HUBUNGAN ANTARA CITRA DIRI DENGAN SELF-ESTEEM TERHADAP REMAJA PELAKU SELFIE YANG DIUNGGAH DI MEDIA SOSIAL PADA SISWA MADRASAH ALIYAH TAWAKKAL DENPASAR.

(1)

HUBUNGAN ANTARA CITRA DIRI DENGAN SELF-ESTEEM

TERHADAP REMAJA PELAKU SELFIE YANG DIUNGGAH DI MEDIA

SOSIAL PADA SISWA MADRASAH ALIYAH TAWAKKAL DENPASAR

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program

Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

EKY HILMY M. EFENDI

B07211039

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the relationship of self-image with the self-esteem of the juvenile offenders selfie uploaded on social media at the students of Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar. This research was conducted in Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar with a population of 124 people, and of these 102 respondents selected as the study sample using purposive sample technique.

This study uses a quantitative approach to the correlation method. To use the data collection, models Likert scale, the scale of self-image and self-esteem scale. Scale has a 35 item self-image after trials with the reliability value of 0.948, while the scale of self-esteem has a 35-item after trials with 0.872 reliability, validity and reliability calculation with SPSS v.16.00

The results of this study correlation values (-0.200) < r table 0,044, which means there is a significant relationship between self-image with the self-esteem of the juvenile offenders selfie uploaded on social media at the students of Madrasah Aliyah Tawakkal. The results of the correlation coefficient can also be understood that the correlation is negative (-) so indicate the opposite direction of the relationship, meaning that the higher the image is not in tandem with high self-esteem in students Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar.


(7)

INTISARI

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui hubungan citra diri dengan self-esteem terhadap remaja pelaku selfie yang diunggah di media sosial pada siswa Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar. Penelitian ini dilakukan di Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar dengan jumlah populasi 124 orang, dari jumlah tersebut dipilih 102 responden sebagai sampel penelitian dengan menggunakan tehnik sample purposive.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode korelasional. Untuk pengumpulan data menggunakan, model skala likert, yaitu skala citra diri dan skala self-esteem. Skala citra diri memiliki 35 aitem setelah uji coba dengan nilai reliabilitas 0,948, sedangkan skala self-esteem memiliki 35 aitem setelah uji coba dengan reliabilitas 0,872, penghitungan validitas dan reliabilitas dengan bantuan program SPSS v.16.00

Hasil penelitian ini diperoleh nilai korelasi (-0,200) < r tabel 0,044 yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara citra diri dengan self-esteem terhadap remaja pelaku selfie yang diunggah di media sosial pada siswa Madrasah Aliyah Tawakkal. Hasil koefisien korelasi tersebut juga dapat dipahami bahwa korelasinya bersifat negatif (-) jadi menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan, artinya semakin tinggi citra diri tidak beriringan dengan tingginya self-esteem pada siswa-siswi madrasah aliyah tawakkal Denpasar.


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

INTISARI ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 17

A. Citra Diri ... 17

1.Pengertian Citra Diri ... 17

2.Aspek-aspek Citra Diri ... 19

3.Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Citra Diri ... 23

4.Citra Diri Positif dan Negatif ... 24

B. Self-Esteem ... 25

1. Pengertian Self-esteem ... 25

2. Komponen Self-esteem ... 28

3. Tingkatan Self-esteem ... 31

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-esteem ... 34

5. Tingkatan Self-esteem ... 44

C. Remaja ... 48

1. Pengertian Remaja ... 48

2.Ciri-ciri Masa Remaja ... 49

3.Tahap Perkembangan Masa Remaja ... 51

D. Hubungan Citra Diri dengan Self-Esteem pada Remaja Pelaku Selfie yang diunggah di Media Sosial ... 53

E. Landasan Teoritis ... 57

F. Hipotesis ... 60

BAB III METODE PENELITIAN ... 61

A.Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 61

1. Variabel Penelitian ... 61

2. Definisi Operasional ... 61

B.Populasi, Sample dan Teknik Sampling ... 64

1. Populasi ... 64


(9)

C. Teknik Pengumpulan Data ... 66

1. Blue Print ... 68

2. Jawaban dan Skor ... 70

D. Validitas dan Reliabilitas Data ... 71

1. Uji Validitas ... 71

2. Uji Reliabilitas Data ... 73

E. Analisis Data ... 74

1. Uji Normalitas Sebaran ... 75

2. Uji Linieritas Hubungan ... 76

BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 78

A. Deskripsi Subjek ... 78

B. Deskripsi dan Reliabilitas Data ... 79

1. Deskripsi Data ... 79

2. Validitas dan Reliabilitas Data ... 79

C. Hasil Penelitian ... 84

1. Uji Normalitas ... 84

2. Uji Linieritas ... 85

3. Uji Korelasi Product Moment ... 86

D. Pembahasan ... 88

BAB V PENUTUP ... 92

A. Kesimpulan ... 92

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 93


(10)

DAFTAR GAMBAR


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Tabel Definisi Operasional Variabel Bebas (X) ... 62

Tabel 3.2 Tabel Definisi Operasional Variabel Terikat(Y) ... 63

Tabel 3.3 Tabel Jumlah Siswa Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar ... 64

Tabel 3.4 Jumlah Sampel Penelitian ... 66

Tabel 3.5 Tabel Blue Print Skala Citra Diri ... 69

Tabel 3.6 Tabel Blue Print Skala Harga Diri (Self-Esteem)... 70

Tabel 4.1 Tabel Latar Belakang Responden ... 78

Tabel 4.2 Tabel Deskripsi Statistik ... 79

Tabel 4.3 Tabel Reliabilitas Citra Diri ... 80

Table 4.4 Tabel Reliabilitas Harga Diri (Self Esteem) ... 82

Tabel 4.5 Tabel Uji Normalitas ... 84

Tabel 4.6 Tabel Uji Linieritas ... 85


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kuisioner Penelitian Variabel Citra Diri ... 98

Lampiran 2 Kuisioner Penelitian Variabrl Self Esteem... 101

Lampiran 3 Lampiran Distribusi Jawaban Kuisioner Variabel Citra Diri ... 104

Lampiran 4 Lampiran Distribusi Jawaban Kuisioner Variabel Self Esteem ... 107

Lampiran 5 Lampiran Data Skor Jawaban Kuisioner Variabel Citra Diri ...110

Lampiran 6 Lampiran Data Skor Jawaban Kuisioner Variabel Self Esteem ... 113

Lampiran 7 Lampiran Uji Validitas dan Reliabilitas Citra Diri ... 116

Lampiran 8 Lampiran Uji Validitas dan Reliabilitas Self Esteem... 117

Lampiran 9 Lampiran Hasil Uji Prosentase Frekuensi Citra Diri ...118

Lampiran 10 Lampiran Hasil Uji Prosentase Frekuensi Self Esteem ... 119

Lampira 11 Hasil Uji Normalitas Sebaran Citra Diri dan Self Esteem ... 120

Lampiran 12 Hasil Uji Linieritas Hubungan Citra Diri dan Self Esteem ... 121


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia dan teknologi saat ini sudah seperti satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Semakin majunya zaman dan kebutuhan manusia, beriringan pula dengan teknologi yang semakin berkembang pesat. Kemajuan teknologi membawa manusia ke era yang lebih modern dimana semua hal dapat dilakukan dengan teknologi. Teknologi yang muncul berdampak pada kehidupan manusia, yang mana dapat merubah pola hidup dan bahkan kepada perilaku hingga sifat dan karakteristik manusia.

Pesatnya kemajuan tekhnologi, membawa manusia pada kemudahan dan kepraktisan hidup yang tidak terbayangkan pada peradaban sebelumnya. Selain memberi kemudahan dalam berkomunikasi maupun mencari informasi, dengan adanya internet juga memunculkan jejaring sosial yang merupakan alat penghubung yang digunakan dewasa ini misalnya: friendster, twitter, facebook dan instagram.

Banyak dari pengguna jejaring sosial menggunakan fitur status dan upload foto untuk memperlihatkan citra dirinya atau kondisi terbarunya, yang kemudian dibagikan ke sesama teman yang juga sama-sama menggunakan jejaring sosial dan terhubung dengan orang yang memposting sebuah status, baik status yang berupa tulisan atau berupa gambar. Dalam dunia media sosial semua orang itu sama, hanya status dan gambar lah yang membedakan sebuah kualitas diri dari


(14)

2

setiap pengguna media sosial. Pada umumnya manusia hanya akan mempublish sesuatu yang berhubungan langsung dengan dirinya, misalkan hanya ingin memperbaiki citra diri agar harga dirinya (Self-esteem) tidak benar-benar tercemar di muka umum, apalagi hari ini merupakan sebuah zaman dimana dunia nyata dikendalikan oleh dunia maya, khususnya karena hegemoni media. Para kalangan muda yang juga tidak kalah sering menampilkan status atau mempublish foto-foto yang sekiranya bisa tetap menunjukkan citra diri yang baik, untuk menopang harga dirinya (Self-esteem), agar tidak terlecehkan oleh orang lain. Banyak anak muda yang memposting foto-foto yang sengaja dipilih sesuai dengan keinginannya semata-mata karena agar menarik perhatian para pengguna yang terhubung dengan dirinya.

Citra diri dalam psikologi sosial merupakan bagian dari konsep diri, yaitu yang berhubungan dengan konsep diri kognitif. Citra disini yang dimaksud adalah sebuah anggapan atau pengetahuan yang tertanam di alam bawah sadar, hal itu selain dinilai oleh dirinya sendiri juga dinilai orang lain. Pada abad 21, media sosial internet sudah menjadi media yang digemari oleh berbagai macam kalangan. Baik anak muda, remaja dan juga para orang-orang dewasa. Media sosial dijadikan sebagai media untuk berkomunikasi dengan teman-teman yang jauh dari jangkauan juga dijadikan sebagai bentuk penggambaran individu, sehingga sedikit banyaknya orang lain sudah dapat menilai teman yang terhubung di media sosial. Misalkan dengan seseorang memasang fotonya di media sosial, orang tersebut ingin menampakkan siapa dirinya dan apa yang orang tersebut


(15)

3

bayangkan terhadap dirinya, dalam ilmu psikologi cara seseorang memandang dirinya dapat dikatakan sebagai citra diri, (Atwater and Duffy, 1999)

Perkembangan fisik, psikis dan psikososial yang terjadi pada masa remaja menentukan bagaimana remaja tersebut mulai mengembangankan citra dirinya. Hampir semua remaja memperhatikan setiap perubahan pada dirinya termasuk penampilannya akan terus diperbaiki sesuai dengan perkembangan seorang remaja tersebut. Hurlock (1980), menjelaskan yang termasuk dalam minat pribadi seorang remaja adalah selalu berhubungan dengan citra dirinya misalkan penampilan fisik, uang dan juga prestasi. Perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja akan sangat jelas bisa dilihat dari bagaimana mereka memperbaiki citra dirinya misalkan lewat penampilan dan juga prestasi yang harus mereka raih. Citra diri, bisa mengakar di alam bawah sadar karena dipengaruhi oleh orang lain atau pengaruh lingkungan atau yang sengaja ditanamkan oleh pikiran sadar karena menyadari akan pentingnya perubahan, (Malik, 2009).

Komunitas, organisasi maupun lingkungan dimana seseorang berdomisili sedikit-banyaknya mampu mempengaruhi pola pikir, perilaku dan tingkah laku dari orang tersebut bahkan mungkin bisa juga mem-Brain Wash-nya. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul psikologi komunikasi memasukkan psikososial dalam aspek yang juga mampu membentuk dan merubah pola pikir dan perilaku seseorang. Lingkungan dan komunitas di abad 21 tidak hanya terjalin di dunia nyata saja melainkan di dunia maya seperti halnya yang terdapat di beberapa jejaring sosial komunitas-komunitas benar-benar sudah bisa memenuhi beranda seseorang di media sosial. Cara bergaulnya-pun lebih banyak


(16)

4

dilakukan di media sosial, sehingga ini bisa menjadi lingkungan tersendiri bagi sebagian banyak remaja, sehingga mempoles penampilan dirnya yang akan diungah di media sosial benar-benar bisa membawa kebaikan terhadap citra dirinya baik di mata teman-temannya yang terhubung dengannya atau oleh temannya yang lain. Dari penelitian siibak (2009) bahwa dari 442 remaja 79% remaja laki-laki dan 85% remaja perempuan percaya bahwa mereka harus terlihat baik di setiap jaringan virtual. Bisa disimpulkan bahwa setiap pengguna jaringan sosial setiap kali menampilkan status, baik tulisan maupun gambar mereka ingin terlihat hebat, sehingga mendapat pengakuan dari orang lain dan juga lingkungannya, dengan begitu kadang sebagai ajang untuk menaikkan popularitasnya.

Para pengguna jejaring sosial sering memposting foto-foto pribadinya untuk ditunjukan atau dipamerkan ke teman-temannya. Upload foto yang mereka lakukan bertujuan mendapat simpati atau komen dari teman-teman sesama pengguna jejaring sosial. Bahkan ironisnya mereka sering mengupdate status agar mereka diperhatikan. Semakin banyak yang memberi komentar, mereka beranggapan dirinya makin popular. Popularitas semacam ini sering pula disebut-sebut oleh sebagian besar orang sebagai sesuatu yang dapat meningkatkan harga diri (self-esteem) mereka.

Ofcom (2008), berpendapat bahwa di kalangan remaja banyak yang merubah foto Profile-nya atau mencantumkan beberapa foto terbaiknya agar popularitasnya bisa naik dan juga bisa mendapat komentar-komentar yang positif dari orang lain, karena penilaian itu dari orang lain bukan berangkat


(17)

5

dari dirinya, sehingga ketika sudah mendapat komentar bisa meningkatkan rating harga diri mereka. (Estoisia, Phitia dan Rodrigues, 2009).

Menurut Santrock (1995:356) self-esteem merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara positif atau negatif. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaaan dan keberartian diri. Self-esteem memainkan peran penting dalam proses pembentukan kepribadian. Keyakinan individu tentang diri sendiri mempengaruhi bagaimana individu tersebut bertindak dalam situasi tertentu, menentukan tujuan hidup, merasakan peristiwa kehidupan, menjalin hubungan, serta menentukan cara mengatasi dan beradaptasi dengan lingkungan baru (Robins et.al.,2001:465).

Self-esteem yang rendah atau negatif diindikasikan juga sebagai salah satu penyebab terjadinya penyalah gunaan narkoba. Rosenberg dan Kaplan dalam Prasetya (2002) menjelaskan bahwa perasaan yang tidak berharga yang dirasakan seseorang yang memiliki self-esteem rendah dikompensasikan dalam penyalahgunaan obat sebagai suatu yang penting dan baik, sama penting dan baik dibandingkan kegiatan yang lain, kadang dari sebagian kecil masyarakat berprasangka foto-foto yang ditampilkan di facebook, instagram dan media sosial lain, dijadikan sebuah kekaguman yang berlebihan terhadap dirinya hal tersebut memang tidak bisa dipungkiri tetapi sebagian besar anak muda memposting status tulisan atau foto, untuk dijadikan sebagai bentuk dari pencitraan.


(18)

6

Pengaruh yang ditimbulkan pun tidak selalu baik bagi manusia itu sendiri, karena berbagai hal positif berdampingan pula dengan hal negatif. Salah satu perubahan perilaku manusia yang ditimbulkan oleh perkembangan teknologi adalah selfie. Selfie atau self-potrait dalam bahasa indonesia disebut swafoto adalah dampak dari perkembangan teknologi khususnya kamera, dan kamera saat ini pun sudah dapat digunakan pada alat komunikasi smatrphone era kini yang memudahkan individu untuk mengaksesnya.

Para pelaku selfie kemudian mengunggah foto mereka ke beberapa situs jejaring sosial. Situs jejaring sosial sendiri adalah sebuah media di internet yang digunakan sebagai tempat bertukar informasi baik itu foto, video dan artikel ke sesama pengguna jejaring sosial tanpa mengenal jarak, waktu dan tempat. Media jejaring sosial inilah yang menjadi tempat aktualisasi diri para pelaku selfie atas hasil foto yang mereka abadikan.

Selfie merupakan foto dengan objek diri sendiri (Galer dan Mark, 1995), dengan menggunakan refleksi kaca atau pun dengan kamera depan sebuah ponsel, foto selfie dapat dengan mudah di ambil. Selfie menjadi fenomena yang sedang berkembang dewasa ini, diketahui awal munculnya kata selfie pada tahun 2002. Kata selfie pernah dipakai dalam sebuah forum online di Australia. Saat itu seorang pria mengunggah foto dirinya yang menunjukkan wajahnya yang cidera akibat tersandung. Kata ini pertama kali muncul dalam sebuah forum internet Australia (ABC Online) pada 13 September 2002 (Syahbana, 2014:18).


(19)

7

Kemunculan kata selfie ini tidak beriringan dengan munculnya perilaku selfie, karena diketahui bahwa selfie pertama kali dilakukan oleh seorang berkebangsaan Amerika. Foto selfie pertama berasal dari tahun 1839, diambil oleh seorang pelopor fotografi bernama Robert Cornelius (http:// tekno.kompas.com/read/2015/01/19/10140087/sejarah.panjang.selfie.dan.si.to ngkat.narsis, diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 07.30).

Semua orang hampir pernah melakukan selfie, baik itu dari para selebritis hingga masyarakat umum bahkan para pejabat petinggi negara termasuk presiden saat ini pernah melakukannya. Meledaknya fenomena ini membuat hampir semua orang melakukan foto selfie, bahkan oleh pihak pengelola Kamus Oxford mengatakan bahwa penggunaan kata selfie telah meningkat sebesar 17.000 persen dalam 12 bulan terakhir. Karena peningkatan yang sangat luar biasa, kata selfie mendapat penobatan dari Oxford Dictionaries (Kamus Oxford) sebagai Word of The Year pada tahun 2013. Kamus Oxford Online mendefinisikan kata selfie sebagai “a photograph that one has taken of oneself, typically one taken

with a smartphone or webcam and uploaded to a social media website” atau

diartikan menjadi aktivitas seseorang yang memotret dirinya sendiri, umumnya menggunakan ponsel atau webcam, kemudian mengunggahnya ke situs media sosial (http://www.oxforddictionaries.com/definition/english /self ies?q=selfie, diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 07.45).

Selfie memiliki dampak positif dan negatif bagi pelakunya, tetapi dalam karya ini peneliti hanya memfokuskan pada dampak positifnya saja. Menurut Rutledge, bila dilakukan dengan benar, selfie bisa menjadi cara mengeksplorasi


(20)

8

kepercayaan diri. “Saya percaya selfie bisa memberi dukungan pada orang dengan cara berbeda. Pada wanita misalnya, ketika dia merasa terpuruk, selfie membantu mereka melihat keadaan tersebut sebagai sesuatu yang normal, sama halnya pada pria,”ujarnya (http://health.kompas.com/read/2013/12/18/1151301/www. huffingtonpost.com,diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 07.55).

Tetapi pada kenyataannya dari setiap status ataupun uploud foto selfie yang diunggah oleh remaja di media sosial sengaja dibentuk sedemikian rupa untuk memperbaiki citra diri sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi di setiap diri individu, sehingga dengan kondisi yang sedemikian rupa orang yang melihat status dan foto unggahannya bisa tertarik dan memberikan komentar yang positif terhadap foto selfie unggahannya.

Pada penelitian ini mengambil daerah Bali sebagai lokasi penelitian, tepatnya di daerah Denpasar yang mengambil subjek siswa madrasah aliyah tawakkal, salah satu sekolah swasta islam bali tingkat menengah ke atas. Siswa sekolah menengah ke atas yang notabene remaja rentang usia 15-18 tahun ini sedang mengalami masa-masa perubahan, masa mencari jati diri, masa remaja dalam periode pelatihan yang kerap kali memberi waktu mencoba berbagai gaya hidup, menentukan pola perilaku, nilai dan sifat yang sesuai dengan dirinya. Ditambah arus globalisasi dan modernisasi melanda Bali sebagai akibat berkembang pesatnya sektor pariwisata, menyebabkan bagaimana arus wisata dengan kedatangan berbagai wisatawan asing, yang memiliki kebudayaan yang bermacam-macam yang dibawa dari daerahnya masing-masing ini memiliki implikasi terjadinya perubahan budaya dalam


(21)

9

masyarakat Bali. Bermacam-macam teknologi kemudian mulai diperkenalkan oleh masyarakat asing yang datang ke Bali, bahkan kini semua kalangan masyarakat dan tidak luput para siswa madrasah aliyah tawakkal memiliki hasil dari munculnya teknologi sendiri yaitu gadget. Gadget atau yang kini dikenal dengan smartphone tidak tanggung-tanggung memberikan berbagai macam fitur didalamnya, seperti fitur kamera pada gadget yang menjadi salah satu pemicu munculnya perilaku selfie. Dilatar belakangi keluarga para siswa madrasah aliyah tawakkal yang berkecukupan, membuat gadget menjadi barang yang mudah didapat dan bahkan jadi bekal komunikasi mereka dengan orang tua dan teman sebaya. Hal ini merupakan hasil dari interview dan pengamatan peneliti dengan staff akademik madrasah aliyah tawakkal yang kemudian menjadi hal yang menarik untuk peneliti ajukan sebagai dasar pengambilan judul skripsi berupa Hubungan antara Citra Diri dengan Self-esteem terhadap Remaja Pelaku Selfie yang diunggah di Media Sosial pada Siswa Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian adalah: adakah hubungan antara citra diri dengan self-esteem terhadap remaja pelaku selfie yang diunggah di Media Sosial pada siswa Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar ?


(22)

10

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah: untuk mengetahui hubungan antara citra diri dengan self-esteem terhadap remaja pelaku selfie yang diunggah di Media Sosial pada siswa Madrasah Aliyah Tawakkal Denpasar.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

Manfaat secara teoritis adalah bahwa penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan teoritik bagi pengembangan ilmu psikologi umum, khususnya psikologi sosial. Karena penelitian ini memberi penjelasan tentang hubungan antara citra diri dengan self-esteem terhadap remaja pelaku selfie.

2. Manfaat Praktis

Bagi peneliti lain, agar penelitian ini digunakan sebagai bahan informasi dan referensi pada penelitian pada bidang yang sama. Manfaat bagi penulis, Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai ilmu yang berharga dalam kehidupannya dan dapat dijadikan acuan ketika menghadapi fenomena sosial dan intrik-intriknya.

E. Keaslian Penelitian

Untuk menunjukkan keaslian penelitian ini, maka peneliti mengambil beberapa penelitian terdahulu yang sudah pernah dilakukan, antara lain:


(23)

11

Penelitian yang dilakukan oleh Zaim Qashmal pada tahun 2015 dengan judul "Hubungan Penggunaan Media Sosial Instagram Terhadap Pembentukan Citra Diri", Studi Korelasional Mengenai Hubungan Penggunaan Media Sosial Instagram Terhadap Pembentukan Citra Diri di Kalangan Mahasiswa Fikom Unisba. Pada penelitian ini menggunakan teori uses and gratification dengan metode penelitian kuantitatif-korelasional, yang mencari hubungan antar variabel. Penelitian ini menjabarkan 4 variabel sebagai variabel bebas, dan variabel kedua yang memiliki kedekatan perbandingan dengan peneliti, yaitu integratif personal dengan hasil t hitung 11,290>1,986 t tabel dan nilai signifikansi sebesar 0.000<0.05. Berdasarkan hasil perhitungan penelitian bahwa terdapat hubungan antara integratif personal dengan pembentukan citra diri. Hal-hal meliputi kepercayaan diri, penggunaan media sosial dan aktualisasi diri mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan pembentukan citra diri.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada variabel, variabel pada penelitian terdahulu menggunakan integratif personal dan variabel citra diri sebagai variabel terikat, sedangkan pada penelitian ini menggunakan variabel citra diri sebagai variabel bebas dan pada variabel terikat menggunakan self-esteem. Perbedaan selanjutnya pada subyek yang diteliti, subyek pada penelitian terdahulu pada kalangan mahasiswa yang notabene usia remaja menjelang dewasa awal kisara 18-21 tahun, sedangkan peneliti menggunakan subyek siswa madrasah aliyah tawakkal yang rentang usianya 15-18 tahun. Perbedaan yang berikutnya terletak pada obyek media


(24)

12

yang diteliti, pada penelitian terdahulu terfokus pada instagram, sedangkan fokus peneliti pada media sosial secara keseluruhan.

Persamaan penelitian terletak pada metode yang digunakan, yakni kuantitatif-korelasional namun pada perhitungan korelasi penelitian terdahulu menggunakan metode spearman sedangkan peneliti menggunakan correlation product moment.

Penelitian yang dilakukan oleh Iandesi Andarwati pada tahun 2016 dengan judul "Citra Diri Ditinjau dari Intesitas Penggunaan Media Jejaring Sosial Instagram Pada Siswa Kelas XI SMAN 9 Yogyakarta". Pada penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dengan jenis penelitian survei dan korelasional. Teknik analisis data yang digunakan adalah prosentase dan korelasi product moment. Hasil penelitiannya adalah terdapat hubungan positif dan signifikan antara intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram dengan citra diri pada siswa kelas XI SMA Negeri 9 Yogyakarta dengan koefisien korelasi sebesar 0,298 dan taraf signifikansi sebesar 0,03. Sampel pada penelitian ini ditentukan dengan teknik proportional random sampling hingga didapatkan sampel berjumlah 100 orang siswa.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada variabelnya, pada penelitian terdahulu menggunakan variabel intensitas penggunaan media jejaring sosial instagram dan citra diri sebagai variabel terikat. Sedangkan pada peneliti, citra diri sebagai variabel bebas dan variabel terikatnya adalah self-esteem. Perbedaan berikutnya pada teknik pengambilan


(25)

13

sampel, pada penelitian terdahulu menggunakan proportional random sampling dengan jumlah sampel 100 orang, sedangkan pada peneliti menggunakan teknik sampling purposive dengan jumlah sampel 102 orang.

Persamaan pada penelitian ini terletak pada pendekatan penelitian yaitu dengan pendekatan deskriptif kuantitatif dan teknik analisis data yang digunakan adalah korelasi product moment. Beserta subyek yang digunakan adalah siswa sekolah menengah keatas dengan rentang usia 15-18 tahun.

Penelitian yang dilakukan oleh Sorga Perucha Iful Prameswari, Siti Aisah dan Mifbakhuddin pada tahun 2013 dengan judul "Hubungan Obesitas dengan Citra Diri dan Harga Diri pada Remaja Putri di Kelurahan Jomblang Kecamatan Candisari Semarang". Metode dalam penelitian ini adalah Diskriptif Korelasi dengan pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja putri yang mengalami obesitas di Kelurahan Jomblang yaitu sebanyak 27 remaja. Teknik sampling yang digunakan adalah dengan menggunakan sample jenuh yaitu dengan menggunakan seluruh populasi sebagai sample penelitian. Hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar remaja yang menjadai responden dalam penelitian berada dalam obesitas ringan (81,5%), sebagian besar remaja putri memiliki citra diri yang negatif (51,9%), serta sebagian besar remaja putri memiliki harga diri yang negatif (51,9%). Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson Product Moment didapatkan nilai p = 0.154 (> 0.05), sehingga tidak terdapat hubungan antara obesitas dengan citra diri dan nilai p = 0.791 (>


(26)

14

0.05), sehingga tidak terdapat hubungan antara obesitas dengan harga diri pada remaja putri.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini terletak pada variabel yang diteliti. Pada penelitian terdahulu meneliti variabel obesitas dengan citra diri dan harga diri (self-esteem), sedangkan peneliti hanya menggunakan variabel citra diri dan self-esteem. Perbedaan berikutnya adalah pada teknik sampling yang digunakan, pada penelitian terdahulu menggunakan sample jenuh yaitu dengan menggunakan seluruh populasi sebagai sample penelitian dengan keseluruhan 27 orang, sedangkan peneliti menggunakan teknik sampling purposive dengan jumlah sampel 102 orang.

Persamaan penelitian terdahulu dengan peneliti adalah pada analisis data yang menggunakan analisis korelasi product moment.

Penelitian yang dilakukan oleh Hafiz Anshori, Rita Arianti dan Rumaisa pada tahun 2015 dengan judul "Hubungan Minat Selfie Terhadap Kecenderungan Gangguan Kepribadian Narsistik Pada Siswa - Siswi di SMPN 7 Kelas VIII Banjarmasin". Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis korelasional dengan teknik pengumpulan data kuesioner, observasi dan wawancara. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh siswa-siswi kelas VII SMPN 7 Banjarmasin yang berjumlah 200 orang. Adapun sampel yang diambil dari populasi hanya 94 sampel dari jumlah populasi dengan menggunakan teknik sampling kombinasi antara teknik sampling purposive quota dan teknik sampel purposif. Hasil penelitian ini menemukan hubungan yang tidak signifikan, artinya tidak ada hubungan


(27)

15

positif dari (Rxy=0.139; sig=0.181<0,001) antara minat selfie dan kecendrungan gangguan kepribadian narsistik. Dengan demikian hipotesa yang menyatakan bahwa adanya korelasi antara minat selfie dengan kecendrungan gangguan kepribadian narsistik pada siswa-siswi kelas VII SMPN 7 Banjarmasin hubungannya sangat lemah. Besar pengaruh minat selfie terhadap kecendrungan gangguan kepribadian narsistik (r xx100) sebesar 1,93 %, ini artiya ada banyak variabel lain yang mempengaruhi kecendrungan gangguan kepribadian narsistik sebesar 98,07%.

Perbedaan penelitian terdahulu dengan peneliti terdapat pada variabel yang diteliti. Penelitian terdahulu menjadikan selfie sebagai variabel, sedangkan peneliti menggunakan selfie sebagai bentuk citra diri. Perbedaan berikutnya pada jumlah sampel dan subyek yang diteliti. Penelitian terdahulu menggunakan 94 sampel sedangkan peneliti sejumlah 102 sampel serta subyek yang pada penelitian terdahulu siswa sekolah menengah pertama dengan jenjang usia 12-15 tahun, sedangkan peneliti menggunakan subyek siswa sekolah menengah keatas dengan jenjang usia 15-18 tahun. Perbedaan selanjutnya pada teknik sampling, pada penelitian terdahulu menggunakan teknik sampling kombinasi namun pada peneliti cukup menggunakan teknik sampling purposive.

Pada kedua penelitian ini memiliki persamaan yang sebagian besar sama pada pendekatan, sample dan teknik sampling.

Penelitian yang dilakukan oleh Pradana Saktya Adi pada tahun 2009 dengan judul "Harga Diri dan Kecenderungan Narsisme pada Pengguna


(28)

16

Friendster". Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan alat ukur Skala Kecenderungan Narsisme dan Skala Harga Diri. Kedua skala tersebut disebar di Kota Yogyakarta dengan menggunakan sampling kebetulan dan jumlah subjek didapat sebanyak 70 orang. Berdasarkan hasil analisis didapatkan rxy = -0.346 dengan p<0.01 yang menunjukkan bahwa ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara harga diri dengan kecenderungan narsisme pada pengguna Friendster. Artinya, semakin rendah harga diri, maka semakin tinggi pula kecenderungan narsisme pada pengguna Friendster, sebaliknya semakin tinggi harga diri, maka semakin rendah pula kecenderungan narsisme pada pengguna Friendster.

Perbedaan penelitian ini terletak pada variabel yang diteliti. Pada penelitian terdahulu menggunakan variabel harga diri (self-esteem) dan kecenderungan narsisme, sedangkan peneliti menggunakan citra diri dan self-esteem sebagai variabel yang diteliti. Selanjutnya pada perbedaan teknik sampling yang mana pada penelitian terdahulu menggunakan teknik kebetulan sedangkan peneliti menggunakan teknik sampling purposive. Pada hal persamaan penelitian, kedua penelitian menggunakan metode kuantitatif.

Dengan demikian penelitian yang dilakukan oleh penulis terdapat perbedaan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sehingga keaslian penelitian dapat dipertanggung jawabkan.


(29)

17

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Citra Diri

1. Pengertian Citra Diri

Citra diri adalah gambaran mengenai diri individu, berdasarkan kamus psikologi self image atau gambaran diri adalah jati diri seperti yang digambarkan atau yang dibayangkan (Chaplin, 2006).

Citra diri (self image) adalah persepsi tentang diri kita sendiri, dan seringkali tidak kita sadari, karena memiliki bentuk yang sangat halus atau abstrak. Citra diri lebih bersifat global dan bersifat sebagai payung besar yang menaungi seluruh kecenderungan tindakan kita dalam berpikr atau bertindak. Citra diri juga sering dianalogikan sebagai kartu identitas diri yang kita perkenalkan kepada semesta alam (Salmaini, 2011).

Maltz (1994) juga memberikan pengertian mengenai citra diri, yaitu konsep yang dimiliki individu atas pilihannya sebagai individu sendiri. Ini merupakan produk dari pengalaman masa lalu, kesuksesan dan kegagalan, penghinaan dan penghargaan, dan reaksi orang lain terhadap diri individu (Maltz, 1994). Di samping itu Burn (1993) memberikan definisi dari citra diri yaitu apa yang dilihat seseorang ketika dia melihat dirinya sendiri. Sedangkan Brown (1998) menggunakan istilah self knowledge yang memiliki arti sama dengan citra diri yang dikemukakan


(30)

18

oleh tokoh lain yaitu sebagai apa yang ingin individu pikirkan tentang dirinya.

Citra diri merupakan persepsi seseorang mengenai keberadaan fisik dan karakteristiknya, seperti kejujuran, rasa humor, hubungannya dengan orang lain, apa yang dimilikinya, serta kreasi-kreasinya (Louden dan Biua). Setiap orang akan mempunyai citra diri tentang dirinya sendiri, baik tentang citra diri yang sebenarnya (real self), maupun citra diri yang diinginkannya (ideal self). Kemampuan yang dimiliki, keadaan lingkungan, dan sikap serta pendapat pribadinya akan mempegaruhi seseorang dalam bentuk citra dirinya (Burns).

Citra diri merupakan salah satu segi dari gambaran diri yang berpengaruh pada harga diri (Centi, 1993). Citra diri merupakan bagian dari konsep diri yang berkaitan dengan sifat-sifat fisik. Citra diri merupakan gambaran seseorang mengenai fisiknya sendiri (Pratt, 1994).

Senada dengan hal tersebut, Burns (1993) mengatakan bahwa citra diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri sebagai makhluk yang berfisik, sehingga citra diri sering dikaitkan dengan karakteristik-karakteristik fisik termasuk di dalamnya penampilan seseorang secara umum, ukuran tubuh, cara berpakaian, model rambut dan pemakaian kosmetik. Pendapat ini didukung oleh Susanto (2001), citra diri merupakan konsep yang kompleks meliputi kepribadian, karakter, tubuh dan penampilan individu.


(31)

19

Menurut Mappiere (2010) terdapat kesamaan arti pada istilah self image (citra diri) maupun self concept. Kedua istilah ini menurut Mappiare (2010) menunjuk pada pandangan atau pengertian seseorang terhadap dirinya sendiri. Baron & Byrne (1991) mengungkapkan bahwa hanya orang-orang yang menurut individu memiliki reaksi dan evaluasi yang penting yang dapat mempengaruhi konsepsi individu terhadap dirinya. Orang-orang penting tersebut antara lain, teman dekat, orang tua, anggota keluarga, serta guru. Sehingga dapat disimpulkan citra diri merupakan gambaran mengenai diri individu yang terlihat (dibayangkan) sendiri oleh individu, atau juga diri yang ingin dibayangkan oleh individu yang dapat dipengaruhi oleh orang lain.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa citra diri adalah gambaran individu mengenai penampilan fisik dan perasaan yang menyertainya baik dalam bagian-bagian tubuhnya maupun terhadap keseluruhan tubuh berdasarkan penilaiannya sendiri yang dipengaruhi oleh beberapa aspek dan dapat dibentuk sesuai yang keinginan individunya.

2. Aspek-aspek Citra Diri

Brown (1998) mengungkapkan bahwa ada tiga aspek dalam pengetahuan akan diri sendiri yaitu:

a. Dunia fisik (physical world)

Realitas fisik dapat memberikan suatu arti yang mana kita dapat belajar mengenai diri kita sendiri. Sumber pengetahuan dari dunia fisikal


(32)

20

memberikan pengetahuan diri sendiri. Akan tetapi pengetahuan dari dunia fisik terbatas pada atribut yang bisa diukur dengan yang mudah terlihat dan bersifat subjektif dan kurang bermakna jika tidak dibandingkan dengan individu lainnya.

b. Dunia Sosial (social world)

Sumber masukan untuk mencapai pemahaman akan citra diri adalah masukan dari lingkungan sosial individu. Proses pencapaian pemahaman diri melalui lingkungan sosial tersebut ada dua macam, yiatu:

1) Perbandingan Sosial (social comparison)

Serupa dengan dunia fisik, dunia sosial juga membantu memberi gambaran diri melalui perbandingan dengan orang lain. Pada umumnya individu memang cenderung membandingkan dengan individu lain yang dianggap sama dengannya untuk memeperoleh gambaran yang menurut mereka adil. Akan tetapi tidak jarang individu membandingkan dirinya dengan individu yang lebih baik (disebut upward comparison) atau yang lebih buruk (downward comparison) sesuai dengan tujuan mereka masing-masing.

2) Penilaian yang tercerminkan (reflected apraisal)

Pengetahuan akan diri individu tercapai dengan cara melihat tanggapan orang lain terhadap perilaku individu. Misalnya jika individu melontarkan gurauan dan individu lain tertawa, hal tersebut dapat menjadi sumber untuk mengetahui


(33)

21

bawa individu lucu.

c. Dunia dalam/ psikologis (inner/ psychologycal world)

Sedangkan untuk sumber berupa penilaian dari dalam diri individu, ada tiga hal yang dapat mempengaruhi pencapaian pemahaman akan citra diri individu, yaitu:

1) Instrospeksi (introspection)

Introspeksi dilakukan agar individu melihat kepada dirinya untuk mencari hal-hal yang menunjang dirinya. Misalnya seseorang yang merasa dirinya pandai, bila berintrospeksi akan melihat berbagai kejadian dalam hidupnya, misalnya bagaimana dirinya menyelesaikan masalah, menjawab pertanyaan, dan sebagainya.

2) Proses mempersepsi diri (self perception process)

Proses ini memiliki kesamaan dengan intropeksi, namun bedanya adalah bahwa proses mempersepsi diri dilakukan dengan melihat kembali dan menyimpulkan seperti apa dirinya setelah mengingat-ingat ada tidaknya atribut yang dicarinya di dalam kejadian-kejadian di hidupnya. Sedangkan introspeksi dilakukan sebaliknya.

3) Atribusi kausal (causal attributions)

Cara ini dilakukan dengan mencari tahu alasan dibalik perilaku. Weiner (dalam Brown, 1998) mengatakan bahwa atribusi kausal adalah dimana individu menjawab pertanyaan


(34)

22

mengapa dalam melakukan berbagai hal dalam hidupnya. Atribusi kausal ini juga dapat dilakukan kepada perilaku orang lain yang berhubungan dengan individu. Dengan mengetahui apa alasan orang lain melakukan suatu perbuatan yang berhubungan dengan individu, sehingga individu tahu bagaimana gambaran diri sebenarnya. Atribusi yang dibuat mempengaruhi pandangan individu terhadap dirinya.

Menurut Grad (1996) citra diri mengandung beberapa aspek,yaitu :

a. Kesadaran (awareness) adanya kesadaran tentang citra diri keseluruhan baik yang bersifat fisik maupun non fisik.

b. Tindakan (action) melakukan tindakan untuk mengembangkan potensi diri yang dianggap lemah dan memanfaatkan potensi diri yang menjadi kelebihannya.

c. Penerimaan (acceptance) menerima segala kelemahan dan kelebihan dalam dirinya sebagai anugrah dari sang pencipta.

d. Sikap (attitude) bagaimana individu menghargai segala kelemahan dan kelebihan yang dimilikinya.

Citra diri adalah bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri, bagaimana bayangan atau gambaran tentang diri seseorang individu itu sendiri mengenai dirinya (Jersild, 1961). Komponen-komponen citra diri menurut Jersild (1961), diantaranya :

a. Perceptual Component


(35)

23

mengenai penampilan dirinya, terutama tubuh dan ekspresi yang diberikan pada orang lain. tercakup didalamnya adalah attracttiviness, appropriatiness, yang berhubungan dengan daya tarik seseorang bagi orang lain. Hal ini dapat dicontohkan oleh seseorang yang memiliki wajah cantik atau tampan, sehingga seseorang tersebut disukai oleh orang lain, komponen ini disebut physical self image.

b. Conceptual Component

Komponen ini merupakan konsepsi seseorang mengenai karakteristik dirinya, misalnya kemampuan, kekurangan, dan keterbatasan dirinya. Komponen ini disebut psychological self image. c. Attitudional Component

Komponen ini merupakan pikiran dan perasaan seseorang mengenai dirinya, status, dan pandangan terhadap orang lain. komponen ini disebut sebagai social self image.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Citra Diri

Proses mencari tahu bagaimana citra diri individu menentukan citra diri individu tersebut positif atau negatif. Jika prosesnya ternyata positif, terdapat faktor yang mendorongnya untuk tetap seperti itu. Brown (1998) mengungkapkan faktor-faktor tersebut adalah:

a. Faktor Perilaku

1) Perhatian selektif (selective attention) terhadap masukan yang mendukung citra diri individu. Individu cenderung


(36)

24

milah, masukan mana yang ingin diperhatikanya.

2) Melumpuhkan diri sendiri, individu memunculkan sendiri perilaku tertentu yang mengeluarkan kekurangannya.

3) Pemilihan tugas yang memperlihatkan usaha positif. Individu cenderung lebih melihat masukan yang bersifat menunjukkan kelebihan mereka, daripada kemampuan mereka sebenarnya (kemampuan yang kurang baik).

4) Bukti yang memperjelas perilaku mencari info strategis, individu cenderung menghindari situasi dimana kekurangannya dapat terlihat dan individu cenderung mencari masukan untuk hal yang mudah diperbaiki dari hasil kemampuan mereka. b. Faktor Sosial

1) Interaksi Selektif, individu bisa memilih dengan siapa ia ingin bergaul.

2) Perbandingan Sosial yang bias, individu cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain yang menurutnya lebih rendah kemampuanya daripada dirinya.

4. Citra Diri positif dan Citra Diri Negatif

James K.Van fleet (1997) merupakan tokoh terkemuka dalam bidang psikologi teknik motivasi. Mengidentifikasikan citra diri yang positif dan negatif, yaitu :


(37)

25

a. Citra Diri Positif

1) Memiliki rasa percaya diri yang kuat.

2) Berorientasi pada ambisi yang kuat dan mampu menentukan sasaran hidup.

3) Terorganisir dengan baik dan efisien (tidak terombang-ambing lagi tanpa tujuan dari hari ke hari).

4) Bersikap mampu.

5) Memiliki kepribadian yang menyenangkan. 6) Mampu mengendalikan diri.

b. Citra Diri Negatif

1) Merasa rendah diri.

2) Kurang memiliki dorongan dan semangat hidup. 3) Lebih suka menunda waktu.

4) Memiliki landasan yang pesimistik dan emosi negatif. 5) Pemalu dan menyendiri (karena mendapat kritik dari orang

lain, hinaan dan ejekan dari teman). 6) Hanya memiliki kepuasan sendiri.

B. Self-Esteem

1. Pengertian Self-esteem

Dalam kajian psikologi, istilah self-esteem diterjemahkan sebagai harga diri. Begitupun dalam perkembangan selanjutnya, self-esteem juga didefinisikan sebagai evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan individu


(38)

26

dalam memandang dirinya yang mengekspresikan sikap menerima atau menolak, juga mengindikasikan besarnya kepercayaan inidividu terhadap kemampuannya, keberartiannya, kesuksesan dan keberhargaan.

Menurut Santrock (2002) self-esteem merupakan dimensi evaluatif global dari diri. Harga diri juga diacu sebagai nilai diri. Evaluasi ini memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan diakui atau tidaknya kemampuan dan keberhasilan yang diperolehnya. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap keberadaaan dan keberartian diri. Individu yang mempunyai harga diri positif akan menghargai dan menerima dirinya apa adanya. Begitupun dengan Baron dan Byrne (2003:173) yang mendefinisikan bahwa self-esteem adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, sikap seseorang terhadap dirinya sendiri dalam rentang dimensi postif-negatif.

Menurut Coopersmith (1967:5) self-esteem merupakan evaluasi individu mengenai hal‐hal yang berkaitan dengan dirinya, yang mengekspresikan sikap menerima atau menolak, juga mengindikasikan besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaannya. Hal tersebut diperoleh dari interaksinya dengan lingkungan, seperti adanya penghargaan, penerimaan dan perlakuan orang lain terhadap individu yang bersangkutan. Sedangkan Dariuszky (2004) mengemukakan self-esteem sebagai penilaian seseorang bahwa dirirnya mampu menghadapi tantangan hidup dan mendapat kebahagian.

Atwater (dalam Dariuszky, 2004) mengemukakan, sebenarnya self-esteem adalah cara seseorang merasakan dirinya sendiri, dimana


(39)

27

seseorang akan menilai tentang dirinya sehingga mempengaruhi perilaku dalam kehidupannya sehari-hari. Seseorang yang memiliki self-esteem yang tinggi, lebih menghargai dirinya atau melihat dirinya sebagai sesuatu yang bernilai dan dapat mengenali kesalahan-kesalahannya, tetapi tetap menghargai nilai-nilai yang ada pada dirinya (Rosenberg, dalam Sara Burnett dan Wright, 2002).

Menurut Worchel, dkk. (dalam Dayaksini dan Hudaniyah 2009) “ self-esteem adalah komponen evaluatif dari konsep diri, yang terdiri dari evaluasi positif dan negatif tentang diri sendiri yang dimiliki seseorang”. Individu yang mempunyai pandangan positif dan keyakinan atas kemampuan yang dimiliki akan memberi penghargaan pada dirinya sendiri. Individu yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia, sehat, berhasil dan dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya orang yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak sehat, cemas, tertekan dan pesimis tentang masa depannya dan mudah atau cenderung gagal. Selain itu Minchinton (1993) juga mendefinisikan harga diri yaitu harga yang kita tempatkan pada diri kita. Selanjutnya Minchinton (1993) memberikan penjelasan bahwa harga diri adalah penilaian dari keberhargaan diri sebagai manusia, berdasarkan pada setuju atau tidak setuju dari diri kita dan perilaku kita.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan oleh peneliti bahwa self-esteem merupakan penilaian diri baik positif maupun negatif, yang memperlihatkan bagaimana individu menilai dirinya sendiri dan mempengaruhi besarnya kepercayaan individu pada kemampuan, keberartian, kesuksesan dan keberhargaannya.


(40)

28

2. Komponen Self-esteem

Menurut Coopersmith (1967), komponen self-esteem adalah: a. Keberhasilan Diri

Keberhasilan mempunyai arti berbeda untuk masing‐masing individu. Bagi beberapa orang keberhasilan diwakili oleh penghargaan yang berupa materi dan popularitas.Ada empat area keberhasilan self-esteem, yaitu:

1) Significance (Penerimaan)

Significance merupakan penerimaan perhatian dan kasih sayang dari orang lain. Penerimaan ditandai dengan adanya kehangatan, tanggapan, minat, serta rasa suka terhadap individu sebagaimana individu itu sebenarnya serta popularitas. Penerimaan juga tampak dalam pemberian dorongan dan semangat ketika individu membutuhkan dan mengalami kesulitan, minat terhadap kegiatan dan gagasan individu, ekspresi kasih sayang dan persaudaraan, disiplin yang relatif ringan, verbal dan rasional, serta sikap yang sabar. 2) Power (Kekuatan)

Power menunjukkan suatu kemampuan untuk bisa mengatur dan mengontrol tingkah laku orang lain berdasarkan pengakuan dan rasa hormat yang diterima individu dari orang lain. Kesuksesan dalam area power diukur dengan kemampuan individu dalam mempengaruhi arah tindakan dengan mengendalikan perilakunya sendiri dan orang lain. Kekuatan meliputi penerimaan, perhatian dan perasaan terhadap orang lain.


(41)

29

3) Competence (Kompetensi)

Competence dimaksudkan sebagai keberhasilan dalam mencapai prestasi sesuai tuntutan, baik tujuan atau cita‐cita, baik secara pribadi maupun yang berasal dari lingkungan sosial. Kesuksesan dalam area competence ditandai dengan tingginya tingkat performa, sesuai dengan tingkat kesulitan tugas dan tingkat usia.

4) Virtue (Kebajikan)

Menunjukkan adanya suatu ketaatan untuk mengikuti standar moral, etika dan agama. Seseorang yang mengikuti kode etik dan moral yang telah mereka terima dan terinternalisasi di dalam diri mereka berasumsi bahwa perilaku diri yang positif ditandai dengan keberhasilan memenuhi kode‐kode tersebut. Perasaan harga diri seringkali diwarnai dengan kebajikan, ketulusan, dan pemenuhan spiritual.

b. Nilai dan Aspirasi

Nilai diperoleh dari pengalaman dan apa yang ditanamkan oleh orang tua sejak kecil pada diri individu. Penilaian atau evaluasi diri individu ditentukan oleh keyakinan‐keyakinan individu mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi dan memberikan penilaian atas dirinya (society’s judgement). Penilaian dari lingkungan tersebut akan menginternalisasi dan menjadi batasan tingkah laku individu. Penilaian terhadap kesuksesan dan kegagalan dalam melakukan sesuatu sebagai bagian dari identitas diri dapat membuat individu merasa berharga, baik secara pribadi maupun secara sosial. Individu yang mempunyai


(42)

30

esteem rendah akan mempunyai tingkat aspirasi rendah. Sebaliknya, individu yang mempunyai self-esteem tinggi akan mempunyai aspirasi yang tinggi.

c. Pertahanan

Pertahanan individu diwakili oleh kemampuan mereka di dalam berusaha untuk melawan dari ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu. Individu dengan self-esteem yang tinggi akan mempertahankan kemampuan dalam bersaing. Sebaliknya, individu dengan self-esteem rendah tidak mampu mempertahankan kemampuan yang dimiliki dan cenderung kalah dalam bersaing. Mereka tidak mampu mengekspresikan atau mempertahankan diri serta tidak mampu mengatasi kelemahan yang dimiliki.

Individu yang berharga diri tinggi mampu mengatasi penyebab stress dan situasi yang membingungkan atau sulit dan mempunyai aspirasi serta tujuan di dalam hidupnya. Mereka mempunyai pertahanan di dalam diri mereka dengan cara memberikan kepercayaan dan dukungan kepada orang lain bahwa dia juga mempunyai kemampuan. Dalam hal ini, pertahanan yang dimaksud tidak hanya mengatasi kecemasan tetapi juga mampu menginterpretasi bahwa individu tersebut mampu memimpin orang lain secara aktif dan asertif. Sebaliknya, individu dengan self-esteem rendah sulit mengatasi kecemasan dan tidak mampu menjadi pemimpin yang aktif dan asertif.


(43)

31

3. Tingkatan Self-esteem

Menurut Baron dan Byrne (2005) memiliki self-esteem tinggi berarti individu menyukai dirinya sendiri atau dengan kata lain mengevaluasi dirinya secara positif. Evaluasi ini sebagian berasal dari pendapat orang lain dan sebagian lagi berasal dari pengalaman khusus. Sedangkan menurut Coopersmith (Muryono 2011) dijelaskan bahwa anak-anak yang memiliki self-esteem tinggi akan menjadi anak yang sukses, aktif, percaya diri dan optimis. Sebaliknya yang self-esteem rendah akan mengalami depresi, tertutup dan penakut.

Brehm dan Kassin (Dayaksini dan Hudaniah 2006) mengemukakan bahwa individu dengan self-esteem tinggi mempunyai pandangan positif dan keyakinan atas kemampuan yang dimiliki akan memberi penghargaan pada dirinya sendiri. Individu yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia, sehat, berhasil dan dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya orang yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak sehat, cemas, tertekan dan pesimis tentang masa depannya dan mudah atau cenderung gagal. Orang yang harga dirinya rendah memiliki suatu sikap mengalah diri (self-defeating) yang dapat memperangkap diri mereka sendiri ke dalam suatu lingkaran setan. Biasanya karena mereka mengharapkan kegagalan, mereka menjadi cemas, menunjukkan usaha-usaha yang sedikit/kecil dan menghilangkan tantangan-tantangan penting dalam kehidupan mereka. Kemudian ketika mereka gagal melakukannya, orang yang harga dirinya rendah menyalahkan diri mereka sendiri, pada gilirannya hal ini mengarahkan mereka untuk merasa lebih tidak kompeten lagi.


(44)

32

Menurut Minchinton (1993) self-esteem bukanlah sifat atau aspek tunggal saja, melainkan sebuah kombinasi dari beragam sifat dan perilaku. Dalam Maximum Self-Esteem, Michinton (1993) memaparkan tentang tingkatan self-esteem dalam tiga hal, sebagai berikut:

a. Perasaan tentang Diri Sendiri

1) Menerima diri sendiri, yaitu individu dapat menerima dirinya secara nyata dan penuh, nyaman dengan keadaan dirinya, dan memiliki perasaan yang baik mengenai dirinya, apapun kondisi yang dihadapi. Individu memandang bahwa dirinya memiliki keunikan tersendiri, meskipun ada sifat-sifat, kemampuan, atau keterampilan yang tidak dimiliki.

2) Memaafkan diri sendiri. Individu memiliki keyakinan mendalam bahwa mereka adalah penting dan berarti, walaupun bukan untuk orang lain, setidaknya untuk dirinya sendiri. Individu mengasihani dan memaafkan dirinya dari ketidaksempurnaan.

3) Menghargai nilai pribadi. Individu tidak terpengaruh oleh pendapat orang lain. Tidak merasa lebih baik ketika dipuji atau lebih buruk ketika dkritik. Perasaannya tidak tepengaruh oleh kondisi eksternal atau pada hal yang akan atau yang telah dilakukannya.

4) Mengendalikan emosi diri. Individu dengan harga diri tinggi memegang kendali atas emosinya sendiri. Sebaliknya, keadaan yang buruk dapat mempengaruhi perasaan individu dengan harga diri rendah, akibatnya suasana hatipun menurun. Tiap kali


(45)

33

individu mengatakan sesuatu tentang dirinya, apakah teman-teman, guru, pimpinan, orangtua atau saudara kandung, ia akan menerima komentar tersebut begiu saja dan membiaran pikiran orang melumpuhkan kehidupannya. Komentar itu bisa berupa sesuatu yang negatif atau berlawanan dengan penilaiannya. Kemudian ia pun mulai mempercayai ucapan orang tersebut meskipun jauh di lubuk hatinya, itu tidak benar.

b. Perasaan tentang Hidup

1) Menerima kenyataan. Perasaan terhadap hidup berarti menerima tanggung jawab atas setiap bagian hidup yang dijalaninya. Individu dengan harga diri yang tinggi akan dengan lapang dada tidak menyalahkan keadaan hidup ini atas segala masalah yang dihadapinya. Ia sadar bahwa semuanya terjadi berkaitan dengan pilihan dan keputusan sendiri, bukan karena faktor eksternal. Individu yang memiliki harga diri yang tinggi akan membangun harapan ataupun cita-cita secara realistis sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Perasaan individu terhadap hidup juga menentukan apakah akan menganggap sebuah masalah adalah rintangan hebat atau kesempatan bagus untuk mengembangkan diri.

2) Memegang kendali atas diri sendiri. Individu dengan harga diri tinggi juga tidak berusaha mengendalikan orang lain atau situasi yang ada. Sebaliknya individu dapat dengan mudah mengetahui


(46)

34

waktu yang tepat untuk mengubah sikap dan menyesuaikan diri dengan keadaan.

c. Perasaan tentang Individu Lain

1) Menghargai orang lain. Individu dengan toleransi dan penghargaan yang sama terhadap semua orang yang berarti memiliki harga diri yang baik. Ia percaya bahwa setiap orang termasuk dirinya memiliki hak yang sama dan patut dihormati. 2) Bijaksana dalam hubungan. Menerima keberadaan individu lain,

fleksibel, dan bertanggung jawab dalam hubungan. Individu dapat melihat semua orang adalah layak dan pantas. Individu dengan harga diri yang tinggi mampu memandang hubungannya dengan orang lain secara bijaksana.

4. FaktorFaktor yang Mempengaruhi Self-esteem

Menurut pendapat Centi (2005) faktor-faktor yang dapat mempengaruhi self-esteem adalah, sebagai berikut:

a. Orang Tua

Dalam hal informasi atau cermin tentang diri kita, orang tua memegang peranan paling istimewa. Jika mereka secara tulus dan konsisten menunjukkan cinta dan sayang kepada kita, kita dibantu untuk memandang diri kita pantas untuk dicinta, baik oleh orang lain maupun oleh diri kita sendiri. Sebaliknya, jika orang tua kita tidak memberi kehangatan, penerimaan dan cinta dalam hubungan kita dengan mereka,


(47)

35

Kita mungkin tumbuh dengan rasa ragu-ragu mengenai kepantasan kita untuk dicinta dan diterima. Jika mereka menghargai kita, kita melihat diri kita sebagai yang berharga. Tetapi jika tanggapan mereka terhadap kita hanya berupa kritik, koreksi dan hukuman melulu, kita mungkin menyangkal kebaikan kita sebagai pribadi dan menjadi yakin bahwa kita pantas untuk diperlakukan buruk.

Penilaian yang orang tua kenakan kepada kita untuk sebagian besar menjadi penilaian yang kita pegang tentang diri kita. Harapan mereka terhadap kita, kita masukkan kedalam cita-cita diri kita. Harapan itu merupakan salah satu patokan penting yang kita pergunakan untuk menilai kemampuan dan prestasi kita. Jika kita tidak mampu memenuhi sebagian besar harapan itu, atau jika keberhasilan kita tidak diakui oleh orang tua kita, kita mungkin mengembangkan rasa tidak becus dan harga diri rendah. Dengan beribu cara, orangtua memberitahu tentang siapa kita. Pemberian tahu itu mempengaruhi apa yang kita pikir tentang diri kita. Orangtua yang terlalu memperhatikan, yang gampang cemas, yang merasa harus dekat dengan anak terus-menerus, mudah menghasilkan anak yang takut-takut dan tidak aman.

Jika orang tua meninggal dan tidak ada penggantinya, anak-anak akan mendapat kesulitan untuk membentuk gambaran yang positif. Jika orang tua menunjukkan minat dan perhatian kecil saja kepada anak-anak mereka, ada kemungkinan besar, anak mendapat gambaran diri yang negatif terhadap diri mereka. Tanggapan balik dari orangtua merupakan


(48)

36

penentu penting untuk konsep diri. Tanggapan itu, bila dikehendaki anak tumbuh dengan merasa berharga, dicintai dan cakap, haruslah menampakkan anak itu memang berharga, pantas dicintai dan cakap. b. Sekolah

Tokoh utama di sekolah adalah guru. Pribadi, sikap, tanggapan dan perlakuan seorang guru membawa dampak besar bagi penanaman gagasan dalam pikiran siswa tentang diri mereka. Untuk kebanyakan siswa, guru merupakan model. Mereka tampak menguasai banyak bidang ilmu pengetahuan dan pandai. Sikap, tanggapan dan perlakuan guru amat besar pengaruhnya bagi pengembangan harga diri siswa. Karena segala itu dilakukan dan dikemukakan di muka umum, di muka kelas. Siswa yang banyak diperlakukan buruk (dihukum dan ditegur) cenderung lebih sulit mengembangkan kepercayaan dan harga diri. Sebaliknya siswa yang banyak dipuji, mendapat penghargaan dan diberi hadiah karena prestasi studi, seni atau olahraga cenderung lebih mudah membentuk konsep-konsep diri yang positif.

Salah satu segi dalam pendidikan di sekolah, entah secara tertutup atau terbuka adalah persaingan antarsiswa baik dalam satu kelas maupun di sekolah secara keseluruhan. Ada kompetisi dalam studi, seni, olahraga,cari pacar. Semua kompetisi dan persaingan itu menghasilkan pemenang dan penderita kalah. Siswa yang kerap menang dalam kompetisi tentu saja lebih mudah mendapatkan kercayaan dan harga diri. Sebaliknya yang selalu kalah lebih sulit mengembangkan konsep diri yang positif.


(49)

37

c. Teman Sebaya

Hidup kita tidak terbatas di lingkungan keluarga saja. Kita juga berteman dan bergaul dengan orang-orang di luar rumah. Dalam pergaulan dengan teman-teman itu, apakah kita disenangi, dikagumi, dan dihormati atau tidak, ikut menentukan dalam pembentukan gambaran diri kita. Pada masa muda ketika keluar rumah dan masuk ke dalam pergaulan dengan teman dan kenalan, kita dipaksa untuk meninjau kembali gambaran diri yang kita bentuk di rumah.

Perlakuan teman dan kenalan kita dapat menguatkan atau membuyarkan gambaran diri kita. Kecuali oleh perlakuan teman dan kenalan, gambaran diri kita juga dipengaruhi oleh perbandingan kita dengan mereka. Bila kita menemukan diri kalah “cakep”, pandai dalam studi hebat berolah raga dan olah seni dibandingkan dengan mereka, Gambaran diri kita yang positif juga terhambat tumbuh. Sebaliknya jika kita sama baik, atau malah lebih baik dari mereka, rasa harga diri kita dipacu untuk berkembang.

d. Masyarakat

Sebagai anggota masyarakat sejak kecil kita sudah dituntut untuk bertindak menurut cara dan patokan tertentu yang berlaku dalam masyarakat kita. Norma masyarakat itu diteruskan kepada kita lewat orang tua, sekolah, teman sebaya dan media cetak dan elektronik seperti radio dan televisi. Norma itu menjadi bagian dari cita-cita diri kita.


(50)

38

Semakin kita mampu memenuhi norma dan diterima oleh masyarakat, semakin lancar harga diri kita berkembang.

Harga diri kita juga dipengaruhi oleh perlakuan masyarakat terhadap kita. Bila kita sudah mendapat cap buruk dari masyarakat sekitar kita, sulit bagi kita untuk mengubah gambaran diri kita yang jelek. Lebih parah lagi bila kita hidup dalam masyarakat diskriminatif, dimana dikenal istilah mayoritas dan minoritas. Bila kita ada di pihak mayoritas harga diri kita lebih mendapat angin untuk berkembang. Sementara bila kita menjadi anggota kelompok minoritas dan banyak mengalami perlakuan buruk dari kelompok mayoritas, lebih sulit bagi kita untuk menerima dan mencintai diri kita.

e. Pengalaman

Banyak pandangan tentang diri kita dipengaruhi juga oleh pengalaman keberhasilan dan kegagalan kita. Keberhasilan studi, bergaul, berolah raga dan seni atau berorganisasi lebih mudah mengembangkan harga diri kita. Sedang kegagaglan ini sudah mulai terjadi sejak masa kecil kita dan akan tetap terjadi selama hidup kita. Pengalaman-pengalaman kegagalan dapat amat merugikan perkembangan harga diri dan gambaran diri yang baik. Bila kegagalan-kegagalan terus menerus menimpa diri kita, gambaran diri kita dapat hancur.

Selanjutnya Dariuszky (2004) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem adalah sebagai berikut:


(51)

39

a. Ikatan Batin

Ikatan batin adalah suatu bentuk hubungan pribadi misalnya antara anak dan ibu khususnya melalui asosiasi yang konstan ataupun sering. Proses pembentukan ikatan batin antara ibu dan anak dimulai jauh sebelum kelahiran sang bayi. Selama sembilan bulan masa kehamilan, lingkungan dalam kandungan amat penting bagi perkembangan janin, kondisi fisik dan emosional sang ibu memainkan peranan penting dalam penciptaan lingkungan ini. Peristiwa-peristiwa yang dialami sang ibu terkadang sedemikian kuat pengaruhnya sehingga sang janin “terpaksa” lahir secara prematur di dunia ini.

Para bayi yang lahir prematur terkadang takut sekali terhadap ibunya, bila sang bayi lahir cacat, sebagian ibu tidak mampu menerima kehadiran bayinya tersebut. Akibatnya, ikatan batin antara sang anak dengan sang ibu menjadi terganggu. Terganggunya ikatan batin pada saat-saat dini ini, cenderung menyebabkan merosotnya harga diri dan kepercayaan diri sang ibu yang baru melahirkan tersebut. Buruknya lagi, harga diri dan kepercayaan diri yang merosot ini cenderung tertular kepada sang bayi melalui proses pengasuhan dan pemeliharaannnya.

Ikatan batin antara anak dengan ayah sering dianggap sama pentingnya dengan ikatan batin antara anak tersebut dengan sang ibu. Anak-anak yang sedang tumbuh perlu mengalami perasaan diinginkan dan dicintai kedua orang tuanya. Bila cinta yang diperolehnya kurang


(52)

40

memadai, maka anak yang sedang tumbuh tersebut terancam oleh bahaya terbentuknya harga diri yang rendah dalam dirinya.

b. Hubungan Emosional

Hubungan emosional juga terbentuk antara bayi dengan pengasuhnya. Kualitas hubungan emosional ini krusial dalam pembentukan konsep diri dan perasaan berharga dalam diri bayi tersebut kelak. John Bowlby, seorang ahli psikologi berkebangsaan Inggris, menegaskan bahwa hubungan emosional masa kanak-kanak ini sangat berpengaruh terhadap semua hubungan yang akan dibentuk dan dijalani anak itu pada kemudian hari.

Hubungan emosional yang aman menguatkan perasaan berharga dalam jiwa sang anak, karena dalam jiwa anak yang bersangkutan tumbuh perasaan bahwa dirinya dihargai. Hubungan emosional yang tidak aman akan dirasakan bayi jika pengasuhnya, ibunya sendiri atau orang dewasa yang lain, cemas dan tidak mampu mengadakan kontak emosional yang memadai dengan sang bayi, atau tidak mempunyai pemahaman yang benar mengenai perlunya kontak-kontak semacam itu.

c. Pengakuan (Approval)

Approval adalah unsur krusial dalam pertumbuhan perasaaan berguna dan harga diri seorang anak. Salah satu definisi approval

adalah “mengakui kebaikan, memuji”. Pengakuan (approval) oleh

orang tua dan tokoh-tokoh penting lainnya dalam kehidupan seorang anak (termasuk para kakak, yang berpengaruh besar terhadap sang adik), merupakan wujud suatu kontrol atau pengendalian.


(53)

41

Seseorang yang pada masa kanak-kanak kurang atau tidak memperoleh pengakuan, dalam masa dewasanya sering bertindak berlebihan untuk mendapatkan pengakuan, bahkan kehausannya akan pengakuan seolah-olah tidak akan pernah terpuaskan. Dua kata lain yang erat kaitannya dengan approval adalah penerimaan (acceptance) dan peneguhan (affirmation).

d. Pengalaman Sekolah

Penolakan tidak selalu timbul dalam keluarga. Seorang anak bisa saja hidup dalam sebuah keluarga yang penuh kasih sayang dan pengasuhan, tetapi tetap terbuka kemungkinan dia akan mendapat kecaman pedas, penolakan, ejekan dan bahkan penganiayaan di sekolah, baik dari pihak gurunya maupun murid-murid yang lainnya.

Penerimaan oleh teman-teman sebaya merupakan faktor penting dalam hidup setiap anak. Ada banyak sekali hal yang menyebabkan harga diri anak lebih sering direndahkan ketimbang ditingkatkan. Bagi banyak anak, hari-hari bersekolah dipandang sebagai masa penyucian atau pembersihan jiwa secara paksa dan hal ini berpengaruh buruk terhadap proses belajarnya, pada gilirannya, hal ini juga akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan harga dirinya. Tuntutan berperilaku tertentu dari teman-teman sebaya sering ada hubungannya dengan upaya mendapatkan penerimaan dan pengakuan, dan seorang remaja yang harga dirinya telah terganggu akibat perasaan ditolak, mungkin tidak akan kuat menanggung tuntutan teman-temannya atas perilaku sang anak remaja tersebut.


(54)

42

e. Bertumbuh dan Berkembang (Growing Up)

Bertumbuh dan berkembang berarti mengalami atau berhadapan dengan perkembangan-perkembangan fisik dan emosional, yang juga berarti mulai bertanggung jawab secara dewasa. Orang-orang muda mulai membentuk hubungan pergaulannya sendiri dan dalam proses tersebut, sebagian diantara mereka tidak mampu menumbuhkan serta mengembangkan harga dirinya.

Harga diri tidak berhenti pertumbuhannya ketika seseorang telah memasuki masa dewasa. Harga diri merupakan proses yang bisa meningkat atau sebaliknya merosot, yang berlangsung terus-menerus sepanjang usia, akan tetapi landasan bagi suatu harga diri yang sehat dibangun pada masa kanak-kanak. Peristiwa-peristiwa kehidupan seringkali terasa seakan-akan berkomplot untuk menghantam diri kita, dan pukulan atau hantaman emosional bisa menghancurkan harga diri kita, misalnya pukulan batin akibat perceraian yang penuh percekcokan, kematian suami atau isteri seseorang, kelahiran seorang bayi cacat, atau jatuh sakit.

Michener & Delamater (Dayaksini dan Hudaniah 2003) memaparkan bahwa sumber‐sumber terpenting yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan self-esteem adalah:

a. Pengalaman dalam Keluarga

Coopersmith (Dayaksini dan Hudaniah, 2003) menyimpulkan ada tipe perilaku orang tua yang dapat meningkatkan self-esteem: 1)


(55)

43

menunjukkan penerimaan, afeksi, minat, dan keterlibatan pada kejadian‐kejadian atau kejadian yang dialami anak, 2) menerapkan batasan‐batasan jelas perilaku anak secara teguh dan konsisten, 3) memberikan kebebasan dalam batas‐batas dan menghargai inisiatif, 4) bentuk disiplin yang tak memaksa (menghindari hak-hak istimewa dan mendiskusikan alasan‐alasannya daripada memberikan hukuman fisik). b. Umpan Balik dalam Performance

Self-esteem diperoleh sebagai agen penyebab yang aktif terhadap apa yang terjadi di dunia dan dalam pengalaman untuk mencapai tujuan serta mengatasi kesulitan. Self-esteem sebagian terbentuk berdasarkan perasaan kita tentang kemampuan (kompetensi) dan kekuatan (power) untuk mengontrol kejadian-kejadian yang menimpa diri kita.

c. Perbandingan Sosial

Perbandingan sosial adalah hal penting yang mempengaruhi self-esteem, karena perasaan mampu atau berharga diperoleh dari performance yang tergantung kepada siapa membandingkan, baik dengan diri sendiri maupun orang lain. Bahkan tujuan pribadi secara luas berasal dari aspirasi untuk sukses dalam perbandingannya dengan orang lain yang kita kagumi. Evaluasi mungkin paling banyak diterima dari lingkungan sosial terdekat, seperti keluarga, teman sebaya, guru dan teman‐teman kerja.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi self-esteem yaitu terdiri dari faktor internal dan


(56)

44

faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari pengalaman pribadi dan fase bertumbuh dan berkembang (growing up), faktor eksternal yaitu terdiri dari faktor orang tua, sekolah, teman sebaya, masyarakat.

5. Tingkatan Self-esteem

Menurut Coopersmith (1967) dalam penelitiannya mengenai self-esteem berusaha mengelompokkan subjek menjadi tiga kelompok, yaitu individu dengan self-esteem tinggi, individu dengan self-esteem sedang, dan individu dengan self-esteem rendah. Masing‐masing kelompok mempunyai ciri‐ciri tersendiri. Uraian mengenai ciri-ciri dan masing‐masing kelompok tersebut adalah sebagai berikut:

a. Self-esteem Tinggi

Individu dengan self-esteem tinggi adalah individu yang yakin atas karakter dan kemampuan dirinya. Individu tersebut mempunyai ciri‐ciri seperti aktif, ekspresif, cenderung berhasil dalam akademik dan kegiatan sosial, percaya diri yang didasarkan pada kemampuannya, ketrampilan sosial dan kualitas pribadinya. Selain itu, lebih mandiri, kreatif, dan yakin akan pendapatnya serta mempunyai motivasi untuk menghadapi masa depan cenderung mempunyai ambisi dan cita‐cita yang tinggi. Individu tersebut akan menerima dan memberikan penghargaan positif terhadap dirinya sehingga akan menumbuhkan rasa aman dalam menyelesaikan diri atau bereaksi terhadap stimulus dari lingkungan sosial.


(57)

45

b. Self-esteem Sedang

Individu dengan self-esteem sedang pada dasarnya mempunyai kesamaan dengan individu yang mempunyai harga diri tinggi dalam hal penerimaan diri. Individu ini cenderung optimis dan mampu menangani kritik, namun tergantung pada penerimaan sosial, yaitu sikap terbuka dan menyesuaikan diri dengan baik apabila lingkungan bisa menerima. c. Self-esteem Rendah

Individu dengan self-esteem rendah menunjukkan sikap kurang percaya diri dan tidak mampu menilai kemampuan diri. Rendahnya penghargaan diri mengakibatkan individu tidak mampu mengekspresikan dirinya di lingkungan sosial dan tidak mempunyai keyakinan diri, merasa tidak aman dengan keberadaannya dilingkungan. Individu tersebut kurang berani menyatakan pendapatnya, kurang aktif dalam masalah sosial, pesimis dan perasaannya dikendalikan oleh pendapat yang ia terima dari lingkungan.

Menurut Brehm dan Kassin (Dayaksini dan Hudaniah, 2006) bahwa individu dengan self-esteem tinggi mempunyai pandangan positif dan keyakinan atas kemampuan yang dimiliki akan memberi penghargaan pada dirinya sendiri. Individu yang menilai dirinya positif cenderung untuk bahagia, sehat, berhasil dan dapat menyesuaikan diri. Sebaliknya orang yang menilai dirinya negatif secara relatif tidak sehat, cemas, tertekan dan pesimis tentang masa depannya dan mudah atau cenderung gagal.


(58)

46

Menurut Baron dan Byrne (2005) memiliki self-esteem tinggi berarti individu menyukai dirinya sendiri atau dengan kata lain mengevaluasi dirinya secara positif. Evaluasi ini sebagian berasal dari pendapat orang lain dan sebagian lagi berasal dari pengalaman khusus. Sementara menurut Coopersmith (Sigit Muryono 2011) dijelaskan bahwa anak-anak yang memiliki self-esteem tinggi akan menjadi anak yang sukses, aktif, percaya diri dan optimis. Sebaliknya yang self-esteem rendah akan mengalami depresi, tertutup dan penakut.

Dalam pandangannya secara rinci, Dariuszky (2004) berpendapat bahwa karakterisik individu yang memiliki self-esteem tinggi adalah sebagai berikut:

a. Pada umumnya, mereka tidak terlalu kuatir dengan keselamatan hidupnya dan lebih berani mengambil risiko.

b. Mereka bersedia mempertanggung jawabkan kegagalan maupun kesalahannya.

c. Mereka mempunyai harapan-harapan yang positif dan realistis atas ikhtiarnya maupun hasil ikhtiarnya.

d. Mereka dapat menemukan bukti atau alasan yang kuat untuk menghargai diri mereka atas keberhasilan yang mereka raih.

e. Pada umumnya, mereka memandang dirinya sama dan sederajat dengan orang lain.

f. Mereka cenderung melakukan aktivitas-aktivitas yang bertujuan memperbaiki atau menyempurnakan dirinya.


(1)

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Penelitian ini telah menjawab hipotesis bahwa citra diri dengan self-esteem terbukti memiliki korelasi signifikan yang bersifat negatif sebesar 0.044. Didukung penelitian yang dilakukan oleh Petersen, et.al (1984) juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara citra diri dengan harga diri Wylie (dalam Petersen, et.al, 1984) hal ini juga dikarenakan harga diri yang merupakan perasaan keseluruhan atas keberhargaan dan penerimaan diri merupakan komponen pengevaluasi dari citra diri.

Berdasarkan hasil koefisien korelasi tersebut juga dapat dipahami bahwa korelasinya bersifat negatif (-) jadi menunjukkan adanya arah hubungan yang berlawanan, artinya semakin tinggi citra diri tidak beriringan dengan tingginya self-esteem atau citra diri yang tinggi tidak menunjukkan harga diri yang tinggi juga.

.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, peneliti menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalamnya. Untuk itu, ada beberapa saran yang dapat dijadikan bahan pertimbangan terkait dengan penelitian yang serupa, yaitu:


(2)

93

1. Bagi guru (pendidik) dan pihak sekolah

Diharapkan memberi bimbingan anak didiknya di sekolah dalam mengaktualisasikan diri, agar tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak seharusnya dilakukan sebagai bentuk aktualisasi diri.

2. Bagi orangtua dan keluarga

Diharapkan dapat lebih memberikan pandangan pada anak tentang mencitrakan diri yang baik, membekalinya dengan moral santun dan mengawasi penggunaan teknologi bagi anak.

3. Bagi siswa

Diharapkan untuk dapat menyikapi perkembangan arus globalisasi dan modernisasi dengan baik, karena tidak selamanya globalisasi membawa dampak baik bagi individu. Mulai membangun citra diri yang baik agar dapat memiliki harga diri yang tinggi, karena dapat membantu individu yang masih dalam tahap pencarian jati diri mengarah kepada hal-hal positif.

4. Bagi peneliti selanjutnya

Peneliti selanjutnya disarankan agar mencermati faktor-fator lain yang berpengaruh terhadap self-esteem. Peneliti selanjutnya dapat mencermati tidak hanya citra diri dalam bentuk foto selfie, tetapi dari berbagai macam bentuk aktualisasi diri, seperti citra diri didepan umum atau citra diri dalam kompetisi dan sebagainya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Saktya dan Yudiati, M. Erna Agustina. 2009. “Harga Diri dan Kecenderungan Narsisme pada Pengguna Friendster”. Jurnal Psikologi. Vol. 3. No.1. Desember 2009.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Suatu Penelitian: Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Jakarta.

Azwar, Syaifuddin. 1997. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. _________. 2003. Penyusunan Skala Psikologi. Edisi I. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar Offset.

Atwater, E. & Duffy, K.G. 1999. Psychology for Living: Adjustment, Groeth, and Behaviour Today. USA: Prentice Hall Book Inc.

Baron, R.A. & Byrne, D. 1991. Sosial Psychology: Understanding Human Interaction. 6th. USA: Allyn & Bacon.

_________. 2005. Psikologi Sosial. Jilid I. Alih Bahasa Ratna Djuwita. Jakarta: Erlangga.

Brown, J.D. 1998. The Self. Massachussetts: Mc.Graw Hill Inc.

Burn, R.B. 1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Alih Bahasa Eddy. Jakarta: Arcan.

Centi, Paul J. 2005. Mengapa Rendah Diri. Yogyakarta: Kanisius.

Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Coopersmith, S. 1967. The Antecedents of Self Esteem. San Fransisco: W.H. Freeman

and Co.

Dariuszky, Goran. 2004. Membangun Harga Diri. Bandung: Pionir Jaya. Dayaksini, T dan Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Press.

Estoisia, R, Pithia, N, Claudia, R, Yu, T. 2009. Identity Construction and Self-Representation on Facebook. http://anthrocyber.blogspot.com/2009/05/ identity-construction-and-self.html. Diakses tanggal 8 Mei 2016 pukul 19.20.

Fleet, James K. Van. 1997. Cara Meraih Pengaruh dan Kekuasaan Tak Terbatas dalam 21 Hari. Cet. Ketiga. Jakarta: Penerbit Mitra Utama.


(4)

95

Galer, Mark. 1995. Photography: Foundations for Art and Design. Oxford: Focal Press.

Hadi, Sutrisno. 2004. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hardini, Amalia Puspita. 2010. “Hubungan Citra Diri Melalui Foto Profil dengan Harga Diri pada Mahasiswa Pengguna Facebook Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah”. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.

Hurlock, E. B. 2003. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terj. Wasana. Jakarta: Erlangga.

Jahja, Yudrick. 2012. “Psikologi Perkembangan”, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.

Jersild, T. Arthur. 1961. The Psychology of Adolescence. New York: The Mac-Millan Company.

Latipun. 2002. Kesehatan Mental: Konsep dan Penerapan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.

Luthfi, I., Saloom, G., Yasun, H. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.

M. Bahrun, Amiq. 2015. “Hubungan Self Image dengan Interaksi Sosial Mahasiswi Humaniora dan Budaya Fakultas Bahasa dan Sastra Inggris Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (Semester II, IV dan VI). Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Malik, S. (2009). “Citra Diri Kehidupan Mahasiswa Islami”. dalam

http://luluvikar.wordpress.com/2009/10/06/citra-diri-kehidupan-mahasiswa-islami/. Diakses tanggal 8 Mei 2016 pukul 10.50.

Maltz, M. 1994. The Magic Power of Self Image Psychology. Bombay: Jaico Publishing House.

Mappiare, A. 2010. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Edisi Kedua. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Minchinton, G. 1993. Maximum Self-Esteem. Kuala Lumpur: Golden Books Center.

Muhid, Abdul. 2008. Modul Analisis Data pada Statistik Parametrik dan Non Parametrik Program SPSS for Windows. Surabaya: Iain Sunan Ampel Surabaya.

Muryono, Sigit. 2011. Bimbingan Konseling dalam Ontologi. Yogyakarta: Gala Ilmu Semesta.


(5)

96

Nasimah, S. 2009. “Hubungan Self Esteem dengan Orientasi Masa Depan pada Remaja. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

Nasir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Ofcom. 2008. Social Networking: A Quantitative Research Report into Attitudes, Behaviours and Use. http://www.ofcom.org.uk. Diakses Tanggal 8 Mei 2016 pukul 19.25 WIB.

Papalia, et.all. 2003. Human Developmen. Ninth Edition. New York: McGraw Hill.

Petersen, AC., Schulenberg, JE., Abrowitz, RH., Offer, D. & Jarcho, H.D. 1984. “A Self-Image Qustionaire for Your Adolescent (SIQYA): Reliability and Validity Studies”. Journal of Youth and Adolescence. Vol. 13. Pp. 93-111. Prabangkoro, A. 2008. Hubungan antara Citra Diri (Self Image) dengan Aspirasi Kerja pada Salesman. Skripsi. Fakultas Psikologi Universutas Muhammadiyah Surakarta.

Prasetya, Esti AP. 2002. “Hubungan antara Nilai Sosial Obat dan Self Esteem dengan Intensi Penyalahgunaan Obat pada Remaja”. Jurnal Psikologi. Vol. 9. No. 1. Bandung: P.T. Alumni.

Ramadhani, S. 2009. “Perbedaan Self Esteem PSK yang Mendapat Binaan Rehabilitasi dengan PSK yang Belum Mendapatkan Binaan Rehabilitasi”. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah.

Robin, Richard W et al. 2001.” Personality Correlates of Self-Esteem. Tracy Journal of Research in Personality” Vol.3. No.5. Pp 463–482. Available online at http://www.idealibrary.com. Diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 07.15.

Salmaini. 2011. “Self Image dan Peranannya dalam Keberhasilan Belajar Siswa”, http://salmaini-artikel.blogspot.com/2011/12/self-image.html. Diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 19.30 WIB.

Santrock, J. W. 2002. Perkembangan Masa Hidup. Edisi 5. Jilid 1. Terj. Juda Damanik dan Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga.

Sarwono, S. W. 2002. Psikologi Remaja. Cet. 6. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Singarimbun, Masri.1995. Metode Penelititan Survei. Jakarta: LP3S.

_________. 2012. Pengantar Psikologi Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sevilla, dkk. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UI Press.


(6)

97

Siibak, A. 2009. “Constructing the Self Through the Photo Selection-Visual Impression Management on Social Networking Websites”. Cyberpsychology: Journal of Psychosocial Research on Cyberspace, 3 (1). article1. http://cyberpsychology.eu/view.php?cisloclanku=2009061501&article=1. Diakses pada 5 Maret 2016 pukul 08.15.

Simatupang, Fritta Faulina, 2010. “Fenomena Selfie (Self Potrait) di Instagram (Studi Fenomenologi pada Remaja di Kelurahan Simpang Baru Pekanbaru)”. Skripsi. Riau: Fakultas Ilomu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. CV.Alfabeta: Bandung.

Steinberg, L. D. 1999. Adolescence. 5th Edition. USA: McGraw Hill.

Syahbana, Rabian. 2004. Selfie (Mengungkap Fenomena Selfie dari Masa ke Masa). Surabaya: Nulisbuku.

http://www.oxforddictionaries.com/definition/english /self ies?q=selfie. Diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 08.15.

http://health.kompas.com/read/2013/12/18/1151301/www.huffingtonpost.com. Diakses pada tanggal 5 Maret 2016 pukul 07.55.


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN BEREMPATI DAN SELF ESTEEM DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA Hubungan Antara Kemampuan Berempati Dan Self Esteem Dengan Perilaku Prososial Pada Remaja.

0 7 18

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEPERCAYAAN DIRI REMAJA YANG MENGUNGGAH FOTO SELFIE DI INSTAGRAM Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kepercayaan Diri Remaja Yang Mengunggah Foto Selfie Di Instagram (Ditinjau Dari Jenis Kelamin Dan Usia).

0 4 18

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KEPERCAYAAN DIRI REMAJA YANG MENGUNGGAH FOTO SELFIE DI INSTAGRAM Hubungan Antara Konsep Diri Dengan Kepercayaan Diri Remaja Yang Mengunggah Foto Selfie Di Instagram (Ditinjau Dari Jenis Kelamin Dan Usia).

0 4 17

HUBUNGAN ANTARA PERSAHABATAN DENGAN SELF ESTEEM Hubungan Antara Persahabatan Dengan Self Esteem.

0 4 17

HUBUNGAN ANTARA CITRA TUBUH DENGAN SELF ESTEEM PADA WANITA YANG MELAKUKAN PERAWATAN DI SKIN CARE Hubungan Antara Citra Tubuh Dengan Self Esteem Pada Wanita Yang Melakukan Perawatan Di Skin Care.

1 14 15

HUBUNGAN ANTARA CITRA TUBUH DENGAN SELF ESTEEM PADA WANITA YANG MELAKUKAN PERAWATAN DI SKIN CARE Hubungan Antara Citra Tubuh Dengan Self Esteem Pada Wanita Yang Melakukan Perawatan Di Skin Care.

0 4 18

Hubungan antara presentasi diri seksual online dan contingent self-esteem pada remaja.

1 3 106

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI (SELF-ESTEEM) DENGAN TINGKAT STRES NARAPIDANA WANITA DI LAPAS KLAS IIA DENPASAR.

0 0 7

Hubungan self efficacy, self esteem dan perilaku prokrastinasi siswa madrasah aliyah negeri di Malang Raya

1 3 9

HUBUNGAN ANTARA SELF-ESTEEM DENGAN KECENDERUNGAN BUNUH DIRI PADA REMAJA

0 0 16