Kearifan Lokal Masyarakat Baduy docx

Kearifan Lokal Masyarakat Baduy
Nico Fergiyono

12413244014

Hilyatul Jannah

12413244xxx

Nurizal Ikrar L

12413244xxx

Mince

12413249xxx

Jurusan Pendidikan Sosiologi
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Yogyakarta
ABSTRAK

Baduy, adalah nama dari sebuah suku yang berada di provinsi banten, baduy adalah
salah satu suku yang masih menjaga erat nilai dan norma serta tradisi atau adat istiadat
masyarakatnya. Suku baduy termasuk salah satu suku yang terisolir yang ada di Indonesia,
masyarakat baduy sengaja mengasingkan diri, mereka hidup mandiri dengan tidak
mengharapkan bantuan dari orang luar, mereka mengasingkan diri dan menutup diri dengan
tujuan menghindar dari pengaruh budaya luar yang akan masuk.
Suku baduy sangat menjaga kelestarian alam yang mereka huni, mereka selalu
menjaga dan merawat alam supaya dapat terus dikelola dengan baik, sehingga dapat
memberikan hasil panen yang cukup dan melimpah untuk menghidupi kebutuhan hidup
mereka, mereka tidak ingin merusak kelestarian alam yang ada.
Ditengah-tengah gempuran modernitas dan globalisasi saat ini, suku baduy berusaha
untuk menjaga nilai-nilai budaya dasar yang dimiliki dan diyakininya. Kearifan lokal yang
diterapkan dimasyarakat baduy memberikan banyak pelajaran berharga untuk masyarakat
kita yang sudah banyak sekali termakan oleh modernitas, oleh karena itu banyak sekali baik
individu atau kelompok yang datang dan berkunjung ke suku baduy baik untuk melihat
keindahan alam, maupun belajar akan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dimasyarakat suku
baduy. Hebatnya lagi adalah kemampuan suku baduy untuk bisa mempertahankan
kebudayaanya dari kebudayaan-kebudayaan luar yang masuk melalui para pengunjung yang
datang.
Kata kunci: Suku Baduy, Kearifan Lokal, Modernitas.


1. Latar Belakang
Suku baduy, terletak di desa Kanekes terletak di gunung Kendeng yang
sebagian wilayahnya adalah hutan. Wilayah ini termasuk kedalam Propinsi Banten,
tepatnya di Kabupaten Lebak Kecamatan Leuidamar. Kelompok masyarakat Adat
Sunda tersebut terdiri dari Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam, keduanya samasama tinggal di desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Provinsi Banten. Suku Baduy
sudah sekian lama mendiami desa tersebut.
Sebutan kata Baduy untuk masyarakat desa Kanekes sebenarnya bukan dari
mereka sendiri tetapi masyarakat luar yang menyebutnya sehingga lama kelamaan
menjadi sebutan bagi mereka, orang Belanda menyebut mereka dengan sebutan
Badoe’i, Badoej, Badoewi, Urang Kanekes, dan Rawayan, (Garna 1992; 2)
Kondisi alam suku baduy terdiri dari bukit-bukit yang tersusun berjajar,
sehingga untuk berjalan dari satu desa ke desa lainya membutuhkan waktu dan tenaga
yang cukup banyak, apalagi jarak antara desa satu dan desa yang lain jaraknya cukup
jauh. Masyarakat suku Baduy sangat mematuhi aturan adat mereka, mereka dilarang
menggunakan kendaraan dan menggunakan listrik, serta berbagai aturan-aturan adat
lainya, oleh karena itu, masyarakat baduy sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
kearifan lokal masyarakatnya.
Kearifan lokal masyarakat baduy menjadi sangat menarik untuk dibahas
mengingat masih adanya eksistensi sebuah suku pedalaman di tengah gempuran arus

modernisasi dan globalisasi, bagaimana upaya yang mereka lakukan untuk menjaga
agar nilai-nilai kearifan lokal tersebut dapat dipertahankan dan terus dilestarikan,
Tentunya akan ada banyak hambatan dalam melaksanakan nilai-nilai kearifan lokal
tersebut, kearifan lokal masyarakat Baduy menjadi sebuah kajian yang akan kami
bahas lebih jauh, mengingat pentingnya menerapkan nilai-nilai kearifan lokal yang
saat ini sudah banyak dilupakan oleh banyak orang. Melalui suku Baduy ini
diharapkan kita dapat mengetahui nilai-nilai kearifan lokal masyarakatnya yang
nantinya dapat kita jadikan contoh yang baik untuk keberlangsungan hidup
bermasyarakat.
2. Analisis
Sistem perekonomian Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup, artinya
aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
diproduksi serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka

pada umumnya adalah bertani atau bercocok tanam.Seluruh masyarakat di Baduy
belajar untuk bekerja di pertanian sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Di
Baduy terdapat aturan dalam pertanian yang diikuti oleh masyarakatnya. Ada waktu
dimana mereka harus mengolah tanah, menanam, maupun memanen hasil
pertaniannya. Sistem pertanian disana adalah dengan sistem berladang dan berkebun.
Pada masa dimana mereka tidak sedang bekerja di ladang, Baduy laki-laki bekerja di

hutan untuk berburu dan memanen madu, sementara Baduy wanita bekerja menenun
dirumah untuk membuat baju, selendang, sarung, serta kerajinan tangan seperti tas.
Nilai-nilai kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak
mementingkan materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka
hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka
mengikuti aturan-aturan yang ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan
pupuk kimia, masyarakat baduy memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka
sendiri dari bahan-bahan organik, sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang
tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan kimia, berbeda dengan
kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil
panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang
akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk yang digunakan. Selain itu
Penanggulangan hama padi pada masyarakat Baduy bersifat mengusir daripada
membunuh. Dalam bertani, mereka selalu menjaga keselarasan dengan alam,
bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam penanggulangan hama padi huma,
masyarakat Baduy lebih memilih racikan biopestisida dan rawun pare daripada
pestisida pabrikan yang dianggap dapat meracuni dan merusak lingkungan. Upaya
mengusir hama padi huma tersebut tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian
puso panen padi huma akibat gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy.
Mengapa demikian? Pasalnya, berbagai tumbuhan untuk biopestisida atau rawun pare

orang Baduy dikenal secara ilmiah (etik) termasuk kategori tumbuhan pengusir hama
(repellent).
Hasil panenan suku baduy yang berupa padi pun tidak boleh dijual, padi hanya
untuk kebutuhan mereka saja, tidak diperjual belikan, mereka hanya menjual hasil
panenan lainnya seperti pisang, durian, dll, aturan ini juga dilaksanakan oleh semua
masyarakat baduy. Untuk memenuhi kebutuhan tambahan mereka seperti biaya untuk
upacara-upacara adat mereka menjual madu, kain songket, kerajinan-kerajinan
tangan, tas, dll, uang yang didapatkan dari hasil itu digunakan untuk memenuhi

kebutuhan hidup mereka, kebutuhan yang tidak mereka hasilkan seperti garam,
minyak, serta bumbu-bumbu. Madu Baduy sangat terkenal di daerah Banten karena
tidak dicampur dengan bahan lainnya, sehingga sering disebut madu asli. Mereka
menjual madu dan hasil kerajinan lainnya sampai ke kota.
. Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu
mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan
kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa
ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa
uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan
sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Ada dua sistem pemerintahan yang digunakan oleh masyarakat Baduy, yaitu

struktur pemerintahan nasional yang mengikuti aturan negara Indonesia dan struktur
pemerintahan adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercayai oleh masyarakat.
Kedua sistem pemerintahan tersebut digabungkan dan dibagi perannya sedemikian
rupa sehingga tidak ada benturan dalam menjalankan tugasnya. Seluruh masyarakat
Baduy paham dan saling menghargai terhadap kedua sistem tersebut, sehingga
mereka tahu harus kemana jika ada urusan atau permasalahan yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari.
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada
di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak
otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu
jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang
memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan
oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro
tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan
hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka
bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam
dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3
orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini
disebut sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas

sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional,
yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua
kampung.

Kemampuan masyarakat baduy yang bisa menjalankan dua sistem pemerintah
baik itu sistem adat dan sistem pemerintahan nasional, merupakan bukti kemampuan
hebat yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal masyarakat untuk tetap melestarikan
adat istiadat tetapi juga tetap menggunakan sistem pemerintahan nasional sebagai rasa
nasionalisme warga masyarakat baduy. Menggunakan dua sistem kepemerintahan
sekaligus tentunya jelas akan banyak hambatan

yang ada dalam pelaksanaanya

karena bisa saja aturan yang ada saling tumpang tindih atau bahkan berbenturan,
tetapi kemampuan masyarakat Baduy untuk memposisikan dirinya menjadi salah satu
kunci keberhasilan dua sistem ini digunakan secara bersamaan.
Suku Baduy sangat memegang teguh pikukuh karuhun, yakni suatu doktrin
yang mewajibkan mereka melakukan berbagai hal sebagai amanat leluhurnya (Kurnia,
2010: 28) Pikukuh karuhun tersebut antara lain mewajibkan mereka untuk:
1.


Bertapa Bagi Kesejahtraan dan Keselamatan Pusat Dunia dan Alam Semesta.

2.

Memelihara Sasaka Pusaka Buana.

3.

Mengasuh Ratu Memelihara Menak.

4.

Menghormati Guriang dan Melaksanakan Muja.

5.

Mempertahankan dan Menjaga Adat Bulan Kawalu

6.


Menyelenggarakan dan Menghormati Upacara Adat Ngalaksa

7.

Melakukan Upacara Seba Setahun sekali.
Upacara Seba sudah menjadi tradisi yang sifatnya wajib dilaksanakan setahun

sekali pada bulan Safar awal tahun baru sesuai dengan penanggalan adat Baduy
(berkisar bulan April-Mei pada tahun Masehi). Tujuan dari kegiatan ini adalah
ekspresi rasa syukur dan penghormatan Suku Baduy kepada Pemerintah. Bentuk rasa
syukur dan penghormatan ini dengan mempersembahkan sesuatu yang dianggap
berharga (sesaji, dalam konteks ini adalah hasil panen) bagi Suku Baduy untuk
diberikan kepada Pemerintah (dalam hal ini Bupati Kabupaten Lebak).
Adapun mitos dibalik Upacara Seba yaitu Bhatara Tunggal dipercaya oleh
Suku Baduy sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Tempat kediamannya terletak di
hulu sungai Ciujung dan Cisimeut. Tempat keramat tersebut oleh Suku Baduy
dinamakan Arca Domas, yang tertutup bagi siapapun kecuali pemimpin Suku Baduy
atau Puun (Rafiudin, 1995: 21).
Sungguh sebuah nilai kearifan lokal dimana tujuan upacara seba adalah

sebagai rasa ucap syukur kepada pemerintah, masyarakat baduy memberikan hasil
panenanya kepada pemerintah dengan tulus dan tanpa mengharapkan imbalan

tertentu. Begitu arif masyarakat Baduy, padahal masyarakat baduy sendiri hampir
dipastikan jarang mendapat perhatian dari pemerintah, karena memang masyarakat
baduy menutup diri dari lingkungan luar, tetapi mereka tetap mengadakan upacara
sebagai bentuk rasa syukur mereka kepada pemerintah, bayangkan pada kebanyakan
masayarakat indonesia saat ini, mereka mendapat perhatian yang banyak dari
pemerintah, mereka banyak menikmati fasilitas publik, rumah sakit, sekolah, jalan
raya, dll tetapi apa mereka pernah mengadakan sebuah acara sebagai rasa syukur
mereka kepada pemerintah? Jarang, bahkan sulit ditemukan, mereka banyak yang
hanya mengkritik pemerintah, tetapi suku Baduy, yang jarang diperhatikan, tidak
banyak memanfaatkan dan menerima fasilitas publik, mereka tetap bersyukur, begitu
jelas terlihat bagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang mereka junjung.

3. Simpulan
4. Referensi
Garna, Judistira K. 1992. Orang Baduy Dari Kanekes: Ketegaran Dalam
Menghadapi Tantangan Zaman (Makalah Seminar Sehari Dengan Orang Baduy).
Bandung: Museum Negeri Jawa Barat.

Kurnia, Asep dan Ahmad Sihabudin. 2010. Saatnya Baduy Bicara. Jakarta: Bumi
Aksara bekerjasama dengan UNTIRTA.
Rafiudin, Apip Apriadi. 1995. “Masyarakat Baduy (Studi Deskriptif di Desa Cibeo,
Jawa Barat)”. Skripsi S-1 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta.