Index of /enm/images/dokumen

APAKAH PERTUMBUHAN DI SEKTOR PERTANIAN SANGAT KRUSIAL BAGI PENGENTASAN
KEMISKINAN DI INDONESIA?
Tulus Tambunan
Kadin Indonesia-JETRO (2006)
Walaupun kemiskinan bersifat multidimensi, yang disebabkan oleh banyak faktor, di Indonesia kemiskinan
lebih merupakan adalah fenomena perdesaan atau lebih spesifik lagi, pertanian. Hal ini disebabkan oleh kenyataan
bahwa, walaupun di perkotaan juga terdapat kemiskinan, sebagian besar dari jumlah orang miskin di Indonesia
terdapat di perdesaan, dan sebagian besar dari mereka bekerja di sektor pertanian, baik sebagai petani maupun
buruh tani. Hal ini mempunyai suatu implikasi kebijakan yang sangat jelas, yakni bahwa segala usaha pemerintah
untuk menghilangkan kemiskinan di dalam negeri tidak akan efektif apabila strategi pengentasan kemiskinan tidak
berorientasi kepada pertumbuhan kesempatan kerja dan pendapatan per kapita di sektor pertanian.
Tujuan utama dari studi ini adalah menganalisis peran krusial dari pertanian sebagai sumber utama
pengurangan kemiskinan di Indonesia. Studi ini menggunakan dua metode analisis, yakni deskriptif dan
kuantitatif. Dalam pendekatan terakhir ini, dilakukan dua analisis regresi. Pertama, dekomposisi persentase
perubahan tingkat kemiskinan kedalam tiga sektor utama, yakni pertanian, industri dan jasa. Kedua, analisis
keterkaitan antara tingkat kemiskinan di perdesaan dengan tiga variabel independen, yakni hasil panen rata-rata
per hektar, upah nominal di pertanian, dan tingkat inflasi di perdesaan.

PERTUMBUNAN EKONOMI DAN PENURUNAN KEMISKINAN SEJAK ORDE BARU
Pada awal orde baru tahun 1966 lalu, rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia hanya sekitar 50 dollar AS
per tahun, dan lebih dari 80% dari populasi hidup di perdesaan atau sektor pertanian, yang kebanyakan adalah

petani kecil atau marjinal. Sekitar 60% dari anak-anak di Indonesia tidak bisa menulis dan membaca dan hampir
65% dari penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan. Pada tahun 1969 pemerintah orde baru mulai
melaksanakan pembangunan dengan mencanangkan Repelita I, dan sejak itu dengan kebijakan ekonomi terbuka,
investasi dan bantuan keuangan dari luar negeri membanjiri Indonesia. Dalam beberapa tahun saja inflasi yang
sempat mencapai 500% lebih menjelang jatuhnya pemerintahan Soekarno dapat ditekan hingga 1 digit dan
pertumbuhan ekonomi meningkat, yang pada tahun 1980-an hingga 1997 sebelum krisis, Indonesia mengalami
pertumbuhan rata-rata per tahun 7%.
Pertumbuhan yang tinggi tersebut juga memberi suatu kontribusi yang besar terhadap pengurangan kemiskinan
selama Orde Baru. Tingkat kemiskinan menurun dari 40% ke sekitar 17,5% selama 1976-1996, dan penurunan
terbesar terjadi selama periode70s hingga awal 80s dengan 13 persentase poin, sedangkan selama periode 1981-93

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

1

www.kadin-indonesia.or.id

laju penurunannya hanya sekitar 16 persentase point. 1 Pada saat krisis ekonomi 1997/98 kemiskinan kembali
mengalami peningkatan yang substansial karena banyaknya pekerja yang di-PHK-kan akibat banyaknya
perusahaan yang terhimbas krisis. Pada tahun 1998, pada saat krisis mencapai titik klimaksnya, kemiskinan

tercatat sebesar 24,23%, dan setelah itu cenderung menurun terus. Pada tahun 2005, kemiskinan di Indonesia
sekitar hampir 16% dari jumlah penduduk, dan ini masih lebih tinggi dibandingkan angka terendah yang pernah
dicapai pada masa Orde Baru.
Tabel 1: Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase dari Populasi yang Hidup di bawah Garis Kemiskinan
di Indonesia: 1976-2004
Tahun
1976
1978
1980
1981
1984
1987
1990
1993
1996
1998
1999
2000
2001
2002

2003
2004
2005

Tingkat miskin (%)
Perkotaan Perdesaan
National
38,8
40,4
40,1
30,8
33,4
33,3
29,0
28,4
28,6
28,1
26,5
26,9
23,1

21,2
21,6
20,1
16,1
17,4
16,8
14,3
15,1
13,4
13,8
13,7
13,4
19,8
17,5
21,9
25,7
24,2
19,4
26,03
23,4

14,6
22,4
19,1
9,8
24,8
18,4
14,5
21,1
18,2
13,6
20,2
17,4
12,1
20,1
16,7
11,4
19,5
15,97

Jumlah orang miskin (juta orang)

Perkotaan
Perdesaan
Nasional
10,0
44,2
54,2
8,3
38,9
47,2
9,5
32,8
42,3
9,3
31,3
40,6
9,3
25,7
35,0
9,7
20,3

30,0
9,4
17,8
27,2
8,7
17,2
25,9
9,4
24,6
34,01
17,6
31,9
49, 5
15,6
32,3
48,0
12,3
26,4
38,7
8,6

29,3
37,9
13,3
25,1
38,4
12,2
25,1
37,3
11,4
24,8
36,1
12,4
22,7
35,1

Sumber: BPS

Masalah kesejahteraan ekonomi tidak hanya bicara soal berapa banyak orang miskin tetapi juga berapa banyak
penduduk yang hampir miskin. Statu negara yang presentase penduduk miskinnya rendah tidak selalu berarti
tingkat kesejahteraan di negara tersebut tinggi jika jumlah penduduk yang hampir miskinnya lebih besar daripada

jumlah penduduk kayanya. Di Indonesia, jumlah dan presentase penduduk hampir miskin pada tahun 2005
(Februari) disajikan di Tabel 2. Mereka yang tergolong hampir miskin dikategorikan sebagai kelompok yang
rentan terperosok menjadi miskin apabila terjadi gejolak ekonomi dan sosial, seperti crisis ekonomi 1997/98 lalu,
atau kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005 lalu.

Angka di Tabel 2 didasarkan metode Head Count Index, yang umum digunakan untuk menghitung penduduk miskin. Menurut metode
ini, penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut garis kemiskinan. Garis kemiskinan di Indonesia
adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang untuk memenuhi hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan
seperti beras, umbi-umbian, ikan dan sebagainya, maupun kebutuhan hidup bukan makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan,
transportasi, dan sebagainya. Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah
dapat memenuhi enerjinya minimal sebesar 2100 kilo kalori per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk
makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan minimum enerjinya
sebesar 2100 kilo kalori per hari. Dalam menghitung kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan hidup minimum 2100 kilo
kalori per hari didasarkan pada konsumsi makanan dari penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas estimasi
awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan sebelumnya yang disesuaikan dengan tingkat inflasi. Penduduk pada
kelompok tersebut disebut penduduk referensi (BPS, 2005).
1

Kadin Indonesia-Jetro, 2006


2

www.kadin-indonesia.or.id

Dapat dilihat bahwa jumlah penduduk hampir miskin di Indonesia hingga Februari 2005 tercatat sebanyak 26,2
juta orang yang sebagian besar terdapat di perdesaan. Lebih besarnya jumlah orang miskin dan hampir miskin di
perdesaan disebabkan oleh pembangunan yang timpang selama ini. Kesempatan kerja, khususnya di sektor-sektor
yang menghasilkan nilai tambah dan pendapatan/gaji tinggi seperti industri, perbankan dan perdagangan moderen
jauh lebih besar di perkotaan daripada di perdesaan. Di perdesaan kesempatan kerja masih didominasi oleh sektor
pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan upah relatif rendah.
Table 2: Jumlah dan Persentase Penduduk Hampir Miskin di Indonesia, 2005 (Februari)
Daerah
Perkotaan
Perdesaan
Nasional
Sumber: BPS

Jumlah (juta)
7,9
18,3

26,2

Persentase
8,7
15,2
11,97

Ada dua hal lain yang juga harus diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan di Indonesia, yakni kedalaman
kemiskinan dan keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran
penduduk miskin terhadap batas miskin (garis kemiskinan), sedangkan keparahan kemiskinan menunjukkan
ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin, atau yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan. 2
Semakin besar nilai kedua indeks ini di sebuah negara mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan di
negara tersebut. Data BPS (2005) menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan (P1) di Indonesia mengalami
penurunan dalam periode setelah krisis hingga 2005. Pada tahun 1999 tercatat sebesar 4,33 dan 2,78 pada tahun
2005. Keadaan ini menandakan bahwa pada periode tersebut di Indonesia terus terjadi penurunan besarnya ratarata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin. Dalam kata lain, rata-rata pengeluaran
kaum miskin di Indonesia cenderung meningkat atau mendekati garis kemiskinan (Tabel 3).
Tabel 3: Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Indonesia, 1999-2005
Tahun
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: BPS

Perkotaan
3,52
1,89
1,74
2,59
2,55
2,18
2,05

Perdesaan
4,84
4,68
4,68
3,34
3,53
3,43
3,34

Nasional
4,33
3,51
3,42
3,01
3,13
2,89
2,78

Berikut, Tabel 4 menyajikan nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) di Indonesia yang juga menunjukkan tren
yang menurun. Artinya, selama periode tersebut ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di indonesia secara
umum semakin berkurang, atau kondisi ekonomi penduduk miskin semakin membaik. Karena indeks kedalaman
2

Kedalaman kemiskinan diukur dengan Poverty Gap Index (P1), yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masingmasing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai P1 semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk
miskin terhadap kemiskinan. Keparahan kemiskinan diukur dengan Poverty Severity Index (P2 ), yang adalah jumlah dari kedalaman
kemiskinan (P1) tertimbang di mana penimbangnya sebanding dengan kedalaman kemiskinan itu sendiri. Dengan mengkuadratkan P1 , P2
secara implisit memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang makin jauh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai
indeks ini, berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin (BPS, 2005).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

3

www.kadin-indonesia.or.id

kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan, maka dengan sendirinya indeks keparahan kemiskinan
di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan; bahkan lebih tinggi dibandingkan pada tingkat nasional.
Ini merupakan indikasi bahwa tingkat ketimpangan dalam distribusi pengeluaran penduduk miskin di perdesaan
lebih besar daripada di perkotaan.
Tabel 4: Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia, 1999-2005
Tahun
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Sumber: BPS

Perkotaan
0,98
0,51
0,45
0,71
0,74
0,58
0,60

Perdesaan
1,39
1,39
1,36
0,85
0,93
0,90
0,89

Nasional
1,23
1,02
0,97
0,79
0,85
0,78
0,76

Sebagai perbandingan, Tabel 5 menunjukkan kemiskinan di sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia.
Dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan negara yang laju penurunan kemiskinan per tahun cukup tinggi relatif
dibandingkan di negara-negara lain di tabel tersebut, sedangkan pada tahun 1960an Indonesia merupakan negara
termiskin setelah Filipina dan Bangladesh. Hal ini menandakan bahwa usaha-usaha pemerintahan pada era Orde
Baru relatif sangat berhasil dalam mengurangi kemiskinan di dalam negeri. Ini yang membuat Indonesia dipakai
sebagai salah satu contoh success story dalam pengentasan kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang
tinggi di NSB.
Tabel 5. Tingkat Kemiskinan di Indonesia dan Beberapa Negara Asia lainnya, Berdasarkan Garis-Garis
Kemiskinan Nasional, 1970-2000
Negara

Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional yang
berlaku/Indeks HC (%)
1970
1980
1990
2000

10,1
28,0
33,0
China
8,2 (1993)
10,0
23,0
Korea Selatan
16,8
29,0
60,0
Indonesia
6,1 (1989)
9,0
18,0
Malaysia
45,2 (1991)
59,7 (1985)
61,6 (1971)
Filipina
18,0
17,0
26,0
Thailand
58,0 (1993)
75,0 (1988)
..
Viet Nam
49,7 (1991/92)
52,3 (1983/84)
71,0 (1973/74)
Bangladesh
40,9 (1992)
55,6
48,4 (1978)
India
..
41,4 (1984/85)
..
Nepal
26,1 (1990/91)
29,1 (1986/87)
54,0 (1961)
Pakistan
22,4 (1990/91)
27,3 (1985/86)
37,0 (1963)
Sri Lanka
Keterangan; di dalam kurung adalah tahun yang menjadi ukuran.
Sumber: Indonesia: BPS; untuk Negara-negara lain tersebut: ESCAP, UNDP

Rata-rata
pertumbuhan (%)
1980s
1990s

4,6
11,6 (1999)
14,6
8,1 (1999)
40,0
14,2
37,0 (1998)
39,8
26,1 (1999/2000)
44,6 (1995/96)
32,6
22,9 (1995/96)

-6,4
-1,4
-4,8
-3,6
-4,0
0,6
-4,5
-0,6
-1,1
..
-2,6
-3,6

-5,4
6,9
8,8
3,3
-1,3
-2,1
-7,2
-2,3
-4,5
..
2,9
0,4

KEMISKINAN DI PERTANIAN
Kemiskinan adalah suatu fenomena atau proses multidimensi, yang artinya kemiskinan disebabkan oleh
banyak faktor (World Bank, 2000). Namun, di Indonesia kemiskinan merupakan suatu fenomena yang erat
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

4

www.kadin-indonesia.or.id

kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi di perdesaan pada umumnya dan di sektor pertanian pada khususnya.
Oleh sebab itu, fenomena kemiskinan di Indonesia tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa memahami fenomena
kemiskinan di perdesaan atau di sektor pertanian. Pernyataan ini didukung oleh banyak fakta. Pertama, sebagian
besar dari jumlah kesempatan kerja di Indonesia masih terdapat di perdesaan (Tabel 6), dan dari jumlah itu,
sebagian besar bekerja di pertanian, baik sebagai petani maupun buruh tani (Tabel 7). Sedangkan yang bekerja di
sektor industri sangat kecil porsinya, karena memang sebagian besar industri di Indonesia, terutama yang sifatnya
footloose seperti elektronik, mesin, dan tekstil dan pakaian jadi berada di daerah perkotaan atau dipinggir kotakota besar seperti Jabotabek, Surabaya, Medan, Semarang dan Makassar. Industri-industri seperti ini lebih
tergantung pada pasar output daripada lokasi sumber daya alam, dan untuk kebutuhan tenaga kerja mereka bisa
dengan mudah didapat di daerah perkotaan. sektor terbesar dalam menyerap tenaga kerja di Indonesia selama ini
adalah pertanian. 3 Masih dominannya sektor pertanian dalam penyerapan tenaga kerja juga masih terlihat jelas
pada tingkat nasional (Tabel 8), walaupun cenderung menurun terus. Penurunan daya serap pertanian terhadap
pertumbuhan tenaga kerja relatif dibandingkan sektor-sektor lain juga terjadi di banyak negara lainnya, yang
merupakan salah satu ciri dari proses transformasi ekonomi yang terjadi seiring dengan proses pembangunan
ekonomi jangka panjang (Gambar 1).
.Tabel 6: Distribusi Kesempatan Kerja menurut Daerah di Indonesia, 1990-2003 (%)
Wilayah
Perdesaan
Perkotaan
Sumber: BPS

1990

1995

75
25

67
33

2000

2003

62
38

60
40

Tabel 7: Kesempatan Kerja di Perdesaan menurut Sektor di Indonesia, 1990-2003 (%)
Sektor
Pertanian
Industri
Jasa
Source: BPS

1990

1995

70
9
22

60
11
29

2000

2003

66
10
24

68
9
24

Tabel 8: Penyerapan Tenaga Kerja menurut Sektor di Indonesia, 1990-2003 (%)
Sektor
Pertanian
Industri
Pertambangan
Lainnya
Sumber: BPS

1971

1980

67,04
6,92
0,21
25,83

56,3
9,14
0,76
33,80

1985
54,66
9,28
0,67
35,39

1990
55,87
10,14
0,7
33,29

1995
43,98
12,64
0,8
42,58

2000
45,28
12,96
0,58
41,18

2003
46,26
12,04
0,98
40,72

Konsisten dengan fakta di atas, posisi pertanian masih sangat krusial sebagai sumber pendapatan di Indonesia.
Di perdesaan, pada pertengahan 1995 tercacat sebanyak 46,3% dari jumlah rumah tangga (RT) di perdesaan
3

Itu sebabanya kenapa ada suatu kepercayaan umum bahwa Indonesia sebagai suatu ekonomi agraris yang besar, hanya intervensi
pemerintah di sektor pertanian yang bisa berdampak besar terhadap pengurangan kemiskinan di tanah air, atau seperti argumen dari
Mason dan Baptist (1996), bahwa cara-cara langsung untuk mengurangi kemiskinan di Indonesia dari sisi kebijakan adalah lewat
penyempurnaan kerja/mekanisme pasar atau menghilangkan distorsi-distorsi pasar terutama untuk output, tanah, dan modal.

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

5

www.kadin-indonesia.or.id

tergantung pada pertanian sebagai sumber pendapatan satu-satunya, dan pertanian merupakan sumber pendapatan
terbesar bagi sekitar 13,2% RT di perdesaan yang bergantung pada lebih dari satu sumber pendapatan.. Bahkan di
perkotaan ada sekitar 6% dan 2,6% dari jumlah RT yang sumber pendapatannya, masing-masing, hanya dan
sebagian besar dari pertanian (Tabel 9).

Gambar 1: Pangsa Pertanian dalam Jumlah Tenaga Kerja yang Bekerja di Negara-Negara Tertentu di
Asia [%]: 1985-2003
80
70
60

Indonesia

50

China

40

Thailand

30

Vietnam

20
10
0
1985

1990

1995

2000

2003

Sumber: BPS dan ADB database

Tabel 9: Pendapatan Keluarga menurut Sumber di Indonesia, 1995 (%)
Sumber
Semua:
- Pertanian
- Non-pertanian
Kombinasi
- Sebagian besar pertanian
- Sebagian besar non-pertanian
Sumber: BPS

Nasional

Perdesaan

24,9
52,5
22,6
9,9
12,7

46,3
27,4
26,3
13,2
13,1

Perkotaan
6,0
84,0
10,0
2,6
7,4

Fakta kedua, dan ini lebih langsung lagi menunjukkan betapa pentingnya pertumbuhan pendapatan di pertanian
bagi usaha-usaha pengurangan kemiskinan di Indonesia, adalah bahwa sebagian besar dari penduduk miskin di
Indonesia bekerja di pertanian, seperti yang ditunjukkan oleh data SUSENAS di Tabel 10.. Pada tahun 1996, tercatat
hampir 69% dari jumlah keluarga miskin di Indonesia memiliki sumber pendapatan di pertanian, baik sebagai petani
(dengan lahan atau tanpa lahan sendiri) maupun buruh (lepas atau kontrak), dan pada tahun 2002 porsinya sekitar
67%. 4 Bahkan, satu hal yang menarik seperti yang ditunjukka di Tabel 11 adalah bahwa kegiatan pertanian
mempunyai suatu peran yang dominan sebagai sumber pendapatan bagi banyak keluarga miskin di daerah perkotaan.
Bisa dilihat di pinggiran kota Jakarta, Bekasi dan Tangerang banyak keluarga miskin menanam berbagai jenis
4

Satu hal yang menarik dari Tabel 8 adalah bahwa pada tahun 1998 walaupun jumlah keluarga miskin di pertanian meningkat, seperti juga
terjadi di sektor-sektor lain pada masa krisis ekonomi, namun secara relatif menurun. Distribusi dari peningkatan kemiskinan menurut sektor
pada tahun 1998 ini membuktikan bahwa pertanian bukanlah sektor yang paling menderita karena krisis. Pandangan ini juga didukung oleh
studi dari Pradhan dkk. (2000) yang menganalisis peningkatan kemiskinan menurut sektor semasa krisis. Berdasarkan data SUSENAS
Februari 1996-Februari 1999, hasil estimasi mereka menunjukkan bahwa walaupun tingkat kemiskinan di pertanian juga mengalami
peningkatan selama periode tersebut, namun menurun sebagai suatu persentase dari jumlah orang miskin di Indonesia.

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

6

www.kadin-indonesia.or.id

komoditas pertanian di lahan yang sempit dipinggir sungai dan menjualnya setiap hari ke pasar-pasar terdekat, yang
merupakan sumber pendapatan mereka satu-satunya.
Tabel 9: Distribusi Keluarga Miskin menurut Pekerjaan Utama/Sumber Pendapatan, 1996-2002 (%)
Sektor
Pertanian
Industri
Jasa

1996

1998

1999

2000

2001

2002

68,5
6,7
24,7

56,7
7,4
35,9

58,4
8,7
32,9

51,7
13,8
34,5

63,0
11,9
25,1

67,4
10,3
22,3

Sumber: BPS

Tabel 10: Distribusi Keluarga Miskin menurut Sektor dan Wilayah: 2002 (%)
Sektor

Perkotaan
31,11
0,23
1,48
1,25
12,17
0,10
9,67
14,06
8,94
0,69
8,14
0,04

Pertanian
Kehutanan
Perikanan
Pertambangan
Industri
Listrik
Konstruksi
Perdagangan
Transportasi
Keuangan
Jasa-jasa
Lainnya
Sumber: BPS.

Perdesaan
69,09
1,34
2,23
0,49
4,98
0,02
3,63
5,00
2,73
0,08
2,40
0,06

Bukti empiris di Tabel 9 dan Tabel 10 merefleksi satu hal yang jelas, yakni penduduk di sektor pertanian pada
umumnya selalu lebih miskin dibandingkan penduduk yang sumber pendapatan utamanya dari sektor-sektor
lainnya, terutama industri manufaktur, keuangan, dan perdagangan; walaupun pendapatan bervariasi menurut
subsektor atau kelompok usaha di dalam masing-masing sektor tersebut. Sekarang pertanyaannya adalah: kenapa
lebih banyak kemiskinan di pertanian daripada di sektor-sektor lainnya? Tidak sulit untuk mendapatkan
jawabannya, diantaranya adalah karena distribusi lahan yang timpang, pendidikan petani dan pekerja yang rendah,
sulitnya mendapatkan modal, dan nilai tukar petani yang terus menurun.

Pembagian Lahan Yang Timpang
Kemiskinan yang terjadi di pertanian disebabkan oleh rendahnya produktivitas di sektor tersebut dan yang
terakhir ini erat kaitannya dengan distribusi lahan pertanian yang sangat timpang; walaupun Indonesia punya
Undang-undang Agraris yang mengatur pembagian lahan secara adil. Di dalam literatur mengenai respons suplai
di pertanian dikatakan bahwa petani yang positif responsnya terhadap kenaikan harga dan insentif-insentif
produksi lainnya hanya jika petani mempunyai akses sepenuhnya terhadap faktor-faktor produksi seperti tanah,
irigasi (air), modal, sumber daya manusia dan input-input krusial lainnya. 5
Data dari Sensus Pertanian (SP) menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia didominasi oleh jumlah yang
besar dan meningkat terus dari petani skala kecil. SP paling akhir tahun 2003 menunjukkan bahwa terdapat 25,437
juta petani yang menggunakan/memiliki lahan, 13,663 juta atau hampir 57%-nya adalah petani marjinal/gurem
5

Lihat misalnya Fan and Hazell, 1999), Bond (1983), Schiff dan Montenegro (1997), dan McKay, dkk. .(1997).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

7

www.kadin-indonesia.or.id

dengan lahan lebih kecil dari 0,5 hektar atau tanpa lahan. Pada tahun 1993 jumlah petani yang memiliki lahan
tercatat sekitar 20,518 juta orang atau tumbuh 1,8% per tahun, di mana jumlah petani gurem sebanyak 10,804 juta
atau bertambah 2,6% per tahun selama periode 1993-2003. Di Jawa, di mana sebagian besar dari jumlah penduduk
Indonesia dan kemiskinan terkonsentrasi, jumlah petani marjinal naik 2,4% per tahun (Tabel 11). Petani-petani
gurem dan buruh tani (petani tanpa memiliki tanah) dengan pendapatan terendah di sektor pertanian diidentifikasi
sebagai penyebab sebagian besar kemiskinan di perdesaan (Mason dan Baptist, 1996).
Tabel 11: Distribusi Rumah Tangga Petani menurut Luas Lahan: 1983, 1993, 2003 (%)
Luas (ha)

1983
8,5
37,7
24,1
29,7

1,0 ha

40,1
43,3
57,7
84,4

102,2
133,9
154,8
198,9

238,1
228,7
342,0
553,7

415,3
548,9
656,5
1035,3

468,2
757,6
901,9
1471,8

616,7
934,5
1200,2
1758,8

1629,7
1676,9
2650,5
3422,3

Sumber: BPS

Memang, konversi lahan pertanian terjadi di mana-mana, tidak hanya di Indonesia, yang merupakan
konsukuensi langsung dari proses pembangunan ekonomi atau industrialisasi, pertambahan jumlah penduduk dan
peningkatan pendapatan masyarakat rata-rata per kapita. Namun demikian, sesuai sistem perekonomian Indonesia
yang berazas Pancasila yang mengedepankan keadilan sosial demi mencapai kesejahteraan masyarakat,
pemerintah harus tetap berusaha, di satu sisi, memperlambat laju peralihan lahan pertanian, terutama mencegah
pemusatan kepemilikan tanah oleh keluarga-keluarga kaya atau pemodal-pemodal besar yang hidup di perkotaan
untuk tujuan-tujuan non-produktif atau yang tidak menciptakan sumber pendapatan atau kesempatan kerja yang
signifikan bagi masyarakat, dan, di sisi lain, mempermudah petani mendapatkan sertifikat tanah. Jika penguasaan
tanah oleh segelintir orang terus dibiarkan, sementara petani, khususnya dari kelompok skala kecil, tetap sulit
mendapatkan sertifikat tanah, akses petani ke tanah dan air akan semakin kecil dan berarti kemiskinan akan
meningkat.
Padahal, tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa aksesibilitas atas tanah merupakan persyaratan mutlak bagi
kesejahteraan dan keadilan sosial di negara agraris seperti Indonesia. Kata kunci dari aksesibilitas atas tanah
adalah property rights. Ketidak adilan dalam ekonomi dicerminkan salah satunya oleh lemahnya sistem property
rights, yang hanya menguntungkan pihak pemilik modal besar. Hak petani atas tanah juga disinggug oleh Amartya
Sen dengan asumsi mengenai entitlement, yaitu tak seorang pun harus lapar, karena di dunia ini tersedia makanan
berkecukupan. Mereka yang lapar hanya karena tidak memiliki akses untuk memproduksi makanan (Hadar, 2006).
Kesalahan pemerintah Indonesia adalah pada awal pembangunan, atau tidak lama setelah Kemerdekaan 1945
tidak melakukan reformasi pembagian lahan pertanian, yang dikenal dengan sebutan land reform, dan jika
dilakukan saat ini sudah sangat terlambat karena hanya akan menghadapi hambatan-hambatan dari pihak tertentu
yang merasa dirugikan oleh kebijakan seperti ini. Padahal sebenarnya reformasi pembagian lahan adalah bagian
dari kewajiban penegakan hak asasi manusia (HAM) oleh negara, yaitu hak atas makanan. Pemerintah Indonesia
(seperti pemerintah dari negara-negara lainnya di dunia) berkewajiban atas pemenuhan hak asasi paling mendasar
ini dengan memberikan akses lahan, bibit, air dan sumber-sumber produktif lainnya kepda masyarakat, atau dalam
hal ini petani, agar mereka bisa menyediakan sendiri makananya (Hadar, 2006).
Banyak negara yang melakukan land reform dan hasilnya sangat nyata: kesejahteraan petani di negara-negara
tersebut tinggi. Diantaranya adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Hasil dari kebijakan dalam pembagian
lahan pertanian di negara-negara ini menghancurkan hak monopoli dari landlords dan membuat petani yang
tadinya sebagai penyewa menjadi pemilik tanah. Keuntungan dari land reform bagi petani dijelaskan oleh Hadar
(2006) sebagai berikut, Perubahan status dari penyewa menjadi pemilik, secara politik-ekonomi, berdampak
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

9

www.kadin-indonesia.or.id

positif karena selain lahan, pemilik baru juga memiliki infrastruktur seperti bangunan dan alat produksi. Mereka
juga sudah mengenal sistem yang berlaku serta telah pengalaman dalam perannya sebagai manager dan pekerja
tani (halaman 6).
Pendidikan Petani Yang Rendah
Sudah merupakan suatu pengetahuan umum bahwa endidikan merupakan salah satu faktor krusial untuk
peningkatan produktivitas, dan peningkatan rasio output-tenaga kerja ini pada gilirannya berkorelasi positif
terhadap peningkatan pendapatan riil per pekerja. Dalam kata lain, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
atau memerangi kemiskinan, peningkatan produktivitas menjadi suatu keharusan, dan untuk mencapai ini,
pendidikan yang baik merupakan salah satu prasyarat. Hal ini juga berlaku di sektor pertanian. Salah satu
penyebab rendahnya produktivitas di atau buruknya kualitas dari sebagian besar hasil pertanian Indonesia selama
ini adalah karena rendahnya pendidikan rata-rata petani dan buruh pertanian. Padahal, pendidikan menjadi ekstra
sangat penting bagi kemajuan dan daya saing pertanian di Indonesia saat ini dan di masa depan dalam era
globalisasi dan perdagangan bebas dunia.
Data BPS (SP) menunjukkan bahwa sebagian besar dari petani di Indonesia berpendidikan hanya sekolah dasar
(44,98) dan tidak berpendidikan formal sama sekali (31,62%). Hanya sekitar 1,69% dari jumlah petani yang ada
pada tahun 2003 yang mempunyai diploma pendidikan tersier (Tabel 14). Tidak diragukan, kondisi ini menjadi
salah satu penyebab kemiskinan di sektor pertanian di Indonesia selama ini. Jelas, usaha pemerintah untuk
membuka kesempatan lebih besar bagi pelaku usaha di sektor pertanian untuk mendapatkan pendidikan yang lebih
baik adalah suatu langkah konkrit yang sangat diperlukan, dan kebijakan ini bisa sangat membantu untuk
mengurangi kemiskinan di pertanian pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Tabel 14: Persentase dari Petani menurut Tingkat Pendidikan Formal di Indonesia, 2003
Tingkat Pendidikan

Jawa

Luar Jawa

Indonesia

Tidak ada pendidikan
Hanya pendidikan dasar
Sekunder
Tersier

34,44
48,07
15,8
1,69

28,83
41,93
27,56
1,68

31,62
44,98
21,71
1,69

100,00

100,00

100,00

Jumlah
Sumber: BPS

Akses ke Modal Yang Terbatas
Salah satu bukti konkrit dari adanya ketidakadilan dalam perekonomian Indonesia adalah sulitnya
mendapatkan kredit perbankan bagi kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Bahkan yang terjadi selama
pemerintahan Orde Baru sangat ironis: di satu sisi, begitu mudahnya pengusaha-pengusaha besar mendapatkan
pinjaman dari bank, termasuk dari Bank Indonesia dalam bentuk BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yang
sebagian besar diselewengkan dan pada akhirnya menciptakan kredit macet yang besar yang turut menyeret
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

10

www.kadin-indonesia.or.id

ekonomi Indonesia ke krisis 1997/98, dan, sisi lain, sulitnya pengusaha kecil, termasuk di pertanian, mendapatkan
pinjaman dari bank dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada BLBI tetapi sangat diperlukan untuk
meningkatkan atau paling tidak mempertahankan kelangsungan usaha mereka.
Menurut data BPS (SP), proporsi petani yang pernah memakai pinjaman bank hanya sekitar 3,06%; dan ini
kebanyakan pemilik-pemilik lahan perkebunan yang luas seperti di subsektor kelapa sawit, sedangkan petani padi
sangat sulit mendapatkan akses ke bank. Sebagian besar petani memakai uang sendiri dan sekitar 9,7% memakai
pinjaman atau bantuan modal dari kawan, tetangga atau keluarga (”lainnya”) dalam mendanai kegiatan bertani
mereka (Gambar 2).
Gambar 2: Persentase dari petani menurut sumber pendanaan, 2003
Koperasi:
1,79
Bank: 3,06

Lainnya: 9,72

Uang sendiri:
85,43

Sumber: BPS

Tidak bisa menunjukkan sertifikat tanah sering disebut sebagai salah satu hambatan yang dihadapi banyak
petani dalam mendapatkan modal pinjaman dari bank. Sulitnya kaum miskin mendapatkan sertifikat atas tanah
yang mereka telah diami lebih dari satu generasi merupakan satu conoth konkrit dari adanya ketidakadilan sosial
selama ini di Indonesia. Sebagai satu kasus, pernah diberitakan di harian Kompas (Rabu, 15 Maret 2006), bahwa
para transmigran asal pulau Teon, Nila, dan Serua sudah 28 tahun lamanya mendiami dataran Waipia di pulau
Seram tetapi tetap saja belum memiliki sertikifat atas tanah yang mereka diami tersebut.
Nilai Tukar Petani Yang Merosot.
Secara teori, kesejahteraan petani akan meningkat apabila selisih antara hasil penjualannya dan biaya
produksinya bertambah besar, atau nilai tambahnya meningkat. Jadi besar kecilnya nilai tambah petani ditentukan
oleh besar kecilnya nilai tukar petani (NTP). Dalam data BPS, NTP ditunjukkan dalam bentuik rasio antara indeks
harga yang diterima petani, yakni indeks harga jual outputnya, terhadap indeks harga yang dibayar petani, yakni
indeks harga input-input yang digunakan untuk bertani, misalnya pupuk, pestisida, tenaga kerja, irigasi, bibit, sewa
www.kadin-indonesia.or.id
Kadin Indonesia-Jetro, 2006
11

traktor, dan lainnya..Berdasarkan rasio ini, maka dapat dikatakan semakin tinggi NTP semakin baik profit yang
diterima petani, atau semakin baik posisi pendapatan petani.
Beberapa tahun belakangan ini, NTP di Indonesia cenderung merosot terus, yang membuat tingkat
kesejahteraan petani terus merosot, dan perkembangan ini tidak lepas dari pengaruh dari sistem agrobisnis negeri
ini yang menempatkan petani pada dua kekuatan ekplotasi ekonomi. Di sisi suplai yang berhubungan dengan pasar
input, yang untuk input-input tertentu namun sangat krusial seperti pupuk petani menghadapi kekuatan
monopolistik. Pada waktu bersamaan, di sisi penawaran yang berhubungan dengan pasar output, petani
menghadapi kekuatan monopsonistis. Menurut data terakhir BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober
2005, angka NTP merosot 2,39%. Pada Desember 2005, NTP tercatat 97,94. Artinya, indeks harga yang harus
dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa
petani tekor atau pendapatannya menurun.
Sifat pasar input maupun pasar output ini yang tidak menguntungkan petani dijelaskan oleh Subandriyo (2006)
sebagai berikut: Pada usaha tani, nilai tambah yang dinikmati petani diperkecil struktur non-usaha tani yang
bersifat dispersal, asimetris, dan cenderung terdistorsi. Penurunan harga di tingkat konsumen dengan cepat dan
sempurna ditransmisi kepada petani. Sebaliknya, kenaikan harga ditransmisi dengan lambat dan tidak sempurna.
Selain itu, informasi pasar, seperti preferensi konsumen, dimanfaatkan untuk mengeksploitasi petani. Terjadilah
apa yang disebut paradoks produktivitas......... Porsi terbesar dari nilai tambah peningkatan produktivitas usaha
tani dinikmati mereka yang bergerak di luar usaha tani. Akibatnya, tingkat pendapatan riil petani kian tertinggal
jauh dari pendapatan mereka yang ada pada sektor nonusaha tani. (halaman 6).
Tabel 15 dan Tabel 16 menyajikan perkembangan NTP rata-rata di, masing-masing, empat (4) propinsi di Jawa
dan 10 propinsi di luar Jawa untuk periode 1988-2003. Dapat dilihat bahwa perkembangan NTP berbeda menurut
propinsi karena adanya perbedaan inflasi (laju pertumbuhan indeks harga konsumen), sistem distribusi pupuk dan
input-input pertanian lainnya dan juga perbedaan titik ekuilibrium pasar untuk komoditas-komoditas pertanian.
Ekuilibrium pasar itu sendiri dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan di wilayah tersebut.6 Dari sisi
penawaran, faktor penentu adalah terutama volume atau kapasitas produksi di sektor pertanian (ditambah dengan
impor kalau ada), sedangkan dari sisi permintaan adalah terutama jumlah penduduk (serta komposisinya menurut
umur dan jenis kelamin) dan tingkat pendapatan riil masyarakat rata-rata per kapita.
Tabel 15: Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB), dan Nilai Tukar Petani

(NTP) di 4 Propinsi di Jawa (Nilai Rata-Rata Per Bulan), 1988-2003 (1983=100)*
Tahun
IT

6

Jawa Barat
IB
NTP

IT

Jawa Tengah
IB
NTP

IT

Yogyakarta
IB
NTP

IT

Jawa Timur
IB

NTP

Dimisalkan tidak ada ekspor (permintaan dari luar wilayah: propinsi lain atau luar negeri) dan tidak ada impor (penawaran dari luar wilayah).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

12

www.kadin-indonesia.or.id

1988
162
153
106
179
1989
171
164
104
186
1990
190
180
106
201
1991
215
203
106
224
1992
224
220
102
227
1993
225
237
95
236
1994
274
268
102
278
1995
316
300
106
334
1996
329
326
101
377
1997
369
354
104
389
1998
642
634
101
593
1999
853
841
101
789
2000
337
320
106
303
2001
393
360
109
389
2002**
588
441
133
630
2003**
643
462
139
682
Keterangan:*=rata-rata dan dibulatkan; **: Desember.
Sumber: BPS.

161
175
190
214
231
249
278
318
346
373
628
839
329
381
495
523

112
106
106
105
99
95
100
105
109
104
94
94
92
102
127
130

170
172
189
213
215
223
278
322
349
384
760
935
357
441
571
619

156
168
182
203
216
230
257
294
312
335
576
721
309
350
450
457

109
102
104
105
100
97
108
109
112
115
131
130
116
126
127
136

166
167
181
200
205
214
263
313
348
398
665
951
377
490
721
731

147
159
173
194
207
227
257
294
325
353
629
825
363
427
593
609

113
105
104
104
99
94
102
106
107
113
105
115
104
115
122
120

Secara teoritis, dapat diduga bahwa di pusat-pusat produksi beras, misalnya Krawang (Jawa Barat), pada saat
musim panen pasar beras di wilayah tersebut cenderung mengalami kelebihan stok beras, sehingga harga beras per
kilo di pasar lokal cenderung menurun. Sebaliknya, pasar beras di wilayah bukan pusat produksi beras, misalnya
Kalimantan, cenderung mengalami kekurangan, sehingga harga beras per kilo di pasar setempat naik.7 Tetapi, ini
bukan berarti bahwa NTP di Krawang selalu harus lebih rendah daripada di Kalimantan. Rendah tingginya NTP juga
ditentukan oleh indeks harga input-input pertanian di masing-masing wilayah. Bisa saja, misalnya harga beras di
Kalimantan tinggi karena persediaan terbatas namun harga pupuk di sana juga tinggi karena kekurangan stok akibat
produksi lokalnya mandek atau ada distorsi dalam distribusi, sehingga NTP di wilayah tersebut rendah.

Tabel 16: Nilai Tukar Petani (NTP) di 10 Propinsi Luar Jawa (Nilai Rata-Rata Per Bulan), 1990-2003 (1987=100)*
Provinsi

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

Aceh
Sumut
Sumbar
Sumsel
Lampung
Bali
NTB
Kalsel
Sulut
Sulsel

102
100
105
103
103
120
105
108
113
113

104
96
113
103
103
111
103
106
104
106

99
94
112
103
95
107
101
100
102
105

96
85
107
98
87
104
107
96
97
100

102
89
108
104
88
110
103
94
95
105

98
91
115
120
89
119
113
99
96
108

99
87
109
100
79
118
116
107
98
113

95
86
122
105
76
120
124
107
102
116

85
81
116
122
73
130
142
107
94
126

82
82
114
111
75
151
179
117
88
123

92
89
95
93
80
128
87
118
144
111

90
93
86
76
80
145
89
112
192
109

2002**
121
97
89
77
78
161
93
112
113
121

2003**
139
102
92
71
73
143
82
105
87
117

Keterangan: *=rata-rata dan dibulatkan; **: Desember
Sumber: BPS

PERTUMBUHAN PERTANIAN-PENURUNAN KEMISKINAN: BEBERAPA PENDEKATAN
Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan untuk membuktikan pentingnya pertumbuhan output di
pertanian terhadap penurunan kemiskinan. Salah satunya dengan pertumbuhan PDB (%) di dekomposisikan menurut
tiga (3) sektor besar dalam hal penyerapan tenaga kerja, yakni pertanian, industri dan perdagangan (Gambar 3). Dengan
7

Terkecuali, bila impor beras dilakukan dalam jumlah yang cukup untuk menutupi kelebihan permintaan tersebut, sehingga pasar lokal bisa kembali
ekuilibrium pada tingkat harga semula (sebelum naik).

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

13

www.kadin-indonesia.or.id

memakai data untuk periode 1982-1998, hasil regresi menunjukkan bahwa diantara tiga sektor tersebut, pertanian (dYA)
ternyata merupakan sektor yang memiliki hubungan paling kuat dan signifikan antara pertumbuhan output sektoral dan
penurunan kemiskinan (dP), dibandingkan pertumbuhan output di sektor industri (dYI) dan sektor perdagangan (dYT):
dP = 11,55 – 10,04dYA – 2,56dYI – 1,82dYT
(3,75)* (-2,14)
(-1,92)
(-1,19)

* = nilai t

R² = 0,72
F statistik = 11,09

(1)

Hasil di atas tidak menyimpulkan bahwa pertumbuhan output di industri dan perdagangan tidak penting bagi
pengurangan kemiskinan. Sebaliknya dan khususnya pertumbuhan sektor industri selama Orde Baru sudah
terbukti sangat berperan dalam keberhasilan Indonesia mengurangi kemiskinan dengan menyerap banyak tenaga
kerja berpendidikan rendah termasuk yang dating dari pertanian (perdesaan). Namun demikian, seperti telah
ditunjukkan sebelumnya, pertanian adalah sektor terbesar dalam penyerapan tenaga kerja di Indonesia. Studi
terakhir dari Sumarto dan Suryahadi (2004) menunjukkan lebih dari 50% dari penurunan kemiskinan di tingkat
propinsi dalam periode 1984-1996 adalah sumbangan dari pertumbuhan output di pertanian. Sedangkan
sumbangan dari pertumbuhan output di industri terhadap penurunan kemiskinan di perkotaan hanya marjinal.
Gambar 3: Persentase Perubahan Kemiskinan dan Laju Pertumbuhan Output di Pertanian, Industri dan
Perdagangan
60

8

6

40

4
20
2
0

0

-2
82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

-20
82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

kemiskinan

pertanian

30

30

20

20

10

10

0

0

-10

-10

-20
82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

-20
82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 02

perdagangan

industri

Sumber: BPS

Banyak peneliti lain juga menekankan sangat pentingnya pertumbuhan pertanian dan ekonomi perdesaan pada
umumnya bagi penurunan kemiskinan di Indonesia selama ini. Misalnya, Timmer (2004), yang selama ini banyak
melakukan penelitian mengenai peran pertanian di Indonesia menyimpulkan sebagai berikut: if labour-intensive
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

14

www.kadin-indonesia.or.id

manufacturing had not taken off rapidly in the mid 1980s, agriculture on the Outer Islands would probably have
contributed more to pro-poor growth by offering migration opportunities from Java (hal 192).
Pendekatan kedua adalah dengan menganalisis keterkaitan antara pertumbuhan hasil panen per hektar (yield,
dalam ton) di subsektor pertanian dan perubahan tingkat kemiskinan (%). Ada dua alasan utama memilih hasil
panen padi sebagai variabel independens. Pertama, padi merupakan komoditas pertanian terpenting di Indonesia,
terutama dalam hal jumlah orang yang terlibat langsung dengan produksi padi, baik sebagai petani maupun buruh.
Kedua, beras merupakan makanan pokok masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat miskin.Hasilnya
menunjukkan korelasi negatif yang sangat signifikan, yang artinya kenaikan 1% saja hasil panen per hektar
mengakibatkan penurunan kemiskinan hampir 12%:
dP = 66,1 – 11,6 yield
(5,9) (-4,3)

R² = 0,5
F statistik = 18,73

(2)

Gambar 4 menunjukkan bahwa persentase penurunan penghasilan di sektor pertanian berasosiasi dengan peningkatan
jumlah orang miskin sebagai suatu persentase dari jumlah penduduk di tanah air. Sedangkan Gambar 5 memperlihatkan
bahwa hubungan antara kedua variabel tersebut hampir 100 persen linier.
Gambar 4. Tingkat kemiskinan dan penghasilan rata-rata per hektar di pertanian, 1974-2002
28

24

20

16

12

8
82

84

86

88

90

92

94

96

98

00

02

98

00

02

kemiskinan (%)
4.8
4.6
4.4
4.2
4.0
3.8
3.6
82

84

86

88

90

92

94

96

yield (rata-rata ton/ha)
Sumber: BPS

Gambar 5. Diagram Scatter dengan Garis Regresi: Tingkat Kemiskinan dan Hasil Panen per hektar

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

15

www.kadin-indonesia.or.id

4.8
4.6
4.4

yield

4.2
4.0
3.8
3.6
10

15

20

25

30

kemiskinan (%)
Sumber: BPS

Pendekatan ketiga, dan merupakan pendekatan yang lebih sempurna adalah relasi antara tngkat kemiskinan di
perdesaan (RP) dengan hasil panen padi rata-rata per ha (Yield; ton), upah nominal di pertanian (Aw; rupiah) dan tingkat
inflasi di perdesaan (Rcpi). Dipilihnya persentase kemiskinan di perdesaan sebagai variabel dependens karena sebagian besar
kemiskinan di Indonesia adalah di perdesaan (pertanian). Pertumbuhan output di pertanian mempengaruhi kemiskinan lewat
beberapa jalur, diantaranya lewat peningkatan Yield dan Aw. Sedangkan mengikutsertakan inflasi di perdesaan sebagai
variabel independens didasarkan pada teori bahwa inflasi di perdesaan berdampak negatif terhadap pendapatan riil petani
atau masyarakat perdesaan pada umumnya.

Hasil regresi menunjukkan semua koefisien mempunyai tanda sesuai dugaan teori dan sangat signifikan dari
nol pada interval kepercayaan 90%. Nilai R2 = 0,932 menandakan bahwa Yield, Aw dan Rcpi adalah tiga variabel
yang paling penting dalam menjelaskan perubahan kemiskinan di perdesaan. 8 Yang paling menarik adalah bahwa
hasil panen lebih kuat pengaruhnya dibandingkan upah terhadap penurunan kemiskinan di perdesaan. Paling tidak
ada dua penjelasan. Pertama, petani sebagai produsen neto (lebih banyak menjual hasil panennya daripada
mengkonsumsi sendiri) akan menikmati kenaikan pendapatan dari kenaikan nilai produksinya, sedangkan nilai riil
dari kenaikan upah nominal yang dinikmati buruh tani berkurang akibat inflasi. Kedua, jumlah petani jauh lebih
banyak daripada jumlah buruh tani. Sebagian besar petani di Indonesia bekerja sendiri (self-employed) dengan atau
tanpa bantuan dari anggota keluarga dan tanpa memakai buruh bayaran. Pada tahun 1985 rasionya sekitar 2,24,
dan naik ke 4,88 tahun 1989, dan tahun 1996 dan 2003 tercatat masing-masing 4,25 dan 3,23.
RP = 82,21 - 15,998 Yield - 0,002 Aw + 0,004 Rcpi
[3,40] [-17,48]
[-2,01]
[3,42]

R² = 0,93
F-statistik = 110,14

(3)

8

Namun demikian, ada masalah multicolinearitas. Diduga secara teori bahwa hasil panen per hektar (Yield) akan berkorelasi positif
dengan upah (Aw), dan yang terakhir ini juga akan berkoreasi positif dengan inflasi (Rcpi). Memang, suatu reduced form dari persamaan
struktural dari pasar tenaga kerja di pertanian (yakni permintaan dan penawaran tenaga kerja di pertanian) menunjukkan bahwa hasil
panen dan inflasi berkorelasi positif dengan Aw, walaupun koefisien regresi antara Aw dan Rcpi tidak signifikan secara statistik.

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

16

www.kadin-indonesia.or.id

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Studi di atas membuktikan bahwa kemiskinan di Indonesia adalah suatu fenomena pertanian, yang artinya
pertanian merupakan sumber kemiskinan. Hal ini bisa dilihat dari sebagian besar dari tenaga kerja yang bekerja
dan kemiskinan di Indonesia terdapat di pertanian. Hasil regresi dekomposisi juga menunjukkan bahwa pertanian
mempunyai pengaruh lebih besar dibandingkan sektor-sektor lain terhadap penurunan kemiskinan. Oleh karena itu
dengan sendirinya pertanian bisa menjadi kunci utama keberhasilan pemerintah dalam usaha memerangi
kemiskinan di dalam negeri.
Implikasi kebijakan dari fakta ini adalah bahwa usaha-usaha pemerintah dalam memerangi kemiskinan dengan
berbagai cara, termasuk pemberian kompensasi BBM terhadap warga miskin, tidak akan memberi hasil yang
optimal selama pertanian tetap merupakan sektor dengan pendapatan riil atau produktivitas yang rendah. Dalam
kata lain, kebijakan anti kemiskinan harus terfokus pada pemberdayaan petani atau peningkatan produktivitas/
pendapatan riil di pertanian. Semua program-program pengentasan kemiskinan yang tidak berorientasi langsung
kepada pemberdayaan petani harus bersifat pelengkap; utamanya harus tetap tertuju pada pertanian. Kebijkankebijakan anti kemiskinan yang berorientasi ke pertanian adalah antara lain land reform (atau jika tidak bisa lagi
dilakukan secara radikal, paling tidak ada usaha pengurangan laju konversi lahan), memperluas akses petani ke
pendidikan, teknologi dan knowledge lainnya, informasi, sertifikat tanah, serta modal; dan menghilangkan
berbagai macam distorsi termasuk praktek-praktek manipulasi harga dan monopoli/monopsoni dalam pemasaran
maupun pengadaan input.

Daftar Pustaka
Bond, M. (1983), “Agricultural Responses to Prices in Sub-Saharan African Countries”, IMF Staff Papers, 30(4).
BPS (2005), Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005, Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Fan, S., dan P. Hazell (1999), “Are Returns to Public Investment Lower in Less-Favored Rural Areas? An
Empirical Analysis of India”, EPTD Discussion Paper No. 43. Washington, D.C.: International Food Policy
Research Institute.
Hadar, Ivan a. (2006), ”Busung Lapar dan Reformasi Pertanian”, Kompas, Selasa, 21 Maret, halaman 6.
Mason, Andrew D. and Baptist, Jacqueline (1996), “How important are labor markets to the welfare of the poor in
Indonesia?” Policy Research Working Papers, 1412, June, Washington, D.C.: The World Bank.
McKay, A.; O. Morrissey and C. Vaillant (1997), “Trade liberalisation and agricultural supply response: Issues
and some lessons”, European Journal of Development Research, 9(2).
Pradhan, Menno, Asep Suryahadi, Sudarno Sumarto, and Lant Pritchett (2000), “Measurements of Poverty in
Indonesia: 1996, 1999, and Beyond”, Policy Research Working Paper No.2438, September, World Bank,
Washington, D.C.
Schiff, M. and Montenegro, C.E. (1997), “Aggregate Agricultural Supply Response in Developing Countries: A
Survey of Selected Issues”, Economic Development and Cultural Change, 45(2).
Subandriyo, Toto (2006), ”Saatnya Berpihak kepada Petani’, Kompas, Opini, Jumat, 17 Maret, halaman 6.
Sumarto, Sudarno, and Asep Suryahadi (2004), “The Role of Agricultural Growth in Poverty Reduction in
Indonesia”, mimeo, February, Jakarta: The SMERU Research Institute.
Kadin Indonesia-Jetro, 2006

17

www.kadin-indonesia.or.id

Timmer, C. Peter (2004), “The Road to Pro-Poor Growth: The Indonesian Experience in Regional Perspective”,
Working Paper No.38, April, Washington DC: Center for Global Development,
World Bank (2000), World Development Report 2000/2001: Attacking Poverty, World Bank, Washington, D.C.

Kadin Indonesia-Jetro, 2006

18

www.kadin-indonesia.or.id