13 12 metakognisi webp4tk3

METAKOGNISI: APA DAN MENGAPA PENTING?
Fadjar Shadiq, M.App.Sc
(fadjar_p3g@yahoo.com atau www.fadjarp3g.wordpress.com)
WI Madya PPPPTK Matematika
Garofalo dan Lester (JRME), dua ahli pendidikan matematika yang sangat
terkenal dari Amerika Serikat telah menunjukkan pentingnya metakognisi
dengan menyatakan: “There is also growing support for the view that purely
cognitive analyses of mathematical performance are inadequate because they
overlook metacognitive actions.” Artinya, terdapat dukungan pada pendapat
bahwa hanya menggunakan analisis kognitif pada kemampuan matematis
adalah tidak atau kurang memadai karena mereka kurang memperhatikan
prosedur yang berkait dengan metakonitif. Itulah sebabnya, salah satu
kelebihan Kurikulum 2013 adalah pencantuman istilah metakognisi dalam
dukumennya (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012:43)
Hal ini menunjukkan bahwa unjuk kerja (performance) seorang siswa dengan
hanya melihat pada aspek kognitifnya saja, dan dengan mengacuhkan aspek
metakognitifnya adalah belum cukup. Diperlukan kepaduan analisis, baik
kognitif maupun metakognitif yang berkait dengan unjuk kerja seseorang.
Alasannya, keberhasilan unjuk kerja kognitif sangat ditentukan juga oleh
pengetahuan, kesadaran, dan kontrol terhadap pengetahuan yang sudah
dimilikinya itu. Pertanyaan yang dapat dimunculkan: Apa yang dimaksud

dengan metakognitif itu? Bagaimana metakognitif dapat dikembangkan di
kelas?
Pengertian Metakognisi
Seorang siswa SMP pernah mendapat nilai 4 untuk ulangan matematika.
Padahal dua hari sebelumnya, ketika gurunya membahas topik tersebut dan
mengumumkan akan mengadakan ulangan, ia sangat yakin akan mendapat
nilai baik. Ia menginginkan kejadian seperti itu tidak terulang dengan jalan
melakukan refleksi diri (self reflection), yaitu merenungkan kembali hal-hal
yang sudah maupun yang belum dikerjakan untuk menjawab pertanyaan
mengapa dirinya yang sudah menguasai topik tersebut menjadi tidak bisa
berbuat apa-apa lagi dalam selang waktu hanya dua hari saja.
Beberapa hari kemudian, sang guru melanjutkan ke topik baru. Seperti biasa,
selama PBM di kelas, si siswa menguasai topik tersebut. Untuk mengetes
dirinya sendiri, ia lalu mencoba mengerjakan salah satu soal tanpa melihat
catatan. Ternyata seperti pada saat ulangan, ia tidak berhasil mengerjakan
soal tersebut dengan baik. Ia mengalami kesulitan. Setelah dua kali melihat
catatan, barulah ia dapat menyelesaikannya. Beberapa jam kemudian ia
mencoba mengerjakan soal lain yang mirip, lagi-lagi ia harus melihat
catatannya satu kali. Sadarlah si siswa tadi bahwa pengetahuan yang didapat
selama PBM di kelas dapat hilang begitu saja. Ia juga mengetahui bahwa salah

satu cara agar pengetahuannya tidak hilang begitu saja adalah dengan
mengulang-ulang pelajaran tersebut beberapa kali. Proses berpikir yang
dilakukan siswa itu sampai ia menyadari kemampuan otaknya sendiri yang
sangat terbatas dan mengetahui cara mengatasi kelemahannya tadi
merupakan salah satu contoh pengetahuan metakognitif.
1

Seorang siswa dapat memiliki pengetahuan tentang planet, panas, perjuangan
Pangeran Diponegoro, dan dapat juga memiliki pengetahuan tentang
kemampuan berpikirnya sendiri. Pengetahuan tentang planet, perjuangan
Pangeran Diponegoro dan panas bukanlah metakognisi. Namun pengetahuan
tentang kemampuan berpikir diri siswa itu sendiri itulah yang merupakan hasil
dari proses metakognisi. Berdasar pendapat Flavell sebagaimana dikutip
Schoenfeld (1985:363), metakognisi mengacu pada:
1. Pengetahuan atau kesadaran seseorang tentang proses berpikir dirinya
sendiri, seperti: “Saya sudah menguasai bahan ini.”
2. Pengendalian diri (kontrol atau self regulation) selama berpikir, seperti
“saya harus melakukan kegiatan A, lalu kegiatan B dan saya harus hati-hati
di bagian C.”
Berdasar definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah metakognitif

mengacu pada dua hal yang berbeda namun sangat berkait. Dari hal pertama
akan nampak bahwa metakognitif mengacu kepada pengetahuan dan
keyakinan seseorang terhadap kemampuan, kekuatan, kelemahan kognitif diri
orang itu sendiri. Siswa yang berkeyakinan dan memiliki pengetahuan bahwa
ia lemah di bagian menghafal, menguasai dengan baik bagian perkalian
namun lemah pada bagian pembagian merupakan contoh-contoh dari hal
pertama yang berkait dengan metakognitif ini. Berdasar hal pertama itulah,
hal kedua yang berkait dengan istilah metakognitif dapat dikembangkan, yaitu
pengaturan dan kontrol terhadap tindakan kognitif diri orang itu sendiri dapat
dilakukan. Contohnya, jika seorang siswa meyakini dirinya lemah di bagian
tertentu, maka ia harus dapat mengontrol dirinya sendiri untuk mau belajar
lebih giat dan lebih tekun. Jika ia mengetahui juga bahwa kelemahan tersebut
disebabkan oleh hal-hal tertentu maka ia harus mengontrol dirinya sendiri
untuk lebih giat dan lebih tekun di bagian yang dirasakannya menjadi
penyebab munculnya kelemahan tersebut.
Contoh Metakognisi
erdasarkan definisi di atas, dapat dikemukakan beberapa contoh
metakognisi yang berupa pengetahuan atau kesadaran siswa berikut ini.

B


1. “Bahan ini nampaknya sangat sulit. Sudah 15 menit saya belajar namun
belum ada satu bagian kecilpun yang saya kuasai. Agar saya berhasil
mempelajari materi ini, mau tidak mau, saya harus lebih berkonsentrasi.”
2. “Ah, kalau saya tidak membaca ulang contoh ini, berdasar pada
pengalaman yang sudah terjadi, saya akan lupa satu atau dua hari lagi.
Sebagai akibatnya, saya akan mendapat nilai jelek pada saat ulangan.”
3. “Untuk menguasai topik ini dengan baik, dibutuhkan waktu kurang lebih
satu setengah jam karena banyak hal yang harus diperhatikan.”
4. “Saya harus lebih berhati-hati di saat mengalikan dua bilangan seperti 234
 453 ini karena saya sudah pernah salah dua kali. Kalau tidak hati-hati,
saya akan mendapat nilai jelek pada saat ulangan”
5. “Untuk memecahkan soal seperti ini, saya harus membuat gambar coratcoret untuk membantu kemampuan mengingat yang sangat terbatas pada

2

6.
7.
8.
9.


otak saya ini. Kalau tidak, kelihannya saya tidak akan mungkin
memecahkan masalah seperti ini.”
“Saya tidak mungkin memecahkan soal dengan bilangan-bilangan besar
seperti ini. Saya harus menggantinya dengan bilangan-bilangan sederhana
lebih dahulu untuk mengetahui langkah-langkah yang harus dilakukan.”
“Kemungkinan besar saya telah keliru menggunakan cara ini. Hasilnya
tidak menjadi semakin sedehana. Bentuknya malah menjadi semakin ruwet
Saya harus mencoba cara lain.”
“Sudah tiga kali saya tergesa-gesa menarik kesimpulan. Saya harus
mencoba menggunakan bilangan negatif dan pecahan lebih dahulu untuk
meyakinkan diri saya sendiri bahwa kesimpulan ini benar adanya.”
“Topik ini baru setengah saja yang saya kuasai.”

Pentingnya Metakognisi dan Peran Penting Guru

S

ebagaimana diceritakan di bagian depan bahwa ada siswa yang dengan
proses refleksi diri berhasil menemukan atau mendapatkan pengetahuan

tentang kemampuan otaknya yang sangat terbatas. Dengan
pengetahuan tersebut ia dapat memerintah atau mengontrol dirinya sendiri
untuk mengulang-ulang pelajaran yang sudah didapat selama PBM agar tidak
hilang begitu saja.
Namun di kelas yang kita asuh, tidak semua siswa berlaku seperti itu. Ada
siswa yang tidak atau belum mengetahui keterbatasan otaknya sehingga ia
tidak perlu mengontrol dirinya sendiri untuk mengulang-ulang pelajaran yang
sudah didapat selama PBM agar tidak begitu saja. Dengan demikian jelaslah
bahwa siswa yang memiliki pengetahuan metakognisi akan mengendalikan
atau mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang
menguntungkan ataupun tidak melakukan sesuatu yang merugikan proses
belajarnya. Kesimpulannya siswa yang memiliki pengetahuan metakognisi
akan jauh lebih baik proses belajarnya, daripada siswa yang tidak
memilikinya.

B

ayangkan jika siswa yang dapat nilai 4 tadi tidak melakukan refleksi diri.
Sebagai akibatnya, ia tidak akan memiliki pengetahuan tentang
keterbatasan kemampuan berpikirnya sendiri, sehingga ia tidak merasa perlu

untuk mengontrol atau mengendalikan dirinya untuk melakukan ataupun tidak
melakukan sesuatu. Hal seperti ini jelas kurang baik jika dibiarkan saja, maka
guru harus membantu setiap siswa, tidak peduli siswa tersebut meminta
bantuannya atau tidak. Salah satu tugas seorang guru yang berkait dengan
metakognisi adalah menyuruh siswanya yang mendapat nilai jelek untuk
melakukan perenungan diri, memikirkan kembali apa-apa yang sudah dibuat
dan yang belum agar ia tidak mendapat nilai yang jelek lagi.
Di setiap kelas, akan ada siswa yang cerdas dan tidak sedikit pula yang biasabiasa saja. Ada siswa yang tanpa diminta telah melakukan refleksi diri dengan
baik. Namun akan ada sebagian siswa yang tidak atau belum menyadari
keterbatasan otaknya. Sekali lagi, seorang guru harus mau membantu setiap
siswanya, agar mereka menyadari akan kesalahan belajarnya. Oleh sebab itu,
tugas penting seorang guru adalah membantu siswa agar mereka memiliki
pengetahuan metakognisi yang lebih lengkap. Sebagai misal, seorang siswa
yang sering kurang teliti, perlu disadarkan bahwa ia memiliki sifat itu. Ketika
3

memeriksa pekerjaannya, Bapak atau Ibu Guru sudah seharusnya memberi
tanda-tanda khusus bahwa ia kurang teliti. Kalau perlu ia dapat memotong
nilai anak tersebut agar ia tidak menjadi terbiasa.
Untuk membantu menyadarkan siswanya, para guru dapat menggunakan

pertanyaan, seperti:
1.
2.
3.
4.

“Bagian mana dari topik ini yang belum kamu kuasai dengan baik?”
“Mengapa pekerjaanmu untuk soal nomor 3 ini salah?”
“Dapatkah kamu mengerjakan soal ini tanpa melihat catatan?”
“Selama PBM di kelas, kamu dapat menyelesaikan soal dengan baik, tetapi
waktu ulangan mendapat nilai 4. Coba pikir baik-baik, mengapa hal ini bisa
terjadi?”
5. “Kamu menyatakan bahwa kamu kurang teliti. Bapak setuju.
Sebagai rangkuman, apa yang dipaparkan di atas menunjukkan pentingnya
para siswa mengetahui atau menyadari kekurangan maupun kelebihan dari
kemampuan berpikirnya. Dengan demikian siswa yang memiliki pengetahuan
metakognitif akan dapat mengontrol dirinya sendiri untuk melakukan ataupun
tidak melakukan sesuatu. Sebagai akibatnya, siswa yang memiliki
pengetahuan metakognisi diharapkan akan jauh lebih baik prestasinya
daripada siswa yang tidak memilikinya. Jadi, merupakan tugas mulia seorang

guru untuk membantu siswanya sehingga mereka memiliki pengetahuan
metakognitif yang lebih lengkap sejalan dengan bertambahnya usia dan
pengalamannya.
Daftar Pustaka
Schoenfeld, A.H. (1985). Metacognitive and epistemological issues in
mathematical understanding. Di dalam Silver, E.A. (ED) Teaching and
learning mathematical problem-solving. New Jersey : LEA.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2012). Pengembangan Kurikulum
2013. Jakarta: Kemdikbud

4