80519875 Dinamika Politik Islam Di Indon

DINA M IKA PO LITIK ISLA M

DI INDO NESIA
Dari Masa Ode Baru Sampai Masa Reformasi

Dr. Sukamto

EN LI GH T EN M EN T
mengubah paradigma, mencerahkan pikiran, & memberkati bangsa

ENLIGHTENMENT
Merupakan sebuah kelompok belajar komunitas muda Kristen
yang bersifat independen. ENLIGHTENMENT diharapkan dapat
menjadi sebuah lembaga pengkajian teologi kontekstual untuk
memfasilitasi orang-orang percaya dalam mengekspresikan nilai
dan imannya di tengah-tengah berbagai perubahan yang terjadi
dalam masyarakat; sekaligus berfungsi sebagai wadah untuk
pengembangan daya nalar dan wawasan para calon pemimpin
Kristen.
Dr. Sukamto dosen Dinamika Politik Islam di Indonesia dan Sejarah
Perjumpaan Islam Kristen pada Institut Teologi Indonesia (INTI)

Bandung.
Alamat
kontak:
trahutama@yahoo.com
atau
www.amossukamto.blogspot.com

2

DINA M IKA PO LITIK ISLA M
DI INDO NESIA :
Dari Masa Ode Baru Sampai Masa Reformasi

Dr. Sukamto

EN LI GH T EN M EN T
Bandung 2008

3


DINAMIKA POLITIK ISLAM DI INDONESIA DARI
MASA ORDE BARU SAMPAI
REFORMASI
1. Pendahuluan
Ulama besar K. H. Abdul Wahab Chasbullah mengatakan bahwa:
“If someone is able to separate sugar from its sweetness, he will
be able to separate Islamic religion from politics” (Samson
1978:213). Dalam teologi Islam agama dan politik tidak dapat
dipisahkan, karena menurut pemahaman Islam, Kitab Suci alQur’an memperlakukan kehidupan manusia sebagai suatu
keseluruhan yang organik. Artinya, semua bidang kehidupan
manusia harus dibimbing oleh petunjuk-petunjuk yang bersumber
dari al-Qur’an (Ma’arif 1985:11), termasuk di dalamnya adalah
kehidupan politik. Karena itu kiranya tidak dibesar-besarkan
untuk mengatakan bahwa perkembangan politik di Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari perjuangan politik Islam di Indonesia.
Membahas dinamika politik di Indonesia hampir sama artinya
membahas dinamika politik Islam di Indonesia.
Dalam perjalanannya, kiprah politik Islam di panggung
kekuasaan Indonesia banyak mengalami pasang surut. Masa
awal Orde Baru sampai akhir tahun 1980-an bisa dikatakan

bahwa politik Islam di Indonesia banyak berada di luar arena
kekuasaan, sehingga seorang ahli Indonesia dari Barat yang
bernama Ruth T. McVey pernah menulis sebuah artikel yang

4

berjudul “Faith as the Outsider: Islam in Indonesian Politics”1 hal
yang sama diungkapkan oleh Wertheim bahwa kaum Muslim di
Indonesia sebagai kaum “majority with a minority mentality”.2
Namun, berkat perjuangan yang tidak pernah mengenal lelah
label yang diberikan Samson dan Wertheim tersebut sejak awal
tahun 1990-an perlahan-lahan gugur dengan sendirinya. Politik
Islam di Indonesia hampir mendekati ke arah cita-cita yang
diharapkan, cita-cita yang diimpikan.
Hampir setiap sudut
panggung kekuasaan politik di Indonesia sudah ada di dalam
genggamannya. Tentu penulis sebagai seorang non-Muslim
sangat memberikan apresiasi atas keberhasilan yang dicapai
oleh teman-teman dari Muslim. Tulisan ini merupakan wujud
apresiasi penulis terhadap keberhasilan tersebut, sekaligus

sebagai ungkapan rasa kagum atas perjuangan, pergumulan
yang dilakukan tanpa mengenal lelah.
Mengingat begitu luasnya topik yang berkaitan dengan politik
Islam di Indonesia maka tulisan ini hanya membahas
perkembangan secara singkat politik Islam di Indonesia dari
masa Orde Baru sampai masa Post Suharto. Perkembangan
politik Islam masa pra-kemerdekaan sampai Orde Lama akan
dibahas secara singkat sebagai latar belakang untuk memahami
perkembangan politik Islam pada masa Orde Baru sampai masa
Post Suharto. Uraian tulisan ini dibagi ke dalam lima bagian.
Bagian pertama, membahas dinamika politik Islam pada masa
pra-kemerdekaan, kedua dinamika politik Islam pada masa
kemerdekaan sampai Orde Lama, ketiga dinamika politik Islam
masa awal Orde Baru sampai akhir tahun 1980-an, keempat

1

Artikel ini diterbitkan dalam sebuah buku yang diedit oleh
James P. Piscatori (ed.), Islam in the Political Process, (New York:
Cambridge University Press, 1983).

2

Lihat W. F. Wertheim, “Indonesian Moslems under Sukarno
and Suharto: Majority with Minority Mentality”, dalam B.B. Hering (ed.),
Studies on Indonesia Islam, ed. B.B. Hering, (Townsville: Occasional
Paper No. 19, Center for Southeast Asian Studies, James Cook
University, 1989):15-35.

5

dinamika politik Islam masa akhir 1980-an sampai tahun 1998,
dan kelima dinamika politik Islam pada masa post Suharto.

2. Masa Pra-Kemerdekaan
Banyak teori yang diajukan berkaitan dengan waktu datangnya
Islam ke nusantara. Seminar sejarah masuknya Islam ke
Indonesia yang diadakan di Medan pada tahun 1963
menyimpulkan bahwa Islam pertama kali masuk ke Indonesia
pada abad pertama Hijriah (abad ke 7/8 M) (Sjamsudduha
1987:22).

Namun rumusan ini masih merupakan hipotesa
sejarah belaka, karena tidak ada bukti kuat yang
mendukungnya.3
Terlepas dari perdebatan tentang awal mula Islam masuk ke
Indonesia, Islamisasi di nusantara sudah mulai terjadi sejak abad
ke 13.
Penyebaran Islam di nusantara menurut Ricklefs
berlangsung dalam dua proses:
Pertama, penduduk pribumi berhubungan
dengan
agama
Islam
dan
kemudian
menganutnya. Kedua, orang-orang asing Asia
(Arab, India, Cina, dll.) yang telah memeluk
agama Islam bertempat tinggal secara
permanen di suatu wilayah Indonesia,
3


Mengenai karangan-karangan yang membahas teori-teori
tentang kedatangan Islam di Indonesia lihat G. W. J. Drewes, “New
Light on the Coming of Islam to Indonesia?” BKI 124 (1968):433-459;
Ibrahim Buchari, Sejarah Masuknya Islam dan Proses Islamisasi di
Indonesia, (Jakarta: Publicita, 1971); Risalah Seminar Masuknya Islam
ke Indonesia, (Medan: Panitia Seminar, 1963). Mengenai kedatangan
Islam di Jawa lihat M. C. Ricklefs, “Six Centuries of Islamization in
Java,” dalam Conversion to Islam, Nehemia Levtzion, ed., (New York:
Holmes & Meier Publishers, inc, 1979):100-128; Azyumardi Azra,
Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII
dan XVIII: Akar Pembaharuan Islam Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2004): 1-19.

6

melakukan
perkawinan
campuran,
dan
mengikuti gaya hidup lokal sampai sedemikian

rupa, sehingga sebenarnya mereka itu sudah
menjadi orang Jawa atau Melayu atau anggota
suku lainnya (1994:3).
Dengan penguasaan cabang-cabang perdagangan India dan
Cina, Islam terus menyebar melalui pos-pos perdagangan di
nusantara dari abad ke-13 sampai abad ke-17. Perkembangan
Islam di Jawa juga dipengaruhi oleh perubahan situasi di pesisir
utara Jawa pada abad ke 14. Perkembangan pelabuhan dagang
di pesisir Jawa menyebabkan masyarakat pesisir lebih banyak
berhubungan dengan saudagar-saudagar Islam dari Melayu,
Arab, Gujarat dan Persia. Mereka (orang-orang Arab, India,
Cina) mulai menetap di kota-kota dekat pelabuhan di Jawa.
Melalui hubungan dagang, orang Jawa pesisir lebih banyak
mempunyai akses terhadap pengetahuan Islam, sehingga tidak
mengherankan kalau masyarakat Jawa pesisir sudah menjadi
Islam sekurang-kurangnya pada akhir abad ke-15. Pendapat ini
cukup berasalan karena selama pertengahan pertama abad ke16 banyak para adipati di pesisir utara Jawa –Banten, Cirebon,
Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya- memeluk Islam dan
melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit (Jay 1971:145; Geertz
1982:33). Sehingga Geertz menggambarkan kerajaan Majapahit

pada masa itu sebagai berikut: “. . . pada akhirnya (Majapahit)
hanya merupakan sebuah keraton tanpa daerah, sebuah rumah
upacara keagamaan yang kosong yang tidak lama kemudian
ambruk sama sekali” (1982:33).
Setelah melepaskan diri dengan Majapahit kota-kota pelabuhan
tersebut kemudian menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang becorak
Islam. Menjelang dasawarsa ketiga dari abad ke-16 Demak di
bawah Raden Patah berhasil mengungguli kerajaan-kerajaan
lainnya dan kemudian menjadi pusat atau dalam istilah Geertz
menjadi primus inter pares, dari seluruh peradaban Islam yang
baru tumbuh di daerah-daerah pesisir (Geertz 1982:33, Graaf
dan Pigeaud 2003:38-81).

7

Melalui kekuasaan Demak inilah Islam berkembang baik ke
wilayah Barat maupun ke wilayah Timur. Pada masa kekuasaan
Demak terbentuk pola hubungan antara institusi agama dengan
negara seperti yang pernah terjadi hubungan kekristenan dengan
negara di Eropa. Misalnya, Ambrosius berkeyakinan bahwa

kaisar dan pemerintah adalah prajurit Allah, pemerintah harus
mendukung gereja (End 1988:84).4
Di sisi lain sesudah
kekaisaran Romawi runtuh maka raja-raja baru (Jerman,
Perancis, Inggris) merasa berkuasa atas gereja dan merekalah
yang mengangkat para uskup-uskup (End 1988:125).
Meskipun tidak sama persis, pola hubungan agama dan negara
seperti tersebut di atas juga bisa ditemui di Kerajaan Islam
Demak. Imam Masjid Demak yang pertama Pangeran Bonang
diangkat oleh Pangeran Ratu di Demak (Graaf dan Pigeaud
2003:54), demikian juga berlaku bagi imam-imam berikutnya
(Makdum Sampang, Kiai Pambayun, Pengulu Rahmatullah)
sampai imam yang keempat yaitu Sunan Kudus.
Artinya
kedudukan para imam-imam pada waktu itu amat tergantung
pada raja-raja Demak, sebagai pelindung mereka (Graaf dan
Pigeaud 2003:57). Di sisi lain untuk mengukuhkan kehormatan
sekaligus
kekuasaan
maka

pemimpin
agama
juga
menganugerahkan gelar bagi raja dengan nama Sultan Ahmad
Abdu’l-Arifin, sebuah pengungkapan betapa tinggi nilainya gelar
Islam tersebut (Graaf dan Pigeaud 2003:57). Dalam tradisi politik
Islam, raja (penguasa) merupakan seorang “defender of faith”
(Jay 1971:146).
Setelah kematian Sultan Trenggono terjadi permusuhan di antara
keluarga Istana yaitu antara Arya Penangsang dan Adiwijaya
(Jaka Tingkir). Arya Penangsang berasal dari Jipang (terletak di
pertemuan antara Demak dengan Pati) dan Adiwijaya berasal
dari Pajang (terletak di Sukoharjo) (Marijan 1998). Permusuhan
4

Ketika kaisar Theodius mau menghukum orang-orang Kristen
yang membakar sinagoge orang Yahudi. Ambrosius menuntut pada
kaisar supaya mereka diampuni. Akhirnya Theodosius tunduk (End
1988:84).

8

ini akhirnya dimenangkan oleh Pajang. Adiwijaya kemudian
memindahkan ibukota kerajaan dari Demak ke wilayah
pedalaman Jawa.
Kerajaan Pajang ini menjadi akar dari
kerajaan “Islam” Mataram.
Pada waktu bangsa kolonial —pembawa Agama Katolik dan
Kristen— masuk ke nusantara, Islam sudah menyebar di
beberapa wilayah di Indonesia. Kehadiran bangsa kolonial
menjadikan Islam menjadi lebih penting dalam arti politik dari
pada dalam arti religius yaitu menjadi titik pusat identitas untuk
melawan penguasa Kristen dan asing (Benda 1980:30). Kontak
antara orang Islam Indonesia dengan Timur Tengah pada akhir
abad ke-19 juga telah mendorong timbulnya organisasi di
kalangan Islam baik yang bersifat keagamaan (Muhammadiyah,
Persatuan Islam) maupun yang bersifat ekonomi dan politik
(Syari’at Islam) pada aras urban.
Pada akhir penjajahan Jepang tahun 1945 Jawa sudah menjadi
Islam yang semakin dekat dengan cita-cita peradaban santri. Hal
ini disebabkan oleh kebijakan-kebijakan Jepang terhadap Islam
yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan kemajuan
Islam terutama menjelang kemerdekaan Indonesia. Kebijakankebijakan tersebut adalah: pembentukan Kantor Urusan Agama
(Shumubu); Madjlis Sjuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan
dibentuknya Hizbullah (Tentara Allah atau Golongan Allah).
Artinya menjelang kemerdekaan Indonesia kekuatan Politik Islam
sudah cukup menguat. Hal ini tampak pada cita-cita para tokoh
Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara yang
diperjuangkan pada perumusan dasar negara Indonesia sebelum
dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

3. Masa Kemerdekaan Sampai Orde Lama
Pada akhir masa penjajahan Jepang masyarakat kelompok elit
modern Indonesia terbagi dalam beberapa kelompok yaitu

9

kelompok Islam, Islam netral5 sering disebut dengan kelompok
nasionalis, komunis, dan Kristen. Masing-masing kelompok ini
mengusung ideologinya sendiri-sendiri.
Namun dalam
perjuangan ideologi negara, faksi-faksi ini bisa disederhanakan
menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menginginkan
Indonesia berdasarkan agama yaitu Islam dan kelompok yang
menginginkan Indonesia berdasarkan ideologi non-agama yaitu
kelompok nasionalis.
Perbedaan dua kelompok tentang dasar negara tampak ketika
bunyi sila pertama dari Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
dipersoalkan oleh kelompok Islam. Menurut kelompok Islam
pencantuman sila pertama tidaklah jelas, maka perlu ditambah
dengan kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya”. Tentu tambahan tujuh kata ini
kemudian menimbulkan perdebatan yang alot antara kelompok
nasionalis dengan kelompok Islam.
Untuk memecahkan
ketegangan tersebut maka dibentuk panitia 96 (Maarif 1985:107;
Boland 1985:27; Anshari 1997:28). Melalui pergumulan yang
sulit pada tanggal 22 Juni 1945 dicapai satu modus vivendi
dengan merumuskan suatu gentle agreement tentang
Pembukaan Undang-undang Dasar yang oleh Yamin dokumen
ini dinamakan Piagam Jakarta – The Jakarta Charter (Maarif
1985:107; Boland 1985:27; Anshari 1997:27-43). Ini berarti citacita kelompok Islam sampai pada detik ini terakomodasi dan bisa
dianggap sebagai kemenangan kelompok Islam.

5

Kelompok Islam yang tidak memperjuangkan Islam sebagai
dasar negara.
6

Disebut 9 karena terdiri dari 9 orang. Meskipun dianggap
mewakili semua kelompok namun bisa dikatakan bahwa kelompok
Islam lebih dominan.
Mereka itu adalah Soekarno (nasionalis);
Mohammad Hatta (Islam, nasionalis); A. A. Maramis (Kristen);
Abikoesno
Tjokrosoejiwo
(PSII);
Abdul
Kahar
Muzakkir
(Muhammadiyah); Haji Agus Salim (Islam); Achmad Soebarjo (Islam,
nasionalis); Abdul Wahid Hasjim (NU); Muhammad Yamin (nasionalis).

10

Kemenangan kelompok Islam ini berubah ketika pada tanggal 18
Agustus 1945 tepat sehari setelah Indonesia menyatakan
kemerdekaan-nya atas keberatan dari kelompok nasionalis dan
orang Kristen dari Indonesia bagian Timur tujuh kata dalam
Piagam Jakarta tersebut dihapus dari naskah pembukaan UUD
1945.7
Tentu dengan terjadinya peristiwa tersebut menjadikan sejumlah
kelompok Islam merasa dikhianati. Sebagaimana diungkapkan
oleh Anshari:
Segera setelah para nasionalis yang Islami
mengetahui bahwa, Indonesia merdeka, yang
turut mereka perjuangkan, bahkan berdasarkan
Piagam Jakarta pun tidak, maka “the majority of
the muslim population felt disappointed”
(1997:57).
Kekalahan ini oleh generasi Islam berikutnya dipandang sebagai
kekalahan dan kelemahan politik wakil-wakil umat Islam (Maarif
1985:109; Latif 2005:342-345). Natsir melihat keberatan orang
Kristen dari Indonesia Timur tersebut disebut sebagai ultimatum.
Menurut Natsir peristiwa itu tidak boleh dilupakan (Husaini
2002:59). Bentuk kekecewaan umat Islam pada keputusan
tersebut muncul ke permukaan dalam bentuk pemberontakan di
beberapa daerah dengan tujuan mendirikan negara Islam.
Misalnya, di Jawa Barat Kartosuwirjo pada tanggal 7 Agustus
1949 memproklamasikan Negara Islam Indonesia.
Kahar
Muzakar mengadakan pemberontakan di Sulawesi Selatan pada
tahun 1952 dan Daud Beure’eh memproklamasikan Negara Islam
di Aceh sebagai bagaian dari Negara Islam Indonesia yang
diproklamasikan oleh Kartosuwirjo. Namun pemberontakanpemberontakan ini justru melemahkan perjuangan politik Islam
7

Uraian lengkap peristiwa yang membahas peristiwa ini bisa
dibaca dalam Mohammad Hatta, Memoir, (Jakarta: Tintamas,
1978):454-457 dan Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni
1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia (1945-1949), (Jakarta: Gema Insani Press, 1997):50-58.

11

pada masa Orde Baru.
Karena berbagai pemberontakan
tersebut menjadikan Orde Baru selalu curiga terhadap Islam
politik.
Pada masa Pemilu 1955 jika dilihat dari perjuangan dasar negara
maka dari semua partai yang mengikuti Pemilu bisa dibagi dalam
tiga kubu yaitu: kubu Islam, Nasionalis, dan Sosial-ekonomi.
Pada masa ini lagi-lagi sebagian kubu Islam yang menginginkan
Indonesia berdasarkan Syariat Islam mengalami kekecewaan.
Hal ini disebabkan dalam Pemilu 1955 tidak ada satupun di
antara aliran-aliran pokok dalam masyarakat Indonesia yang
tampil sebagai pemenang. Sehingga dalam konstituante tidak
ada mayoritas tunggal.
Partai-partai Islam atau blok Islam yang memperjuangkan Islam
sebagai dasar negara yaitu Masjumi, NU, PSII, Perti, AKUI, PPTI,
Gerakan Pilihan Sunda, L.M.Idrus Effendi meraih 230 kursi.
Mereka harus berhadapan dengan Blok nasionalis yang
memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara yaitu PNI, PKI,
Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI, PRN, dll., meraih 274 kursi,
dan blok sosial-ekonomi memperoleh kursi 10.8
Dengan
perolehan kursi sebanyak 230 maka harapan blok Islam untuk
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara menjadi semakin
tidak realis. Hal ini terbukti ketika Konstituante yang sudah
terbentuk memulai sidangnya pada tanggal 10 November 1956 di
Bandung tidak bisa mencapai kata sepakat tentang masalah
rumusan dasar negara yaitu, Negara Pancasila atau Negara
Islam (Maarif 1984:75; Boland 1985:85; Anshari 1997:65-107).
Melihat kebuntuan ini, melalui dekrit tanggal 5 Juli 1959 Presiden
Sukarno menyatakan kembali ke UUD 1945 dan setelah ini
Indonesia memasuki masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin
(Maarif 1984:75; Anshari 1997:109-115).
Meskipun begitu
perjuangan menjadikan Islam sebagai dasar negara RI tidak
8

Pembagian blok berdasarkan pembagian yang dibuat oleh
Adnan Buyung Nasution dalam The Aspiration for Constitutional
Government in Indonesia: A Socio-legal Study of the Indonesian
Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992).

12

berarti sudah berakhir. Karena dalam setiap tahapan sejarah RI
selalu ada kelompok Islam yang berjuang untuk cita-cita tersebut.

4. Masa Awal Orde Baru sampai Akhir 1980-an
Harapan umat Islam untuk bisa ambil banyak bagian dalam
politik di Indonesia setelah ikut membantu menumpas pengikut
PKI pada awal pemerintahan Orde Baru tidak terwujud. Menurut
Facry Ali, hal ini disebabkan oleh warisan kesalahpamahan dari
pemerintah kolonial yang menganggap Islam sebagai sumber
pemberontakan dan munculnya berbagai pemberontakan
kelompok Islam seperti DI/TII (Nasution, Mindayun, Gesuri
1990:37), pemerintah Orde Baru cenderung fobi terhadap
gerakan politik umat Islam. Hubungan Islam dengan negara
pada masa ini (1967-1982) oleh Bakir disebut dengan periode
antagonistik.
Pada masa ini negara diselimuti mitos
pembangkangan umat Islam dan Islam sendiri masih kental
dengan corak politik ideologisnya (1996:108).
Islamic fobia dikalangan pemerintah baru ini diduga oleh
beberapa tokoh Islam juga disebabkan oleh kuatnya pengaruh
CSIS bagi kebijakan-kebijakan pemerintah Orde Baru terhadap
Islam. Sebagaimana disinyalir oleh beberapa tokoh Islam,
menguatnya militansi politik Islam pasca G-30-S PKI 1965 telah
mampu menyatukan gerakan politik Ali Moertopo dengan elit
Katolik-Cina seperti Harry Tjan Silalahi; Sofyan Wanandi dan
Jusuf Wanandi.9 Pada tahun 1971 mereka mendirikan sebuah
lembaga think-thank yang diberi nama CSIS (Center for Strategic
and International Studies) (Anderson 2000:250). CSIS menurut
tokoh Islam mempunyai pengaruh besar terhadap pemerintahan
Suharto lebih dari 15 tahun, dan mampu menciptakan
atmosphere bahwa musuh besar pemerintah adalah Islam
9

Secara informal, sejumlah warga negara keturunan Cina, seperti
Liem Bian-Kie, Harry Tjan Silalahi, dan Panglaykim, telah memberikan
pengaruh politik yang besar dari dalam kelompok kaki tangan Operasi
Khusus dari Ali Murtopo (Anderson 2000:250, catatan kaki no. 52).

13

(Suhadi 2002). Sehingga Effendy berpendapat bahwa, “Faktor
Kristen dalam politik Indonesia muncul secara agak mencolok
pada dua puluh tahun pertama kekuasaan Orde Baru” (1999:138139).
Fusi partai-partai Islam ke dalam PPP pada tahun 1973 juga
dianggap sebagai penciutan kekuatan Islam dalam bidang
politik.10 Bisa dikatakan bahwa pada awal kekuasaan Suharto
yang mendapat posisi penting adalah orang-orang Islam dari
kubu sekuler dan kalangan Kristen.
Sebagaimana politik
Belanda yang lebih memberi kesempatan kepada aristokrat Jawa
untuk menduduki posisi-posisi penting di birokrasi, pemerintah
Orde Baru juga melakukan hal yang sama. Sehingga pada awal
Orde Baru Kebatinan justru memperoleh kemajuan dengan
kepemimpinan militer yang berlatar Jawa abangan. Seperti yang
dinyatakan oleh Indonesianis Wertheim bahwa:
After General Suharto seized power, it became
increasingly clear that he wanted to keep the
stricker Muslims in check. Within the Army
leadership, the Javanese abangan element is
strongly predominant, even so more so than in
the Sukarno period (1974:93).
Umat Islam yang sudah terpinggirkan dalam panggung politik ini
menjadi semakin kecewa ketika MPR yang terbentuk dari hasil
Pemilu 1971 pada tahun 1973 berdasarkan GBHN Tap. MPR RI
No IV/MPR/1973/22 Maret, menetapkan kebatinan mendapat
pengesahan secara hukum dan disejajarkan dengan agama10

Pada Pemilu 1971 terdapat 10 kontestan partai politik yaitu:
Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Katolik, Perti, IPKI, dan
Murba. Faksi-faksi kelompok partai politik ini kemudian disederhanakan
menjadi dua partai yaitu (1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
merupakan penggabungan partai-partai Islam NU, Parmusi, PSII, dan
Perti, (2) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan penggabungan
partai-partai nasionalis dan Kristen yaitu PNI, Parkindo, Katolik, Perti,
IPKI, dan Murba. Penyederhanaan ini sesuai dengan UU No. 3 Tahun
1975 tentang Partai Politik dan Golkar.

14

agama lainnya (Subagya 1989:124), sehingga Hefner melihat hal
ini sebagai perlawanan MPR terhadap Islam terorganisir
(2001:150).
Sampai tahun 1973 proses abangisasi pada
birokrasi kekuasaan baik pada sipil maupun militer boleh
dikatakan cukup berhasil. Salah satu tujuan abangisasi ini
adalah untuk mengimbangi kekuatan politik Islam. Kekuatan
politik Islam oleh ORBA dipandang sebagai ancaman kedua yang
patut diperhitungkan setelah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Perubahan posisi Politik Islam di Indonesia mulai terjadi pada
akhir tahun 1970-an. Hal ini disebabkan oleh kebangkitan secara
menyeluruh (holistic revival) yang terjadi di kalangan Islam pada
akhir 1970-an. Seperti bagian-bagian dunia Islam lainnya,
Indonesia mengalami kebangkitan Islam pada akhir tahun 1970an. Kebangkitan ini bukan hanya terjadi ditingkat urban tetapi
juga di daerah-daerah yang dulunya merupakan kantong
kejawen.11 Hefner menyatakan:
. . . para antropolog dan wartawan melaporkan
bahwa Islam normatif membuat kemajuan besar
di daerah-daerah yang pernah menjadi basis
nasionalisme sekuler, sementara kejawen
mengalami penurunan (2001:156 bnd. Kim
1998, Pranowo 1993).

11

Hefner menyatakan bahwa “usaha meningkatkan pendidikan
tinggi juga dibarengi program yang mengesankan, yaitu pembangunan
infrastruktur yang disponsori Departemen Agama, yang fokus utamanya
adalah membangun Masjid, mushola, dan madrasah terutama di
daerah-daerah
yang
komitmen
keislamanya
masih
lemah.
Pembangunan masjid di Jawa Timur dan Jawa Tengah menampakkan
peningkatan yang pesat. Di Jawa Timur jumlah masjid meningkat dari
15.374 buah pada tahun 1973 menjadi 17.750 buah pada tahun 1979,
pad tahun 1984 meningkat menjadi 20.648 buah, dan pada tahun 1990
meningkat menjadi 25.655 buah” (2001:215).

15

Daerah-daerah yang dulunya mengalami konversi ke Hindu dan
Kristen pada masa 1990-an mulai banyak yang kembali ke
Islam.12
Di tingkat kelas menengah Islam juga berkembang sangat
signifikan.
Pada tahun-tahun 1950-an dan awal 1960-an
universitas-universitas negeri di Indonesia menjadi benteng
kelompok nasionalisme sekuler, sedangkan komunitas santri
adalah faksi yang lemah di organisasi-organisasi mahasiswa
(Hefner 2001:218). Bahkan Nurcholish Madjid mengatakan
bahwa “Pada tahun 1950-an kalau ada mahasiswa sholat ia
diejek teman-temannya . . . (Nasution, dkk., 1990:35). Akan
tetapi, hal ini menjadi berbeda ketika pada akhir tahun 1970-an
berkembang dengan cepat sebuah gerakan ibadah kampus yang
diberi nama Gerakan Salman (Hefner 2001:218). Gerakan ini
mulanya dikembangkan di Masjid Salman Institut Teknologi
Bandung (ITB). Kemudian pada awal tahun 1980-an gerakan ini
telah menjadi ciri kehidupan kampus hampir di setiap universitas
di Indonesia (Hefner 2001:219) misalnya: Institute Pertanian
Bogor (IPB) dengan Al-Ghifari; Universitas Gadjah Mada (UGM)
dengan Shalahuddin-nya (Marijan 1998).
Gerakan ini
membangkitkan kesadaran Islam di tengah-tengah lingkungan
anak-anak muda khususnya mahasiswa dan di lingkungan
menengah kota (Howell 2001:710).
Di sisi lain menurut Nurcholish Madjid sejak awal 1980-an telah
terjadi ledakan intelektual Islam yang disebabkan sejak tahun
1950 yaitu sejak dimasukkan kurikulum agama dalam sekolah
umum banyak kalangan santri yang memasukkan sekolah anakanaknya ke sekolah umum, sehingga pada tahun 1962 atau 1963
banyak terjadi lonjakan jumlah santri yang masuk universitas.
Maka setelah enam atau tujuh tahun kemudian, mereka menjadi
boom sarjana Islam yang pertama (Nasution, dkk., 1990:35).
Demikian juga Dawam Rahardjo mengatakan bahwa pada tahun
1980-an bermunculan penyandang Ph.D., seperti Amien Rais,
12

Peralihan dari Hindu ke Islam bisa dilihat dalam studi Beatty
(2001) yang dilakukan di daerah Banyuwangi.

16

Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, dimana komitmen mereka
terhadap Islam sangat kuat (Nasution, dkk., 1990:35). Berkat
pendidikan modern yang mereka peroleh, mereka mampu
mengembangkan kecakapan baik intelektual maupun profesional
mereka.
Hal ini melahirkan suatu proses yang disebut
embourgeisement atau priyayisasi kaum santri (Anwar 1994:33).
Pada tahun 1980-an para lulusan ini menduduki jabatan
menengah di birokrasi, mereka melakukan perubahan dari
dalam, sehingga mendorong terjadinya Islamisasi di kalangan
para birokrat (Anwar 1994:33). Gelombang umat Islam yang
belajar keluar negeri menurut Marwah Daud Ibrahim telah
mengubah image Islam. Islam itu universal, sangat terbuka,
kosmopolit bukan image seperti Islam itu sarungan, Islam itu
fanatik (Nasution, dkk., 1990:31). Seperti yang dikatakan oleh
Anwar:
Bertahap namun pasti, predikat atau olok-olok
yang ditujukan kepada kalangan santri sebagai
“kaum sarungan”, atau tesis Wertheim yang
pernah mengemukakan bahwa kaum muslimin
Indonesia tidak lebih dari majority with a
minority complex gugur dengan sendirinya
(1994:33).
Demikian juga hasil observasi Schwarz menyatakan bahwa “No
longer is Islam seen as the opiate of the unducated and
economically deprived” (1994:74).13
Kebangkitan Islam pada bagian akhir tahun 70-an dan 80-an
tersebut berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah14
yang cenderung mengakomodasi aspirasi umat Islam. Hal yang
13

Lihat Howard M. Federspiel, “Muslim Intellectuals and
Indonesia’s National Development,” Asian Survey XXXI:3 (March
1991):232-246; R. Murray Thomas, “The Islamic Revival and Indonesian
Education,” Asian Survey XXVIII:9 (September 1988):897-914.
14

Keputusan No. 70 tahun 1978 tentang Pedoman Penyiaran
Agama dan keputusan tentang Bantuan Luar Negeri kepada lembaga
keagamaan di Indonesia dengan No. 77 tahun 1978.

17

sebelumnya sangat jarang terjadi. Ini merupakan sebuah tanda
bahwa kekuatan politik Islam sudah mulai tampak dalam birokrasi
pemerintahan sejak tahun 1980-an.

5. Akhir 1980-an sampai 1998
Jika pada tahun 1970-an Suharto sangat berhati-hati terhadap
Islam, namun pada akhir 1980-an Suharto dengan para
pembantunya mulai merangkul kalangan Muslim dan
meninggalkan mereka yang non-Muslim dan abangan. Hal ini
disebabkan dukungan dari pihak militer untuk mengokohkan
kekuasaannya sudah mulai melemah (ICG 2001:12; Ramage
2002:139). Seperti yang diamati oleh Bruinessen bahwa sejak
1987 Soeharto terlibat konflik terbuka dengan sang Jenderal
Beny Moerdani seorang tokoh militer Katolik yang sangat
berpengaruh (1999:311). Pada awal tahun 1980-an pengaruh
dan peranan politik CSIS juga mulai merosot. Hal ini tampak
pada Munas III Golkar tahun 1983, kelompok Tanah Abang
hanya mendapat dua kursi, sedangkan Sudarmono atas
rekomendasi Suharto terpilih sebagai ketua Golkar periode 19831988 (Suhadi 2002; Bruinessen 2002). Di bawah kepemimpinan
Sudharmono, Golkar secara intensif melakukan pendekatan
dengan Ormas-ormas Islam. Tahun-tahun setelah ini merupakan
tahun-tahun rujuknya pemerintah dengan kelompok Islam, yang
ditandai dengan semakin akomodatif-nya pemerintah terhadap
kepentingan Islam. Sikap akomodatif pemerintah ini ditunjukkan
dengan diberlakukannya dua Undang-undang pada tahun 1989
yaitu Undang-undang Peradilan Agama dan Sistem Pendidikan
Nasional.
Kasus Monitor juga merupakan pertanda baik
hubungan Islam dengan pemerintah.
Puncak bulan madu antara pemerintah dengan Islam terjadi pada
tahun 1990 yaitu ketika Presiden Suharto pada tanggal 6
Desember 1990 memukul bedug sebagai tanda secara resmi
dibukanya Kongres Nasional I ICMI di Malang Jawa Timur.
Feillard menyebut peristiwa ini sebagai “puncak rujuknya antara
pemerintah dengan Islam politik” (1999:400). Pendirian ICMI ini

18

mempunyai dampak besar terhadap wacana politis maupun
ideologis pada tahun 1990-an (Ramage 2002:134).15
Bulan madu Islam dengan pemerintah ini menghantarkan
beberapa kebijakan pemerintah yang mengadopsi aspirasi umat
Islam.
Misalnya, sejak dikeluarkan SK Dirjend Dikdasmen
052/C/Kep/D/1982 siswi Muslimah dilarang memakai seragam
sekolah dengan menggunakan Jilbab, namun pada tahun 1990
banyak protes dilakukan atas kebijakan tersebut, maka pada
tahun 1991 jilbab diijinkan. Dalam kabinet pemerintahan yang
baru, yang dibentuk setelah pemilu 1992, menteri-menteri Kristen
yang sudah lama mengendalikan departemen-departemen
keuangan diganti dengan menteri-menteri Muslim yang punya
hubungan dengan ICMI. Pada tahun 1993 SDSB ditutup atas
desakan dari Umat Islam.
Demikian juga Suharto untuk
meyakinkan komitmennya terhadap Islam maka pada tahun 1991
dengan keluarganya naik haji ke Mekkah.
Pada waktu krisis ekonomi melanda Indonesia pada tahun 1997,
akhirnya Suharto tidak bisa mempertahankan sebagai orang
nomor satu di Republik Indonesia sehingga pada tanggal 21 Mei
1998 dia menyerahkan kekuasaanya pada Habibie.

6. Post Suharto
Setelah mengalami pembungkaman selama bertahun-tahun di
bawah kekuasaan Suharto, politik Islam berkembang dengan
begitu pesatnya pada masa post Suharto. Pada masa ini politik
Islam boleh dikatakan telah mencapai titik pijak yang sangat kuat
di Indonesia. Politik Islam bangkit, kebangkitan tersebut ditandai
15

Lihat pembahasan secara mendetail tentang sejarah berdirinya
ICMI pada Tempo 8 Desember 1990; Robert W. Hefner, “Islam, State,
and Civil Society: ICMI and The Strggle for the Indonesian Middle
Class,” Indonesia 56 (October 1993):1-35. Diterjemahkan ke dalam
Bahasa Indonesia dengan judul ICMI dan Perjuangan menuju Kelas
Menengah Indonesia, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995); Civil Islam:
Islam dan Demokratisasi di Indonesia, (Yogyakarta: ISAI, 2001):225280

19

oleh beberapa fenomena yang hampir tidak muncul ke
permukaan pada masa Orde Baru yaitu:
Pertama, kegairahan pembentukan partai politik Islam. Pada
masa Suharto dikeluarkan dua kebijakan berkaitan dengan partai
politik yaitu: (1) Undang-undang No. 3 tahun 1975 tentang Partai
Politik dan Golkar. Undang-undang ini membatasi pembentukan
partai politik baru di Indonesia. (2) Pada tahun 1985 ditetapkan
Undang-undang Azas Tunggal Pancasila No. 8. Pokok dari
undang-undang ini adalah bahwa setiap oranisasi politik, sosial
maupun keagamaan harus menggunakan Pancasila sebagai
dasar ideologi.
Artinya bahwa setiap partai politik harus
menggunakan Pancasila sebagai dasar negara, tidak ada asas
lain kecuali Pancasila. Situasi seperti ini menjadi berubah
setelah Suharto turun dari kekuasaannya. Setelah menggantikan
Suharto sebagai presiden RI, B.J. Habibie memberi ijin untuk
terbentuknya partai politik baru. Jika dibandingkan dengan
kelompok agama lain maka sebagian besar dari partai politik
baru tersebut berasal dari kelompok Islam. Menjelang PEMILU
1999 sudah terdapat 35 buah partai Islam yang mendaftarkan diri
ke Departemen Kehakiman dan setelah diadakan seleksi oleh
Tim sebelas yang lolos sebagai kontestan PEMILU 1999 sebesar
20 partai Islam dari 48 partai politik. Pada pemilu 2004 jika dilihat
bukan hanya dari asas yang dipakai tetapi juga simbol, nama,
dan basis masa pendukung maka terdapat tujuh partai politik
yang boleh dikatakan sebagai wakil dari partai politik Islam yaitu:
Partai Persatuan Pembangunan, Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah
Indonesia, dan Partai Bintang Reformasi. Kelima partai tersebut
berasaskan Islam. Dua partai yang mengandalkan basis masa
pendukung dari umat Islam yaitu Partai Amanat Nasional dari
Muhammadiyah dan Partai Kebangkitan Bangsa dari NU. Hasil
perolehan suara partai politik Islam pada Pemilu post Suharto jika
dibandingkan dengan pemilu sebelumnya sebagai berikut:

20

Berdasarkan grafik di atas pada masa pasca Suharto partai Islam
mendapat suara yang cukup signifikan pada pemilu 1999
memperoleh 35,5% dari total suara yang masuk dan pada pemilu
2004 memperoleh 38,35% dari total suara yang masuk.
Lonjakan perolehan suara pada pemilu 2004 didapat Partai
Keadilan Sejahtera, pada pemilu 1999 Partai Keadilan hanya
memperoleh 1,36% suara sedangkan pada pemilu 2004
Persentasi Perolehan Suara Partai Politik Islam
Dari Tahun 1955-2004

50.00%

43.72%
38.35%
35.50%

40.00%
29.29%27.78%
27.12%
25.97%

30.00%

22.43%
17.01%

20.00%
10.00%
0.00%
1955

1971

1977

1982

1987

1992

1997

1999

2004

melonjak menjadi 7,34%.
Kedua, maraknya gerakan Islam garis keras. Masa paska
runtuhnya pemerintahan Suharto mulai muncul berbagai
organisasi Islam radikal. Para pemimpin Islam radikal yang
sempat mengungsi ke luar negeri pada zaman Suharto, pada
masa runtuhnya rezim Suharto mulai berdatangan kembali ke
Indonesia. Ciri khas dari gerakan Islam radikal adalah sifat
intoleransi dalam melihat the others. Kelompok ini sangat
eksklusif baik dalam pergaulan sosial mereka sehari-hari maupun
dalam teologi mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar
Buchori (1986) bahwa:
Justifikasi radikal sering dilontarkan oleh
masyarakat karena biasanya para pengikut
Islam radikal bersikap intoleran, baik berupa

21

fundamentaalistik-intoleran, ekstrim-intoleran,
maupun militan-intoleran (dikutip oleh Fananie,
Sabardila, dan Purnanto 2002:13).
Bahkan menurut Khaled Abou El Fadl seorang Profesor Hukum
Islam di Fakultas Hukum UCLA, Amerika Serikat bahwa
kelompok puritan ini biasanya tidak hanya puas menjalani hidup
menurut tuntutan doktrin keagamaan yang mereka yakini, tetapi
secara aktif juga tidak puas dengan semua alternatif jalan hidup
yang lain (2003:21). Lebih lanjut El Fadl mengatakan bahwa:
”mereka tidak sekedar berupaya memberdayakan diri, tetapi juga
secara agresif berusaha melemahkan, mendominasi, atau
menghancurkan orang lain” (2003:21).
Kelompok Muslim radikal yang dibentuk sekitar kejatuhan
Suharto misalnya Front Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
(FKASWJ) yang dikenal dengan Laskar Jihad-nya; Front
Pembela Islam (FPI); Majelis Mujahidin Indonsia (MMI), Jamaah
al-Ikhwan al-Muslimin Indonesia (JAMI) dan Jamaah Islamiyah
(JI).16
Meskipun wilayah dan cara kerjanya berbeda namun organisasi
Islam radikal mempunyai tujuan, goal yang sama yaitu
mendirikan Daulah Islamiyah dan penegakkan syari’ah Islam di
Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya.

16

Fenomena gerakan Islam radikal paska runtuhnya Suharto
tidak akan dibahas secara detail. Banyak buku dan artikel yang telah
membahas gerakan ini. Untuk tingkat internasional misalnya: Oliver
Roy, Geneaologi Islam Radikal, (Yogyakarta: Genta Press, 2005), untuk
Indonesia baca Endang Turmudi, Riza Sihbudi, eds., Islam dan
Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI Press, 2005), Martin van
Bruinessen, ”Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto
Indonesia”
dalam
http://www.let.uu.nl/~martin.vanbruinessen/personal/publications/geneal
ogies_islamic_radicalism.htm, untuk tingkat lokal baca Zainuddin
Fananie, Atiqa Sabardila, dan Dwi Purnanto, Radikalisme Keagamaan
& Perubahan Sosial, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2002).

22

Ketiga, menguatnya kembali perjuangan untuk menegakkan
syariat Islam di Indonesia. Pasa masa Suharto isu tentang
Piagam Jakarta tabu untuk dibicarakan, namun kini perjuangan
penegakkan syariat Islam mulai marak kembali. Perjuangan ini
terutama dilakukan oleh kelompok Islam radikal dan cita-cita ini
menjadi ciri khas perjuangan Politik Islam Post Suharto. Gerakan
Islam yang memperjuangkan syariat Islam di Indonesia bertindak
dalam dua pola: (1) pola kekuasaan politik yaitu dengan cara
melakukan lobi-lobi kekuasaan (DPR, MPR, dan partai politik)
dan (2) pola kultural menuju kekuasaan yaitu dengan cara
dakwah di masyarakat dengan strategi menguasai masyarakat
terlebih dahulu kemudian mengislamkan kekuasaan (Zada
2002:32).
Pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 44 tentang
penyelenggaraan keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh
sebagai awal pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, kemudian
disusul tuntutan penegakan syariat Islam di beberapa daerah di
Indonesia misalnya Sulawesi Selatan, Riau, Banten, Cianjur,
Tasikmalaya, Kebumen, Indramayu, Pamekasan, dan lain-lain.17

7. Kesimpulan
Kiprah politik Islam di panggung kekuasaan Indonesia banyak
mengalami pasang surut. Masa awal Orde Baru sampai akhir
tahun 1980-an bisa dikatakan bahwa politik Islam di Indonesia
banyak berada di luar arena kekuasaan. Keadaan seperti Situasi
ini mulai mengalami perubahan pada akhir tahun 1970-an, hal ini
disebabkan oleh kebangkitan secara menyeluruh (holistic revival)
yang terjadi di kalangan Islam pada akhir 1970-an. Kebangkitan
Islam pada bagian akhir tahun 70-an dan 80-an tersebut
berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang
cenderung mengakomodasi aspirasi umat Islam.

17

Lihat Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik
Syariat Islam: Dari Indonesia hingga Nigeria, (Jakarta: Alvabet, 2004).

23

Pada akhir 1980-an Suharto dengan para pembantunya mulai
merangkul kalangan Muslim, puncak bulan madu antara
pemerintah dengan Islam terjadi pada tahun 1990 yaitu ketika
Presiden Suharto pada tanggal 6 Desember 1990 memukul
bedug sebagai tanda secara resmi dibukanya Kongres Nasional I
ICMI di Malang Jawa Timur. Pendirian ICMI ini mempunyai
dampak besar terhadap wacana politis maupun ideologis pada
tahun 1990-an. Namun bulan madu tersebut tidak berlangsung
lama karena kemudian Suharto turun dari kekuasaannya.
Pada masa post Suharto bermunculan partai politik yang
berasaskan Islam yaitu: Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Keadilan Sejahtera, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan
Nahdlatul Ummah Indonesia, dan Partai Bintang Reformasi. Ciri
khas perjuangan Politik Islam Post Suharto banyak ditandai
dengan keinginannya untuk memberlakukan Syariat Islam di
Indonesia.

24

Daftar Pustaka:
Anderson, Benedict R. O’G
2000
Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di
Indonesia. Revianto Budi Santoso, trans.
Yogyakarta: Mata Bangsa. (Asli: Language and
Power: Exploring Political Cultures in Indonesia,
Ithaca, New York, 1990).
Anshari, Endang Saifuddin
1997
Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus
Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia
(1945-1949). Jakarta: Gema Insani Pers.
Benda, J.
1980

Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia
Pada Masa Pendudukan Jepang. Jakarta: Pustaka
Jaya. (Asli The Crescent and the Rising Sun:
Indonesian Islam Under the Japanese Occupation
1942-1945. Den Haag: van Hoeve, 1958).

Boland, B. J.
1985
Pergumulan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grafiti
Pers.
Bruinessen, Martin van
1999
Rakyat Kecil, Islam dan Politik (Bab 7: Negara Islam
atau Islam Negeri? Lima Puluh Tahun Hubungan
Islam-Negara di Indonesia. Yogyakarta: Bentang.
End, Van Den
1988
Harta Dalam Bejana: Sejarah Gereja Ringkas.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Fadl, Khaled Abou El
2003
“Toleransi dalam Islam.” Cita dan Fakta Toleransi
Islam: Puritanisme versus Pluralisme. Bandung:

25

Arasy.
Fananie, Zainuddin, Atiqa Sabardila, dan Dwi Purnanto
2002
Radikalisme Keagamaan & Perubahan Sosial.
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Feillard, Andrée
1999
NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan
Makna. Yoyakarta: LKiS.
Geertz, Clifford
1982
Islam yang Saya Amati: Perkembangan di Maroko
dan Indonesia. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Graaf, H.J. De & Th. Pigeaud
2003
Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah
Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: Grafiti dan KITLV.
Hefner, Robert W.
2001
Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: ISAI.
Jay, Robert R.
1971
“History and Personal Experience Religious and
Political Conflict in Java.” Dalam Religion and
Change in Contemporary Asia. Minneapolis:
University of Minnesota Press.
Latif, Yudi
2005

Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Inteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20.
Bandung: Mizan, 2005.

Maarif, Ahmad Syafii
1985
Studi tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam
dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.
McVey, Ruth

26

1983

“Faith as the Outsider: Islam in Indonesia Politics.”
Dalam Islam in the Political Process. J.P. Piscatori,
ed. Hal. 199-225.

Pranowo, M. Bambang
1993
“Partai Politik dan Islamisasi di Pedesaan Jawa.”
Dalam Pembangunan dan Kebangkitan Islam di
Asia Tenggara. Saiful Muzani, ed. Hal. 178-195.
Jakarta: LP3ES.
Ramage, Douglas E.
2002
Percaturan Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam,
dan Ideologi Toleransi. Terj. Hartono Hadikusumo.
Yogyakarta: Mata Bangsa. (Asli Politics in
Indonesia: Democracy, Islam and The Ideology of
Tolerance. London: Routledge, 1995).
Ricklefs, M.C.
1994
Sejarah Indonesia Modern. Terj. Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press. (Asli: 1981.)
Samson, Allan
1978
“Conception of Politics, Power, and Ideology in
Contemporary Indonesian Islam.” Dalam Political
Power and Communication in Indonesia. Diedit oleh
Karl Jackson and Lucian Pye. Berkeley: University
of California Press.
Schwarz, Adam
1994
A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990’s.
Australia: Allen & Unwin.
Sjamsudduha
1987
Penyebaran dan Perkembangan Islam, Katolik,
Protestan di Indonesia. Surabaya: Usaha Nasional.
Wertheim, W.F.

27

1974

“Islam Before and After the Elections.” Dalam
Indonesia after the 971 Ellections. Oey Hang Lee,
ed. Hal. 88-96. Kuala Lumpur: Oxford University
Press.

Wertheim, W. F.
1989
“Indonesian Moslems under Sukarno and Suharto:
Majority with Minority Mentality.” Dalam Studies on
Indonesia Islam. Diedit oleh B.B. Hering. Townsville:
Occasional Paper No. 19, Center for Southeast
Asian Studies, James Cook University.
Jurnal
Anwar. M. Syafi’I
1994
“Membaca Dialektika Politik Akomodasi Islam dan
Negara dalam Orde Baru.” Bina Darma 12:46
(September):25-38.
Effendy, Bahtiar
1999
“Pandangan Keagamaan dan Politik Islam Terhadap
Keterkaitan Antara Kolonialisme dan Kristenisasi.”
Unisia 40:XXVI:IV.
Howell, Julia Day
2001
“Sufism and the Indonesian Islamic Revival.” The
Journal of Asian Studies 60:3 (August):701-729.
Husaini, Adian
2002
“Syariat Islam di Indonesia: Problem Masyarakat
Muslim Kontemporerl.” Tashwirul Akar 12:57-73.
Kim, Hyung Jun.
1998
“Unto You Your Religion and Unto Me My Religion:
Muslim-Christian Relations in a Javanese Village's.”
Sojourn 13 (1):62-85.
Internatioanal Crisis Group
2001
“Indonesia: Violence and Radical Muslims.”

28

Indonesia Briefing (10 October):1-18.
Zada, Khamami
2002
“Wacana Syariat Islam: Menangkap Potret Gerakan
Islam di Indonesia.” Tashwirul Afkar (12):27-38.
Website
Marijan, Kacung
1998
“Islamization of Java: From Hindu-Buddhist
Kingdoms to New Order Indonesia.” Jurnal Studi
Indonesia 8, no. 2 (Agustus). Online. Internet.
(http://psi.ut.ac.id). Akses 8 Mei 2002.
Suhadi
2002

“Kontestasi Islam-Kristen Paska Institusionalisasi
Agama-agama di Indonesia.” LKiS Online Edisi II.
Online. Internet
http://news.lkis.org/arsip2/gagas.php. Acessed
4/29/02.

Majalah
Nasution, Amran, dkk.
1990
“Setelah Boom Sarjana
Desember):34-37.

29

Islam.”

Tempo

(8

Sukamto dilahirkan pada tanggal 16 Juli
1968 di sebuah desa terpencil bernama
Trisobo,
wilayah
Kecamatan
Boja,
Kabupaten
Kendal,
Jawa
Tengah.
Menempuh pendidikan dasarnya di SDN
Trisobo. Pendidikan menengah pertama
ditempuh di SMPN Kebun Merbuh, Kendal;
Kemudian melanjutkan di SMEA YPPM
Boja, Kendal. Pendidikan Teologi ditempuh
di STT PESAT, Salatiga (1987-1991) meraih
Diploma 3 Misiologi; Institut Theologia Solo
(INTHEOS) (1991-1992) meraih gelar
Sarjana Theologia (S.Th.); Asian Center for
Theological Studies and Mission (ACTS), Seoul Korea (1994-1996)
dengan gelar Master of Divinity (M.Div.). Meraih gelar Doctor of
Theology (Th.D) in Mission pada Konsorsium Program Pascasarjana
Kristen (KPPK) bekerja sama dengan Fuller Theological Seminary,
School of Intercultural Studies (SIS), dengan menulis disertasi
Ketegangan Yang Tiada Pernah Berakhir: Pola Hubungan yang
Mengubah dan Berubah Antara Islam dengan Kristen di Indonesia Dari
Tahun 1966 sampai Tahun 2005. Menikah dengan Rinna Handajani
pada tanggal 25 Agustus 1996 dikaruniai dua orang putri bernama
Adilla Charisma Sukamtoputri dan Florencia Nuhoni Trah Utami.
Mengajar di beberapa Sekolah Tinggi Teologi di Jawa Tengah (STT
PESAT Salatiga; STT INTHEOS Solo; STT NUSANTARA Salatiga; STT
EFATA Salatiga) dari tahun 1996-1999. Tahun 2000 hijrah ke Bandung
bekerja bagi Institute for Community and Development Studies (ICDS).
Tahun 2004 menjadi pengajar purna waktu di Institut Teologi Indonesia
(INTI) Bandung. Sejak tahun 2006 menjabat Pembantu Rektor II.
Menulis beberapa artikel populer yang dimuat di Majalah Bahana,
misalnya: Sekuler Humanisme; Pendidikan dan Kaum Miskin; Gereja
Korea Mundur di Tengah-tengah Kesuksesan; dan Ibadah dan
Keadilan. Karya ilmiah diterbitkan oleh Jurnal Pelita Zaman, Jurnal
Studi Pembangunan dan Kemasyarakatan, dan Jurnal Transformasi.
Menjadi co-editor dan penulis buku Misi Holistis, penulis buku
Pendekatan Kuantitatif Untuk Penelitian Keagamaan dan Rahasia
Keberhasilan Gereja di Korea.

30