TINJAUAN TENTANG MITIGASI BAHAYA TSUNAMI (1)



Oseana, Volume XL, Nomor 1, Tahun 2015 : 41-52

ISSN 0216-1877

TINJAUAN TENTANG MITIGASI BAHAYA TSUNAMI
DI PESISIR PANTAI DAN PULAU-PULAU KECIL
Oleh
Septriono Hari Nugroho 1> dan Imam A. Sadisun2>
ABSTRACT

A REVIEW OFfSUNAMIHAZARD MITIGATIONINTHE COASTALAND SMALL ISLANDS The
coastal areas of Indonesia, both geographically and geologically, have huge potentia/for tsunami
and earthquake hazards. The tsunami that happened in Indonesia is commonly caused by shallow
and strong earthquakes on the seabed. Basically, the hazard mitigations are divided into structural
and non-structural. Structural mitigation can be formed as soft protection by creating a greenbelt,
while hard protection by constructing a breakwate1; seawall andgroins. The greenbelt is a simple,
easy and cheap methodfor tsunami mitigation in coastal areas and small islands. It can be made by
planting mangroves or other plants that suitable with coastal characteristics. On the other hand,
non-structural mitigation,for instance, can be made by creating several related policies on disaster

mitigation activities.
PENDAHULUAN
geografis dan geologisnya, kawasan pesisir di
Indonesia berpotensi besar terkena dampak
bencana geologi, seperti tsunami dan gempa
bumi (Jokowinamo, 2011). Hal tersebut juga
ditunjang oleh posisi Indonesia yang berada
dian tara tiga lempeng benua (Pasifik, Eurasia,
dan Indo-Australia), dan dua samudra (Pasifik
danHindia) (Gambar 1). Ketigalempeng tersebut
mengalami pergerakan, yang menyebabkan
terjadinya gempa bawah laut, dan tsunami .
Kondisi tersebut memunculkan persoalan baru,
ケ。セエオ@
pengetahuan terhadap jenis dan karakter
bencana tersebut dan kesiapan dalam
menghadapi kehadiran bencana tersebut
(Sadisun, 2005; 2006).

Indonesia merupakan negara

kepulauan yang terdiri dari 12 pulau utama
dengan panjang garis pantainya sekitar 80.791
km (Sukandarrumidi, 2009). Sebagai negara
kepulauan, Indonesia mengalami permasalahan
dalam pengelolaan wilayah pesisir, karena
wilayah pesisir tersebut merupakan jalur a tau
bidang yang memanjang, tinggi serta lebarnya
dipengaruhi o1eh pasang surut laut (Thornbury,
1969; Nugroho, 20 12). Sebagian besar wilayah
pesisir telah dimanfaatkan sebagai daerah
rekreasi, industri, tambak, persawahan,
pelabuhan, serta pemukiman (Sukandarrumidi,
2009). Meskipun demikian, karena kondisi
1

lKelompok Penelitian Geologi dan Lingkungan, Pusat Penelitian Laut Dalam, LIPI
lKelompok Keahlian Geologi Terapan, Fakultas Omu dan Teknologi Kebumian, JTB

2


41

Gam bar 1. Elemen tektonik Indonesia dan pergerakan lempeng-lempeng tektonik (Hamilton, 1979).

Tsunami merupakan gelombang laut
dengan peri ode panjang yang ditimbulkan oleh
suatu gangguan impulsif, yang terjadi pada
medium laut. Gangguan tersebut berasal dari
gempa di dasar laut, letusan gunung api di dasar
laut, dan longsoran yang terjadi di dasar laut
(Anonim, 2004a). Gelombang tsunami yang
ditimbulkan bersifat transien, yaitu
gelombangnya bersifat sesar (Anonim, 2004a).
Gelombang tersebut berbeda dengan
gelombang !aut lainnya yang bersifat kontinyu,
seperti gelombang laut yang ditimbulkan oleh
gaya tarik benda di angkasa. Periode tsunami
berkisar an tara 10-60 men it, dengan panjang
gel om bang mencapai 100 km, dan kecepatan
rambat gelombang tsunami di laut dalam

mencapai 500-1000 km/jam (Anonim, 2004a).
Kecepatan penjalaran tsunami sangat
tergantung dari kedalaman laut, dan
penjalarannya dapat berlangsung mencapai
ribuan kilometer. Kecepatan tsunami ketika
mencapai pantai dapat mencapai 50 km/jam, dan

energinya sangat merusak daerah pantai yang
dilaluinya. Jika di ten gab laut, tinggi gel om bang
tsunami paling besar sekitar 5 meter, kemudian
tinggi gel om bang ketika mencapai pantai dapat
mencapai puluhan meter (Puspito, 1996). Ha I ini
terjadi karena adanya penumpukan massa air,
sehingga saat tsunami mencapai pantai akan
merayap masuk daratanjauh dari garis pantai.
Tinggi rayapan (run-up) tsunami ini dapat
mencapai belasan meter atau bahkan puluhan
meter dengan jangkauan mencapai sekitar 5000
meter dari garis pantai . Tinggi tsunami dapat
mencapai maksimum, apabila pantainya

berbentuk corong ataupun teluk, yang biasanya
merupakan daerah pelabuhan atau tempat
pemukiman nelayan . Dampak negatif yang
diakibatkannya menyebabkan genangan ,
kontarninasi air asin laban pertanian, tanah dan
air bersih. Disamping itu tsunami dapat merusak
bangunan, pelabuhan, pemukiman dan tumbuhtumbuhan, serta mengakibatkan korban jiwa
manusia (Anonim, 2004a).

42

Tabel l. Klasi.fikasi Tsunami
Energi Tsunami (erg)
Run-up
(meter)
X 10 23 erg
5
25,6
>32
4,5

12,8
24-32
4
6,4
16-24
3,5
3,2
12- 16
3
1,6
8-12
2,5
0,8
6-8
0,4
2
4-6
1,5
0,2
3-4

2-3
1
0,1
0,5
0,05
1,5-2
0
0,025
1- 1,5
-0,5
0,0125
0,75-1
-1
0,006
0,50-0,075
-1,5
0,003
0,30-0,50
32
meter dengan energi gelombang sebesar 25,6 x

10 23 erg.

KEJADIAN TSUNAMI DI INOONESIA

Bencana tsunami yang terjadi di
Indonesia diakibatkan gempa dangkal dan kuat
yang terjadi di dasar laut. Gempa tersebut
mempunyai kedalaman yang bervariasi, yaitu
antara 13 sampai 95 km, magnitudo 5.9 sampai
7.5 SR Sedangkan intensitasgempa antara VII
sampai IX dalam skala MMI (Modified Mercal/i
Intensity), dan jenis pensesaran gempa
yang didominasi oleh sesar naik (Puspito,
1996). Namun demikian, jika melihat kejadian
tsunami di Kawasan Timur Indonesia yang
dikenal sebagai daerah seismotektonik aktif dan
kompleks, tsunami tersebut diakibatkan oleh
aktivitas kegempaan yang terdapat pada zonazona seismotektonik akti.t: seperti zona subduksi,
zona bukaan, dan zona sesar yang tersebar
hampir diseluruh kepulauan Indonesia (Puspito,

1996).

43

ャG 」セ
ᄋᄋ M



ᄋᄋ

ᄋᄋ

ゥ セゥ イ@
ᄋ ᄋM

ᄋ Mᄋセ

ra"·iJn エ セ オ ュオ
ᄋ ᄋ ᄋセ


Mᄋ

ョゥ@
ᄋセ@

Gambar 2. Daerah rawan tsunarlli di Indonesia (Anonim, 2004a)
Di Indonesia terdapat beberapa
kelompok pantai yang rawan bencana tsunami
(Anonim, 2004a), yaitu kelompok pantai barat
Pulau Sumatera, pantai selatan Pulau Jawa ,
pantai utara dan selatan pulau-pulau Nusa
Tenggara, pulau-pulau di Maluku, pantai utara
Irian Jaya, serta hampir selurub pantai di Pulau
Sulawesi (Gambar 2). Teluk dan bagian yang
melekuk dari pantai sangat rawan terbadap
bencana tsunami. Para nelayan biasanya
mencari ikan dan bermukim di bagian teluk dan
bagian yang melekuk dari pantai tersebut. Selain
itu, daerab teluk juga memiliki pantai landai yang

memungkinkan gelombang pasang merayap ke
daratan (Anonim, 2004a).

Riset komprebensif tentang tsunami
merupakan riset antar-disiplin ilmu yang
meHbatkan bidang ilmu geofisika, oseanografi,
geologi, kelautan, dan teknik sipil . Kegiatan riset
tsunami di Indonesia secara serius baru
dilakukan sejak terjadinya bencana tsunami di
Flores tabun 1992, dan semakin berkembang
setelab kejadian tsunami Aceb tahun 2004.
lnstitusi yang aktifmelakukan riset antara lain
adalab BMKG, BPPT, LIPI, PPPG, PPGL, PU, ITS,
dan ITB, serta beberapa perguruan tinggi lain.
Sebagian besar riset tersebut dilakukan
bekerjasama dengan ilmuwan asing, terutama
Jepang. Riset yang terkait dengan bencana
tsunami dilakukan meliputi berbagai bidang
utama, yaitu (a) riset tentang mekanisme
pembangkit tsunarlli, (b) riset ten tang penjalaran
gelombang tsunami , dan (c) riset ten tang upaya
mitigasi yang tepat. Berdasarkan perspektif
keilmuan, tingkat riset tsunami di Indonesia
sebenarnya sudab setara dengan yang
dilakukan di negara-negara maju seperti balnya
Jepang (Anonim, 2002) . Penelitian tentang
tsunami yang ada di Indonesia , telab
dipublikasikan oleh Paris et a/. (2007) dan
Parwanto & Oyama (2013). Beberapa dampak

PENELfTIAN KOMPREHENSIF TSUNAMI
Mitigasi bencana tsunami di wilayab
pesJSir dan pulau-pulau kecil yang baik
setidaknya didukung oleb riset yang
komprebensiftentang tsunami, sistem pernantau
gempa , sistem peringatan dini tsunami ,
pengembangan peta zonasi tsunami ,
pengembangan teknologi proteksi pantai, dan
sosialisasi pada masyarakat (Anonim, 2002).

44

yang ditimbulkan oleh bencana tsunami juga
telah dilakukan penelitian oleh Meilinanda eta/.
(20 I 0). Selain itu, riset yang terkait dengan
peringatan dini dan mitigasi bencana tsunami
juga telah dikaj i oleh Imamura et a/, (20 II?'
Esteban eta/. (20 13), Chang Seng (2013), Lm
(20 14), Lmrho It et a/. (20 14 ), dan van Veen eta/.
(20 14 ). Penel it ian terse but penting untuk
melakukan anal isis kebencanaan, membuatjalur
evakuasi yang tepat dan memetakan lokasilokasi pesisir dan sekitamya yang kemungkinan
akan terkena dampak tsunami .
Meskipun banyak penelitian ilmiah
yang telab dilakukan sebelumnya untuk penilaian
bahaya tsunami di pesisir pantai dan sekitamya,
namun hasilnya kurang diserap, dan hal tersebut
tercermin dalam kebijakan mitigasi bencana.
Hasil peneljtian dengan menggunakan teknologi
canggih dalam menilai bahaya dan kerentanan,
tidak tercermin dalam peta evakuasi yang telah
ditetapkan dan didistribusikan kepada
masayarakat.
Dalam rangka memberikan informasi
yang komprehensif sebagai dasar rencana
evakuasi korban bencana tsunami yang terpadu
dan dengan menggunakan alat-alat praktis
dengan harapan bahwa masyarakat dapat
dengan mudah diaplikasikan, dipelihara, dan
diperbarui, maka perlu dilakukan analisis yang
rinci dari bahaya tsunami, dan perkiraan dampak
terhadap masyarakat di sepanjang rute evakuasi.
Pengamatan makro dan mikro evakuasi 「・ョ」セ。@
tsunami telah dilakukan untuk menganahs1s
potensi masalah selama evakuasi . Hasil
pemodelan evakuasi menyarankan , bahwa
perlunya tindakan evakuasi vertikal di daerah
yang terkena bencana. Pada awalnya, bangunan
beton bertulang merupakan rencana lokasi
evakuasi vertikal, namunjustru terjadi kerusakan
skala besar pada bangunan tersebut. Hal ini
yang menjadikan dasar untuk 、ゥャ。ォオセ@
penelitian secara rinci dalam rangkamenilai
intensitas gempa yang menyebabkan ォ・イオウ。セ@
bangunan dan pemilihan bangunan untuk lokas1

evakuasi vertika l. Kriteria bangunan yang
memenuhi syarat untuk evakuasi vertikal adalah
yang apabila terjadi gempa, bangunan tersebut
rusak parah tapi masih berdiri (lmamura et al. ,
2011).
UPAYA MITIGASl TSUNAMJ
Banyak upaya yang telah dilakukan
untuk meningkatan kemampuan masyarakat
untuk merespon tsunami (Muhari et al, 20 I 0).
Upaya tersebut mencakup anal isis ilmiah bahaya
tsunami dan risiko yang berbasis masyarakat
dan kegiatan kesiapsiagaan tsunami
(Taubenbock et al, 2009, Imamura, 2009; Gayer
et al, 201 0; KOGAMI, 20 ll ). Kegiatan mitigasi
bencana tsunami hendaknya dilakukan secara
rutin dan berkelanjutan (sustainable) . Kegiatan
Mitigasi tersebut seyogyanya dilakukan
sebelum bencana tsunami tersebut karena
sering terjadi bahwa bencana tsunami terjadi
lebih cepat dari yang diperkirakan, dan bahkan
memiliki intensitas yang lebih besar dari prediksi
yang telah dibuat (Sadisun, 2007)
. .
Upaya mitigasi bencana tsunami d1
wilayah pesisir di pulau-pulau kecil menjadi salah
satu penekanan dalam Undang-Undang (UU)
No . 27/2007, tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP-3-K) yaitu
dalam pasal 56 Bab X yang berisi "Dalam
menyusun rencana pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil terpadu, pemerintah dan/atau pemerintah
daerah memasukkan dan melaksanakan bagian
yang memuat mitigasi bencana di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil sesuai dengan jenis,
tingkat, dan wilayahnya" . Sebagai aturan
pelaksanaan Undang -Undang tersebut telah
diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 64
tahun 20 I 0, ten tang Mitigasi Bencana di
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(Diposantono, 20 II). Upaya ini merupakan
tanoouno
J·awab bersama pemerintah ,
bb
0
pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah
menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah
45

pesisir dan pulau-pulau kecillintas provinsi dan
Kawasan Strategis Nasional (KSN) tertentu .
Menu rut Diposantono (20 I I) pemerintah
propinsi menyelenggarakan mitigasi bencana di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dalam
kewenangan dan lintas kabupaten atau kota,
sedangkan pemerintah kabupaten atau kota
menyelenggarakan mitigasi bencana di wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil dalam kewenangan
kabupaten atau kota.
Pada dasamya, upaya tersebut dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu struktural dan
nonstruktural. Kedua upaya terse but juga telah
ditetapkan dalam PPNo. 64 tahun 2010. Upaya
struktural dalam menangani masalah bencana
tsunami adalah upaya teknis yang bertujuan
untuk meredam/mengurangi energi gelombang
tsunami yang menjalar ke kawasan pantai .
Berdasarkan sifatnya upaya mitigasi struktural
dibedakan menjadi kelompok soft protection dan
hard protection (Anonim, 2004a)
Mitigasi bencana yang bersifat soft
protection berupa pembuatan hutan pantai atau
sabuk pantai (green belt). Sabuk yang menjadi
benteng pertahanan wilayah pesisir dari
gelombang pasang, tsunami, atau ancaman lain
dari arah Iaut. Peran sabuk pantai terse but dalam
upaya untuk mereduksi energi tsunami (Gambar
3) adalah sebagai berikut (Shuto, 1987; Tanaka
& Sasaki , 2007; Samarakoon, 20 I 0;
Diposantono, 20 I I):
I. Sebagai
perangkap,
yaitu
untuk
menghentikan kayu yang hanyut, reruntuhan
dan puing lainnya;
2. Sebagai peredam energi tsunami, yaitu efek
untuk mengurangi kecepatan aliran air,
tekanan aliran, dan kedalaman genangan air;
3. Sebagai pegangan, yaitu untuk menjadi
sarana penyelamatan diri bagi orang-orang
yang tersapu oleh tsunami dengan cara
berpengangan pada cabang-cabang pohon;
4. Sebagai sarana melarikan diri, dengan cara
memanjat pohon dari tanah atau dari suatu
bangunan;

5. Sebagai pembentuk gumuk pasir, yaitu untuk
mengumpulkan pasir yang tertiup angin dan
membentuk gumuk a tau bukit, yang bertindak
sebagai penghalang alami terhadap tsunami
Mangrove merupakan salah satu jenis
vegetasi di kawasan pesisir, yang peranannya
dapat digunakan sebagai sabuk pantai . Namun
demikian, sebagian wilayah pesisir Indonesia
yang rawan tsunami mulai dari pantai barat
Sumatera, pantai selatan Jawa, pantai selatan
Nusa Tenggara dan sebagian pantai utara Nusa
Tenggara, Kepulauan Maluku , sebagian
Sulawesi, dan Papua memiliki pantai yang
didominasi oleh pasir dengan energi gelombang
laut yang cukup tinggi. Kondisi yang demikian
kurang cocok ditanami mangrove, sehingga
pantai-pantai yang kurang cocok ditanami
mangrove tetap dapat memiliki sabuk pantai
yakni dengan cara menanam vegetasi non
mangrove , seperti tumbuhan Baringtonia
asiatica (bogem), Cocos nucifera (kelapa),
Terminalia catappa (ketapang), Calophyllum
inophyllum (nyamplung), Hibiscus tiliaceus
(waru) , dan lain sebagainya. Sabuk pantai
dianjurkan untuk ditanami dengan kombinasi
jenis pohon yang berbeda (Tanaka eta!., 2007,
2008, 2009), seperti Pandan Duri (Pandanus
tectorius), Pohon Kelapa (Cocos nucifera), dan
Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) (Gambar
4). Secara vertikal, lapisan vegetasi antara P
odoratissimus dan C. equisetifolia menunjukkan
potensi yang kuat untuk mengurangi kerusakan
(Tanaka et at., 2007), namun kombinasi dari P
odoratissimus dan C. nucifera memiliki
pengaruh yang kecil karena secra vertikal mereka
memiliki perbedaan yang Iebar (Tanaka, 20 II).
Hutan berlapis P. odoratissimus dan C.
equisetifolia barus ditanam dan dipelihara di
dekat pantai , dan pohon-pobon berdaun Iebar
lainnya harus ditanam di belakang hutan
penyangga (menuju pemukiman) , seperti
ditunjukkan pada Gam bar 3 (Tanaka eta!., 2007).

46

Gam bar 3. Fungsi proteksi dari mangrove dan vegetasi pantai (Tanaka, 2011)

Gambar 4. a. Cemara Laut (Casuarina equisetifolia), b. Pohon Kelapa (Cocos nucifera), dan c. Pandan
Duri (Pandanus odoratissimus) (Anonim, 2004b)
Mitigasi struktural yang bersifat hard protection dilakukan dengan cara membangun
breakwater, seawall, groin , dan bangunan pemecah gel om bang sejajar pantai untuk menahan tsunami ,
memperkuat desain bangunan, serta infrastruktur lainnya dengan kaidah teknik bangunan tahan
bencana tsunami dan tata ruang akrab/ramah bencana.

47

--

Gambar 5. Berbagai contoh bangunan pemecah gelombang (Anonim, 2014).
I. Kebijakan tentang tata ruang atau zonasi
kawasan pantai yang aman bencana;

Kegiatan mitigasi tersebut dibuat dengan
mengembangkan beberapa insentif, tujuannya
agar kondisi bangunan perrnukiman memenuhi
kaidah teknik bangunan tahan tsunami
(retrofitting) dan adanya relokasi. Salah satu
aspek yang menyebabkan daerah rentan
bencana adalah kepadatan permukiman yang
cukup tinggi, sehingga tidak ada ruang publik
yang dapat dipergunakan untuk evakuasi, serta
terbatasnya mobilitas masyarakat. Salah satu
upaya yang dapat dilakukan adalah
memindahkan sebagian pemukiman ke lokasi
lain, dan menata kembali pemukiman yang ada
dengan mengacu pada konsep kawasan
pemukiman yang ramah ben can a.

2 Kebijakap tentang standarisasi bangunan
(pemukiman maupun bangunan lainnya),
serta infrastruktur saran a dan prasarana;
3. Mikrozonasi daerah rawan bencana dalam
skala lokal;
4. Pembuatan peta potensi bencana tsunami,
peta tingkat kerentanan dan peta tingkat
ketahanan , sehingga dapat dide sain
kompleks pemukiman "akrab bencana" yang
memperhaikan berbagai aspek;
5. Kebijakan tentang eksplorasi dan kegiatan
perekonomian masyarakat kawasan pantai,
pelatihan dan simulasi mitigasi bencana
tsunami;

Upaya mitigasi bencana tsunami
nonstruktural merupakan upaya non teknis
yang menyangkut penyesuaian dan pengaturan
tentang kegiatan manusia, agar sejalan dan
sesuai dengan upaya mitigasi struktural maupun
upaya lainnya. Upaya nonstruktural tersebut
meliputi an tara lain (Anonim. 2004a) :

6. Penyuluhan dan sosialisasi upaya mitigasi
bencana tsunami ;
7. Penambahan jumlah stasiun pemantau
gempa ; serta pengembangan sistem
peringatan dini adanya bahaya tsunami .

48

PENUilJP

DAFTAR PUSTAKA

Apabila dibandingkan dengan gempa
bumi, sosialisasi tentang kegiatan mitigasi
beocana tsunami masih sangat jarang dilakukan
di Indonesia. Oleh karena itu, dapat dipahami
bahwa tingkat pemahaman masyarakat
Indonesia terhadap fenomena tsunami masih
relatif rendah . Untuk itu , maka program
sosialisasi perlu menjadi salah satu prioritas
utama dalam upaya mitigasi bencana tsunami di
Indonesia. Beberapa usulan muncul dengan
memperhatikan pada kemampuan yang dimiliki
oleh sumber daya manusia, sarana, institusi di
Indonesia, maka program mitigasi bencana
tsunami sebaiknya diarahkan pada tiga hal utama
yaitu: (a) pembuatan peta zonasi tsunami yang
lebih representatif, (b) membangun sistem
peringa tan dini yang I ebih baik, dan (c)
meningkatkan tingkat kesiapan masyarakat
dengan melakukan program-program pelatihan
dan sosialisasi . Selain itu, perlunya
menyinergikan upaya-upaya yang telah
dilakukan oleh beberapa institusi untuk dapat
lebib mengoptimalkan dan mendayagunakan
sumber daya manusia, sarana, institusi secara
lebih integrative, agar diperoleh basil yang
rnaksimal.

Anonim. 2002. Mitigasi Bencana Tsunami di
Indonesia . http ://www.ristek.go.id /
?module=News%20News&id=417
diakses tanggall3 Oktober 2014.
Anonim. 2004a. Pedoman Mitigasi Bencana
Alam di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil. Direktorat Jenderal Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan
dan Perikanan. Jakarta
Anonim . 2004b . Floridatata . http ://
www.floridata.com/ref/ diakses tanggal
22 November 2014.
Anonim. 2014. Bangunan Pemecah Gelombang.
http: I / an swergu ide. or g/search /
bangunan-pemecah-gelombang diakses
tanggal23 November 2014.
Chang Seng, D. S. 2013 . Tsunami resilience:
Multi-level institutional arrangements,
architectures and system of governance
for disaster risk preparedness in
Indonesia. Environmental Science &
Policy 29: 57-70
Diposantono, S. 2011. Mitigasi beocana tsunami.
http://penataanruang.pu. go.id/bulletin/
index .asp?mod= fullart&idart=320
diakses tanggal 22 November 2014

UCAPAN TERIMA KASlll
Terima kasih disampaikan kepada
Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP)
Kementrian Keuangan yang telah memberikan
bantuan dana pendidikan untuk melanjutkan
studi di Program Magister Teknik Geologi FITB
- ITB. Ucapan terima kasih disampaikan pula
kepada pihak-pihak yang telah bersedia
memberikan koreksi, kritik, saran dan masukan,
sehingga penulisan makalah ini dapat
terselesaikan.

Esteban, M., V. Tsimopoulou, T. Mikami, N.Y.
Yun, A. Suppasri & T. Shibayama. 2013 .
Recent tsunamis events and
preparedness: Development of tsunami
awareness in Indonesia, Chile and
Japan. International Journal ofDisaster
Risk Reduction 5: 84-97 DOL. 10.1016/
j.ijdrr.2013.07.002

49

Gayer, G, S. Lechska, I. Nohren, 0 . Larsen & H.
Gunther. 2010. Tsunami inundation
modeling based on detail roughness
maps on densely populated area. Nat.
Hazard and Earth Sys. Sci. 10: 16791687.

Lmrholt, F., N. J. Setiadi, J. Birkmann, C. B.
Harbitz, C. Bach, N. Fernando, G Kaiser
&F. Nadim. 2014. Tsunami risk reduction
- are we better prepared today than in
2004? International Journal ofDisaster
RiskReduction lO(A): 127-142

Hamilton , W.B ., 1979, Tectonics of the
Indonesian region. USGS Prof. Paper
1078: 345 p.+ map.

Meilianda, E., C.M. Dohmen-Janssen, B.H.P.
Maathuis, S.J.M.H. Hulscher & J.P.M.
Mulder. 2010. Short-term morphological
responses and developments of Banda
Aceh coast, Sumatra Island, Indonesia
after the tsunami on 26 December 2004.
Marine Geology275 (1-4): 96-109.

Imamura, F. 2009. Dissemination of information
and evacuation procedures in the 20042007 tsunamis, including the 2004 Indian
Ocean. Journal of Earthquake and
Tsunami 3(2): 59-65 .

Muhari, A., F. Imamura, D. H. Natawidjaja, S.
Diposaptono, H. Latief, J. Post & F. A.
Ismail. 2010. Tsunami mitigation efforts
with pTA In West Sumatra Province,
Indonesia. Journal of Earthquake and
Tsunami4(4) : 341-368 .

Imamura, F., A. Muhari, E. Mas, M. H. Pradono,
J. Post & M. Sugimoto. 2011. Tsunami
disaster mitigation by integrating
comprehensive countermeasures in
Padang City, Indonesia. Journal of
Disaster Research 7(1): 48-64.

Nugroho, S.H. 2012. Perubahan karakteristik
garis pantai di kawasan wisata Pantai
Alam lndah kota Tegal. Oseano/ogi dan
Limnologi di Indonesia 38 {1): 19-26

Jokowinamo,D. 2011. Mitigasi bencana tsunami
di wilayah Pesisir Lampung. Jurnal
Rekayasa 15(1): 13-20.

Paris, R , F. Lavigne, P. Wassmer & J. Sartohadi.
2007. Coastal sedimentation associated
with the December 26, 2004 tsunami in
Lhok Nga , west Banda Aceh (Sumatra,
Indonesia). Marine Geology 238 (1-4):
93-106.

Komunitas Siaga Tsunami - Tsunami Alert
Community (KOGAMI). 2011. http://
www.kogami .or.id/, last access August,
2011.
Lin, Jyh-Woei. Possibility of tsunami earlywarning from post-seismic ionospheric
disturbance for 2 July, 2013 , M,., = 6.1
Indonesia's Bireun earthquake: Twodimensional principal component
analysis. NRIAG Journal ofAstronomy
and Geophysics. Available online 16
September 20 14ln Press, Corrected Proof
001: 10.1016/j.nrjag.2014.08.001 .

Parwanto, N. B. & T. Oyama. 2013 . A statistical
analysis and comparison of historical
earthquake and tsunami disasters in
Japan and Indonesia. International
Journal ofDisaster Risk Reduction. DOl:
10.1016/j.ijdrr.2013.10.003.
Puspito, N.T. 1996. Bencana tsunami , riset, dan
mitigasi . http:/iwww.library.ohiou.edu/

50

--

------

indopubs/1996/02/22/00 17 .h tml diakses
tangga113 Oktober 2014.

Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta:
199Hal

Sadisun, I.A. 2005 . Usaha pemahaman terhadap
stabilitas lereng dan longsoran sebagai
awal dalam mitigasi bencana longsoran
sebagai langkah awal dalam mitigasi
bencana longsoran. Invited Speaker
pada Workshop Penanganan Bencna
Gerakan Tanah. Bandung. Direktorat
Volkanologi dan mi tigasi Bencana
Geologi, 15-16 Desember 2005.

Tanaka, N. & Y. Sasaki . 2007. Limitations of
coastal vegetation in the 2004 Indian
Ocean tsunami and 2006 Java tsunami,
Proceedings of IAHR 32nd Congress,
(CDROM), Venice, Italy.
Tanaka, N., Y. Sasaki, M.I.M. Mowjood, K.B.S.N.
Jinadasa, & S. Homchuen. 2007. Coastal
vegetation structures and their functions
in tsunami protection: experience of the
recent Indian Ocean tsunami. Landscape
and Ecological Engineering 3: 33-45 .

Sadisun, I.A. 2006. Kajian ketidakstabilan lereng
dan kerentanan gerakan massa tanah/
batuan sebagai satu upaya dini dalam
penanggulangan bencana. Invited
Speaker pada Seminar on the Active
Geosphere, Stellite Office KAGI21- ITB,
27 Februari 2006.

Tanaka, N., A.K. Karunarathna, & K.B.S.N.
Jinadasa . 2008. Effect of coconut coirpith supplement on nitrogen and
phosphate removal in subsurface flow
wetland microcosms . Chemistry and
Ecology24(1): 1-8.

Sadisun, I.A. 2007 . Smart SOP dalam mitigasi
dan penanganan bencana alam.Invited
Speaker pada Seminar Mitigasi Bencana
Alam : Peran dan Fungsi SOP dalam
Mitigasi dan Penanganan BencanaAlam
di Jawa Barat, BAPEDA Provinsi Jawa
Barat, 27 Maret 2007.

Tanaka, N., N.A.K. Nandasena, K.B.S.N.
Jinadasa, K . Tanimoto, Y. Sasaki, &
M.I.M. Mowjood. 2009. Developing
effective vegetation bioshield for
tsunami protection. Civil Engineering
and Environmental Systems 26(2): 163 180.

Samarakoon, M.B., N . Tanaka & M. Yuto. 2010.
Effectiveness of coastal forests in
mitigating tsunami damage at Eastern
Coast of Sri Lanka. Proceedings of
International Conference on Sustainable
Built Environment (ICSBE-2010) Kandy,
13-14 December 2010

Tanaka, N. 2011. Effectiveness and limitations
of vegetation bioshield in coast for
tsunami disaster mitigation. In : Nils-Axel
Marner (ed). The Tsunami Threat Research and Technology. InTech: 161178.

Shuto, N. 1987. The effectiveness and limit of
tsunami control forests. Coastal
Engineering in Japan 30(1): 143-153.

Taubenbock, H., G Goseberg, N . Setiadi, G
l。ュ・セ@
F. Moder, M Oczipka, H kャオーヲ・セ@
R. Wahl, T. Schlurmann, G. Strunz, J.
Birkmann, K. Nagel, F. Siegert, F. Lehman,
S. Dech, K. Gress, and R. Klein . 2009.
Last-mile preparation for a potential

Sukandarrumidi . 2009. Mari Kembali Ke Laut:
Mengenal Potensi Bahari yang Tak
Habis Terkuras (Dengan Studi Kasus).

51

van Veen, B.A.D., D. Vatvani, F. Zijl. 2014.
Tsunami flood modelling for Aceh & west
Sumatra and its application for an early
warning system. Continental Shelf
Research 79 (46- 53) DOl: 10.1016/
j.csr.2012.08.020.

disaster - Interdisciplinary approach
toward tsunami early warning and an
evacuation information system for the
coastal city of Padang, Indonesia.
Nat.Hazard and Earth Sys. Sci 9: 15091528.
Thornbury, W.D. 1969 . Principles of
Geomorphology. John Wiley and Sons,
NewYork: 618 p.

52