Sisi Lain Peristiwa Penyerangan LP Cebongan.

SISI LAIN DARI PERISTIWA PENYERBUAN PENJARA CEBONGAN
Oleh GPB Suka Arjawa
Penyerbuan secara rapi Lembaga Pemasyarakat Cebongan, Sleman, Jawa Tengah,
beberapa waktu lalu, sangat mencengangkan semua pihak. Itu tidak saja disebabkan oleh
”keberaniannya” mengintervensi negara tetapi juga kerapian dan kecepatan operasinya.
Sesungguhnya penyerbuan gerombolaan bersenjata yang berlangsung selama 15 menit itu
masih jauh kalah dibandingkan dengan penyerbuan pasukan khusus (Detasemen
81/Kopassandha) tahun 1982 ketika menyikat pembajak pesawat Garuda Woyla di
Bandara Don Muang, Thailand. Saat itu pasukan komando TNI Angkatan Darat
Indonesia berhasil melumpuhkan pembajak hanya dalam waktu 4 menit. Ini adalah
prestasi fenomenal pasukan elit Indonesia itu yang kini bernama Kopassus.
Peristiwa LP Cebongan banyak dikaitkaan-kaitkan atau ditafsirkan dengan tindakan
balas dendam, pembelaan korps, dan sejenisnya karena sebelumnya korban yang tewas
dalam penyerbuan tersebut, membunuh seorang anggota pasukan elit TNI Angkatan
Darat dalam sebuah perkelahian di Cafe. Orang juga mencoba menggambarkan kejadian
tersebut dengan pola penyerbuan Polres oleh sekelompok pasukan TNI di Sumatera
Selatan belum lama berselang. Dengan begitu, banyak pendapat masyarakat berseliweran
muncul mengikuti peristiwa yang terjadi di LP Cebongan.
Namun demikian, dari kacamata perubahan sosial harus dilihat bahwa penyerbuan
penjara ini merupakan tindakan nekat yang mencerminkan tidak adanya kekuatan negara
dalam melindungi warga. Pada sisi lain langkah negara, melalui aparatnya kalah cepat

dengan keinginan kelompok untuk melakukan penanganan terhadap perlakukanperlakukan yang menyangkut pencorengan nama kelompok. Tulisan dibawah ini lebih
melihat bagaimana upaya kelompok mempertahahkan prestise dan eksistensialnya.
Apa yang dikatakan Samuel Hutington satu setengah dekade lalu, harus mendapat
perhatian lebih. Jika ia mengatakan bahwa benturan beradaban itu merupakan benturan
kelompok-kelompok dalam skala yang lebih besar, maka tidak lain itu adalah upaya
bentuk eksistensial, upaya mempertahankan keunggulan, citra, dan silidaritas dari
penganut peradaban tersebut. Nampaknya, pendapat itu pun bisa di-mikro-kan. Artinya
tidak hanya kelompok peradaban yang berupaya mempertahankan dan memperlihatkan
eksistensinya, kelompok-kelompok kecilpun bisa mempunyai sifat demikian. Kelompok
kecil ini bisa saja komunitas, korporasi, suku dan sebagainya yang jauh lebih kecil dari
”pemilik” peradaban. Dalam konteks demikian, untuk mempertahakna eksistensialnya
dan menjaga prestisenya, masing-masing kelompok ”mikro” itu mempunyai pasukan
tersendiri yang bertugas mengawal eksistensial dan prestise kelompok itu.
Globalisasi memang ”mencabut” perbatasan negara dan justru menanam perbatasan di
dalam kelompok-kelompok itu. Ini tidak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi
informasi yang kemudian menanamkan rasa identitas itu kepada entitas-entitas tertentu
yang memiliki ciri tersendiri. Ciri ini bermacam-macam, dan yang utama adalah agama
kemudian sejarah, ideologi, negara, lingkungan, alumni, sampai dengan unsur yang

paling kecil, yakni semangat dan solidaritas. Kelompok yang bersifat mikro sangat bisa

diikat oleh semangat dan solidaritas. Solidaritas kelompok atau persamaan semangat
dalam menempuh tujuan hidup, merupakan salah satu segmen yang kecil dalam
pengikatan diri menuju satu kesatuan, tetapi daya rekatnya sangat tinggi. Di tengah
kompetisi ketat sekarang, hanya persamaan semangat dan solidaritas yang mampu
memberikan perasaan kesatuan kepada kelompok tersebut. Contoh yang paling nyata
dari konteks ini adalah klub-klub olahraga yang sifatnya lokal. Sebuah kemenangan dari
klub bola volly perusahan tertentu, pasti akan meningkatkan semangat perusahan dan
menjadi pembicaraan panjang. Dan jika terjadi kekalahan, upaya untuk memenangkan
pertandingan pasti akan besar. Maka, bisa dimaklumi kalau setiap klub-klub olahraga itu
menyewa pemain asing berprestasi demi nama besar instansi.
Disinilah nampaknya negara (Indonesia) masih kurang perhatian. Setiap gangguan yang
menyangkut kelompok, apapun kelompok itu harus diperhatikan dan gangguannya
secepatnya ditangani dengan baik. Citra kelompok harus direhabilitasi secepatnya.
Indonesia adalah negara kelompok yang secara struktural bisa dilihat dari konteks suku,
agama, pulau, kepercayaan, lembaga dan berbagai kelompok mikro lain. Setiap kelompok
ini mempunyai nilai, ideologi, dan pengikut yang mengikat kelompok itu. Dan masingmasing dari mereka mempunyai pembela yang siap berjuang maksimal untuk membela
kelompoknya.
Apakah yang terjadi di Sleman itu merupakan upaya pembelaan terhadap kelompok?
Sampai sekarang pemerintah masih belum menuntaskan penyelidikan terhadap
penyerangan tersebut. Meskipun banyak yang menyebut-nyebut soal keterlibatan

Kopassus dalam persitiwa ini, tetapi masih belum ada penjelasan resmi tentang
keterlibatan kelompok tersebut. Namun kalaupun kemudian ada dugaan seperti itu, maka
analisis kelompok seperti yang diuraikan diatas, barangkali mampu menjelaskan
mengapa peristiwa mengejutkan itu terjadi. Kopassus adalah korps elit Indonesia yang
mempunyai reputasi hebat dalam upaya pembelaan negara. Mereka dididik dengan
berbagai tingkat yang keras dengan disiplin tinggi, sehingga menimbulkan rasa
solidaritas tinggi, hormat kepada korps dann tetap menjunjung reputasi kelompok.
Gangguan terhadap anggota kelompok, dalam konteks demikian, akan memancing
solidaritas. Prajurit TNI yang terbunuh sebelum penyerbuan LP Cebongan berasal dari
kesatuan elit tersebut. Mungkin saja penyerbuan terhadap LP tersebut merupakan respek
terhadap kekhawatiran negara yang lambat mengangani persoalan, yang membuat nama
korps menjadi tercoreng.
Kendati demikian, dalam analisis kelompok, penyerbuan tersebut justru mengandung
bahaya lain. Mereka yang terbunuh di dalam penjara adalah orang-orang yang berasal
dari kelompok etnik tertentu di Indonesia. Karena masing-masing kelompok memiliki
pengawal dan pembelanya sendiri (seperti diungkapkan diatas), yang menjadi
kekhawatiran adalah adanya balas dendam terhadap gerombolan bersenjata yang
membunuh empat warga dari kelompok etnik atau daerah tersebut. Maka, negara harus
cepat-cepat menyelesaikan persoalan ini. Ada gambaran bahwa disini kelompok dengan
kelompok beradu fisik, dan polanya adalah zero zum konflik, yang artinya sama-sama

ingin menyingkirkan yang lain. Negara harus cepat bertindak. Penyerangan kepada

penjara jelas sebuah perlawanan terhadap negara. Tetapi negara juga harus mampu
mengembalikan wibada kelompok kalau mendapat corengan atau penistaan dari pihak
lain. Jika gerombolan bersenjata ini tidak segera ditangkap, dan diusut, Indonesia akan
menjadi negara gagal dalam memelihara keamanan rakyat. Setelah teroris, preman, lalu
kini gerombolan bersenjata, lalu apa lagi yang akan menjadi gangguan ketenteraman
masyarakat?****
Penulis adalah pengamat sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Udayana.