182,5 ± 14,43 g (SD1M622), 206,67 ± 18,93 g
(SD2Beau), 172,5 ± 12,58 g (SD3Hum), dan 161,67 ± 17,56 g (SD4Nom) (α=0.05) (Tabel
1).
Tabel 1. Gejala klinis pada kelompok perlakuan dengan dosis tunggal 5000mg/kgBB empat
ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol dengan akuades
steril. (HS: Hipersalivasi; HL: Hiperlakrimasi; HP: Horipilasi; W: Weakness; T: Tremor;
C: Cramp)
Penilaian: - = tidak ada gejala klinis teramati; ± = gejala klinis ringan teramati; + =
gejala klinis sedang teramati; ++ = gejala klinis cukup parah teramati; +++ = gejala
klinis parah teramati; ++++ = gejala klinis sangat parah teramati diikuti kematian
Waktu

Jam 1

Jam 2

3

Jam 4

Hari 1

Hari 2

Hari 3

Hari 4

Hari 5

Perlakuan
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom

Waktu

Perlakuan

Hari 6

Kontrol

HS
-

HS
-

Gejala Klinis
HL HP W T
Gejala Klinis
HL HP W T
-

C
-

Hari 7

Hari 8

Hari 9

Hari
10

Hari
11

Hari
12

Hari
13

Hari
14

SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom

-

-

-

-

-

-

C
-

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

13

Tabel 2. Persentase mortalitas pada kelompok perlakuan oleh dosis tunggal 5000mg/kgBB
empat ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol oleh akuades steril.
Mortalitas tikus (%)
Hari

Jam

Perlakuan

1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

1
0
0
0
0
0
0

1
1
0
0
0
0
0

1
2
0
0
0
0
0

1
3
0
0
0
0
0

1
4
0
0
0
0
0

Patologi Gross
Berdasarkan pengamatan patologi secara makroskopis tidak ditemukan adanya
tanda-tanda patologis akibat administrasi cendawan entomopatogen selama 14 hari pada
organ hati dan ginjal (Gambar 2).

Gambar 2. Sampel organ hati dan ginjal dari tikus kontrol dan perlakuan pada hari 15
setelah nekropsi. Tidak ditemukan adanya tanda-tanda patologis melalui
pengamatan gross.
(a: KontrolB, b:SD1M622H, c: SD2BeauH, d: SD3HumB, e: SD4NomH, f:
KontrolB, g: SD1M622P, h: SD2BeauP, i: SD3HumB, j: SD4NomB, k: KontrolB, l:
SD1M622H, m: SD2BeauP, n: SD3HumH, o: SD4NomB)
Pengukuran organ dilakukan menurut aksis anteroposterior (AP) dan laterolateral
(LL) untuk membandingkan ukuran dengan kelompok perlakuan kontrol. Ukuran organ hati,
ginjal kiri dan kanan pada masing-masing perlakuan tidak berbeda nyata dengan kelompok
kontrol setelah dianalisis dengan menggunakan ANOVA dan uji Post Hoc – Bonferroni
(α=0.05) (Tabel 3). Pada ginjal kiri teramati ukuran perbandingan aksis AP : LL terbesar
yaitu 1,73 ± 0,10 : 0,93 ± 0,06 cm dan terkecil adalah 1,58 ± 0,03 : 0,79 ± 0,16 cm
sedangkan ginjal kanan memiliki ukuran perbandingan aksis AP : LL terbesar adalah 1,69
± 0,10 : 0,97 ± 0,06 cm dan terkecil adalah 1,47 ± 0,10 : 0,94 ± 0,13 cm. Pada organ hati
teramati ukuran perbandingan aksis AP : LL terbesar yaitu 4,6 ± 0,2 : 4,95 ± 1,35 cm dan
terkecil adalah 3,96 ± 0,63 : 3,71 ± 0,19 cm.

14

Laporan Teknik Tahun 2015. Pusat Penelitian Biomaterial-LIPI

Tabel 3. Perbandingan ukuran panjang (anteroposterior) dan lebar (laterolateral) organ hati
dan ginjal pada kelompok perlakuan dengan dosis tunggal 5000mg/kgBB empat
ekstrak kasar cendawan entomopatogen dan kelompok kontrol dengan akuades
steril.
Ginjal
Perlakuan
Kontrol
SD1M622
SD2Beau
SD3Hum
SD4Nom

Kiri
AP
1,6 ±
0,09
1,58 ±
0,03
1,73 ±
0,10
1,55 ±
0,15
1,53 ±
0,11

Hati

Kanan
LL
0,95 ±
0,06
0,79 ±
0,16
0,93 ±
0,06
0,84 ±
0,038
0,85 ±
0,05

AP
1,57 ±
0,06
1,55 ±
0,05
1,69 ±
0,10
1,47 ±
0,08
1,47 ±
0,10

LL
0,90 ±
0,175
0,85 ±
0,10
0,97 ±
0,06
0,95 ±
0,02
0,94 ±
0,13

AP
4,18 ±
0,63
4,35 ±
0,21
4,6 ± 0,2
4,47 ±
0,40
3,95 ±
0,63

LL
4,23 ±
0,59
4,69 ±
0,01
4,95 ±
1,35
3,85 ±
0,58
3,71 ±
0,19

PEMBAHASAN
Kerusakan organ pada mamalia seperti pneumonia, septisemia, penyakit sistemik
dan kulit dapat terjadi oleh cendawan (Rippon, 1988). Namun cendawan entomopatogen
seperti M. anisopliae, B. bassiana, dan N. rileyi memiliki inang yang spesifik. Walaupun
spesifik terhadap kelas serangga namun bila dibandingkan dengan yang lainnya,
cendawan seperti B. bassiana dan M. anisopliae memiliki spektrum target yang luas. Ketika
spektrum target luas berarti tingkat spesifitas akan semakin kecil karena kemampuan hidup
pada inang yang bermacam-macam. Rendahnya spesifikasi inang cendawan tersebut
memiliki konsekuensi lebih besar terhadap pengujian toksisitas terhadap organisme non
target.
Pada pengujian kali ini dilakukan beberapa modifikasi dari ketentuan metode yang
disebutkan oleh Hall et al. (1982). Modifikasi dosis dilakukan untuk melihat adanya efek
pada administrasi melebihi dosis 5000 mg/kgBB yang ditentukan pada metode tersebut.
Hasil konversi didapatkan dosis tunggal 5000 mg/kgBB setara dengan 852,66 µl bahan uji
cendawan entomopatogen sedangkan administrasi yang dilakukan adalah 1000 µl
cendawan entomopatogen untuk masing masing tikus perlakuan dan akuades steril
digunakan untuk tikus kontrol. Modifikasi rentang waktu penelitian dilakukan yaitu 14 hari
sedangkan pada Hall et al. (1982) pengamatan dilakukan selama 28 hari. Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh dalam jangka waktu yang lebih pendek namun
dengan dosis perlakuan yang lebih tinggi. Modifikasi jumlah hewan coba dilakukan untuk
meminimalisir penggunaan hewan coba dan disesuaikan dengan tujuan percobaan dan
penggunaan bahan uji. Tikus betina digunakan tanpa pejantan dikarenakan betina memiliki
tingkat sensitivitas lebih tinggi terhadap perlakuan dan dalam penelitian ini tidak dilakukan
perbandingan antar jenis kelamin (OECD no. 420, 2001).
Hasil pengamatan toksisitas akut oral menunjukkan bahwa keempat ekstrak
cendawan entomopatogen tidak menyebabkan kematian pada tikus ditandai dengan
persentase mortalitas 0%. Hasil selaras ditunjukkan pada hasil uji lainnya menggunakan
cendawan entomopatogen B. bassiana HF23, M. anisopliae var. acridum, dan N. rileyi
(EFSA, 2013; EPA, 2005; Torrielo et al. 2009; Iqtiat et al. 2009). Sedangkan uji toksisitas
akut oral cendawan entomopatogen dari jenis Humicola sp. tidak ditemukan dalam literatur.
Humicola sp. dalam beberapa referensi menyebutkan bahwa cendawan tergolong