Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perempuan Menggugat (Kajian Dalam Film Lost in Papua) T1 362007057 BAB I

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

LATAR BELAKANG

Film merupakan salah satu media komunikasi massa. Menurut UU No.8 thn 1992 tentang Perfilman Nasional dijelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dan dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video yang ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik dan elektronik (Dewan Film Nasional 1994:15). Film merupakan gambar yang bergerak dan film dapat disebut juga sebagai transformasi kehidupan masyarakat karena, dalam film kita dapat melihat gambaran atau cermin yang sebenarnya dan bahkan kita terkadang tidak menyadarinya. Sebagai gambar yang bergerak film adalah reproduksi dari kenyataan seperti apa adanya.

Film juga memiliki dualisme sebagai refleksi atau sebagai representasi masyarakat. Memang sebuah film bisa merupakan refleksi atau representasi kenyataan. Sebagai refleksi kenyataan sebuah film hanya memindahkan permasalahan yang terjadi di masyarakat ke layar tanpa mengubah kenyataan tersebut, misalnya film dokumentasi, upacara kenegaraan atau film dokumentasi peristiwa perang. Sedangkan representasi kenyataan berarti film tersebut membentuk dan menghadirkan kembali kenyataan berdasarkan kode-kode, konvensi dan ideologi dari kebudayaan (Sobur, 2003:128). Setiap film yang dibuat atau diproduksi pasti menawarkan suatu pesan kepada para penonton. Jika dikaitkan dengan kajian komunikasi maka suatu film yang akan ditawarkan ke masyarakat harusnya memiliki efek yang sesuai dan sinkron dengan pesan yang diharapkan, jangan sampai inti pesan tidak disampaikan tetapi sebaliknya efek negatif dari film tersebut justru secara mudah diserap oleh penontonya1.

1


(2)

Keberadaan film di tengah masyarakat mempunyai makna yang unik diantara media komunikasi lainnya. Selain dipandang sebagai media komunikasi yang efektif dalam penyebarluasan ide dan gagasan, film juga merupakan media ekspresi seni yang memberikan jalur pengungkapan kreatifitas dan media budaya yang melukiskan kehidupan manusia dan kepribadian suatu bangsa. Perpaduan kedua hal tersebut menjadikan film sebagai media yang mempunyai peranan penting di masyarakat. Di satu sisi film dapat memperkaya kehidupan masyarakat dengan hal-hal yang baik dan bermanfaat, namun disisi lain film juga dapat membahayakan bagi masyarakat.

Film yang mempunyai pesan untuk menanamkan nilai pendidikan merupakan salah satu hal yang baik dan bermanfaat, sedangkan film yang menampilkan nilai-nilai yang cenderung dianggap negative oleh masyarakat seperti kekerasan, rasialisme, diskriminasi dan sebagainya akan membahayakan jika diserap oleh audience dan diaplikasikan dalam kehidupannya. Film juga memiliki kemampuan dalam menjangkau sekian banyak orang dalam waktu yang cepat, dan mampu menarik orang. Dalam hal ini, ada sebuah nilai yang berbenturan dengan cara pandang lain yang melibatkan massa yang dapat menimbulkan sebuah wacana atau pemahaman yang berbeda dalam masyarakat.

Wacana tersebut terus berkembang dalam masyarakat dan akan menjadi sebuah pendapat yang kemudian dikonsumsi publik. McQuail, (2000:276) menambahkan bahwa film sebagai media merupakan sarana penyampaian informasi kepada masyarakat dengan menggabungkan berbagai macam unsur yang membuat penonton terhibur. Media adalah agen yang secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak (Hamad, 2004:11-12).Namun, ada sebuah konsep filosofis yang mengatakan bahwa yang kita lihat dalam film bukanlah realitas, melainkan representasi (sense datum) atau tanda (sign) dari realitas yang sesungguhnya, yang tidak dapat kita tangkap. Yang dapat ditangkap hanyalah tampilan (appearance) dari realitas dibaliknya (Straaten dalam Sorbur, 2006:930). Selain membentuk konstruksi masyarakat akan suatu hal, film juga merupakan rekaman realitas yang tumbuh dan


(3)

berkembang dalam masyarakat yang kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2006:127).

Sebagai media massa, film menyusun realitas dari berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi film adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna. Isi film dapat dibagi menjadi 6 kategori, yaitu: berita dan informasi, analisis dan interpretasi, pendidikan dan sosialisasi, hubungan masyarakat dan persuasi, iklan dan bentuk penjualan lain, hiburan (Ray Elden Hiebert dkk, 1985). Begitu pula halnya dengan masalah mengenai perempuan yang selalu menarik untuk dibicarakan dan tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Pandangan masyarakat mengenai perempuan sebagian besar juga terbentuk oleh apa yang selama ini digambarkan oleh media massa, terutama sinema atau film.

Barker, (2005:106) mengatakan dominasi laki-laki di dalam teks yang telah berlangsung lama secara komulatif telah membentuk suatu kebenaran bahwa perempuan memang secara kodrati lemah dan laki-laki sebagai pencipta teks membangun citra akan diri mereka sebagai superior, kuat dan pelindung. Dalam konteks film, khususnya pemberitaan mengenai perempuan di dalamnya, representasi perempuan didasarkan atas sebuah ideologi. Menurut Piliang (2003: 137-138), ada banyak prinsip bagaimana ideologi beroperasi dalam produksi makna-termasuk makna dalam film. Di antara prinsip tersebut adalah apa yang disebut sebagai prinsip

„oposisi biner‟ (binary opposition), yaitu semacam tanda, kode, makna, stereotip, identitas yang di dalamnya terjadi proses generasilasi dan reduksionisme, sedemikian rupa sehingga segala sesuatu dikategorikan ke dalam dua kelompok yang ekstrim, saling bertentangan dan kontradiktif.

Film yang berjudul Lost in Papua, terlihat bahwa representasi bekerja dalam bentuk oposisi biner. Perempuan Papua digambarkan dalam Suku Perempuan yang menarik di satu sisi, jahat, primitif, dan suka berkelahi, memperkosa kaum laki-laki, suka membunuh di sisi lainnya. Oposisi jahat-baik ini penting untuk setiap jenis klasifikasi, karena untuk bisa mengklasifikasi, kita harus menentukan perbedaan yang


(4)

jelas di antara hal-hal yang ingin diklasifikasi. Kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya film membawa konsep-konsep oposisi biner yang terpolarisasi dari ideologi patriarki secara garis besar. Ideologi patriarki membagi prinsip oposisi biner dalam konsep maskulinitas dan feminitas2 yang terkonstruksi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Perempuan diposisikan secara budaya sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya. Sebaliknya laki-laki diposisikan sebagai mahluk yang kuat dan mendominasi. Pembagian prinsip-prinsip dasar sifat ini terkonstruksi dalam masyarakat kita yang patriarki, sehingga adanya penerimaan secara mutlak yang tidak adil dalam masyarakat. Penegasan ini didukung oleh media yang dianggap sebagai agen informasi. Isu perempuan khususnya di dalam film kemudian menjadi konsisten, dan menjadi suatu kecenderungan umum. Sebagai contoh, ketika perempuan terus-menerus ditampilkan sebagai objek seks di film, maka khalayak laki-laki akan menerima pembenaran dalam memandang perempuan sebagai kaum yang fungsi utamanya adalah memuaskan nafsu seksual laki-laki. Akibatnya, tertanam anggapan

bahwa „kekuatan‟ utama perempuan adalah tubuhnya, bukan faktor-faktor lain seperti keunggulan intelektual, keluasan wawasan, kecakapan bekerja dan sebagainya. Perempuan kemudian diperalat dengan seluruh karakter yang diperjualbelikan: kecantikan, kemolekan tubuh dan seks (seperti: paha, pinggul dan dada) sebagai wujud dari pola patriarki.

Realitas sosial yang diciptakan media tentang perempuan membawa suatu perlawanan perempuan terhadap adanya dominasi dari kaum laki-laki. Adanya pencitraan perempuan yang ditampilkan dalam karakter mereka seperti memiliki

2

Fakih (2006: 8-9), dalam perspektif gender maskulinitas adalah sifat yang melekat pada laki-laki yakni: kuat, rasional, perkasa, sedangkan feminitas adalah sifat yang melekat pada perempuan yakni, lemah lembut, emosional, keibuan. Ciri atau sifat tersebut dapat dipertukarkan, dapat berubah dari waktu ke waktu, tempat yang satu ke tempat yang lain dan berbeda dari satu kelas ke kelas lainnya. Maskulinitas dan feminitas merupakan dua kategori yang saling beroposisi dan antara keduanya bisa disejajarkan dengan kategori-kategori yang berjajar di bawahnya. Dalam sistem oposisi biner makulinitas dan feminitas sejajar dengan positif dan negative, sejajar dengan terang dan gelap, sejajar dengan cultural dan natural, dan seterusnya.


(5)

ketergantungan, ramah, rapuh dalam hubungan, mengurus anak, dilihat sebagai suatu jawaban atas praktek diskriminasi terhadap perempuan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa umumnya media, terutama dalam isu kejahatan, menggambarkan perempuan sebagai korban, sedangkan laki-laki sebagai pelaku. Salah satu perlawanan perempuan terhadap adanya dominasi laki-laki terlihat dalam sebuah film yang berjudul Lost in Papua.

Film ini menceritakan tentang di suatu pedalaman rimba Papua, Rangga (Edo Borne) beserta timnya menjalankan sebuah misi eksplorasi mencari titik tambang. Tanpa mereka sadari telah memasuki wilayah terlarang yang dikenal dengan sebutan RKT 2000 (Rencana Kerja Tahunan disingkat RKT, sebuah area terlarang di Boven Digul dan merupakan nama Kabupaten di daerah Papua Merauke, serta tempat pembuatan film dari Lost in Papua).3

Tidak berapa lama, terjadilah sebuah petaka yang menyebabkan hilangnya anggota tim satu persatu. Tiga tahun kemudian, Nadia (Fanny Fabriana), mantan tunangan Rangga, masih terbayang dengan kejadian di Papua itu. Disisi lain, David (Fauzi Badillah) yang pernah di campakkan Nadia, masih terus mengejar Nadia dengan segala cara. Nadia tidak menghiraukan David dan mencoba menjauhinya dengan menerima tugas ke Papua yang di berikan oleh bosnya, Pak Wijaya (Didi Petet), yang tak lain adalah ayah David. Nadia berangkat ke Papua membawa sebuah titipan cinderamata dari kakeknya (Piet Pagau) untuk kepala suku Korowai yang pernah menyelamatkan nyawanya di masa perjuangan lalu. Nadia yang baru pertama kali datang ke Papua, jatuh cinta dengan keindahan alamnya. Nadia bertemu dengan teman-temannya yang berasal dari Papua, mereka sangat baik dan ramah. Nadia diperkenalkan dengan tarian dan nyanyian serta budaya-budaya yang ada di Papua.

Dalam konsep gender, perempuan masih banyak dibedakan dalam makna diskriminatif dalam segala hal secara gender dengan laki-laki. Padahal, perbedaan gender (gender differences) itu, sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang

3


(6)

tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, fakta empiris secara komprehensif menunjukkan, bahwa ternyata perbedaan gender tersebut telah melahirkan peran gender (gender role) yang sarat dengan makna ketidakadilan, terutama terhadap kaum perempuan.4 Adapaun faktor penyebab terbesar dari hadirnya konsepsi ideologi gender yang menyebabkan ketidakadilan tersebut, adalah

konstruksi „ideologi patriarki‟ yang ada, berkembang dan diinternalisasikan dari

generasi ke generasi, dalam dimensi ruang waktu yang cukup panjang di masyarakat. Suku perempuan yang dimunculkan dalam film, membawa suatu gerakan yang berbeda dengan ideologi gender yang sudah terbentuk. Suku perempuan digambarkan sebagai suku yang memperkosa kaum laki-laki dan menjadikan mereka sebagai pejantan untuk penambah keturunan, setelah itu langsung dibunuh bertentangan dengan adanya budaya yang ada di Papua, yaitu budaya patriarki yang dianut dalam tiap kepala keluarga. Fakih (1999:85), dengan melalui Eisenstein, patriarki adalah dasar ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege.

Sistem budaya patriarki sangat kental dalam kehidupan masyarakat di Papua.5 Di Papua mengusut keturunannya melalui garis ayah, jadi bersifat patrilineal. Oleh sebab itu, adanya mitos suku perempuan yang ditayangkan dan dipublikasikan melalui film Lost in Papua tersebut sempat menuai protes. Mitos yang ditampilkan dirasa tidak sesuai dengan kenyataan tentang budaya yang ada di Papua khususnya kaum perempuan. Sampai saat ini perempuan Papua masih belum terpenuhi hak-haknya. Banyak yang menunding masalah adat dan budaya Papua yang menyebabkan

4 Fakih, hlm. 12 dan 72, Menurut Kassiyan dalam buku Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan

dalam Iklan (hal. 45)

5

Masyarakat Papua menganut sistem patriarki. Dalam hal ini awalnya sistem patriarki tersebut dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan yang cenderung lemah tetapi pada kenyataannya sistem ini sering digunakan secara semena-mena oleh kaum pria bahkan yang berasal dari kaumnya sendiri untuk memuaskan egonya, menindas bahkan membatasi gerak kaum wanita. (q-eienz.blogspot/2010/11/tanah-tabu.html, dalam cerita tentang buku Tanah Tabu, dari Anindita S. Thyaf)


(7)

perempuan berada di bawah laki-laki. Perempuan Papua tidak hanya melayani suami, tetapi juga harus menyiapkan makanan, berjualan di pasar, dan lain sebagainya6.

Menurut Dr. Thamrin, Perempuan dalam film umumnya digambarkan sebagai sosok yang berkisar seputar pigura, pilar, peraduan, pinggan dan pergaulan (5-P). Piguran menyangkut kecantikan dan pemikat secara bilogis, pilar sebagai pengelola rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan kerja.7 Sosok perempuan yang digambarkan dalam film Lost in Papua bertentangan dengan gambaran perempuan yang dicerminkan oleh media. Perempuan Papua dalam Lost in Papua dicerminkan sebagai perempuan yang kuat dan perkasa.

Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya adegan kekerasan baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh suku perempuan itu, seperti: membunuh kaum laki-laki dan memakan jantung mereka, memperkosa kaum laki-laki secara bergiliran, mengumbar kata-kata kasar, menampar dan melakukan tindak kekerasan lainnya terhadap kaum laki-laki (melucuti pakaian, mengikat dan mencium kaum laki-laki secara paksa). Film Lost in Papua ini juga memiliki paham berbeda yang ada dalam masyarakat Papua sendiri, serta memunculkan adanya pro dan kontra tentang adanya suku perempuan yang membuat representasi terhadap perempuan Papua dan memunculkan berita negatif.8

Adanya mitos-mitos tentang perempuan yang berkembang dalam masyarakat, memiliki korelasi sebab-akibat dari gambaran tentang adanya perlawanan perempuan, antara lain: patriarki dan emansipasi wanita. Adanya suatu ideologi tentang anggapan dasar masyarakat dimana film Lost in Papua yang memunculkan suku perempuan menggambarkan perempuan yang berkuasa di atas laki-laki, dimana hal tersebut kebalikan dari budaya patriarki (perempuan disini sebagai subjek dan laki-laki

6

journal/item/20/Perempuan Papua. diunduh pada 24/5/2012

7 www.amazon.com, Sosok Perempuan dalam Media massa (diunduh 7 Juli 2012)

8 Film Lost in Papua memunculkan berita tentang, Fauzi diperkosa oleh Suku Perempuan Papua dan


(8)

sebagai objek). Tetapi di lain pihak perempuan tersebut tetap membutuhkan kaum laki-laki untuk menambah keturunan mereka.

Berdasarkan uraian di atas penulis tidak akan membahas secara keseluruhan tentang film Lost in Papua, akan tetapi penulis lebih membahas tentang “Suku

Perempuan” yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu bagaimana

film Lost in Papua mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos Suku Perempuan dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan perempuan melalui mitos suku perempuan dalam film Lost in Papua.

1.2

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana film Lost in Papua mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos suku Perempuan?

2. Apa bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan melalui mitos suku Perempuan dalam film Lost in Papua?

1.3

TUJUAN PENELITIAN

Dari persoalan di atas, maka tujuan dari penelitian adalah :

Mengetahui dan menjelaskan sejauh mana film mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos suku perempuan dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan.

1.4

MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat membuka wawasan tentang perspektif gender dan menambah literature penelitian kualitatif mengenai studi analisis wacana kritis dalam film.


(9)

1.4.2 Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman tentang bagaimana film mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos suku perempuan yang dimunculkan dalam film Lost in Papua dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan serta diharapkan bermanfaat bagi khalayak agar lebih kritis dalam memaknai pesan yang disampaikan media khususnya film.

1.5

BATASAN PENELITIAN

Untuk tidak memperluas ruang lingkup pembahasan, maka diberikan batasan-batasan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Penelitian ini hanya akan berfokus pada mitos “Suku Perempuan” dalam

film Lost in Papua.

2. Hal-hal yang diidentifikasi adalah tentang bagaimana penggambaran sosok perempuan Papua melalui mitos Suku Perempuan melalui analisis wacana kritis dan gender.


(1)

jelas di antara hal-hal yang ingin diklasifikasi. Kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya film membawa konsep-konsep oposisi biner yang terpolarisasi dari ideologi patriarki secara garis besar. Ideologi patriarki membagi prinsip oposisi biner dalam konsep maskulinitas dan feminitas2 yang terkonstruksi secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Perempuan diposisikan secara budaya sebagai makhluk yang lemah dan tak berdaya. Sebaliknya laki-laki diposisikan sebagai mahluk yang kuat dan mendominasi. Pembagian prinsip-prinsip dasar sifat ini terkonstruksi dalam masyarakat kita yang patriarki, sehingga adanya penerimaan secara mutlak yang tidak adil dalam masyarakat. Penegasan ini didukung oleh media yang dianggap sebagai agen informasi. Isu perempuan khususnya di dalam film kemudian menjadi konsisten, dan menjadi suatu kecenderungan umum. Sebagai contoh, ketika perempuan terus-menerus ditampilkan sebagai objek seks di film, maka khalayak laki-laki akan menerima pembenaran dalam memandang perempuan sebagai kaum yang fungsi utamanya adalah memuaskan nafsu seksual laki-laki. Akibatnya, tertanam anggapan

bahwa „kekuatan‟ utama perempuan adalah tubuhnya, bukan faktor-faktor lain seperti

keunggulan intelektual, keluasan wawasan, kecakapan bekerja dan sebagainya. Perempuan kemudian diperalat dengan seluruh karakter yang diperjualbelikan: kecantikan, kemolekan tubuh dan seks (seperti: paha, pinggul dan dada) sebagai wujud dari pola patriarki.

Realitas sosial yang diciptakan media tentang perempuan membawa suatu perlawanan perempuan terhadap adanya dominasi dari kaum laki-laki. Adanya pencitraan perempuan yang ditampilkan dalam karakter mereka seperti memiliki

2

Fakih (2006: 8-9), dalam perspektif gender maskulinitas adalah sifat yang melekat pada laki-laki yakni: kuat, rasional, perkasa, sedangkan feminitas adalah sifat yang melekat pada perempuan yakni, lemah lembut, emosional, keibuan. Ciri atau sifat tersebut dapat dipertukarkan, dapat berubah dari waktu ke waktu, tempat yang satu ke tempat yang lain dan berbeda dari satu kelas ke kelas lainnya. Maskulinitas dan feminitas merupakan dua kategori yang saling beroposisi dan antara keduanya bisa disejajarkan dengan kategori-kategori yang berjajar di bawahnya. Dalam sistem oposisi biner makulinitas dan feminitas sejajar dengan positif dan negative, sejajar dengan terang dan gelap, sejajar dengan cultural dan natural, dan seterusnya.


(2)

ketergantungan, ramah, rapuh dalam hubungan, mengurus anak, dilihat sebagai suatu jawaban atas praktek diskriminasi terhadap perempuan. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa umumnya media, terutama dalam isu kejahatan, menggambarkan perempuan sebagai korban, sedangkan laki-laki sebagai pelaku. Salah satu perlawanan perempuan terhadap adanya dominasi laki-laki terlihat dalam sebuah film yang berjudul Lost in Papua.

Film ini menceritakan tentang di suatu pedalaman rimba Papua, Rangga (Edo Borne) beserta timnya menjalankan sebuah misi eksplorasi mencari titik tambang. Tanpa mereka sadari telah memasuki wilayah terlarang yang dikenal dengan sebutan RKT 2000 (Rencana Kerja Tahunan disingkat RKT, sebuah area terlarang di Boven Digul dan merupakan nama Kabupaten di daerah Papua Merauke, serta tempat pembuatan film dari Lost in Papua).3

Tidak berapa lama, terjadilah sebuah petaka yang menyebabkan hilangnya anggota tim satu persatu. Tiga tahun kemudian, Nadia (Fanny Fabriana), mantan tunangan Rangga, masih terbayang dengan kejadian di Papua itu. Disisi lain, David (Fauzi Badillah) yang pernah di campakkan Nadia, masih terus mengejar Nadia dengan segala cara. Nadia tidak menghiraukan David dan mencoba menjauhinya dengan menerima tugas ke Papua yang di berikan oleh bosnya, Pak Wijaya (Didi Petet), yang tak lain adalah ayah David. Nadia berangkat ke Papua membawa sebuah titipan cinderamata dari kakeknya (Piet Pagau) untuk kepala suku Korowai yang pernah menyelamatkan nyawanya di masa perjuangan lalu. Nadia yang baru pertama kali datang ke Papua, jatuh cinta dengan keindahan alamnya. Nadia bertemu dengan teman-temannya yang berasal dari Papua, mereka sangat baik dan ramah. Nadia diperkenalkan dengan tarian dan nyanyian serta budaya-budaya yang ada di Papua.

Dalam konsep gender, perempuan masih banyak dibedakan dalam makna diskriminatif dalam segala hal secara gender dengan laki-laki. Padahal, perbedaan

gender (gender differences) itu, sesungguhnya tidaklah menjadi masalah, sepanjang

3


(3)

tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, fakta empiris secara komprehensif menunjukkan, bahwa ternyata perbedaan gender tersebut telah melahirkan peran gender (gender role) yang sarat dengan makna ketidakadilan, terutama terhadap kaum perempuan.4 Adapaun faktor penyebab terbesar dari hadirnya konsepsi ideologi gender yang menyebabkan ketidakadilan tersebut, adalah konstruksi „ideologi patriarki‟ yang ada, berkembang dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi, dalam dimensi ruang waktu yang cukup panjang di masyarakat. Suku perempuan yang dimunculkan dalam film, membawa suatu gerakan yang berbeda dengan ideologi gender yang sudah terbentuk. Suku perempuan digambarkan sebagai suku yang memperkosa kaum laki-laki dan menjadikan mereka sebagai pejantan untuk penambah keturunan, setelah itu langsung dibunuh bertentangan dengan adanya budaya yang ada di Papua, yaitu budaya patriarki yang dianut dalam tiap kepala keluarga. Fakih (1999:85), dengan melalui Eisenstein, patriarki adalah dasar ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege.

Sistem budaya patriarki sangat kental dalam kehidupan masyarakat di Papua.5 Di Papua mengusut keturunannya melalui garis ayah, jadi bersifat patrilineal. Oleh sebab itu, adanya mitos suku perempuan yang ditayangkan dan dipublikasikan melalui film Lost in Papua tersebut sempat menuai protes. Mitos yang ditampilkan dirasa tidak sesuai dengan kenyataan tentang budaya yang ada di Papua khususnya kaum perempuan. Sampai saat ini perempuan Papua masih belum terpenuhi hak-haknya. Banyak yang menunding masalah adat dan budaya Papua yang menyebabkan

4 Fakih, hlm. 12 dan 72, Menurut Kassiyan dalam buku Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan

dalam Iklan (hal. 45)

5

Masyarakat Papua menganut sistem patriarki. Dalam hal ini awalnya sistem patriarki tersebut dimaksudkan untuk melindungi kaum perempuan yang cenderung lemah tetapi pada kenyataannya sistem ini sering digunakan secara semena-mena oleh kaum pria bahkan yang berasal dari kaumnya sendiri untuk memuaskan egonya, menindas bahkan membatasi gerak kaum wanita. (q-eienz.blogspot/2010/11/tanah-tabu.html, dalam cerita tentang buku Tanah Tabu, dari Anindita S. Thyaf)


(4)

perempuan berada di bawah laki-laki. Perempuan Papua tidak hanya melayani suami, tetapi juga harus menyiapkan makanan, berjualan di pasar, dan lain sebagainya6.

Menurut Dr. Thamrin, Perempuan dalam film umumnya digambarkan sebagai sosok yang berkisar seputar pigura, pilar, peraduan, pinggan dan pergaulan (5-P). Piguran menyangkut kecantikan dan pemikat secara bilogis, pilar sebagai pengelola rumah tangga, peraduan yakni yang berhubungan dengan seks, pinggan yaitu berkaitan dengan dapur dan pergaulan untuk urusan publik sebagai pendamping lingkungan kerja.7 Sosok perempuan yang digambarkan dalam film Lost in Papua bertentangan dengan gambaran perempuan yang dicerminkan oleh media. Perempuan Papua dalam Lost in Papua dicerminkan sebagai perempuan yang kuat dan perkasa.

Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya adegan kekerasan baik verbal maupun non verbal yang dilakukan oleh suku perempuan itu, seperti: membunuh kaum laki-laki dan memakan jantung mereka, memperkosa kaum laki-laki secara bergiliran, mengumbar kata-kata kasar, menampar dan melakukan tindak kekerasan lainnya terhadap kaum laki-laki (melucuti pakaian, mengikat dan mencium kaum laki-laki secara paksa). Film Lost in Papua ini juga memiliki paham berbeda yang ada dalam masyarakat Papua sendiri, serta memunculkan adanya pro dan kontra tentang adanya suku perempuan yang membuat representasi terhadap perempuan Papua dan memunculkan berita negatif.8

Adanya mitos-mitos tentang perempuan yang berkembang dalam masyarakat, memiliki korelasi sebab-akibat dari gambaran tentang adanya perlawanan perempuan, antara lain: patriarki dan emansipasi wanita. Adanya suatu ideologi tentang anggapan dasar masyarakat dimana film Lost in Papua yang memunculkan suku perempuan menggambarkan perempuan yang berkuasa di atas laki-laki, dimana hal tersebut kebalikan dari budaya patriarki (perempuan disini sebagai subjek dan laki-laki

6

journal/item/20/Perempuan Papua. diunduh pada 24/5/2012

7 www.amazon.com, Sosok Perempuan dalam Media massa (diunduh 7 Juli 2012)

8 Film Lost in Papua memunculkan berita tentang, Fauzi diperkosa oleh Suku Perempuan Papua dan


(5)

sebagai objek). Tetapi di lain pihak perempuan tersebut tetap membutuhkan kaum laki-laki untuk menambah keturunan mereka.

Berdasarkan uraian di atas penulis tidak akan membahas secara keseluruhan tentang film Lost in Papua, akan tetapi penulis lebih membahas tentang “Suku Perempuan” yang menimbulkan ketertarikan peneliti untuk mencari tahu bagaimana film Lost in Papua mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos Suku Perempuan dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan perempuan melalui mitos suku perempuan dalam film Lost in Papua.

1.2

RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana film Lost in Papua mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos suku Perempuan?

2. Apa bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan melalui mitos suku Perempuan dalam film Lost in Papua?

1.3

TUJUAN PENELITIAN

Dari persoalan di atas, maka tujuan dari penelitian adalah :

Mengetahui dan menjelaskan sejauh mana film mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos suku perempuan dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan.

1.4

MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat membuka wawasan tentang perspektif gender dan menambah literature penelitian kualitatif mengenai studi analisis wacana kritis dalam film.


(6)

1.4.2 Manfaat Praktis

Memberikan pemahaman tentang bagaimana film mengkonstruksikan perempuan Papua berkaitan dengan mitos suku perempuan yang dimunculkan dalam film Lost in Papua dan bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan oleh perempuan serta diharapkan bermanfaat bagi khalayak agar lebih kritis dalam memaknai pesan yang disampaikan media khususnya film.

1.5

BATASAN PENELITIAN

Untuk tidak memperluas ruang lingkup pembahasan, maka diberikan batasan-batasan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Penelitian ini hanya akan berfokus pada mitos “Suku Perempuan” dalam

film Lost in Papua.

2. Hal-hal yang diidentifikasi adalah tentang bagaimana penggambaran sosok perempuan Papua melalui mitos Suku Perempuan melalui analisis wacana kritis dan gender.