Gerakan Religio-Kultural MTA Dakwah, Mobilisasi dan Tafsir- Tanding | Sunarwoto | Jurnal Afkaruna 20 6010 1 PB

Gerakan Religio-Kultural MTA
Dakwah, Mobilisasi dan TafsirTanding
Sunarwoto
Tilburg University dan Junior Fellow pada NISIS (Netherlands
Interuniversity for Islamic Studies) di Leiden, Belanda.
Email: s.sunarwoto@uvt.nl

ABSTRACT
This article investigates the role of Majelis
Tafsir Al-Qur’an (MTA), a dakwah movement operating aminly in Central Java.
MTA is known as the Muslim purist
movement whose mission focuses on the
purification of Islam by utilizing the slogan
back to the Qur’an and Sunnah. Using the
social movemenet theory, the author
analyzes the extent to which MTA uses
cultural dakwah or symbolic-cultural
mobilization as its dakwah strategy in
order to produce counter-interpretation
towards the established and hegemonic
interpretation of the Javanese culture.

Cultural dakwah can mean a bolization
process of Javanese symbols by ataching
new meaning and interpretation to thos
symbols. The author further argues that
even though the MTA’s dakwah movement is mainly characterized by
confontative attitudes, the MATA has also
shown its acomodative character by
introducing new new understanding and
meaning of the existing cultural symbols.

Keywords: Majelis Tafsir Al-Qur’an
(MTA), Islamic dakwah movement,
symbolic-cultural mobilization.
ABSTRAK
Artikel ini mengkaji MTA, sebuah gerakan

dakwah Islam yang berkembang di Jawa Tengah. MTA dikenal
sebagai gerakan Islam puritan yang salah satu misinya adalah
melakukan pemurnian agama Islam dengan slogal kembali kepada
Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam menganalisis gerakan ‘dakwah

kultural’ yang dilakukan MTA, penulis menggunakan teori gerakan
sosial (social movement theory) untuk mengekplorasi bagaimana
MTA melakukan proses mobilisasi simbolik-kultural sebagai upaya
untuk melahirkan tafsir-tanding (counter-interpretation) atas budaya
Jawa yang selama ini dianggap hegemonik. Penulis memaknai
dakwah kultural sebagai mobilisasi simbol-simbol budaya dengan
memberikan makna dan penafsiran atasnya dalam rangka dakwah
Islam. Penulis berargumen bahwa meskipun MTA adalah gerakan
Islam puritan yang watak konfrontatif sangat dominan, dalam
konteks mendialogkan agama dan budaya, MTA juga menunjukan
sikapnya yang akomodatif, dan hal itu dilakukan melalui proses tafsir
banding terhadap pemahaman keagamaan yang umumnya dipahami
masyarakat.

Kata kunci: Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), gerakan
dakwah Islam, mobilisasi kultural-symbolik.
PENDAHULUAN
Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) lahir di pusat
peradaban Jawa, yakni Surakarta, yang terkenal sikap
toleran dan bahkan akomodatif terhadap berbagai adatistiadat dan budaya yang ada. Di tempat inilah, Islam

sebagai identitas sosial-keagamaan masyarakat Jawa
pernah bersemai subur, berbarengan dengan
kepercayaan pada Ratu Kidul atau Nyai Rara Kidul yang
menunggui pantai selatan Jawa, dan semangat

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna 104
masyarakat yang tinggi dalam menjalankan
lima rukun Islam. Di sinilah, seperti dikaji
Merle C. Ricklefs, lahir fenomena “mistik
sintesis Islam” yang ditandai ketiga hal itu
dan yang mencapai puncak kejawaannya pada
masa Sultan Agung dan Pakubuwana II.1
Pada 2009, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) meresmikan gedung pusat
MTA yang baru. Gedung mewah berlantai
empat itu terletak persis berhadap-hadapan

dengan keraton Mangkunegara,2 seolah
melambangkan misi dakwah MTA di pusat
peradaban Jawa itu, mengislamkan Jawa
sepenuhnya. MTA sadar betul akan budaya
dan adat-istiadat yang sedang dihadapinya
dalam misi dakwahnya, yakni budaya Jawa
yang sinkretis. Sementara keraton penuh
dengan ritual-magis yang dipertontonkan
kepada masyarakat seperti kirab pusaka, kirab
kerbau Kiyai Slamet dan sebagainya. MTA
hadir membawa sinar ajaran al-Qur’an,
seperti tercermin dari lambangnya, untuk
memberi petunjuk yang lurus.3 Melalui
dakwahnya, MTA berusaha memurnikan
Islam dari segala bentuk syirik dan bid‘ah.
MTA dikenal sebagai gerakan puritan,4
lantaran sikapnya yang tanpa kompromi
berusaha membersihkan Islam dari segala
unsur syirik dan bid‘ah. Tak ayal, MTA
menghadapi berbagai penolakan di berbagai

daerah karena dipandang bertentangan
dengan budaya dan adat-istiadat setempat.
Sikapnya yang mirip dengan gerakan puritan
Wahhabi ini tak pelak mendorong sebagian
pengamat menggolongkan MTA sebagai
bagian dari gerakan Wahhabi seperti gerakan
(neo)Salafi yang tumbuh subur sejak
dasawarsa terakhir.5 Tema-tema yang diusung
oleh gerakan dakwah MTA juga memiliki
kemiripan dengan tema-tema yang diangkat
Muhammadiyah yang dikenal sebagai

gerakan anti-TBC (Takhayul, Bid‘ah, dan
Churafat). Kenyataan ini mendorong sebagian
penulis menyamakan pandangan keagamaan
MTA dengan Muhammadiyah.6
Tulisan berikut ini tidak bermaksud
menyoal keabsahan penilaian-penilaian
terhadap gerakan dakwah MTA di atas. Alihalih, tulisan ini mengkaji gerakan dakwah
MTA sebagai gerakan religio-kultural dari

kacamata teori gerakan sosial (social movement
theory). Dakwah, dalam hal ini, akan dilihat
sebagai mobilisasi simbolik-kultural yang
kemudian melahirkan tafsir-tanding (counterinterpretation) atas budaya Jawa yang
hegemonik. Beberapa pertanyaan yang ingin
dijawab dalam tulisan ini adalah sebagai
berikut: Bagaimanakah dakwah kultural
MTA? dan bagaimana implikasi dakwah
kultural bagi strategi dakwah MTA? Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, tulisan
ini terbagi ke dalam lima bagian
pembahasan. Bagian pertama akan
membahas sekilas gambaran tentang MTA.
Bagian kedua akan mendiskusikan dakwah
sebagai mobilisasi simbolik-kultural dan tafsirtanding. Selanjutnya, bagian ketiga
membahas tentang landasan tekstual gerakan
dakwah MTA terkait dengan budaya. Bagian
keempat membahas satu contoh kasus
bagaimana mobilisasi simbolik-kultural dan
tafsir-tanding dilakukan. Dan, kelima adalah

penutup. Dalam penulisan ini, saya
memanfaatkan data tulis dan juga data
penelitian etnografis yang sedang saya
lakukan di Surakarta.
SEKILAS TENTANG MTA
Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA) lahir dari
sebuah kelompok pengajian yang rutin
diadakan oleh Ustadz Abdullah Thufail
Saputra (w. 1992),7 seorang saudagar

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

keturunan Pakistan dan aktivis dakwah
(muballigh) di Surakarta. Majlis ini dirintis
pertama kali pada 19 September 1972 dan
memperoleh pengakuan hukum pada 23
Januari 1974. Tujuan utama didirikannya
MTA adalah untuk mengajak umat Islam

kembali kepada al-Qur’an. Perlunya ajakan
ini lahir dari pengalaman langsung Ustadz
Thufail berdakwah di berbagai wilayah di
Indonesia. Kala itu dia mengamati kondisi
kemerosotan moral umat Islam akibat
kurangnya pemahaman terhadap al-Qur’an.
Kondisi semacam itu tercermin dalam sikap
sinkretis sebagian besar umat Islam di Indonesia. Sikap sinkretis, yakni
mencampuradukkan agama dan tradisi
bid‘ah, menyebabkan mereka jauh dari
ajaran Islam yang sebenarnya.8
Keadaan ini pernah dikemukakan oleh
Ustadz Thufail di hadapan beberapa tokoh
Muslim di sebuah pertemuan di Gedung
Umat Islam Kartopuran Surakarta dan
mengajukan gagasan membentuk suatu
gabungan beberapa organisasi Islam untuk
mengatasi masalah yang sedang dihadapi
umat Islam tersebut. Namun, usulan itu tidak
disepakati karena masing-masing organisasi

tersebut sudah memiliki corak dan gaya
berdakwah sendiri-sendiri. Ustadz Thufail
yang tidak bergabung pada satu organisasi
Islam yang sudah ada akhirnya memutuskan
mendirikan pengajian tafsir rutin. Mulanya,
pengajian ini hanya diikuti oleh tujuh orang
peserta dan dibuka angkatan pertama
pengajian yang disebut sebagai gelombang
pertama. Ketika itu nama MTA belum
digunakan, dan baru didaftarkan di
Departemen Sosial nama Majlis Tafsir AlQur’an (tanpa singkatan MTA) dipakai.9
Kegiatan utama MTA sejak awal
kelahirannya adalah mengadakan pengajian

105

tafsir sebagai kegiatan wajib bagi “warga”10
MTA. Secara garis besar, kegiatan ini dibagi
menjadi dua jenis. Yang pertama adalah
pengajian khusus yang diikuti hanya oleh

warga MTA (yang biasa disebut ‘siswa’).
Dalam pengajian khusus ini, para siswa
dituntut berdisiplin tinggi dengan adanya
daftar hadir dan tidak dibenarkan tidak ikut
kecuali jika ada alasan atau uzur yang bersifat
syar‘i. Sedangkan yang kedua adalah
pengajian umum, yang bebas diikuti oleh
siapa saja, tanpa mengenal perbedaan
kelompok, golongan, ras dan bahkan agama.
Inilah Pengajian Ahad Pagi atau disingkat Jihad
Pagi yang di kemudian hari menjadi terkenal
setelah diudarakan melalui stasiun radio
MTA (dan kemudian Persada FM).11
MTA telah berusia 40 tahun dan telah
mengalami dua kepemimpinan. Yang
pertama adalah kepemimpinan sang pendiri,
Ustadz Thufail, yang memimpin hingga
wafatnya pada 1992. Kemudian, dia
digantikan oleh Ustadz Drs. Ahmad Sukino,
pemimpin MTA sekarang ini.12 Pada masa

kepemimpinan pertama, Ustadz Thufail
membuka dan membangun landasan dakwah
MTA, sedang pemimpin yang kedua
melanjutkan dan mengembangkan dakwah.
Sejak kepemimpinan yang kedua, MTA
mengalami perkembangan pesat. Jika di
kepemimpinan pertama, MTA hanyalah
gerakan dakwah yang bersifat lokal, maka di
kepemimpinan kedua, ia merangkak dan
berkembang menjadi gerakan yang dikenal di
tingkat nasional. Perkembangan pesat MTA
ini tidak lepas dari keberhasilannya dalam
memanfaatkan media modern, terutama
radio yang mampu menyedot perhatian
banyak jamaah dari berbagai penjuru Indonesia. Yang khas dari kepemimpinan MTA
adalah sistem imamah. Dengan kata lain,

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna 106
MTA dipimpin oleh seorang imam yang
pemilihannya dilakukan melalui baiat.
Dengan sistem imamah, pemimpin MTA
memegang kekuasaan tertinggi keagamaan.
MTA kini memiliki berbagai ragam amal
usaha yang mencakup: stasiun radio dan
televisi, website, majalah Respon dan AlMar’ah, Buletin Uswatun Hasanah, BP-RB
MTA, KSU, percetakan Al-Abrar, Air Minum
Dalam Kemasan Kaafur, UB Syariah,
pertokoan, lembaga pendidikan (TK, SDIT,
SMP dan SMA), dan lainnya. Amal-amal
usaha ini menjadi penopang kemandirian
dakwah MTA.13 Dalam kegiatan berdakwah
di berbagai daerah, juru dakwah yang
dikirimkan dari MTA pusat tidak
diperbolehkan menerima imbalan atau upah
atas dakwah yang telah dilakukan itu. Ini
merupakan salah satu contoh bagaimana
MTA membangun kemandirian dalam
berdakwah.
DAKWAH KULTURAL: MOBILISASI DAN
TAFSIR-TANDING
Saya memaknai dakwah kultural sebagai
mobilisasi simbol-simbol budaya dengan
memberikan makna dan penafsiran atasnya
dalam rangka dakwah Islam.14 Dalam takrif
ini, saya menekankan pada mobilisasi dan
penafsiran simbol budaya di dalam
melakukan dakwah. Dengan demikian,
dakwah kultural sesungguhnya adalah proses
kreatif dalam memaknai simbol-simbol Islam
dan kemudian menyampaikannya kepada
objek dakwah (mad‘u). Mengkaji gerakan
dakwah MTA dari segi budaya, perlu kiranya
dikemukakan bagaimana mobilisasi simbolikkultural dan tafsir-tanding (counter-interpretation) dalam dakwah tersebut. Hal ini penting
karena dakwah tidak hanya melulu persoalan
menyeru atau menyampaikan Islam, tetapi

juga melibatkan proses mobilisasi dan
penafsiran atas Islam. Dipahami secara
demikian, dakwah merupakan bagian dari
aktivisme Islam.
Dakwah atau da‘wah berakar kata da‘a,
yang berarti “memanggil”, “mengundang”,
“menyeru”, dan seterusnya. Jadi, secara
bahasa, dakwah berarti panggilan, undangan,
seruan, dan seterusnya. Secara istilah, dakwah
berarti “undangan yang ditujukan kepada
manusia oleh Allah dan nabi-Nya untuk
beriman kepada agama yang benar, yakni
Islam.”15 Dengan demikian, hakikat dakwah
adalah dakwah kepada Allah.16 Sementara
makna dakwah lebih bersifat memanggil
pihak luar masuk ke dalam Islam, istilah lain
yang juga digunakan adalah tabligh, yang
berarti menyampaikan Islam baik kepada
pihak luar maupun pihak dalam. Dilihat dari
sisi pelakunya, dakwah dilakukan oleh pribadi
atau individu maupun kelompok atau
lembaga (institusi).
Sejarah menunjukkan bahwa dakwah
tidak hanya bermuatan agama, tetapi juga
politik—makna politiko-religius. Dalam arti
ini, dakwah merupakan ajakan untuk
mendukung kepentingan suatu rezim
kekuasaan atau untuk membangun negara
teokratis yang berdasarkan monoteisme.17
Dalam sejarah yang awal, setidaknya hal ini
bisa dirujuk pada masa Abbasiyah yang
menjadikan dakwah untuk tujuan
keberhasilan politiknya.18 Dakwah menjadi
salah satu bagian dari mobilisasi sosial-politik
yang sangat penting sebagaimana pula kita
lihat di masa modern. Pada masa Usmaniyah,
Sultan Abdul Hamid II (berkuasa 1876-1909)
menjadikan dakwah sebagai bagian dari
ideologi kerajaannya. Sejak akhir abad ke-19
ini, dakwah memainkan peran penting
sebagai “alat fungsional dalam menghadapi

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

tantangan modernitas” dan merupakan
“salah satu jenis wacana mobilisasi Islam”.19
Di sinilah letak penting gerakan dakwah
dalam kaitannya dengan gerakan-gerakan
Islam. Dakwah merupakan wujud dari apa
yang Asef Bayat sebut sebagai “kesalehan
aktif” (active piety) yang mendasari lahirnya
“aktivisme Islam” (Islamic activism).20 Bayat
mengemukakan bahwa suatu tindakan atau
praktik bisa dikatakan aktif ketika ia
merupakan tindakan “luar biasa” (extraordinary). “Ketika tindakan berhenti menjadi
luar biasa, ketika tindakan itu menjadi
tindakan kehidupan sehari-hari, maka tidak
lagi merupakan aktivisme.” Kesalehan aktif
bukan berarti sekadar orang menjalankan
agama tetapi ia juga menyebarkannya serta
menginginkan orang atau pihak lain berpikir
dan bertindak seperti dia. Kesalehan yang
demikian tidak terbatas pada gerakan
kesalehan yang bersifat politik, tetapi juga
yang bersifat apolitis seperti tercermin dalam
gerakan-gerakan yang berporos pada
pemberdayaan diri dan identitas.21 Sebagai
bentuk aktivisme dan mobilisasi Islam,
keberhasilan dakwah terletak pada
kemampuannya menggerakkan simbol,
bahasa, adat-istiadat dan budaya masyarakat
Islam. Dalam konteks inilah dakwah MTA
menjadi contoh menarik.
MTA sebagai gerakan dakwah bisa
digolongkan sebagai gerakan yang apolitis
dalam arti ia mencoba menghindari politik
praktis. Dalam hal ini, ketua MTA, Ustadz
Ahmad Sukino, menyatakan “MTA bukan
partai politik dan tidak akan pernah menjadi
partai politik, bukan suatu golongan dan
tidak akan menjadi tersendiri dari ummat
Islam.”22 Alih-alih berpolitik praktis, MTA
bertekad menjadi lembaga yang memusatkan
perhatiannya pada dakwah Islam. Ini bukan

107

berarti bahwa MTA tidak memiliki
signifikansi politik. Perkembangan pesat
MTA belakangan tak pelak menjadi incaran
partai-partai politik.23 Belakangan,
signifikansi politik ini semakin tampak ketika
MTA berhasil menarik kedatangan para
petinggi negara, mulai dari pejabat
Kementerian Agama, menteri hingga
Presiden. Selain apolitis, dakwah MTA lebih
bersifat dakwah internal daripada dakwah
eksternal. Artinya, dakwahnya lebih
diarahkan dan ditujukan untuk sesama
Muslim daripada non-Muslim. Sifat dakwah
internal ini bisa dilihat dari cara MTA
memahami konsep-konsep penting semisal
tauhid, syirik dan bid‘ah sebagaimana akan
dijelaskan di bawah nanti. Hal ini juga bisa
dibaca secara jelas pada sikapnya terhadap
formalisasi syariat Islam seperti dituntut oleh
beberapa organisasi Islam semisal MMI
(Majelis Mujahidin Indonesia) dan HTI
(Hizbut Tahrir Indonesia). Bagi MTA, yang
penting bukan menjadikan Islam sebagai
ideologi resmi negara tetapi memberikan
pemahaman umat Islam tentang Islam yang
benar yang bersumber dari al-Qur’an dan
Sunnah. Dengan begitu, tanpa formalisasi
syariat Islam bisa tegak di tengah-tengah
masyarakat Indonesia.
Gerakan dakwah MTA lahir dari konteks
keberagamaan masyarakat Jawa yang
sinkretis, yakni mencampuradukkan
keyakinan Islam dengan keyakinan-keyakinan
lain. Tak pelak, konteks dakwah yang
demikian itu mewarnai pandangan dan
gerakan dakwah MTA. Pandangan MTA
mengenai budaya dan adat-istiadat Jawa, di
satu sisi, menampilkan watak konfrontatif
dan antikompromi terhadapnya. Di sisi lain,
MTA menampilkan wajah budaya Jawa di
banyak hal. Dari sisi keanggotaan, warga

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna 108
MTA sebagian besar dan utamanya adalah
orang Jawa. Bahkan jika kita perhatikan
dalam acara Pengajian Ahad Pagi, jamaah yang
datang dari luar Jawa kebanyakan adalah asli
Jawa, terutama dari kaum abangan. Hal ini
bisa ditilik dari logat bahasa, nama dan
pengakuan jamaah itu sendiri. Dominasi
warna Jawa dalam hal bahasa, yakni bahasa
Jawa, yang digunakan dalam acara ini pernah
dikritik oleh seorang jamaah yang datang
dari daerah yang berbahasa selain Jawa
seperti Sunda.24 Tidak hanya bahasa, simbol
Jawa juga bisa dilihat dari segi pakaian. Warga
MTA tidak ekslusif menggunakan pakaian
khas seperti kaum Salafi atau Jamaah Tabligh
yang berpakaian khas seperti memakai abaya
dan isybal. Mereka sering menampilkan cara
berpakaian khas Jawa (modern) seperti
menggunakan batik dengan kopiah.
Misalnya, dalam acara Pengajian Ahad Pagi,
kebanyakan petugas penerima peserta atau
jamaah menggunakan seragam batik dan
kopiah hitam. Dalam acara ini Ustadz
Ahmad Sukino sendiri selaku pemimpin
MTA berpakaian biasa, baju lengan panjang,
celana dan kopiah hitam.
Kekentalan warna Jawa ini juga bisa ditilik
dari persaksian warga ataupun simpatisan
yang hadir di acara tersebut yang diudarakan
secara langsung melalui Radio MTA dan
Radio Persada FM, dua stasiun radio yang
memainkan peran penting dalam dakwah
MTA. Dalam persaksian itu warga ataupun
simpatisan menyatakan jatidiri
keberagamaannya sebelum mengenal MTA,
yakni sebagai penganut adat-istiadat dan
tradisi Jawa yang sinkretis. Persaksian yang
sama juga bisa kita jumpai pada acara
Hikmah yang disiarkan di radio tersebut pada
setiap hari Selasa siang pukul 13.00-14.00,
yang menghadirkan narasumber terkait

untuk berbagi pengalaman mendapatkan
hidayah berkat mendengarkan radio MTA
maupun mengenal MTA.
Dari uraian di atas tampak bahwa
simbolisme-kultural MTA terbangun di atas
identitas Jawa dalam hal bahasa, pakaian, dan
adat. Hal ini menjadikan MTA sebagai
gerakan dakwah yang khas Jawa dan jauh
dari kesan kearab-araban.
LANDASAN TEKSTUAL
Pandangan MTA terhadap budaya tidak
bisa dilepaskan dari pemahaman dan
penafsirannya terhadap teks-teks keagamaan,
yakni al-Qur’an dan hadis. Keduanya menjadi
sumber dan landasan pokok MTA dalam
merumuskan seluruh pandangan
keagamaannya. Di samping itu, MTA juga
menggunakan kaedah usul fikih dalam
membangun prinsip-prinsip bagi amaliah
keberagamaannya. Terkait dengan hal ini,
MTA merumuskan pandangannya
berdasarkan pemilahan ibadah dan nonibadah. Oleh karena itu, bagian ini akan
memaparkan kedua landasan ini. Di samping
itu, juga akan dibahas tentang tauhid, syirik
dan bid‘ah.
Kembali kepada al-Qur’an (dan Sunnah).
Seperti dikemukakan di atas, tujuan
pendirian MTA adalah untuk mengajak umat
Islam kembali kepada al-Qur’an (dan
Sunnah). Hal ini dilandasi oleh keyakinan
bahwa dakwah atau seruan yang paling baik
adalah dakwah kembali kepada Allah Swt.
sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an.25
Dalam hal ini, MTA memiliki kesamaan
dengan organisasi-organisasi Islam modernis
seperti Muhammadiyah, Persatuan Islam
(Persis) dan Al-Irsyad.26 Namun, perbedaan
akan tampak jelas jika dilihat dari bagaimana
organisasi-organisasi Islam itu kembali kepada

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

al-Qur’an dan Sunnah. Seruan kembali
kepada Qur’an dan Sunnah ini juga telah
melahirkan beragam tipe pemikiran, mulai
dari konservatif hingga liberal. Yang penting
digarisbawahi dari seruan ini adalah upaya
untuk mengembalikan Islam kepada sumber
aslinya, yakni Qur’an dan Sunnah, atau,
dengan kata lain, kembali kepada Islam yang
murni. Seruan ini digaungkan oleh berbagai
kelompok Islam dengan tujuan yang berbeda
pula. Seperti dikemukakan Yudian Wahyudi,
seruan ini juga sering menjadi tema doktrin,
ideologi dan geopolitik yang diusung oleh
kelompok-kelompok pinggiran (peripheral)
melawan kekuasaan pusat seperti Khawarij
melawan Ali bin Abu Thalib, Muawiyah
melawan Umayah, dan Ibnu Hanbal
melawan al-Ma’mun. Dengan seruan ini
mereka mengidentifikasi diri sebagai Islam
yang murni, sedangkan kekuasaan pusat tidak
murni.27
Tidak hanya itu, seruan kembali kepada alQur’an dan Sunnah juga digaungkan
kelompok minoritas Muslim di tengah
dominasi mayoritas Muslim. Dengan seruan
ini, kelompok minoritas menempatkan diri
sebagai kelompok yang sedang berusaha
mengembalikan Islam kepada kemurniannya.
Kemurnian ini dipandang telah lama
terpendam dalam tradisi dan adat-istiadat
yang tumbuh-suburkan oleh mayoritas umat
Islam. Kalangan minoritas ini biasa
mengangkat hadis yang menyatakan bahwa
Islam pada mulanya asing dan akan kembali
asing. Dalam keadaan ini, orang-orang yang
dipandang asing (al-ghuraba’) oleh mayoritas
Muslim itulah yang beruntung.28 MTA
termasuk golongan umat Islam yang
meyakini kedudukannya sebagai kelompok
kecil atau minoritas yang sering dianggap
asing oleh mayoritas.29 “Keterasingan” itu

109

diyakini dikarenakan MTA hadir membawa
atau menyerukan al-Qur’an dan Sunnah.
Dengan itu, MTA mencita-citakan Islam yang
murni itu berdasarkan hanya pada al-Qur’an
dan Sunnah. Hal ini didasarkan pada
keyakinan bahwa Nabi Muhammad wafat
hanya meninggalkan dua hal, yakni al-Qur’an
dan Sunnah, sebagaimana ditegaskan dalam
hadis.30 Mengikuti bunyi hadis tersebut, bagi
MTA, hanya dengan berpegang teguh kepada
keduanyalah umat Islam tidak akan sesat.
Lantas, menurut MTA, apakah maksud
dari dan bagaimanakah kembali kepada alQur’an dan Sunnah? Dan siapakah yang
memiliki kuasa untuk menjelaskan dan
menafsirkan al-Qur’an? Dalam buku Sekitar
Wahyu dan Qur’an yang diterbitkan Yayasan
MTA pada 1985 dikatakan sebagai berikut:
“Yang dimaksud kembali kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah adalah: Pola berfikir dan
pandangan hidup kita harus disinari dan
dijiwai Al-Qur’an.” Jadi kembali di sini bukan
hanya menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan
tetapi juga sebagai yang menyinari dan
menjiwai cara pikir dan pandangan hidup.31
MTA menyatakan tidak melakukan
penafsiran al-Qur’an, tetapi mengkaji tafsirtafsir yang sudah ada baik dari ulama salaf
maupun khalaf.32 Meskipun demikian, hal ini
bukan berarti bahwa MTA tidak melakukan
penafsiran sebagaimana tercermin pada
terbitnya 5 jilid tafsir MTA.33 Di samping itu,
pada kenyataannya di dalam pengajianpengajian yang diadakan MTA, terutama
Pengajian Ahad Pagi, hampir tidak pernah
mengutip atau menyebut penafsiran ulama
ahli tafsir. Yang sering terjadi, dalam
pengamatan saya, adalah penyebutan catatankaki-catatan kaki (notes) dari terjemahan alQur’an versi Departemen Agama untuk
menjelaskan suatu maksud ayat atau kata

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna 110
dalam ayat tertentu yang dipandang musykil.
Dengan kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah, apakah MTA menyerukan ijtihad?
Bagi MTA, ijtihad hanya boleh dilakukan
oleh orang yang memenuhi persyaratan
ijtihad. Di dalam MTA sendiri, yang berhak
melakukan ijtihad adalah sang imam, yakni
pemimpin MTA. Sedangkan ustadz-ustadz
dan warga MTA ataupun Muslim awam tidak
diperbolehkan ijtihad.34 Namun mereka
wajib ittiba‘ (mengikut). Yang dilarang bagi
umat Islam, menurut MTA, adalah taklid,
yakni mengikuti amalan-amalan agama atau
ibadah dengan tanpa tahu dalil-dalilnya. Di
kalangan warga MTA, orang yang taklid
adalah orang yang cara beragamanya adalah,
dalam bahasa Jawa, rubuh-rubuh gedang, yang
berarti ikut-ikutan nenek-moyang dan orangorangtua terdahulu. Untuk bebas dari taklid,
orang harus tahu dalil atau “tuntunan” dari
al-Qur’an dan Sunnah. Untuk itu, orang
harus ngaji35 atau mengkaji al-Qur’an dan
Sunnah.36
Tauhid, syirik dan bid‘ah. Sebagai gerakan
yang ingin kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah, MTA sangat mengedepankan ajaran
tauhid, yakni mengesakan Allah dalam
ucapan, perbuatan dan pikiran. Hal ini
tercermin dari tema yang dominan dalam
“Brosur”37 yang dikeluarkan dalam Pengajian
Ahad Pagi. Hingga bulan September 2012,
Brosur berjudul “Islam Agama Tauhid” telah
mencapai nomor 44. Selain itu, MTA juga
sangat peka terhadap persoalan bid‘ah dan
syirik. Bahkan kedua hal ini menjadi
perhatian utama dakwahnya. Secara garis
besar, pemahaman MTA tentang syirik sama
dengan umat Islam lainnya, yakni
menyekutukan Allah, yakin bahwa ada tuhan
selain Allah. Akan tetapi, titik tekan MTA
tidak hanya itu. MTA juga menegaskan

bahwa cara beragama yang mengikuti cara
beragamanya orang Yahudi dan Nasrani,
yakni hanya mengikuti para rahib, pendeta
dan orang berilmu mereka.38 Dari sini bisa
dilihat penekanannya pada cara beragama
yang ikut-ikutan yang di atas sudah disebut
sebagai taklid. Di sini termasuk syirik juga
adalah fanatik mazhab.39 MTA tidak
berusaha menakrifkan bid‘ah secara khusus.
Bid‘ah dipahami MTA sebagai lawan Sunnah,
yakni sesuatu yang tidak dituntunkan atau
dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam
urusan agama. Dengan kata lain, bid‘ah
adalah sesuatu yang baru dan diada-adakan
dalam masalah agama yang tidak ada
contohnya di masa Nabi. Menyangkut
masalah budaya, kedua hal ini menjadi
penilaian akhir, apakah suatu budaya bisa
diteruskan atau tidak; apakah sesuatu yang
dianggap urusan dunia itu menyebabkan
syirik ataupun menghasilkan bid‘ah ataukah
tidak.
Pembedaan Ibadah dan bukan-ibadah.
Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah
berarti kembali kepada asal, landasan, atau
pokok. Dalam praktik, hal ini
terterjemahkan dalam kaedah tentang
ibadah dan bukan-ibadah. Oleh karena itu,
hal yang penting dipahami dari pandangan
MTA terhadap budaya adalah pemilahan
atau lebih tegasnya pemisahan antara ibadah
dan non-ibadah, antara masalah ibadah dan
masalah duniawi. Pemilahan ini terkait erat
dengan boleh-tidaknya suatu tindakan atau
amal dari sudut pandang agama Islam. Dalam
bahasa yang luas, pemilahan ini berhubungan
dengan masalah halal dan haram. Di sini,
perlu dicatat lebih dulu bahwa bagi MTA
batas antara halal dan haram dalam Islam itu
jelas (bayyin) sebagaimana ditunjukkan dalam
sebuah hadis.40 Bagi MTA, tidak ada wilayah

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

“antara” atau abu-abu (mutasyabihat) dalam
Islam.41
Dalam rumusan bahasa yang sederhana,
MTA sering mengatakan: “Dalam hal ibadah,
jangan tanyakan apakah ada larangannya,
tetapi tanyakan apakah ada tuntunannya.”
Misalnya, MTA tidak mengamalkan Yasinan
atau tahlilan. Dalam hal ini, tidak tepat dan
bahkan keliru jika diajukan pertanyakan
apakah Yasinan atau tahlilan dilarang oleh
agama. Yang tepat adalah pertanyaan ada
atau tidaknya tuntunan atau dalil agama
mengenai amalan Yasinan dan Tahlilan itu.
Rumusan ini sebenarnya bersumber dari
kaedah usul fikih al-ashl fi al-‘ibadat ittiba‘,
yakni bahwa hukum asal dari peribadatan
adalah mengikut. Dengan merujuk hadis man
ahdatsa fi amrina hadza ma laisa minhu fauwa
raddun42 dan man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi
amruna fahuwa raddun,43 MTA menyimpulkan
bahwa ibadah itu tercermin dalam dua hal,
yakni 1) Hanya Allahlah yang disembah; dan
2) Untuk menyembah Allah, hanya dapat
dilakukan menurut apa yang disyari’atkanNya.44 Kaedah lain yang digunakan adalah:
“Semua hal ibadah itu pada dasarnya dilarang
kecuali yang diperintahkan.” Dengan
demikian, yang penting bagi MTA adalah
bagaimana mengikut dan bagaimana yang
diikuti, yakni “tuntunan”. Titik tekannya jelas
pada ada tidaknya tuntunan untuk diikuti.
Oleh karena itu, bagi MTA, dalam soal
ibadah, adalah keliru jika orang bertanya soal
ada atau tidaknya larangan. Ittiba‘ dalam
istilah usul fikih berarti mengikuti suatu
pendapat berdasarkan dalil, sedangkan taqlid
berarti mengikuti suatu pendapat tanpa dalil
dari al-Qur’an dan hadis.
Dalam soal-soal bukan ibadah, MTA
berpegang pada kaedah al-ashl fi al-asyya’ alibahah, yaitu bahwa hukum asal dalam segala

111

hal (bukan ibadah) adalah boleh (ibahah).45
Hal ini, di antaranya, didasarkan pada
teladan yang diberikan oleh Nabi
Muhammad, yakni sabda: antum a‘lamu bi
umur dunyakum (Kalian lebih paham tentang
soal-soal duniawi kalian).46 Mengikuti kaedah
ini, maka semua yang dipandang sebagai
urusan duniawi, bagi MTA, diperbolehkan
untuk dilakukan, kecuali jika ada dalil alQur’an atau hadis yang jelas-jelas
melarangnya. Oleh karena itu, rumusannya
menjadi kebalikan dari urusan agama, yaitu:
“Dalam urusan dunia, tanyakanlah ada
larangannya atau tidak.” Jadi, bagi MTA,
keliru jika kita menyoal urusan duniawi
dengan menanyakan tuntunannya, karena
tuntunan urusan duniawi sudah diserahkan
kepada manusia. Sebagai contoh adalah soal
menggunakan mobil atau motor untuk
berkendara. Hal ini tidak pernah dilakukan
atau dituntunkan oleh Nabi Muhammad.
Pertanyaan untuk contoh semacam ini
bukanlah apakah ada tuntunan atau dalil
agama mengenai kebolehan berkendara
mobil atau motor. Yang benar adalah apakah
ada larangannya berkendara mobil atau
motor.
Pandangan MTA tentang pemilahan
ibadah dan bukan-ibadah semacam itu,
seperti akan terlihat nanti, tercermin secara
jelas dalam pandangannya terhadap budaya
atau tradisi. Di dalam melihat suatu kesenian,
MTA berpedoman pada prinsip bahwa seni
adalah urusan dunia, dan karenanya selagi
tidak ada larangan yang nyata dari agama,
maka tidak haram. Dalam hal musik dan
hiburan, misalnya, MTA tidak melarang
diputarnya lagu-lagu Jawa semisal klenengan
dan lagu pop di stasiun radionya.47 Hal ini
karena MTA memandangnya sekadar sebagai
urusan dunia.

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna 112
Bagi MTA, syirik dan bid‘ah maupun
pembedaan ibadah-bukan ibadah merupakan
garis pemisah yang sangat tegas antara sikap
akomodatif dan konfrontatif terhadap
budaya dan adat. Ia akomodatif selagi budaya
dan adat itu tidak mengandung syirik dan
bid‘ah serta dalam urusan-urusan dunia.
Sedangkan dalam hal akidah, MTA sangat
konfrontatif terhadap apa saja yang
dipandang menyimpang. Itulah strategi
dakwah kultural MTA.
TAFSIR-TANDING TENTANG WALI:
SUATU CONTOH
Menarik bahwa dalam banyak kesempatan
acara pembukaan cabang, MTA
mementaskan karya-karya seni itu. Dalam
Deklarasi Pemuda MTA yang digelar pada 7
Oktober 2012 lalu, misalnya, MTA
mengadakan pagelaran seni mulai dari seni
lukis, teater, hingga ketoprak dan wayang
kulit. Hal demikian tampak bertentangan
dengan citra yang telah disematkan oleh
orang-orang atau kelompok di luar MTA,
yakni gerakan antibudaya dan tradisi. Hal ini
mengingat bahwa MTA sebagai gerakan
puritan acapkali bersikap tanpa kompromi
terhadap seluruh budaya dan tradisi yang
dipandang menimbulkan maksiat, syirik, dan
bid‘ah. Namun, pada kenyataannya, MTA
menjadikan seni sebagai medium dakwahnya.
Bagaimana mobilisasi simbolik-kultural
berlangsung dalam dakwah MTA dapat
dilihat dalam produk budaya yang dihasilkan.
Di sini akan saya kemukakan satu contoh saja
untuk menggambarkan bagaimana karyakarya seni itu dijadikan sebagai media
dakwah, yakni seni teater. Setelah
menggambarkannya, saya akan melakukan
peninjauan atas mobilisasi simbolik dalam
cerita itu sebagai bentuk dakwah kultural

MTA. Akan saya perlihatkan bahwa
mobilisasi ini melahirkan tafsir-tanding
(counter-interpretation) terhadap budaya Islam
Jawa.
Sanggar SEMU (Seni Muda) MTA, yang
disingkat SEMUMTA, telah memproduksi
beberapa karya seni pentas teater, di
antaranya: Bukan Opera van Java, Brama
Kumbara Modern dan Wali in Final Fantasy.
Ketiganya memadukan unsur dakwah,
hiburan dan legenda. Secara garis besar,
karya ini bertutur tentang suatu planet
rekaan bernama Geostigma yang dikuasai
oleh Maharaja Rufus Shinra yang dibantu
oleh Panglima Sephiroth dan Kadaj yang ahli
perdukunan.48 Penduduknya menyembah
berhala yang diberi nama Jehova.
Kemusyrikan Planet Geostigma ini rupanya
sampai ke telinga seorang wali di Jawa.
Mendengar kabar kemusyrikan mereka ini,
sang wali beserta para pengikutnya
memutuskan untuk datang ke planet
Geostigma tersebut dengan tujuan
berdakwah menyerukan mereka untuk
kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.
Sesampai di Planet itu, sang wali dan muridmuridnya mulai berdakwah secara sembunyisembunyi. Maharaja menyebut mereka
sebagai M-ta. Berkat kegigihan mereka
berdakwah, salah seorang panglima bernama
Panglima Tatsuya yang sekaligus anak angkat
sang Maharaja secara diam-diam masuk Islam
dan kemudian turut berdakwa pula. Panglima
Tatsuya mendekati Pangeran Cloud, putra
kandung Maharaja, dan mengajarkannya
nilai-nilai Islam.
Dakwah diam-diam ini akhirnya diketahui
oleh Maharaja Rufus Shinra dan Panglima
Sephiroth. Sang Maharaja secara tidak
sengaja mengetahui anak angkatnya,
Pangeran Cloud, sedang membaca buku

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

Tuntunan Shalat yang diterbitkan oleh
Penerbit 234. Dari kejadian ini, terungkap
bahwa Pangeran Cloud telah menjadi
pengikut sang wali. Panglima Tatsuya yang
telah masuk Islam terlebih dulu
menghancurkan benda sesembahan Planet
Geostigma yang bernama Tuhan Jehova. Hal
inilah yang kemudian menyulut amarah sang
Maharaja. Perang pun terjadi antara pasukan
pengikut sang wali yang dipimpin muridnya
bernama Tsabit dan pasukan Panglima
Sephiroth. Perang ini akhirnya dihentikan
oleh sang wali yang kemudian mengajak para
pengikutnya hijrah ke negeri seberang,
sedangkan Panglima Tatsurya yang telah
masuk Islam itu terusir dari Planet
Geostigma.
Secara keseluruhan, ini adalah cerita
tentang kesatria penegak kebenaran yang
dalam dakwahnya menghadapi berbagai
rintangan dari kaum musyrik. Dari cerita di
atas, setidaknya ada lima hal yang bisa kita
cermati, yakni: wali, kembali kepada alQur’an dan Sunnah, buku Tuntunan Shalat,
rintangan dakwah, dan hijrah meninggalkan
kerajaan. Keempat hal ini mencerminkan
bagaimana identitas MTA itu sendiri
dibangun dalam narasi. Pertama, dengan
mengambil cerita tentang dakwah wali dari
Jawa, dapatlah ditafsirkan bahwa melalui
cerita tersebut MTA hendak mengangkat
khazanah Jawa, terutama Walisongo yang
masyhur. Pada saat yang sama, cerita yang
diubah latar tempat dan tokoh-tokohnya
tampaknya bukan sekadar adaptasi atas kisah
Walisongo, tetapi juga menunjukkan bahwa
kisah itu sendiri bukan sesuatu yang melulu
sejarah, jika bukan rekaan belaka. Bahkan
lebih dari itu, cerita di atas sesungguhnya
ingin menampik mitos yang berkembang
mengenai Walisongo. Dalam cerita itu sang

113

wali dan para muridnya disebut oleh sang raja
sebagai M-ta. Dengan mudah kita bisa
katakan bahwa MTA sendiri membawa misi
seperti para wali di Jawa tempo dulu. Hal ini
sesuai dengan pandangan MTA bahwa semua
orang Islam bisa menjadi wali. Dalam suatu
tanya-jawab Pengajian Ahad Pagi, misalnya,
ditanyakan mengenai surat apa dan ayat
berapa yang menjelaskan tentang Walisongo
dan wali-wali lainnya. Ustadz Ahmad Sukino
menjawab, “Kalau Wali 9 saya belum tahu.”
Dengan merujuk QS. [10]: 63, dia lalu
mengatakan,
“Jadi, wali Allah ialah orang-orang yang
beriman dan selalu bertakwa kepada Allah.
Bertakwa itu artinya menjalankan perintahperinah Allah dan menjauhi laranganlarangan Allah, … Itulah wali Allah. Maka,
siapa saja wali Allah itu? Kita pun bisa jadi
wali Allah. Jadi, ora mung songo wali kuwi
(wali itu bukan hanya sembilan) …”49
Kedua, kembali kepada al-Qur’an dan
Sunnah menggantikan unsur mistik-magis
dalam cerita Walisongo. Dalam kisah Sunan
Kalijaga, misalnya, digambarkan kesaktiannya
setelah bertapa bertahun-tahun di pinggir
sungai. Juga dikisahkan kesaktian Sunan
Bonang dalam mengubah buah menjadi
emas. Semua unsur mistis-magis ini diganti
dengan belajar al-Qur’an dan Sunnah.
Ketiga, simbol Tuntunan Shalat. Mengapa
buku Tuntunan Shalat menjadi penting dalam
alur cerita itu? Seperti umat Islam lainnya,
MTA tentu saja memandang shalat sebagai
kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan.
Namun, hadirnya buku ini dalam alur cerita
di atas menggambarkan bagaimana
pandangan yang khas, sekalipun tidak unik,
tentang status keislaman seseorang. Bagi
MTA, shalat adalah penanda keislaman

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna 114
seseorang dan karenanya berdampak pada
boleh-tidaknya dia dishalatkan jika
meninggal, halal-haram sembelihannya
dimakan, dan seterusnya.50
Keempat, rintangan dakwah. Dakwah
MTA banyak menghadapi rintangan di
berbagai daerah, mulai dari penolakan,
pengusiran hingga bentrok secara fisik.
Gambaran semacam ini terbaca jelas dari
akhir cerita di atas. Sang wali dan pengikutpengikutnya akhirnya meninggalkan planet
Geostigma. Hal ini tidak hanya sebagai
gambaran kenyataan yang dialami warga
MTA di berbagai daerah itu, tetapi juga
cermin dari keyakinan MTA bahwa ketika
dakwah al-Qur’an dan Sunnah dilakukan,
maka pasti terjadi penentangan dan
penolakan. Bahkan MTA yakin jika tidak
terjadi penentangan, berarti dakwah tersebut
tidak berhasil. Keyakinan semacam ini, di
satu sisi, bersifat rawan konflik, tetapi di sisi
lain mencerminkan kesadarannya akan
konteks dakwahnya, yakni masyarakat yang
masih memegang teguh adat-istiadat yang
bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah.
Kelima, meninggalkan kerajaan dan hijrah ke
tempat lain menyiratkan bahwa dakwah yang
dikembangkan sang wali dan murid-muridnya
itu adalah dakwah yang damai, jauh dari
kesan kekerasan.
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian di atas dapatlah
disimpulan beberapa hal dan sekaligus
dijawab pertanyaan-pertanyaan di awal tulisan
ini. Pertama, dakwah kultural MTA adalah
mobilisasi simbolik-kultural terhadap budaya
Jawa, konteks di mana dakwahnya dilakukan.
MTA memobilisasi simbol budaya Jawa dalam
hal bahasa, pakaian dan adat. Kedua,
mobilisasi ini dilandasi pemahaman atas teks-

teks agama, yakni al-Qur’an dan hadis, serta
kaedah usul fikih. Dengan landasan dan
kaedah ini, MTA menggunakan strategi
dakwah konfrontatif dan akomodatif. Ia
konfrontatif dan menarik garis pemisah
secara tegas ketika budaya dan adat
bertentangan dengan ajaran tauhid, dan
mengandung syirik dan bid‘ah.
Namun demikian, ketiga, MTA melakukan
mobilisasi simbolik-kultural tidak hanya hal
bahasa, pakaian dan adat, tetapi juga
terhadap produk budaya semisal seni. Di
sinilah letak watak akomodatif dakwah MTA.
Namun, tidak berhenti pada sikap
akomodatif, MTA juga melakukan tafsirtanding (counter-interpretation) atas suatu
konsep keagamaan yang sudah dipandang
baku di kalangan masyarakat. Seperti
dicontohkan di atas mengenai seni teater,
tampak bahwa MTA mengajukan tafsirtandingan atas konsep “wali Allah” yang
selama ini didominasi oleh penafsiran
masyarakat Muslim Jawa berupa adanya waliwali, terutama Walisongo, yang diziarahi secara
massal. Dengan merujuk kembali kepada alQur’an dan Sunnah, MTA ingin
menyodorkan pemahaman bahwa wali
adalah orang-orang yang bertakwa kepada
Allah dengan sebenar-benarnya dan
karenanya semua Muslim bisa menjadi wali
Allah.
CATATAN AKHIR
1

2

3

4

Lihat Merle C. Ricklefs, Mystic Synthesis in Java: A
History of Islamization from the Fourteenth to the Early
Nineteenth Centuries (Norwalk, USA: EastBridge, 2006).
Sebelumnya, selama 35 tahun, MTA berkantor di
gedung tua di daerah Kemlayan, Solo.
Lambang MTA adalah gambar mushaf al-Qur’an yang
terbuka dan di atasnya tulisan Arab QS. Al-Isra’ [17]: 9
dan disertai artinya: “Sesungguhnya al-Qur’an ini
memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus
…”
Lihat, misalnya, Muthohharun Jinan, “Dinamika Gerakan

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

Vol. 8 No. 2 Juli - Desember 2012

5

6

7

Islam Puritan di Surakarta: Studi tentang Perluasan
Garakan majelis Tafsir al-Quran,” Kumpulan Makalah
The 11th Annual Conference on Islamic Studies, Bangka
Belitung, 10–13 oktober 2011, h. 581-602; idem.,
“Kepemimpinan Imamah dalam Gerakan Purifikasi
Islam: Studi tentang Perluasan MTA Surakarta,”
Disertasi pada UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012.
Lihat, misalnya, Yudian Wahyudi (ed.), Gerakan Wahabi
di Indonesia (Yogyakarta: Bina Harfa, 2009).
Mengaitkan MTA dengan gerakan Wahhabi barangkali
hanya tepat jika dihubungkan dengan konsep tauhid,
syirik dan bid‘ah. Namun, dalam hal sikap terhadap
adat-istiadat dan budaya, MTA sangat berbeda, karena
sikapnya yang lebih toleran daripada gerakan
Wahhabi. Menganalisis MTA dari kacamata
Wahhabisme, menurut saya, akan mengantarkan pada
kesimpulan yang tidak utuh, atau bahkan keliru,
terhadap gerakan dakwah MTA.
Muhammad Wildan, Radical Islamism in Solo: A Quest of
Muslims’ Identity in a Town of Central Java Indonesia,
PhD dissertation (Institute of Islamic World and
Civilization, Universiti Kebangsaan Malaysia, Bangi,
2009), h. 87.
Abdullah Thufail Saputro lahir di Pacitan, Jawa Timur,
pada 19 September 1927. Ayahnya, Thufail
Muhammad, adalah seorang keturunan Pakistan,
sedangkan ibunya, Fatimah adalah putri camat Pacitan.
Pada 1950, Thufail pindah ke dan menetap di Solo,
tepatnya di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar
Kliwon. Ayahnya seorang penganut Tarekat
Naqsyabandiyah. Terlahir dalam keluarga yang agamis,
Thufail mendapat pendidikan dasar agama di Sekolah
Dasar Muhammadiyah. Kemudian sekolah menegah
pertama dan atas ditempuh di lingkungan Al-Irsyad
Solo. Selepas itu, dia masuk kuliah di Universitas
Cokroaminoto Surakarta, tetapi tidak tamat. Selain
pendidikan formal, Thufail juga mengikuti pendidikan
informal di beberapa pondok pesantren, di antaranya
Pondok Termas Pacitan, Pondok Popongan Klaten,
Pondok Jamsaren dan Mambaul Ulum Solo. Selain di
pondok pesantren, Thufail juga berguru pada tiga habib,
yakni Habib Hud, Asegaf Yun dan Alwi Al-Habsy. Ketiga
ulama ini tampaknya sangat berpengaruh pada karier
keulamaan Thufail di kemudian hari. Dari ketiganya,
Thufail mendalami bahasa Arab, ulumul Qur’an, ulumul
hadis, nahwu dan sharaf. Ketiga ulama ini terkenal
sebagai penganut syiah, dan tampaknya dari
merekalah Thufail mendapat pengetahuan mengenai
imamah (kepemimpinan) yang kemudian dijadikan
sebagai asas dakwah MTA. MTA didirikan pada 1974
dan kini berkembang pesat ke seluruh pelosok
Nusantara. Dia meninggal pada 15 September 1992.
Lebih lanjut mengenai riwayat hidup Abdullah Thufail
Saputra, lihat Muthohharun Jinan, “Kepemimpinan
Imamah dalam Gerakan Purifikasi Islam,” h. 84-101.

8

9
10

11

12

13
14

15

16

17
18

19

20

115

“Sejarah MTA,” Respon, Edisi 268, No. 26 (20 September – 20 Oktober, 2012), h. 8.
“Sejarah MTA,” h. 12.
Istilah “warga” digunakan secara khusus untuk
menyebut anggota MTA.
Radio MTA mulai mengudara pada 2007. Sebelumnya,
acara Pengajian Ahad Pagi disiarkan melalui HIZ FM
selama kurang lebih dua tahun, yakni 2005-2006.
Hingga kini, saya tidak menemukan riwayat hidup yang
memadai mengenai Ustadz Ahmad Sukino. Bahkan
disertasi yang ditulis Muthohharun Jinan pun hanya
mengungkap sekilas mengenai pemimpin MTA yang
sekarang ini. Dia tidak menyebut tanggal dan tahun
kelahirannya. Ahmad Sukino lahir di Gawok, Sukoharjo,
dan dibesarkan dalam keluarga Masyumi dan
Muhammadiyah. Kemudian keluarganya pindah ke
Sragen. Pendidikan dasar hingga menegah atas, yakni
Pendidikan Guru Agama (PGA), diselesaikan di Sragen.
Kemudian Ahmad Sukino mengikuti kuliah di Fakultas
Tarbiyah, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS).
Dia pernah bekerja sebagai pegawai negeri hingga
pensiun. Menurut sumber yang dikemukakan Jinnan,
Ahmad Sukino pernah belajar di Pakistan selama
empat tahun atas perintah Abdullah Thufail,
pendahulunya. Mengenai Ahmad Sukino, lihat
Muthohharun Jinan, “Kepemimpinan Imamah dalam
Gerakan Purifikasi Islam,” h. 117-123.
“Sejarah MTA,” h. 7.
Muhammadiyah menakrifkan dakwah kultural sebagai:
“upaya menanamkan nilai-nilai dalam seluruh dimensi
kehidupan dengan memperhatikan potensi dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya
secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat
Islam yang sebenar-benarnya.” Lihat Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah
(Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004), h. 26.
M. Canard, “Da‘wa”, dalam Bernard Lewis, Ch. Pellat &
Joseph Schacht (eds), The Encyclopaedia of Islam, Vol. 2
(Leiden: E.J. Brill, 1991), h. 168.
Lihat, misalnya, Muhammad al-Ghazali, Ma‘ Allah:
Dirasah fi al-Da‘wah wa al-Du‘ah (Kairo: Nahdhah alMisr, 2002), h. 14.
Lihat M. Canard, “Da‘wa”, h. 168.
R. Stephen Humphreys, Islamic History: A Framework for
Inquiry, revised edition (Princeton, New Jersey:
Princeton University Press, 1991), h.
Christer Hedin, Torsten Janson, dan David Westerlund,
“Da‘wah,” dalam Richard C. Martin (ed.), Encyclopedia of
Islam and the Muslim World, Vol. 1 (New York, NY:
Thompson, Gale, 2004), h. 172.
Quintan Wiktorowicz menakrifkan Islamic activism
sebagai “the mobilization of contention to support
Muslim causes,” yakni mobilisasi kontensi untuk
mendukung maksud-maksud umat Islam. Takrif ini,
seperi diakui sendiri oleh Wiktorowicz, terlalu luas

DOI 10.18196/AIIJIS.2012. 0009. 103-118

J U R N A L ILMU-ILMU KEISLAMAN

Afkaruna 116

21

22

23

24

25

26

27

28

cakupannya, yaitu setiap kontensi yang muncul atas
nama Islam seperti dakwah, terorisme atas nama Islam,
dan sebagainya. Lihat Quintan Wiktorowicz, “Introduction: Islamic Activism and Social Movement Theory,”
dalam Quintan Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism: A
Social Movement Theory Approach (Bloomington &
Indianapolis: Indiana University Press, 2004), h. 2.
Asef Bayat, “Islamism and Social Movement Theory,”
Third World Quarterly, Vol. 26, No. 6 (2005), h. 893894.
Ahmad Sukino, “MTA Datang Menebarkan Kasih Sayang
dalam Kekeluargaan,” dalam Ahmad Sukino, Kumpulan
Khutbah 2 (Surakarta: Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an,
2012), h. 104. Lihat juga Tri Harmoyo, “Pendidikan
Politik Ala MTA,” Respon, Edisi 229/xxv (Mei 2009), h.
40.
Perlu dicatat bahwa dalam sejarahnya MTA pernah
terlibat dalam politik praktis. Abdullah Thufail, pendiri
MTA, pernah aktif di Partai Golkar, bahkan menjadi
dewan penasihat dari parti Orde Baru ini. Keterlibatan
Thufail ini tidak lepas dari tekanan politik penguasa
Orde Baru kala itu. Pada 1970a, ketua DPP Golkar
Surakarta, Amir Moertono, berhasil merangkul MTA
untuk mendukung partainya. Lihat, M. Heri Mulyadi,
Soedarmono, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Kraton Alit”:
Studi Radikalisasi Sosial “Wong Sala” dan Kerusuhan
Mei 1998 di Surakarta (Surakarta: Lembaga
Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999), h. 155; dan
Muthohharun Jinan, “Kepemimpinan Imamah dalam
Gerakan Purifikasi Islam: Studi tentang Perluasan MTA
Surakarta,” Disertasi pada UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, 2012, h. 94-95.
"Usahakan 99,9% pakai Bahasa Indonesia di Jihad
Pagi,” http://mtafm.com/v1/?p=3548 (Dikunjungi: 11
Oktober 2012).
Mengenai hal ini, ayat yang sering dikutip, di
antaranya, adalah QS. Fushshilat [41]: 33. Lihat,
misalnya, Ahmad Sukino, “MTA Datang Menebarkan
Kasih Sayang dalam Kekeluargaan,” h. 103; juga idem.,
Kumpulan Kajian Kontemporer (Surakarta: Penerbit MTA,
2008), h. 161.
Mengenai organisasi-organisasi Islam modernis di
Indonesia, baca Deliar Noer, The Modernist Muslim
Movement in Indonesia 1900-1942 (Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1973).
Yudian Wahyudi, The Slogan ‘Back to the Qur’an and the
Sunna: A Comparative Study of the Responses of Hasan
Hanafi, Muhammad ‘Abid al-Jabiri and Nurcholish
Madjid (Disertasi PhD, McGill University, 2002), h. 2.
Hadis ini dalam riwayat Muslim berbunyi: bada’a alislam ghariban wa saya‘udu kama bada’a ghariban. Fa
thuba lil ghuraba’ (Islam itu bermula asing dan akan
menjadi asing kembali seperti semula. Maka
berbahagialah orang-orang yang asing). Lihat AlNawawi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Vol. 2

29

30

31

32

33

34

35

36

(Kairo: al-Mathba‘ah al-Misriyah bi al-Azhar, 1929), h.
176. Terdapat beberapa hadis yang semakna dengan
redaksi yang agak berbeda. Hadis ini bisa dibilang
sangat sering dikutip MTA dalam berbagai kesempatan,
terutama dalam Pengajian Ahad Pagi.
Pengelompokan MTA sebagai minoritas juga digunakan
dalam, Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi
Jawa Tengah, Laporan Penelitian tentang Interaksi Sosial
Kelompok Aliran Islam Minoritas dalam Masyarakat di
Berbagai Daerah di Jawa Tengah (2008).
Dalam riwayat Imam Malik, hadis ini berbunyi: taraktu
fikum amraini lan tadhillu ma massaktum bihima kitab
Allah wa sunnata nabiyyihi (Aku tinggalkan bagi kamu
sekali sekalian dua perkara yang dengannya kamu
tidak akan tersesat selagi memegang keduanya, kitab
Allah dan sunnah nabi-Nya).
Abdullah Thufail Saputro [?], Sekitar Wahyu dan Quran
(Surakarta: Yayasan Majlis Tafsir Al-Qur’an, 1985), h. 2.
Lihat http://www.mta-online.com/sekilas-profil/
(dikunjungi pada 12 Oktober 2012).
Saya sudah menulis mengenai tafsir MTA ini
berdasarkan 4 jilid buku tafsir yang sudah terbit kala
itu. Lihat artikel saya, “Antara Tafsir dan Ideologi Telaah
Awal atas Tafsir Al-Qur’an MTA (Majelis Tafsir AlQur’an),” Refleksi, Vol. XII, No. 2 (Oktober 2011), h. 118130.
Muthohharun Jinan, “Dinamika Gerakan Islam Puritan
di Surakarta: Studi tentang Perluasan Garakan majelis
Tafsir al-Quran,” Kumpulan Makalah The 11th Annual
Conference on Islamic Studies, Bangka Belitung, 10–13
oktober 2011, h. 592.
Dalam pengamatan saya, istilah “ngaji” di kalangan
warga MTA memiliki makna khusus, bukan hanya
berarti belajar al-Qur’an atau Islam tetapi juga
mengandung makna keanggotaan. Saya meskipun
hadir dalam Pengajian Ahad Pagi, belum bisa disebut
“ngaji” dalam pengertian khusus ini, tetapi baru
pendengar (mustami‘). Ketika saya wawancara dengan
seorang warga MTA yang aktif di radio, menanyakan
apakah saya sudah ngaji. Ketika saya katakan bahwa
saya sudah sering ikut hadir dalam Pengajian Ahad
Pagi, dia menanggapinya dengan bercerita bahwa dia
dahulu awalnya belum ngaji, tetapi setelah
merenungkan isi-isi pengajian MTA akhirnya dia
memutuskan menjadi warga. Dia sudah ngaji.
Untuk memahami bagaimana orang terbebas dari
taklid dalam praktik, barangkali menarik untuk beri
satu contoh dalam Pengajian Ahad Pagi. Satu
pertanyaan diajukan sebagai berikut: “Apakah ada
hadits yang melarang makan dengan tangan kiri? Jika
ada mohon disebutkan, Ustadz!” Menjawab pertanyaan
ini, Ustadz