HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN BEREMPATI DAN SELF ESTEEM DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA Hubungan Antara Kemampuan Berempati Dan Self Esteem Dengan Perilaku Prososial Pada Remaja.

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN BEREMPATI DAN SELF ESTEEM
DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

NASKAH PUBLIKASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam
Mencapai Derajat Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

Diajukan Oleh :
WINDHA AYU DEWANTI
F100 120 037

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016

 

 

'i'hdr!i:


h-

ftbr irrqhhio(tr

ra,

o,

di

rkDii Doun

r!4uji

Erdip,krriFqrq!irnn{iII{r(ootrsodrshhiriouDrj!
h sri

ndilk!$! EraBg EjIubk0lF

ibnyi


oo

jusr I &k

u

r dqiI rq! !r

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN BEREMPATI DAN SELF ESTEEM
DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN BEREMPATI DAN SELF ESTEEM
DENGAN PERILAKU PROSOSIAL PADA REMAJA
Windha Ayu Dewanti
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
windhaayudewanti@gmail.com
Rini Lestari
Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Rini.Lestari@ums.ac.id

ABSTRAK
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak dapat melepaskan
diri dari interaksi dengan lingkungannya. Namun munculnya era modernisasi saat
ini memberikan dampak besar dalam kehidupan manusia khususnya remaja,
sehingga terjadi pergeseran pada pola interaksi antar individu dan berubahnya
nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataannya banyak dijumpai
remaja bukannya gemar untuk melakukan perilaku-perilaku prososial, justru
sebaliknya malah semakin banyak diantara remaja yang melakukan perilaku
antisosial. Karena itu remaja perlu memiliki rasa empati dan harga diri agar
perilaku prososial pada remaja meningkat. Tujuan penelitian ini (1) untuk
mengetahui hubungan antara kemampuan berempati dan self esteem dengan
perilaku prososial pada remaja, (2) untuk mengetahui tingkat empati , self esteem
dan perilaku prososial, (3) untuk mengetahui peran atau sumbangan efektif
kemampuan empati dan self esteem terhadap perilaku prososial. Penelitian ini
menggunakan teknik purposive sampling pada siswa SMA Batik 1 Surakarta yang
berjumlah 100 subjek. Alat pengumpulan data yang dipergunakan untuk
mendapatkan data dalam penelitian ini adalah skala kemampuan berempati, skala
self esteem dan skala perilaku prososial. sedangkan teknik analisis data
menggunakan analisis regresi. Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh nilai
korelasi koefesien (r xy ) sebesar 0.797; p= 0,000 (p < 0,01) yang menunjukkan

adanya hubungan yang sangat signifikan antara kemampuan berempati dan self
esteem dengan perilaku prososial pada remaja. Sumbangan efektif kemampuan
berempati dan self esteem dengan perilaku prososial sebesar 63,5% dan 36,5%
sisanya diperoleh dari variabel lainnya. Kemampuan berempati tergolong tinggi
yang ditunjukkan oleh rerata empirik sebesar 86,50 dan rerata hipotetik sebesar
63, lalu pada self esteem tergolong tinggi yang ditunjukkan oleh rerata empirik

1

sebesar 55,24 dan rerata hipotetik sebesar 45, Sedangkan untuk perilaku prososial
tergolong tinggi yang ditunjukkan oleh rerata empirik sebesar 101,04 dan rerata
hipotetik sebesar 75.
Kata kunci: Kemampuan Berempati, Self Esteem, Perilaku Prososial
ABSTRACT
Human is social creatures, they can not let himself not to interact with
social around. But in this era where everything is mobilize and modern, gives
huge impact to people especially teenager, so it brings friction to interact pattern
over individual and changed values in social life. These days we common found
teenager do something antisocial rather than prosocial. Teenager needs have a
sense of empathy and self-esteem to raise prosocial behavior among them.The

purpose of this research are (1.) to know the connection between abbility to
empathy and self-esteem toward prosocial behavior in teennager. (2.) to know
level of empathy, self-esteem and prosocial behavior . (3.) to know the role of the
abbility to empathy and self-esteem toward prosocial behavior.This research used
purposive sampling technique with 100 students from SMA Batik 1 Surakarta.
The data were collected through ability to empathy scale, self esteem scale, and
prosocial behavior scale. The data were analyzed by regression analysis. Based on
regression analysis, correlation coefficient values (rxy) has obtained 0.797; p=
0,000 (p < 0,01) which is shown great significant connection between the ability
to empathy and self-esteem toward prosocial behavior among teenager. Effective
contribution the abbility to empathy and self-esteem are 63,5% and the rest about
36,5% obtained from another variables. The abbility to empathy is very high
shown by empirical mean 86,50, and then the self-esteem is very high also shown
by empirical mean 55,24, while prosocial behavior shown by empirical mean
101,04.
Keywords:Prosocial behavior, Self esteem, Ability to empathy.
1. PENDAHULUAN
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, individu, dan
berketuhanan. Sebagai makhluk sosial, individu dalam kehidupan sehari-hari
melakukan interaksi dengan individu lain. Manusia tidak dapat melepaskan diri

dari lingkungannya. Lingkungan dalam hal ini baik lingkungan fisik maupun
lingkungan psikis. Lingkungan fisik, yaitu alam benda-benda yang konkret,
sedangkan lingkungan psikis adalah jiwa raga individu-individu dalam
lingkungan, ataupun lingkungan rohaniah (Walgito, 2004).
Munculnya modernisasi dan globalisasi saat ini memberikan dampak besar
dalam kehidupan manusia, sehingga terjadi pergeseran pada pola interaksi antar
individu dan berubahnya nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat. Interaksi

2

antar individu menjadi bertambah longgar dan kontak sosial yang terjadi semakin
rendah kualitas dan kuantitasnya. Salah satu bentuk pergeseran pola hubungan
antara individu dengan individu lain dan lingkungan sekitarnya adalah fenomena
menipisnya perilaku prososial dalam kehidupan manusia. Fenomena itu bukan
saja terjadi pada masyarakat umumnya tetapi juga pada remaja pada khususnya.
Dewasa ini, sikap saling menolong dan membantu orang lain di kalangan
remaja telah mulai memudar. Hal ini terjadi akibat tumbuh suburnya sikap
individualistis di kalangan remaja. Remaja juga banyak yang menganut gaya
hidup hedonis, yang membuat remaja kini hanya berfikir tentang kesenangan diri
sendiri tanpa mau memikirkan keadaan orang lain. Remaja bukannya gemar untuk

melakukan perilaku-perilaku prososial, justru sebaliknya malah semakin banyak
diantara remaja yang melakukan perilaku antisosial. Banyak diantara remaja yang
melakukan perilaku agresi, seperti berbagai bentuk kenakalan remaja dan tawuran.
Menurut Santrock (2003) masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13
tahun dan berakhir antara usia 18 dan 22 tahun. Masa remaja akhir kira-kira sama
dengan masa sekolah menengah atas dan mencakup kebanyakan perubahan
pubertas menuju ke masa dewasa awal. Santrock (2002) juga menjelaskan bahwa
transisi ke perguruan tinggi menarik perhatian para ahli perkembangan, karena
meski pada dasarnya transisi ini adalah suatu pengalaman normatif bagi semua
anak, hal ini dapat menimbulkan stres karena transisi berlangsung pada suatu
masa ketika banyak perubahan pada individu, di dalam keluarga, dan di sekolah
yang berlangsung secara serentak, sehingga individu mulai menerima beberapa
hal yang baru dari lingkungan sekitarnya.
Hal ini didukung oleh sebuah fenomena yang dialami oleh siswa kelas 3
SMA di Banjarmasin. Sebut saja Bunga yang tega menolak permintaan temantemannya untuk meminjami mobil untuk membawa Santi ke RSU gara-gara
belum mengembalikan uangnya (Kompas.com. 2004).
Senada dengan hal tersebut diatas, hasil wawancara peneliti kepada salah
seorang siswa SMA di kota Solo pada tanggal 16 Maret 2016 menyatakan bahwa
tindakannya ketika mengetahui jika ada teman yang sedang sakit adalah dengan
mengucapkan kalimat “semoga lekas sembuh atau get will soon” di dinding media

sosial atau private message BBM, tetapi tidak ada niat untuk menjenguk karena
tidak adanya waktu luang ataupun jauhnya jarak rumah teman tersebut walaupun
masih satu kota.
Dari hasil wawancara penulis terhadap siswa SMA yang lain, diketahui
bahwa siswa tersebut tidak begitu mengenal tetangga di sekitar rumahnya, karena
tidak ada waktu untuk bersosialisasi dengan tetangga di lingkungan sekitar. Siswa
tersebut lebih senang menghabiskan waktu dengan bermain game ataupun aktif di
media sosial.
Dalam bermasyarakat, perilaku prososial sangatlah penting untuk
menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif sesuai dengan harapan
warganya. Adapun manfaat lainnya adalah dapat meminimalisir kejadian-kejadian
negatif seperti tawuran dan tindak kriminal yang lain. Sebuah penelitian
3

mengemukakan bahwa budaya gotong royong dan tolong menolong, serta
solidaritas sosial pada masyarakat sekarang ini cenderung menurun (Setiadi,
dalam Hartaty, 1997). Hal tersebut disebabkan banyak individu yang sekarang ini
sibuk dan terpaku pada kepentingan pribadinya masing-masing, sehingga
kepedulian terhadap lingkungan sekarang ini mulai menipis (Yusuf & Listiara,
2012).

Menurut Sears, dkk (2004) perilaku prososial meliputi segala bentuk
tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa
memperdulikan motif-motif si penolong. Baron & Byrne (2005) mengemukakan
bahwa tingkah laku prososial adalah suatu tindakan menolong yang
menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan sesuatu keuntungan
langsung pada orang yang melakukan tindakan tersebut dan mungkin melibatkan
suatu resiko bagi orang yang menolong.
Menurut Sarwono & Meinarno (2009) perilaku prososial didasari oleh
beberapa faktor diantaranya adalah suasana hati, sifat, jenis kelamin, tempat
tinggal, empati, dan pola asuh.. Menurut Setyawati dkk (2007), empati merupakan
salah satu bentuk perilaku dalam mengatasi masalah, bukan sikap proyektif,
bukan pula sikap mempertahankan diri. Rasa empati individu merupakan bagian
sensitivitas dari individu tersebut, kepekaan rasa dan kedekatan hati pada hal-hal
yang berkaitan secara emosional. Hurlock (1999) juga mengungkapkan bahwa
empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi
orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang
lain. Menurut Eisenberg & Miller (dalam Carr and Lutjemeier, 2005) empati
meningkatkan perilaku prososial dan kompeten secara sosial serta mengurangi
sikap agresi pada anak-anak dan remaja.
Keterkaitan antara empati dan tindakan prososial seseorang telah diteliti

sebelumnya oleh Eisenberg dan Strayer (1990), empati terkait positif dengan
perilaku prososial, yaitu perilaku memberi bantuan terhadap orang lain, namun hal
ini tidak perlu secara langsung, walaupun empati selalu menghasilkan perilaku
prososial, atau keinginan untuk berperilaku prososial. Menurut Eisenberg dan
Strayer (1990) munculnya perasaan empati memungkinkan individu melakukan
usaha untuk membantu orang lain.
Hal ini didukung oleh sebuah fenomena seperti yang dilansir dari
(Detik.com, 2010), tercatat bahwa 85 persen kejadian bullying di tempat bermain
atau di kelas melibatkan penonton dari teman-temannya sendiri. Beberapa orang
yang menjadi penonton tidak memberikan empati atau pertolongan terhadap
korban, sehingga bagi penonton yang berpihak pada pelaku akan semakin agresif
dan tidak sensitif terhadap penderitaan korban. Empati memegang peranan
penting untuk mendorong atau menggerakkan seseorang yang dalam dalam
fenomena tersebut digambarkan sebagai penonton aksi bullying untuk melakukan
usaha membantu orang lain atau berperilaku prososial.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perilaku prososial disamping faktor
dalam diri seperti empati salah satunya adalah harga diri (Sarwono & Meinarno,
4

2009). Menurut Sears (2001) perilaku prososial dapat dipengaruhi oleh beberapa

faktor misalnya kepribadian. Faktor kepribadian mecakup beberapa aspek
psikologis individu, salah satunya harga diri.
Harga diri atau self esteem merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang tentunya juga berhubungan dengan perilaku
terhadap orang lain secara sosial. Baron dan Byrne (2003) juga berpendapat
bahwa self esteem adalah evaluasi diri yang dibuat oleh setiap individu, yang
dinyatakan dalam sikap positif atau negatif terhadap dirinya sendiri. Menurut
Rosenberg (dalam Raevuori, 2007), self esteem didefinisikan sebagai seseorang
yang memiliki sikap yang positif atau sikap negatif terhadap dirinya sendiri, dan
erat kaitannya dengan fungsi kepribadian. Harga diri yang tinggi maka akan
terwujud inisiatif dalam meningkatkan kebahagian dan kepuasan hidup.
Maslow (dalam Belsiyal, 2015) menyataan bahwa individu harus
mencapai harga diri yang positif sebelum dapat mencapai kesuksesan di dunia
luar. Pada hari ke hari seorang individu akan dihadapkan pada perubahan yang ada
dalam lingkungan. Dengan harga diri yang positif, maka individu mampu
beradaptasi dengan lingkungan meskipun terdapat tuntutan. Kemampuan untuk
beradaptasi dengan perubahan lingkungan dapat terganggu apabila individu
memiliki harga diri rendah.
2. METODE
Jenis penelitian ini yaitu menggunakan penelitian kuantitatif. Populasi
pada penelitian ini yaitu Siswa SMA Batik 1 Surakarta. Sampel dalam penelitian
ini adalah siswa SMA Batik 1 kelas XII, berjumlah 100. Alasan peneliti
mengambil kelas XII adalah karena peneliti meyakini bahwa siswa kelas XII telah
matang secara emosi dan telah mengenal pribadinya dengan baik. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini diambil secara purposive sampling.
Karakteristik sampel dalam penelitian ini adalah: a). Siswa SMA Batik b).
Kelas XI c). Laki-laki & Perempuan. Alat pengumpul data menggunakan tiga
skala yaitu, skala kemampuan berempati, self esteem dan perilaku prososial.
Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis regresi.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Uji Validitas dan Uji Reliabilitas
Tabel 1. Blueprint Kemampuan Berempati Setelah Uji Validitas
No
Aspek
Favouraable
Unfavourable
Jumlah
Kemampuan
Valid
Gugur
Valid
Gugur
Berempati
1.
Sudut Pandang
44,19,43,20, 3,7
21,5,6,9,8, 4
14
(Perspective
18
23
taking)
2.
1,16,24,2,11,
17,33,10,1 22,42,2
14
Fantasi (Fantasy)
41,15
4
5

5

3.

4.

Rasa Peduli
(Feeling
sympathetic)
Stress Pribadi
(Personal
Distress)
Jumlah

13,32,40,29,
36

-

30,28,26

31,12,39,3
7,27
-

10

35,38,34

6

20

2

18

4

44

Hasil analisis skala kemampuan berempati menunjukkan ada 38 aitem yang valid
Tabel 2. Blueprint Self Esteem Setelah Uji Validitas
No Aspek Self
Favouraable
Unfavourable
Jumlah
Esteem
Valid
Gugur
Valid
Gugur
1.
Perasaan
1,6,20,2,18,4
19,3,9,17
10
Diterima
2.
5,16,7,14,10,2
8,11,15,22
12
Perasaan
4
26,13
Berarti
3.

Perasaan
Mampu
Jumlah

12,21,23,27,29

-

25,30,28

-

8

17

-

13

-

30

Hasil analisis skala self esteem menunjukkan ada 30 aitem yang valid
Tabel 3. Blueprint Perilaku prososial Setelah Uji Validitas
No Aspek Perilaku
Favouraable
Unfavourable
Jumlah
Prososial
Valid
Gugur Valid
Gugur
1.
Kerjasama
1,3,10,7,6 4,2,5,8,9 10
(Cooperation)
2.
11,15,18, 13,12,16, 8
Perilaku Menolong
14
17
(Helping Behavior)
3.
4.

Membagi (sharing)
Berderma (Charity)

22,24,21
23,27,28,
30

-

20,19,38
25,29,26,
31

-

6
8

5.

Kejujuran (Honesty)

34,35,32

-

33,37,36

-

6

Jumlah
19
19
38
Hasil analisis skala perilaku prososial menunjukkan ada 38 aitem yang valid

6

Tabel 4. Hasil Reliabilitas Skala Kemampuan Berempati, Self Esteem, dan
Perilaku Prososial.
Variab el
Nilai Koefisien Reliabilitas
Jumlah Aitem
Valid
Kemampuan Berempati
alpha (α) = 0,832
21
Self Esteem
alpha (α) = 0,740
15
Perilaku Prososial
alpha (α) =0,867
25
Hasil analisis skala Kemampuan Berempati menunjukkan bahwa terdapat
21 aitem yang valid, skala Self Esteem menunjukkan bahwa terdapat 15 aitem
yang valid dan skala perilaku prososial menunjukkan bahwa terdapat 25 aitem
yang valid
3.2 Uji Asumsi
Variab el
Kemampuan
Berempati

Tabel 5. Uji Normalitas
Koefesien K-Z-S Signifikansi
0,654
0,786 (p>0,05)

Keterangan
Normal

Self Esteem
0,709
0,696 (p>0,05)
Normal
Perilaku Prososial
0,711
0,693 (p>0,05)
Normal
Hasil uji normalitas dari tiga variabel kemampuan berempati, self esteem
dan perilaku prososial pada penelitian ini adalah normal, dengan alasan ketiga
variabel tersebut memiliki signifikan (p>0,05) artinya ketiga variabel tersebut
signifikan dan menandakan hasil uji normal.
Tabel 6. Uji Linieritas
No
Variab el
F linearity
Signifikansi
Keterangan
1. Kemampuan berempati
150,760
0,000 (p