Peran Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan da

Peran Ilmu Pengetahuan dan Pendidikan dalam
Perkembangan Kebudayaan Nasional Pendidikan
Oleh:
(AS. Wiswan, Bambang Afriadi, Firmansyah, dan Iskandar)

PENDAHULUAN
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara mendalam
tentang

alam

ketuhanan,

alam

manusia,

dan

manusia


sehingga

dapat

menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat
dicapai akal manusia setelah mencapai pengetahuan.
Nilai-nilai budaya adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar
segenap wujud kebudayaan. Kegiatan manusia mencerminkan budaya yang
dikandungnya. Pada dasarnya tata hidup merupakan pencerminan kongkret dari
nilai budaya yang bersifat abstrak.
Ilmu harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya dan nilai moral suatu
masyarakat. Keseluruhan fase dari kebudayaan tersebut di atas sangat erat
hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam
suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat belajar. Lewat proses
pembelajaran inilah diteruskan kebudayaan dari generasi yang satu ke generasi
selanjutnya. Kebudayaan diteruskan dari waktu ke waktu, kebudayaan masa kini
ke masa yang akan datang. Dengan demikian, kebudayaan secara langsung
dapat diperoleh melalui pendidikan.
Pada dasarnya ilmu merupakan unsur kebudayaan, antara ilmu dan
kebudayaan ada hubungan timbal-balik. Perkembangan ilmu tergantung pada

perkembangan kebudayaan, sedangkan perkembangan ilmu dapat memberi
pengaruh terhadap perkembangan kebudayaan. Hal ini merupakan sistem yang

bersifat mutlak. Keadaan sosial dan kebudayaan, saling tergantung dan saling
mendukung.

B. PERUMUSAN MAKALAH
1. Filsafat ilmu dan kajiannya
2. Pengaruh ilmu terhadap kebudayaan dan masyarakat
3. Pengertian dan unsur-unsur kebudayaan
4. Hubungan manusia dengan kebudayaan
5. Hubungan pendidikan dengan kebudayaan
6. Pengaruh timbal balik antara ilmu dan kebudayaan
7. Ilmu Terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional
8. Peran ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam perkembangan
kebudayaan Nasional Indonesia.

PEMBAHASAN

1. Filsafat Ilmu dan Kajiannya

Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara
substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan
filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada
perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang
membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara
disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya (Semiawan, 2005).
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu
dengan segala segi dari kehidupan manusia (The Liang Gie, 2004). Sedangkan
menurut Lewis White Beck, filsafat ilmu bertujuan membahas dan mengevaluasi
metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan nilai dan
pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan.
Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia
untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi
perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang
terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun
aksiologi.
Ruang lingkup telaahan filsafat ilmu sebagaimana diungkapkan di atas di
dalamnya sebenarnya menunjukan masalah-masalah yang dikaji dalam filsafat
ilmu, masalah-masalah dalam filsafat ilmu pada dasarnya menunjukan topik-topik

kajian yang pastinya dapat masuk ke dalam salahsatu lingkup filsafat ilmu.
Adapun masalah-masalah yang berada dalam lingkup filsafat ilmu adalah
(Ismaun) :
1. masalah-masalah metafisis tentang ilmu
2. masalah-masalah epistemologis tentang ilmu

3. masalah-masalah metodologis tentang ilmu
4. masalah-masalah logis tentang ilmu
5. masalah-masalah etis tentang ilmu
6. masalah-masalah tentang estetika
Metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah
metafisika ini terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena
sebenarnya metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang
bukti-bukti adanya Tuhan.
Epistemologi merupakan teori pengetahuan dalam arti umum baik itu
kajian mengenai pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, maupun pengetahuan
filosofis, metodologi ilmu adalah telaahan atas metode yang dipergunakan oleh
suatu ilmu, baik dilihat dari struktur logikanya, maupun dalam hal validitas
metodenya. Masalah logis berkaitan dengan telaahan mengenai kaidah-kaidah
berfikir benar, terutama berkenaan dengan metode deduksi.

Problem etis berkaitan dengan aspek-aspek moral dari suatu ilmu, apakah
ilmu

itu

hanya

untuk

ilmu,

ataukah

ilmu

juga

perlu

memperhatikan


kemanfaatannya dan kaidah-kaidah moral masyarakat. Sementara itu masalah
estetis berkaitan dengan dimensi keindahan atau nilai-nilai keindahan dari suatu
ilmu, terutama bila berkaitan dengan aspek aplikasinya dalam kehidupan
masyarakat.

2. Pengaruh Ilmu Terhadap Kebudayaan dan Masyarakat
Memasuki tahun 1990-an , khususnya di Indosesia perbincangan filsafat
diramaikan dengan wacana post modernisme, sebagai suatu kritik terhadap
modernisme yang berbasis positivisme yang sering mengklaim universalitas
ilmu, juga diskursus post modernisme memasuki kajian-kajian agama.
Post modernisme yang sering dihubungkan dengan Michael Foccault dan
Derrida

dengan

beberapa

modernisme seperti


konsep/paradigma

yang

kontradiktif

dengan

dekonstruksi, desentralisasi, nihilisme dsb, yang pada

dasarnya ingin menempatkan narasi-narasi kecil ketimbang narasi-narasi besar,
namun post modernisme mendapat kritik keras dari Ernest Gellner dalam
bukunya Post modernism, Reason and Religion yang terbit pada tahun1992. Dia
menyatakan bahwa post modernisme akan menjurus pada relativisme dan untuk
itu dia mengajukan konsep fundamentalisme rasionalis, karena rasionalitas
merupakan standar yang berlaku lintas budaya.

3. Pengertian dan Unsur-unsur Kebudayaan
Kata kebudayaan berasal dari kata sanskerta buddhaya, yaitu bentuk
jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian ke-budaya-an

dapat diartikan hal-hal yang bersangkutan dengan akal. Sedangkan definisi
kebudayaan dari para ahli sangat beragam, diantara nya ialah:
a) Ki Hajar Dewantara
Kebudayaan berarti buah budi manusia adalah hasil perjuangan manusia
terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam dan zaman (kodrat dan masyarakat)
yang merupakan bukti kejayaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai
rintangan dan kesukaran di dalam hidup dan penghidupannya guna mencapai
keselamatan dan kebahagiaan yang pada lahirnya bersifat tertib dan damai.
b) Koentjaraningrat
Beliau berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian
suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu.
Dengan adanya unsur tersebut, kebudayaan lebih mengandung makna totalitas
dari sekedar penjumlahan unsur-unsur yang terdapat di dalamnya. Adapun
unsur-unsur budaya tersebut adalah sebagai berikut :
1.

Sistem religi dan upacara keagamaan.


Merupakan

produk

manusia

sebagai homo

religius.Manusia

yang

memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur, tanggap bahwa di atas
kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang Maha Besar yang
“menghitam-putihkan” kehidupannya. Oleh karena itu, manusia takut
sehingga menyembah-Nya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang
menjadi agama.
2.


Sistem organisasi kemasyarakatan merupakan produk dari manusia
sebagai makhluk homo socius.
Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah. Namun, dengan akalnya manusia
membentuk

kekuatan

dengan

cara

menyususun

organisasi

kemasyarakatan yang merupakan tempat untuk bekerjasama, yaitu
meningkatkan kesejahteraan hidupnya.
3.

Sistem pengetahuan merupakan produk dari manusia sebagai homo

sapiens.
Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri, di samping itu
dapat juga dari pemikiran orang lain.

4.

Sistem mata pencarian hidup yang merupakan produk manusia
sebagai homo economicus. Menjadikan tingkat kehidupan manusia
secara umum harus meningkat.

5.

Sistem teknologi dan peralatan merupakan produksi dari manusia
sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta
dibantu dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat,
manusia dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat.

6.

Bahasa merupakan produk dari manusia sebagai makhluk homo
longues. Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda
(kode), yang kemudian disempurnakan dalam bentuk lisan, dan akhirnya
menjadi bahasa tulisan.

7.

Kesenian merupakan hasil dari manusia sebagai homo esteticus.
Setelah manusia dapat mencukupi kebutuhan fisiknya maka perlu dan

selalu mencari pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Manusia
semata-mata tidak hanya memenuhi kebutuhan isi perut saja, tetapi
mereka perlu juga pandangan yang indah serta suara yang merdu.
Semuanya itu dapat dipenuhi melalui kesenian.

4. Hubungan Manusia dan Kebudayaan
Manusia berbeda dengan binatang bukan
kebutuhan

namun

juga

dalam

cara

memenuhi

saja dalam banyaknya
kebutuhan

tersebut.

Kebudayaanlah, dalam konteks ini, yang memberikan garis pemisah antara
manusia dan binatang. Moslow mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan
manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afilasi, harga diri dan
pengembangan potensi. Binatang kebutuhannya terpusat kepada dua kelompok
pertama dari kategori Moslow yakni kebutuhan fisiologi dan rasa aman serta
memnuhi kebutuhan ini secara instinktif. Sedangkan manusia tidak mempunyai
kemampuan bertindak secara otomatis yang berdasarkan instink tersebut dan
oleh sebab itu dia berpaling kepada kebudayaan yang mengajarkan cara hidup.
Pada hakikatnya menurut Mavies dan John Biesanz, kebudayaan merupakan alat
penyelamat (survival kit) kemanusiaan di muka bumi.
Ketidakmampuan manusia untuk bertindak instinktif ini diimbangi oleh
kemampuan lain yakni kemampuan untuk belajar, berkomunikasi dan menguasai
obyek-obyek yang bersifat fisik. Kemampuan untuk belajar ini dimungkinkan
oleh berkembangnya intelegensi dan cara berpikir simbolik. Terlebih-lebih lagi
manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang di dalammnya
terkandung “dorongan-dorongan hidup yang dasar, inseting, perasaan, dengan
pikiran, kemampuan dan fantasi. Budi inilah yang menyebabkan manusia
mengembangkan suatu hubungan yang bermakna dengan alam setarnya dengan
jalan memberi penilaian terhadap obyek dan kejadian. Pilihan nilai inilah yang
menjadi tujuan dan isi kebudayaan.
Nilai-nilai budaya ini adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari
segenap wujud kebudayaan. Di samping nilai-nilai budaya ini kebudayaan

diwujudkan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia yang
mencerminkan nilai budaya yang dikandungnya. Pada dasarnya tata hidup
merupakan pencerminan yang kongkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak:
kegiatan manusia dapat ditangkap oleh pancaindra sedangkan nilai budaya
hanya tertangguk oleh budi manusia. Di samping itu maka nilai budaya dan tata
hidup manusia ditopang oleh perwujudan kebudayaan yang ketiga yang berupa
sarana

kebudayaan.

Sarana

kebudayaan

in

pada

dasarnya

merupakan

perwujudan yang bersifat fisik yang merupakan produk dari kebudayaan atau
alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Keseluruhan faset dari kebudayaan tersebut di atas sangat erat
hubungannya dengan pendidikan sebab semua materi yang terkandung dalam
suatu kebudayaan diperoleh manusia secara sadar lewat proses belajar. Lewat
kegiatan belajar inilah diteruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada
generasi selanjutnya. Dengan demikian maka kebudayaan diteruskan dari waktu
ke waktu: kebudayaan yang telah lalu bereksistensi pada masa kini dan
kebudayaan masa kini disampaikan ke masa ayang akan dating. Atau,menurut
Alfred Korzybski, kebudayaan mempunyai kemampuan mengikat waktu.
Tanaman mengikat bahan-bahan kimia, binatang mengikat ruang, tetapi hanya
manusia seorang yang mampu mengikat waktu.
Dalam kaitan pendidikan dengan kebudayaan inilah akan dicoba dikaji
beberapa masalah pokok yang patut mendapatkan perhatian. Pengkajian ini
ditujukan untuk menyelami beberapa gejala yang mempunyai pengaruh penting
dalam proses pendidikan kita. Masalah ini akan didekati dari segi nilai-nilai
budaya sebab obyek inilah yang merupakan dasar ideal bagi perwujudan
kebudayaan lainnya.

5. Hubungan kebudayaan dengan Pendidikan
Allport, Vernon dan Lindzey (1951) mengidentifikasikan enam nilai dasar
dalam kebudayaan yakni nilai teori, ekonomi, estetika, social, politik dan agama.
Yang dimaksud dengan nilai teori adalah hakikat penemuan kebenaran lewat

berbagai metode seperti rasionalisme, empirisme dan metode ilmiah. Nilai
ekonomi mencakup kegunaan dari berbagai benda dalam memnuhi kebutuhan
manusia. Nilai estetika berhubungan dengan keindahan dan segi-segi artistic
yang menyangkut antara lain bentuk, harmoni dan wujud kesenian lainnya yang
memberikan kenikmatan kepada manusia. Nilai social berorientasi kepada
hubungan antarmanusia dan penekanan segi-segi kemanusiaan yang luhur. Nilai
politik berpusat kepada kekuasaan dan pengaruh baik dalam kehidupan
bermasyarakat maupun dunia politik. Sedangkan nilai agama merengkuh
penghayatan yang bersifat mistik dan transedental dalam usaha manusia untuk
mengerti dan memberi arti bagi kehadirannya di muka bumi.
Setiap kebudayaan mempunyai skala hirarki mengenai mana yang lebih
penting dan mana yang kurang penting dari nilai-nilai tersebut di atas serta
mempunyai penilaian tersendiri dari tiap-tiap kategori. Alisjahbana (1975)
menkaji perkembangan kebudayaan Indonesia dari segi ini dalam publikasinya
Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia dari Jurusan Nilai-nilai.
Berdasarkan penggolongan tersebut di atas maka masalah pertama yang
dihadapi oleh pendidik ialah menetapkan nilai-nilai budaya apa saja yang harus
dikembangkan dalam diri anak kita. Pendidikan yang dapat diartikan secara luas
sebagai usaha yang sadar dan sistematis dalam membantu anak didik untuk
mengambangkan pikiran, kepribadian dan kemampuan fisiknya, mengharuskan
kita setiap waktu untuk mengkaji kembali masalah tersebut. Hal ini harus
dilakukan disebabkan oleh dua hal yakni, pertama nilai-nilai budaya yang harus
dikembangkan dalam diri anak kita haruslah relevan dengan kurun zaman di
mana anak itu akan hidup kelak dan, kedua usaha pendidikan yang bersifat
eksplisit dan definitive ini disebabkan gejala kebudayaan, yang meminjam
perkataan Hall, lebih banyak bersifat tersembunyi (implicit) daripada terungkap
(eksplisit), dan anehnya, hakikat kebudayaan itu justru lebih tersembunyi bagi
anggota masyarakatnya. Gejala yang kelihatannya bersifat paradox ini mungkin
tidak mengherankan lagi bila diingat bahwa banyak aspek kebudayaan yang kita
terima begitu saja tanpa pengenalan dan pendalaman yang sadar.

Masalah ini lebih serius lagi kalau diperhatikan bahwa pada kenyataannya
nilai-nilai budaya yang disampaikan lewat proses pendidikan bukan nilai-nilai
budaya yang diperlukan oleh anak didik kita kelak di mana dia akan dewasa dan
berfungsi dalam masyarakat melainkan nilai-nilai konvensional yang sekarang
berlaku yang didalami dan dipraktekkan oleh orang tua dan guru mereka selaku
pendidik. Kesimpulan sementara penelitian Sheldon Shaeffer di kecamatan
Turen, Malang (1978), menyebutkan bahwa kegiatan pendidikan dasar disana
tidak memberikan pengetahuan, nilai, sikap yang diperlukan anak itu kelak
untuk hidup dalam abad XXI. Bukan rahasia lagi bahwa guru selaku pendidik
termasuk dalam kelompok yang bersikap konservatif dalam menghadapi
pembaruan dan perubahan.
Untuk menentukan nilai-nilai mana yang patut mendapatkan perhatian kita
sekarang ini maka pertama sekali kita harus dapat memperkirakan scenario
dimana masyarakat kita di masa yang akan datang. Scenario masyarakat
Indonesia di masa yang akan dating tersebut, memperhatikan indicator dan
perkembangan yang sekarang ada, cenderung untuk mempunyai karakteristikkarakteristik sebagai berikut:
1. Memperhatikan tujuan dan strategi pembangunan nasional kita maka
masyarakat Indonesia akan beralih dari masyarakat tradisonal yang rural
agraris menjadi masyarakat modern yang urban dan bersifat industry
2. Pengembangan kebudayaan kita ditujukan kea rah perwujudan peradaban
yang bersifat khas berdasarkan filsafat dan pandangan hidup bangsa
Indonesia yakni Pancasila.
Karakteristik pertama mengharuskan kita untuk memusatkan perhatian
kepada nilai-nilai yang relevan dengan masyarakat modern yang sedang
berkembang. Dibandingkan dengan masyarakat tradisional maka masyarakat
modern mempunyai indicator-indikator sebagai berikut:
a. Lebih bersifat analitik di mana sebagian besar aspek kehidupan
bermasyarakat didasarkan kepada asa efisiensi baik yang bersifat teknis
maupun ekonomis

b. Lebih bersifat individual daripada komunal terutama ditinjau dari segi
pengembangan potensi manusiawi dan masalah survival.
Indikator pertama memberi tempat yang penting kepada nilai teori dan
nilai ekonomi. Nilai teori ini terutama sekali berkaitan erat dengan aspek
penalaran (reasoning), ilmu dan teknologi. Sedangkan nilai ekonomi berpusat
kepada penggunaan sumber dan benda ekonomi secara lebih efektif dan efisien
berdasarkan kalkulasi yang bertanggung jawab umpamanya pola konsumsi
masyarakat. Indicator kedua menimbulkan pergeseran dalam nilai social dan
nilai kekuasaan (politik). Kedua nilai ini harus lebih berorientasi kepada
kepercayaan pada diri sendiri serta keberanian untuk mengambil keputusan
sendiri.
Suatu masyarakat modern yang berasaskan efisiensi bertumpu kepada
ilmu dan teknologi sebagai landasan utamanya. Semua aspek kehidupan
bermasyarakat ditata secara rasional berdasarkan analisis. Pengambilan
keputusan dalam berbagai hal didasarkan kepada kerangka argumentasi yang
didukung penalaran yang kuat. Kekuatan berpikir akan bersifat dominan dan
mendesak ke belakang cara penarikan kesimpulan berdasrkan intuisi, perasaan
dan tradisi. Dalam masyarakat sekarang keadaan ini bersifat terbalik di mana
justru intuisi, perasaan dan tradisi itulah yang bersifat dominan. Peranan berpikir
belum mendapat tempat dengan prioritas yang relative rendah dari nilai teori
dalam Stelsel nilai-nilai kita. Patut ditandaskan di sini bahwa dalam masyarakat
modern bukan tidak terdapat tempat bagi intuisi, perasaan dan tradisi, namun
peranan ketiga sumber pengetahuan ini menjadi relative kurang penting
dibandingkan dengan berpikir.
Secara bertahap masyarakat tradisional yang berorientasi kepada status
akan beralih menjadi masyarakat modern yang berorientasi kepada prestasi.
Persaingan akan lebih tampak umpamanya saja dalam mencari tempat dalam
system pendidikan dalam mencari pekerjaan di mana gejala ini sudah kita
rasakan sekarang. Hubungan antarmanusia akan lebih bersifat individual di mana
survival seseorang ditentukan oleh kemampuannya untuk bersaing secara
produktif dalam masyarakat yang menekankan kepada prestasi. Untuk terjun ke

gelanggang yang keras ini manusia harus dibekali dengan kepercayaan pada
diri sendiri serta persiapan mental dan kemampuan untuk bersaing. Tanpa
kelengkapan ini maka dia kan tersingkir dan gagal menjadi anggota masyarakat
yang berguna. Mereka akan menjadi golongan yang dropout dari masyarakat
sekitarnya dan membentuk kelompok sendiri yang bersifat disfungsional. Suatu
gejala yang pun sekarang ini sudah tampak di Negara-negara industry yang maju
dalam bentuk hippies, beatnik dan kelompok-kelompok lainnya yang bersifat
deviatif. Sekiranya kesimpulan sementara Sheldon Shaeffer itu ternyata benar
dan bersifat universal maka perlu diambil tindakan-tindakan preventif dan kuratif
sebelum semuanya terlambat. Adanya lampu merah yang patut diperhatikan oleh
segenap para pendidik di negara kita jika sekiranya benar bahwa system
pendidikan kita gagal dalam memberi pengetahuan, nilai dan sikap yang
diperlukan anak didik kita di masa yang akan datang.
Pengembangan kebudayaan nasional kita ditujukan ke arah terwujudnya
suatu peradaban yang mencerminkan aspirasi dan cita-cita bangsa Indonesia.
Pancasila yang merupakan filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia
merupakan dasar bagi pengembangan peradaban tersebut. Namun untuk
mewujudkan peradaban tersebut diperlukan nilai khusus yang bernama
kreativitas. Kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencari
pemecahan baru terhadap suatu masalah. Nilai ini bersifat mendorong ke arah
pengembangan segenap potensi kebudayaan dalam mewujudkan peradaban
yang khas. Tanpa kreativitas maka hasilnya adalah serba tanggung: mediokriti
tanpa penonjolan yang jelas. Kegiatan kreatif berarti melakukan sesuatu yang
lain, suatu pola yang bersifat alternative, bagi kelaziman yang telah bersifat
baku. Dan dalam hal ini kreativitas sering bersilang jalan dengan konfirmasi:
apakah kita berani untuk maju, atau aman dalam status quo, bernama stabilitas?
Kreativitas sering dihubungkan dengan kreasi di bidang seni. Horace B.
English dan Ava C. English (1958) mendefinisikan kretivitas sebagai kemempuan
untuk menciptakan modus baru dalam ekspresi artistic. Dalam proses
pengembangan kebudayaan nilai estetika mempunyai kedudukan yang khusus,
dia bukan saja merupakan ekspresi yang

menyimak keindahan yang

memperkaya khazanah batin, namun juga berfungsi sebagai media yang

memperhalus budi pekerti. “ Selalu terdapat lading moral yang subur,” kata
Gilbert Chesterton, “untuk pertumbuhan artistic yang luhur”. Dalam hal ini ilmu
dan seni bersifat saling melengkapi: kalau ilmuan mengkaji aspek yang bersifat
generic dari ujud fisik, maka seniman menyentuh daerah paling pribadi,
kemanusianaan yang soliter dan unik.
Nilai agama berfungsi sebagai sumber moral bagi segenap kegiatan.
Hakikat semua upaya manusia dalam rangka lingkup kebudayaan haruslah
ditujukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebab kalau tidak maka hal ini
bukanlah proses pembudayaan melainkan dekadensi, keruntuhan peradaban.
Dalam hal ini maka agama memberikan kompas dari ujud berjuta galaksi.
Kemajuan pesat di bidang ilmu dan teknologi yang ternyata tidak memberikan
kebahagiaan yang hakiki menyebabkan manusia berpaling kembali kepada
nilai-nilai agama. Seperti juga seni dan ilmu maka pun agama dengan ilmu saling
melengkapi: kalau ilmu bersifat nisbi dan pragmatism aka agama adalah mutlak
dan abadi. Kiranya tidak ada orang yang lebih tepat selain Alnert Einstein untuk
mengungkapkan hakikat ini dengan kata-kata, “Ilmu tanpa agama adalah buta,
agama tanpa ilmu adalah lumpuh”. Dan ilmuan terkemuka ini pulalah yang lebih
dari lima puluh tahun yang lalu terbata, “Mengapa ilmu yang sangat indah ini,
yang menghemat kerja dan membikin hidup lebih mudah, hanya membawa
kebahagiaan yang sedikit kepada kita”.
Adanya kewajiban kita bersama untuk mempersiapkan anak-anak kita
untuk hidup dalam zamannya. Manusia yang takwa, terdidik, bermoral luhur,
estetik: makhluk yang berusaha maju dengan kerja keras dan usaha sendiri:
bukan melulu hadir, sekedar eksis, namun hidup dengan keseluruhan
kemanusiaan yang intens.

6. Pengaruh Timbal-balik antara Ilmu dan Kebudayaan
Ilmu adalah bagian dari pengetahuan. Untuk mendapatkan ilmu diperlukan
cara-cara tertentu, ialah adanya suatu metode dan mempergunakan sistem,
mempunyai objek formal dan material. Karena pengetahuan adalah bagian dari

unsur kebudayaan , maka ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan
dengan sendirinya juga merupakan salah satu unsur kebudayaan.
Kecuali ilmu merupakan unsur dari

kebudayaan, antar ilmu dan

kebudayaan ada hubungan timbal-balik. Perkembangan ilmu tergantung pada
perkembangan kebudayaan, sedangkan Perkembangan ilmu dapat memberikan
pengaruh pada kebudayaan . Keadaan sosial dan kebudayaan, saling tergantung
dan saling mendukung. Pada beberapa kebudayaan, ilmu dapat berkembang
dengan subur.
Di sini ilmu mempunyai dua peran ganda:


Ilmu merupakan sumber nilai yanag mendukung perkembangan
kebudayaan,



Ilmu merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan watak bangsa.

7. Ilmu Terhadap Pengembangan Kebudayaan Nasional
Masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri, yang adil dan makmur
berdasarkan pancasila dan UUD 1945 hanya mungkin terwujud bila seluruh
upaya pembangunan nasional berpijak pada landasan budaya yang dinamis.
Dinamis atau tidaknya kebudayaan nasional akan tampak dari mampu atau
tidaknya kebudayaan tersebut merangsang pertumbuhan serta perkembangan
segala kekuatan aktif-kreatif yang dimiliki manusia dan masyarakat Indonesia.
Jadi yang dibutuhkan adalah suatu ruang kebudayaan yang memungkinkan
manusia Indonesia secara bebas mengekspresikan atau mengaktualisasikan diri
dalam pelbagai bentuk.
Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah perubahan
dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah situasi
kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi tujuan nasional. Langkah-langkah
yang sistematik menurut Endang Daruni Asdi (1991) adalah sebagai berikut:
a. Ilmu dan kegiatan keilmuan disesuaiikan dengan kebudayaan yang ada
dalam masyarakat kita, dengan pendekatan edukatif dan persuasif dan

menghindari konflik-konflik, bertitik tolak dari reinterprestasi nilai yang
ada dalam argumentasi keilmuan.
b. Menghindari scientism dan pendasaran terhadapp akal sebagai satusatunya sumber kebenaran.
c. Meningkatkan integritas ilmuan dan lembaga keilmuan, dan melaksanakan
dengan konsekuen kaidah moral kegiatan keilmuan.
d. Pendidikan keilmuan sekaligus dikaitkan dengan pendidikan moral. Etika
dalam kegiatan keilmuan mempunyai kaidah imperatif.
e. Pengembangan ilmu disertai pengembangan bidang filsafat. Filsafat ilmu
hendaknya diberikan di pendidikan tinggi. Walaupun demikian kegiatan
ilmiah tidak berartilepas dari kontrol pemerintah dan kontrol masyarakat.

8. Peran ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam perkembangan
kebudayaan Nasional Indonesia
Konteks sejarah pembangunan Indonesia pembangunanan adalah proses
perubahan pada masyarakat yang direncanakan menuju suatu keadaan yang
lebih baik sesuai dengan tujuan pembangunan nasional dengan berdasarkan
pada nilai-nilai tertentu. Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di
tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. (UUD Pasal 32).
Dalam indikasi kebudayaan terdapat difusi penyebaran kebudayaan dari
satu tempat ketempat lain. akibat difusi adalah akulturasi dan asimilasi.
1. Akulturasi: adalah suatu proses yang timbul bila suatu kelompok manusia
dengan

kebudayaan

tertentu

dihadapkan

pada

suatu

unsur

dari

kebudayaan lain, sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan
asing itu lambat laun diterima kedalam kebudayaan sendiri tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri. Contoh:
bangsa Indonesia telah mengalami tiga kontak kebudayaan asing yang
besar yaitu: (1) kontak dengan kebudayaan Hindu-Buddha pada zaman

kuno(abad ke-1-15). (2) kontak kebudayaan Islam pada zaman madya
(abad ke15-17). Kontak dengan kebudayaan Barat pada zaman baru (abad
ke-17-20)
2. Asimilasi: adalah proses sosial yang timbul bila ada (i) golongan-golongan
manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (ii)
saling bergaul secara intensif dalam jangka waktu yang relatif lama
sehingga (iii) masing-masing kebudayaan tadi berubah sifatnya yang khas,
menjadi kebudayaan campuran. Istilah asimulasi sering juga dipakai untuk
menyebut pergaulan antara golongan mayoritas dan golongan minoritas
yang berbeda kebudayaanya, yangsaling bergaul secara intensif dalam
jangka waktu yang relatif lama sehingga kebudayaan dari golongan
minoritas kehilangan kepribadiannya yang khas karena menyesuaikan diri
dengan kebudayaan golongan mayoritas. Cara berpakaian umat muslim
(kebudayaan Arab) bagi wanita terhadap

wanita

Indonesia agar

menggunakan hijab.
Kebangkitan nasional tanggal 20 Mei 1908 adalah hasil pergerakan kaum
muda yang dirintis oleh Dr. Wahidin soedirohoesodo dan Sutomo Gunawan
Mangoenkoesoemo sebagai ketua. Pergerakan ini dilakukan oleh pelajar-pelajar
sekolah Dokter STOVIA. Faktor-faktor yang mendorong kaum muda untuk
mendirikan organisasi Budi Utomo sebagai

kebangkitan Nasional yang

merupakan proses dari Kebudayaan Nasional adalah:
1. Faktor pendidikan: pendidikan pada waktu penjajahan Belanda pribumi
kurang mendapatkan perhatian yang serius dalam bidang pendidikan.
Bahkan pribumi (rakyat Indonesia) dibatasi pndidikannya, jadi ada
diskriminasi antara rakyat Indonesia dengan bangsa Belanda, golongan
Eropa, maupun golongan Timur lainnya seperti Tionghoa, Arab, dan india.
Walaupun ada politik etis yang dikeluarkan Belanda ini tidak lain untuk
membantu mereka melaksanakan tujuan penjajahan Belanda itu sendiri;
missal rakyat Indonesia yang sudh pandi tulis baca digunakan sebagai
juru tulis mereka. Jadi pendidikan yang diberikan Belanda sekedar tahu
tulis baca saja. Akibatnya rakyat Indonesia tetap dalam kebodohan

sehingga dapat menjajah Indonesia selama tiga setengah abad, mereka
mengruk hasil kekayaan bangsa Indonesia untuk kepentingan Belanda.
Itulah salah satu faktor yang mendorong pemuda-pemuda pelajar yang
mendapat kesempatan waktu itu dalam pendidikan terutama di STOVIA di
Jakarta, membentuk organisasi Budi Utomo, tanggal 28 Mei 1908. Pada
hakikatnya Budi Utomo bertujuan agar pendidikan itu mewujudkan
kecerdasan bangsa Indonesia. Dengan majunya pendidikan maka bangsa
itu akan maju pula cara berpikirnya dengan kata lain untuk mencerminkan
identitas bangsa Indonesia. Oleh sebab itu usaha dari Budi Utomo
merupakan proses dari kebudayaan Nasional.
2. Faktor penghayatan terhadap penderitan rakyat. Akibat dari penjajahan
Belanda rakyat Indonesia cukup berat penderitaannya; misalnya sudah
tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang
sewajarnya. Contoh: Tanam Paksa yang dilakukan terhadap rakyat di
beberapa daerah, rodi(pekerja paksa) dalam pembuatan jalan untuk
kepentingan perkebunan dan pabrik-pabrik dari Belanda dan sebagainya.
Organisasi Budi Utomo pada hakikatnya sudah mulai memberantas
kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, ketidak adilan, kesehatan,
penggguran, dan sebagainya. Penderitaan rakyat yang menumpuk itulah
yang menjadi ilham dan dorongan bagi pemuda pelajar sekolah Dokter
STOVIA menjadi wadah untuk berjuang membebaskan rakyat Indonesia
dari penderitaan melalui organisasi Budi Utomo.
3. Faktor semangat persatuan. Dengan bersatunya pemuda pelajr yang
sudah mempunyai ilmu walaupun relative masih muda, mereka sudah
memikirkan penderitaan rakyat pada waktu itu. Bahkan dengan wadah
Budi Utomo mereka sudah dapat menyatukan pendapat yang selama ini
terpecah-pecah akibat penjajahan Belanda yang mempunyai politik
“devide et impera” atau politik pecah belah. Ibarat air kecil yang pada
mulanya sedikit tetapi lama kelamaan bersatu dengan kali-kali kecil
lainnya sehingga menjadi sungai yang besar bahkan menjadikan banjir
yang besar yang tidak dapat dibendung lagi. Inilah pentingnya persatuan

dan kesatuan yang mereka lakukan untuk menanggulangi penderitaan
rakyat waktu itu.
4. Faktor spontanitas. Pada hakikatnya para pemuda pelajar adalah orang
yang spontan. Mereka berani dan mampu mengambil prakarsa sendiri
atau mempunyai inisiatif dan karakteristik sendiri. Sekalipun kaum tua
memberikan nasihat-nasihat maupun ceramah-ceramah. Namun harus
diperhatikan bahwa spontanitas mengambil inisiatif dan kreatif serta
keputusan itu tidak datang dengan sendirinya. Pada perisipnya datang
memakan proses yang panjang yakni pada masa penjajahan Belanda yang
cukup panjang waktunya memberikan penderitaan yang amat berat
terhadap bangsa Indonesia. Spontanitas itu lahir dan timbul waktu rakyat
Indonesia terjepit. Spontanitas itu lahir dengan sendirinya bukan karena
digiring oleh kaum kaum yang lebih tua. Ia timbul dalam waktu yang
panjang dengan usaha-usaha yang keras bahkan kadangkala sering
diiringi perasaan frustasi. Namun spontanitas dari pemuda pelajar yang
mendirikan Budi Utomo, sifat atau perasaan mereka bukanlah dilandasi
dari perasaan frustasi tetapi dilandasi oleh penderitaan rakyat yang sudah
berlarut-larut.
5. Faktor perbuatan nyata. Kebangkitan nasional tanggal 20 Mei 1908
merupakan suatu motivasi berdirinya organisasi-organisasi. Di daerahdaerah timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong
Islamieten Bon, Jong Sumatra Bon, Jong Minahasa, Jong Ambon, Jong
Selebes. Pada mulanya organisasi ini berjalan sendiri-sendiri. Namun
semangat pergerakkan kemerdekaan, semangat menentang penjajahan
Belanda lama kelamaan membawa mereka kepada persatuan dan
kesatuan. Mereka terdorong membina dan mengembangkan satu
pergerakan pemuda Indonesia yang berjiwa Nasional dan patriotis.
Dengan melalui serangkaian pertemuan, kongres dan kerjasama pada
akhirnya dalam Kongres Pemuda yang Kedua, tanggal 28 Oktober 1928,
mereka bersatu-padu mencetuskan sumpah pemuda. Jadi, pergerakan
Budi

Utomo

sesuai

denan

tujuannnya

adalah

untuk

mengkatkan

pendidikan dan untuk membebaskan penderitaan rakyat serta untuk

menggrakan

kemerdekaan

Indonesia.

Dalam

kaitannya

dengan

Kebudayaan Nasional, jelas bahwa pergerakan Budi Utomo merupakan
proses dari Kebudayaan Nasional; atau dengan kata lain bahwa
kebangkitan Nasional merupakan proses dari Kebudayaan Nasional.

DAFTAR PUSTAKA

Awaludin S. Buku Materi Pokok Kebudayaan Nasional. Jakarta: Kurnika, Universitas
Terbuka, 1986
P. Hariono. Pemahaman Kontektual (Tentang Ilmu Budaya Dasar). Jogjakarta:
Kanisius, 1996
Semiawan, C. dkk. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu
Sepanjang Zaman. Jakarta : Mizan Publika, 2005.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara,
2007
The Liang Gie. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta : Liberty, 2004
Jalaluddin dan Abdullah Idi. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.,
1997
Surasumantri, Jujun, S. Filsafat Ilmu sebuah pengantar populer. Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan. 2009

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENGARUH PENGGUNAAN BLACKBERRY MESSENGER TERHADAP PERUBAHAN PERILAKU MAHASISWA DALAM INTERAKSI SOSIAL (Studi Pada Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Angkatan 2008 Universitas Muhammadiyah Malang)

127 505 26

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

GANGGUAN PICA(Studi Tentang Etiologi dan Kondisi Psikologis)

4 75 2