DAKWAH KULTURAL DAKWAH PEMBEBASAN

DAKWAH KULTURAL: DAKWAH PEMBEBASAN
Mengapa dakwah Muhammadiyah yang dilakukan pada periode awal,
selain mendapat hadangan dan tantangan juga mendapat sambutan yang luar biasa
di berbagai daerah? Mereka mereka yang kemudian menjadi aktivis persyarikatan
ini seperti sudah menunggu-nunggu lahirnya Muhammadiyah? Jawabnya
sederhana. Dakwah kultural yang dipelopori KHA Dahlan bersama para
sahabatnya itu memiliki makna sebagai dakwah pembebasan. Dakwah kultural
yang merupakan penerapan dari teologi kritis dengan Tauhid murni sebagai
intinya menyentuh dua wilayah pembebasan sekaligus.
Pertama, pembebasan pada wilayah spiritual. Sebagaimana diketahui,
pada zaman itu secara spiritual masyarakat Jawa dan masyarakat Muslim di
seluruh Nusantara terkungkung atau malahan terjajah oleh berbagai paham
keagamaan yang campur aduk tidak keruan. Secara spiritual mereka menjadi
lemah, karena jiwa mereka begitu dipengaruhi oleh berbagai takhayul, khurafat,
praktik bid’ah dan praktik adat serta tradisi yang kaku. Mereka tenggelam dalam
lautan upacara yang menghabiskan harta, waktu dan perhatian. Hidup mereka
diatur dan dikendalikan oleh berbagai siklus upacara yang menyebabkan mereka
tidak memiliki kesempatan untuk melakukan konsolidasi spiritual dan mobilisasi
dana, sebagai bagian dari upaya untuk memperbaiki dan memajukan hidup. Sebab
rute kehidupan mereka telah ditetapkan oleh warisan budaya di masa silam, yang
kebanyakan sudah tidak cocok lagi dengan zaman ketika mereka hidup. Mereka

harus melewati rute kehidupan yang rutin itu dari hari ke hari, sementara kekuatan
kolonial asing yang berkomplot dengan kekuatan dominan lokal dapat enak-enak
menyedot sumberdaya ekonomi, sumberdaya budaya, sumberdaya insani dan
sumberdaya politik mereka sehingga makin lama makin lemah.
Boleh dikata, manusia dan masyarakat Muslim di seluruh Nusantara masih
berada dalam era kegelapan spiritual. Kehadiran Muhammadiyah, merupakan
kekuatan dan gerakan yang membebaskan mereka dari kegelapan spiritiual
menuju ke zaman yang terang dan cerah secara spiritual. Tuhan menjadi lebih
mudah untuk didekati, tanpa harus melewati berlapis-lapis wasilah. Praktik
beragama menjadi lebih ringan, praktis dan lebih sederhana dan mudah dilakukan.
Kedua, pembebasan pada wilayah sosial. Pada zaman itu, secara sosial
manusia dan masyarakat di seluruh Nusantara cenderung terbelenggu dan terjajah
oleh kebodohan, kemiskinan dan hirarkhi sosial yang rumit yang dioperasikan
lewat berbagai mitos yang memang dipelihara untuk kepentingan kelompok
penguasa.. Tingkat pendidikan yang rendah, terjadinya salah faham terhadap
makna pendidikan agama, sehingga muncul polarisasi pendidikan ilmu umum dan
ilmu agama, terbatasnya akses masyarakat kepada lembaga pendidikan yang lebih
tinggi dan kepada pusat-pusat penelitian dan pengembangan ilmu menyebabkan
kebodohan merupakan gejala yang merata.
Kemiskinan juga menyeruak dimana-mana. Karena industrialisasi gula,

perkebunan dan pertanian hanya menempatkan masyarakat sebagai aktor ekonomi
pinggiran. Sementara itu distribusi barang, sektor perdagangan didominasi oleh
orang lain. Hanya pada sentra industri kerajinan dan perdagangan yang terbatas
saja yang dikuasai oleh masyarakat. Dana dari keuntungan usaha itu justru

mengalir ke pundit-pundi penjajah dan pedagan asing.Dalam kondisi yang
demikian, mobilitas sosial menjadi sangat terhambat karena kendala hierarkhi
yang dioperasikan lewat mitos betul-betul membelenggu. Dtiambah lagi dengan
rendahnya kesehatan karena minimnya fasilitas kesehatan untuk masyarakat.
Ketika Muhammadiyah lahir, melakukan pembebasan masyarakat dari
penjara kebodohan, kemiskinan dan dari hierarkhi sosial yang menghambat
mobilitas, maka langsung mendapat sambutan di mana-mana. Waktu itu,
munculnya Muhammadiyah betul-betul merupakan simbol dari munculnya zaman
baru yang cerah yang membebaskan masyatakat dari kegelapan sosial.
Dalam ceramahnya pada Siang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar akhir
Januari lalu Prod Dr H Simuh mengambarkan bagaimana gelapnya kehidupan
keagamaan masyarakat Muslim kita karena terbelenggu oleh sufisme yang tidak
rasional. Maka perjuangan Muhammadiyah mengembalikan Islam sebagai agama
rasional menjadi sangat penting karena dapat menjawab kebutuhan zaman. Islam
yang murni dan rasional dapat menjadi tesa yang jitu untuk membangkitkan umat

Islam dari keterpurukannya.
Sedang sosiolog Prof Dr Sunyoto Usman dalam kesempatan yang sama
menggambarkan dinamika relasi atau pasang surut hubungan antara kelompok
abangan dan santri dalam konteks dakwah. Karena peristiwa politik, Pemilu 1955,
hubungan antara abangan dan santri pernah memburuk. Tetapi ketka negara
melakukan penyeragaman ideology dan menekan kekuatan politik santri maka
hubungan antara kelompok agama dan santri membaik. Dimulai dari tahun 1965,
ketika muncul huru-hara politik, dimana kelompok abangan berbondong-bondong
menjadi santri, Dalam proses selanjutnya, tanpa gangguan kepentingan politik
terjadi integrasi sehingga polarisasi abangan-santti tidak menjadi relevan lagi.
Masalahnya, menurut Sunyoto, meskipun banyak komunitas abangan
menjadi santri, namun bukan berarti bahwa nilai-nilai keislaman dapat
terartikulasi dengan baik. Ajaran islam yang banyak dipelajadi masih lebih banyak
terkait dengan ibadah kecil (mahdloh), belum terkait dengan kehidupan sosial
nyata. Hal ini antara lain diperlihatkan bahwa meskipun pengajian marak di
mana-mana, simbol-simbol keislaman terartikulasi, namun kesenjangan sosial
dalam masyarakat kita masih sangat dalam. Organisasi keagamaan ketika itu
ternyata juga tidak bisa berbuat banyak, malah sebagian ulama terkooptasi..
Hasil penelitian yang dia lakukan di beberapa desa santri di Jawa Timur
memperlihatlkan bahwa peran elit agama sangat marginal dalam proses

pengambilan keputusan public dan tersisih oleh peran elit birokrasi.
Kepemimpinan para elit agama pada saat itu menjadi symbolic leader, artinya
kendatipun tetap banyak pengaruh namun kuran diperhitungkan keberadaannya
oleh elit lain. Sebagian pengamat mengatakan bahwa ajaran yang berkembang
pada saat itu masih Islam of the text, belum sampai pada Islam of the context.
Arah kehidupan sosial masih tergantung pada kekuasaan dan kemauan politik
pemerintah, dan kemauan organisasi keagamaan untuk menempatkan Islam
sebagai referensi kehidupan sosial, ekonomi dan politik mengalami banyak
hambatan. Jadi keharmonisan hubungan komunitas abangan dan santri itu
sebenarnya dalm bingkai aktivitas keagamaan yang bersifat non-politik.
Kegairahan agama ketika itu tampil yang oleh Donald Emerson diseut ‘Islam

Kultural’ dalam bentuk kesemarakan dakwah, meningkatnya publikasi buku dan
majalah keislaman, serta kesungguhan untuk menampilkan simbol keislaman
lewat pakaian dan sebagainya.
Pada Pemilu 1999, pasca kejatuhan Orde Baru, muncul situasi yang mirip
dengan tahun 1955. Era multi partai sebagaimana akan diulang pada Pemilu
2004..Pertanyaannya kemudian adalah apakah suasana politik semacam ini akan
berpengaruh terhadap hubungan antara komunitas sanrri dan abangan? Ini sangat
ditentukan oleh kedewasaan berpikir para elit politik sendiri, apakah mereka

kembali ke politik aliran atau tidak. Jika politik aliran kembali dianut maka
hubungan yang harmonis antara santri dan abangan akan terganggu.. Selain itu
hubungan antara komunitas santri dan abangan juga ditentukan oleh bagaimana
organisasi keagamaan mengambil peran dalam percatruan politik. Kalau mereka
masih sabagi motor peggerak utama mobilisasi massa untuk menukung partai
tertentu maka akan diajuhi oleh komunitas abangan, dan ini berarti kegiatan
dakwah hanya aka menyentuh kalangan terbatas. Kalau organisasi kegamaan
menjauhi poran sebagai motor mobilisasi massa maka kepentingan politik
komunitas abangan tidak terganggu, mereka tidak mengalami hambatan mental
untuk belajar agama baik kepada Muhammadiyah atau NU.
GBPH H Joyokusumo sebagai kerabat Kraton, dalam Sidang Tanwir
tersebut menyampaikan makalah dengan judul Pengamalam Islam dalam
Kehidupan Kasultanan Ngayojakarta hadiningrat. Sebagai kasultanan Islam tentu
saja pihak Kraton selalu berupaya mengamalka nilai dan ajaran Islam dengan
sebaik-baiknya. Kelahiran Muhammadiyahdi kampung Kauman Yogyakarta
merupakan gerakan pembaharuan metode pengalaman Islam dan pemurnian
Islam, yang disosialisasikan oleh KHA Dahlan tak dapat dipisahkan dari
perjalanan kehidupan keagamaan Kraton dan pergeakan bangsa. Kasultanan
Ngajojakarta Hadiningrat yang dilahirkan sebagai suatu negeri Islam, tumbuh dan
berkembang selaras dengan tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat,

meneguhkan posisinya sebagai lemabaga budaya Islami yang harus dikelola
secara modern agar tidak ketinggalan zaman dan senantiasa mampu memberikan
sumbangan yang terbaik bagi masyarakat.
Pasca Perang Diponegoro, Belanda banyak melakukan tekanan kepada
kraton, Termasuk membatasi kegiatan amaliah Islam, khutbah Jum’at Kliwonan,
dan pelarangan bagi Sultan dan keluarganya untuk beribadah haji. Selain itu
untuk mendongkrak kegiatan Kristenisasi, pihak Belanda minta Sultan agar
memberikan tanahnya untuk dibangung gereja, rumah sakit dan benteng. Ketika
Muhammadiyah berdiri Sultan melihat sebagai peluang untuk melawan tekanan
Belanda itu, maka kegiatan persyarikatan ini diijinkan.
Begitulah, dengan pengintegrasian kegiatan dakwah lewat struktur atas,
bersama Kraton, maupun lewat strutkur bawah, bersama masyarakat,
Muhammadiyah yang bukan partai politik ini diharapkan mampu meningkatkan
dakwah kulturalnya. Yaitu dakwah yang membebaskan masyarakat dan umat dari
berbagai belenggu dan penjara sosial yang selama ini membatasinya. (Bahan dan
tulisan: tof)
Sumber: SM-02-2005