[Pembelajaran Karakter] Bab 1 pendahuluan edit

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasca

reformasi

1998

bangsa

Indonesia

menunjukkan

indikasi

terjadinya krisis karakter yang cukup memprihatikan. Demoralisasi mulai
merambah ke dunia pendidikan yang belum


memberi ruang untuk

berperilaku jujur karena proses pembelajaran cenderung mengajarkan
pendidikan moral dan budi pekerti sebatas pengetahuan yang tertulis dalam
teks dan kurang mempersiapkan siswa untuk menyikapi dan menghadapi
kehidupan yang kontradiktif. Bisa jadi, fenomena maraknya praktik korupsi
juga

berawal

dari

fungsinya sebagai

kelemahan

dunia

pendidikan


dalam

menjalankan

institusi yang turut bertanggung jawab membenahi

moralitas anak bangsa. Ditemukannya beberapa bukti seperti tingginya
angka kebocoran di institusi pendidikan, pengkatrolan nilai oleh guru,
plagiatisme naskah-naskah skripsi dan tesis, menjamurnya budaya nyontek
para siswa, korupsi waktu mengajar, dan sebagainya telah menunjukkan
betapa telah terjadi reduksi moralitas dan nurani sebagian dari kalangan
pendidik dan peserta didik. Di sisi lain, praktik pendidikan Indonesia yang
cenderung terfokus pada pengembangan aspek kognitif

dan sedikit

mengabaikan aspek soft skils sebagai unsur utama pendidikan karakter,
membuat nilai-nilai positif pendidikan belum optimal dicapai.
1


Memang budaya korupsi yang menghancurkan moralitas bangsa
Indonesia masih terus terjadi. Berbagai usaha telah dilakukan untuk
mengurangi bahkan menghancurkan praktik yang merugikan kehidupan
bangsa ini. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim
Koordinasi

Pemberantasan

Tindak

Pidana

Korupsi

Presiden

(Inpres

No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi merupakan sebagian
jawaban


dalam

upaya

memberantas

budaya

koruptif.

Upaya

penanggulangan dan pemberantasannya senyatanya telah dilakukan dengan
cara yang lebih canggih, bahkan para penegak hukum, terutama KPK telah
menggunakan semua kekuatan yang dimilikinya. Namun demikian, praktik
ini masih terus berlangsung dengan modus yang lebih canggih
Korupsi merupakan salah satu bentuk krisis karakter yang sangat
dampaknya buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat
utama kemajuan ekonomi, dan pada akhirnya korupsi menjadi sumber dari

berkembangnya

kemiskinan

di

Indonesia.

Dalam

kancah

pergaulan

internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di
dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah
pergaulan bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan
beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran, pengendalian diri ( self

regulation), dan tanggung jawab sosial (Raka, 2007:2).

Sebagaimana fenomena sosial yang terjadi pada akhir-akhir ini,
budaya korupsi sudah merambah di lingkungan eksekutif, legislatif,
yudikatif, dan BUMN. Kasus kasus “Bank Century”, kasus suap pada
2

anggota DPR, “Markus” (makelar kasus) ala Gayus Tambunan, korupsi
perpajakan lainnya, mafia pengadilan, dan lain-lain adalah fenomena
korupsi yang sering kita dengar dan tonton di mass madia. Hal ini
mengambarkan bahwa aktivitas kelembagaan, semakin lama semakin
terjebak kepada biudaya koruptif bahkan mengacu budaya yang pragmatis
materialistik. Padahal, budaya kelembagaan haruslah jauh dari kepentingan
pragmatis materialistik dan harus mengacu pada nilai-nilai pendidikan
spiritualitas, sebagaimana yang mereka cita-citakan. Dengan kata lain,
budaya kelembagaan mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat
seperti jujur, tegas, hati-hati, percaya diri, penuh pertimbangan, berani,
sopan, bersemangat, lembut, dan halus, sikap ramah, moderat dan
bijaksana, rendah hati, adil, mengamalkan kebaikan, menabur kasih sayang,
hidup sederhana, taat dan patuh, sabar menjaga kedamaian, dapat
mempercayai dan dipercaya (TIM Pasca sarjana, 2010:35).
Di


samping

korupsi,

memudarnya

karakter

anak

bangsa

juga

ditunjukkan oleh meningkatnya aksi-aksi yang berdampak pada rusaknya
diri bangsa kita sendiri, seperti tawuran, vandalism, saling caci-maki,
perkelahiran antarsporter, pembunuhan, pemerkosaan, penipuan, dan
sejenisnya. Ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras mengerahkan potensi
masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya, sebagian dari

anak bangsa justru terjebak pada perilaku yang tidak produktif dan
merugikan masyarakat sendiri. Penyelesaian perbedaan pendapat dengan
menggunakan kekerasan dan mengarah pada konflik horizontal bahkan
3

SARA,

sebagaimana

yang

sering

dipertontonkan

media

massa,

menunjukkan semakin memudarnya nilai-nilai kemanusiaan dan kesatuan

dalam negara yang berbhineka tunggal ika.
Di kalangan anak muda, yang notabene generasi penerus bangsa juga
muncul perilaku-perilaku menyimpang dan menyedihkan. Maraknya geng
motor, seks bebas, keterlibatan dalam narkoba, tawuran, perilaku santai,
ugal-ugalan di jalan dan sebagainya merupakan beberapa kasus yang
mewarnai kehidupan mereka dan tak layak untuk diteladani. Jika perilaku
ini terus berkembang, mau kemana anak bangsa ini?
Krisis karakter memang menjadi masalah kita bersama. krisis
karakter merupakan sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa
diperoleh secara mudah, tanpa kerja keras, dan bisa dicapai dengan
menadahkan tangan ataupun dengan menuntut ke kiri dan ke kanan.
Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain juga merupakan salah
satu karakter yang menghambat kemajuan bangsa ini. Banyaknya orang
menyatakan

bahwa

sulitnya

Indonesia


mencapai

kemajuan

sesudah

kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda merupakan salah satu
contoh betapa kita cara pandang menyalahkan orang lain masih saja
terpelihara dalam kehidupan bangsa ini. Demikian halnya, penyebab
rusaknya

ekonomi

Indonesia

sering

mengambinghitamkan


konspirasi

Amerika Serikat, IMF, World Bank, aaupun akibat dominasi golongan
minoritas. Dalam konteks ini, kita memang terlalu mudah menyalahkan
orang/bangsa lain, tanpa kita menginstropeksi diri. Apakah kita yang salah?
4

Oleh karena itu, krisis karakter sudah waktunya diatasi secara
struktural oleh bangsa Indonesia. Karena itu, penanganan krisis karakter
haruslah dimulai dari pemahaman akan penyebab krisis di Indonesia
sehingga solusi terhadap masalah krisis karakter didasarkan pada sumber
masalah. Di samping itu, peran lembaga pendidikan diharapkan lebih
proaktif, kreatif dan inovatif dalam merancang proses pembelajaran yang
benar-benar mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan pendidikan
karakter. Dalam hal inilah proses pendidikan karakter perlu dirancang
dalam perspektif holistik dan kontekstual sehingga mampu membangun
pemikiran yang dialogis-kritis dalam membentuk manusia yang berkarakter,
dalam semua level masyarakat yakni keluarga, sekolah, masyarakat dan
negara.
Mengurai persoalan krisis karakter bukanlah pekerjaan yang mudah
karena penyebab krisis Indonesia sudah bersifat struktural dalam dinamika
kehidupan masyarakat. Bahkan, dalam dimensi sosiologis, krisis karakter
sudah terjadi pada unsur-unsur masyarakat yang telah berkembang secara
sistemik sehingga efek sosialnya mulai dirasakan oleh masyarakat itu
sendiri.
Sebenarnya, penyebab yang menjadi pemicu krisis karakter yang
terus bekelanjutan hingga kini sebagaimana dipaparkan oleh Raka (2007:46) tersebut di atas adalah sikap terlena oleh sumber daya alam yang
melimpah.

Di

setiap

pikiran

orang

Indonesia

sejak

puluhan

tahun

ditanamkan pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya.
5

Sumber daya alamnya melimpah. Hal ini dijadikan salah satu unsur
kebanggaan bangsa kita. Memang memiliki sumber daya alam melimpah
perlu

disyukuri,

namun

dipihak

lain,

hal

itu

juga

bisa

membawa

permasalahan tersendiri.
Dalam analisis ESQ dijelaskan adanya tujuh krisis moral yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain adalah krisis kejujuran,
krisis tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis
kebersamaan, krisis keadilan (Zuchdi, 2009: 39-40). Berdasarkan paparan
di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab krisis karakter bersifat
multidimensional, sehingga solusi terhadap masalah krisis karakter harus
diatasi secara struktural.
Dengan pendekatan struktural memberikan efek perubahan pada
dimensi

struktur

dan

proses

sosial

dalam

masyarakat,

sehingga

pembentukan karakter lebih dinamis. Hal ini bisa terjadi karena dimensi
struktur terkait dengan pranata dan peran yang ada dalam masyarakat,
sedangkan dimensi proses menekankan pada interaksi sosial yang terjadi
antarperan

dalam

kehidupan

masyarakat.

Lebih

khusus

lagi,

peran

pendidikan sangat diharapkan menjadi kekuatan yang mampu memberikan
kontribusi bagi pembangunan karakter di Indonesia.
Dalam era globalisasi pendidikan harus menjadi “the power in
building character” karena pendidikan memberi bekal kepada peserta didik
untuk memilah mana yang baik dan mana yang kurang/tidak baik
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang logis dan kritis. Pendidikan
6

juga

bisa

pendidikan

menjadi
yang

penopang
dimaksud

bagi

perubahan

adalah

masyarakat.

pendidikan

karakter

Tentunya
dengan

mengembangkan energi pembelajaran secara optimal.

B. Tujuan Penulisan Buku
Tujuan utama penulisan buku ini adalah mencoba memberikan masukan
tentang bagaimana membangun paradigma pendidikan di Indonesia supaya
bisa melahirkan lulusan yang berkualitas, serta memiliki integritas moral
yang tinggi. Salah satunya dengan pendidikan karakter yang terintegrasi
dalam proses pembelajaran.

C. Isi dari Buku
Buku ini mencoba memaparkan permasalahan-permasalahan masyakarat
yang bisa diselesaikan dengan pendidikan. Paparan lain juga menjelaskan
bagaimana gambaran permasalahan dan solusi baik secara teoritis maupun
secara praktis berkaitan dengan paradigma pendidikan karakter.

7