Manusia memiliki kebutuhan yang beragam

Manusia memiliki kebutuhan yang beragam jenisnya baik yang bersifat fisik maupun rohani.
Dalam pengertian ilmu ekonomi, konsumsi ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi
atau menghabiskan faedah suatu benda (barang dan jasa) dalam rangka pemenuhan
kebutuhan. Bagaimana seorang konsumen memenuhi kebutuhannya dengan pendapatan
yang di milikinya? Kita akan melihat bagaimana konsumen membelanjakan uang yang di
milikinya untuk memperoleh barang/jasa dan bagaimana teori konsumsi dalam islam.
Islam melihat aktivitas ekonomi adalah salah satu cara untuk menumpuk dan meningkatkan
pahala menuju falah (kebahagiaan dunia dan akhirat). Motif berkonsumsi dalam islam pada
dasarnya adalah mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.
Dalam ekonomi Islam, tujuan konsumsi adalah memaksimalkan maslahah. Menurut Imam
Shatibi istilah maslahah maknanya lebih luas dari sekedar utility atau kepuasan dalam
terminology ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara yang paling
utama. Pada konsep ini islam dan konvensional sepakat bahwa kebutuhan untuk
mempertahankan hidup adalah motif umum ekonomi.
I.

PENDAHULUAN

Definisi Ilmu Ekonomi adalah ilmu yang mempelajari cara manusia dalam memanfaatkan,
mengelola, dan menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memenuhi kebutuhan dan
keinginannya. Dalam kegiatan ekonomi, pelaku yang bertindak di dalamnya terbagi menjadi

produsen, konsumen dan distributor. Salah satu kegiatan ekonomi yang dibahas dalam ilmu
ekonomi adalah tingkah laku konsumen dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam pandangan
teori ekonomi konvensional, perilaku/tingkah laku konsumen didasarkan pada aturan
kebebasan mutlak. Berbeda dengan teori ekonomi konvensional, dalam teori ekonomi Islam
mengajarkan umat manusia pada umunya dan umat muslim pada khususnya untuk berpegang
pada norma dan batas-batas yang berlandaskan kepada ketentuan-ketentuan syariah.
Teori Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di
antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources)
yang dimilikinya.
Teori perilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional didasari pada
prinsip-prinsip dasar utilitarianisme. Diprakarsai oleh Bentham yang mengatakan bahwa
secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang baik untuk kepentingan dirinya
kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap kebebasan individu, baik
oleh individu lain maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan harus ada alasan kuat untuk
melakukannya.
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang
mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi
fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk
berkonsumsi. Dalam tulisan ini akan dilakukan analisa bagaimana teori ekonomi Islam
mendeskripsikan dan membahas perilaku konsumen.

II.

PEMBAHASAN

2.1. Teori Perilaku Konsumen dalam Ilmu Ekonomi Konvensional

Teori Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih
diantara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumber daya (resources)
yang dimilikinya. Teori perilaku konsumen rasional dalam paradigma ekonomi konvensional
didasari pada prinsip-prinsip dasar utilitarianisme. Diprakarsai oleh Bentham yang
mengatakan bahwa secara umum tidak seorangpun dapat mengetahui apa yang baik untuk
kepentingan dirinya kecuali orang itu sendiri. Dengan demikian pembatasan terhadap
kebebasan individu, baik oleh individu lain maupun oleh penguasa, adalah kejahatan dan
harus ada alasan kuat untuk melakukannya.
Dasar filosofis tersebut melatarbelakangi analisis mengenai perilaku konsumen dalam teori
ekonomi konvensional:



Kelangkaan dan terbatasnya pendapatan.

Konsumen mampu membandingkan biaya dengan manfaat.



Tidak selamanya konsumen dapat memperkirakan manfaat dengan tepat. Saat
membeli suatu barang, bisa jadi manfaat yang diperoleh tidak sesuai dengan harga
yang harus dibayarkan.



Setiap barang dapat disubstitusi dengan barang lain. Dengan demikian konsumen
dapat memperoleh kepuasan dengan berbagai cara.



Konsumen tunduk kepada hukum Berkurangnya Tambahan Kepuasan (The Law of
Diminishing Marginal Utility). Semakin banyak jumlah barang dikonsumsi, semakin
kecil tambahan kepuasan yang dihasilkan. Jika untuk setiap tambahan barang
diperlukan biaya sebesar harga barang tersebut (P), maka konsumen akan berhenti
membeli barang tersebut manakala tambahan manfaat yang diperolehnya (MU) sama

besar dengan tambahan biaya yang harus dikeluarkan. Maka jumlah konsumsi yang
optimal adalah jumlah dimana MU = P.

Fungsi utility dalam ilmu ekonomi konvensional dijelaskan sebagai berikut:




Dalam ekonomi, utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif
(gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat
atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam
koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang.
Dalam ilmu ekonomi tingkat kepuasan (utility function) digambarkan oleh kurva
indiferen (indifference curve). Biasanya yang digambarkan adalah utility function
antara dua barang (atau jasa) yang keduanya memang disukai konsumen.

Tujuan aktifitas konsumsi adalah memaksimalkan kepuasan (utility) dari mengkonsumsi
sekumpulan barang/jasa yang disebut ’consumption bundle’ dengan memanfaatkan seluruh
anggaran/ pendapatan yang dimiliki.
II.2. Teori Perilaku Konsumen dalam Ilmu Ekonomi Islam

Pada kenyataannya, kepuasan dan perilaku konsumen dipengaruhi oleh hal-hak sebagai
berikut :


Nilai guna (utility) barang dan jasa yang dikonsumsi. Kemampuan barang dan jasa
untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan konsumen.



Kemampuan konsumen untuk mendapatkan barang dan jasa. Daya beli dari income
konsumen dan ketersediaan barang dipasar.



Kecenderungan Konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi menyangkut
pengalaman masa lalu, budaya, selera, serta nilai-nilai yang dianut seperti agama, adat
istiadat.

Pada tingkatan praktis, perilaku ekonomi (economic behavior) sangat ditentukan oleh tingkat
keyakinan atau keimanan seseorang atau sekelompok orang yang kemudian membentuk

kecenderungan prilaku konsumsi di pasar. Tiga karakteristik perilaku ekonomi dengan
menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi yaitu:






Ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau
berproduksi akan didominasi oleh tiga motif utama tadi: mashlahah, kebutuhan dan
kewajiban.
Ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi
hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh
ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat
individualistis.
Ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi tentu saja
akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness): ego, keinginan dan
rasionalisme.

2.2.1. Perilaku konsumen Muslim

Perilaku konsumsi Islam berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Hadis perlu didasarkan atas
rasionalitas yang disempurnakan yang mengintegrasikan keyakinan kepada kebenaran yang
‘melampaui’ rasionalitas manusia yang sangat terbatas ini. bekerjanya ‘invisible hand’ yang
didasari oleh asumsi rasionalitas yang bebas nilai – tidak memadai untuk mencapai tujuan
ekonomi Islam yakni terpenuhinya kebutuhan dasar setiap orang dalam suatu masyarakat.
Islam memberikan konsep adanya an-nafs al-muthmainnah (jiwa yang tenang). Jiwa yang
tenang ini tentu saja tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari
kehidupan. Disinilah perlu diinjeksikan sikap hidup peduli kepada nasib orang lain yang
dalam bahasa Al-Qur’an dikatakan “al-iitsar’.
Berbeda dengan konsumen konvensional. Seorang muslim dalam penggunaan penghasilanya
memiliki 2 sisi, yaitu pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya dan
sebagiannya lagi untuk dibelanjakan di jalan Allah.
Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan
menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang
cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas
dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.


Batasan konsumsi dalam islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-haram saja
tetapi termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik, cocok, bersih, tidak

menjijikan. Larangan israf dan larangan bermegah-megahan.



Begitu pula batasan konsumsi dalam syari’ah tidak hanya berlaku pada makanan dan
minuman saja. Tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi lainya. Pelarangan atau
pengharaman konsumsi untuk suatu komoditi bukan tanpa sebab.



Pengharaman untuk komoditi karena zatnya karena antara lain memiliki kaitan
langsung dalam membahayakan moral dan spiritual.

Dalam Islam, asumsi dan aksioma yang sama (komplementer, substitusi, tdk ada keterikatan),
akan tetapi titik tekannya terletak pada halal, haram, serta berkah tidaknya barang yang akan
dikonsumsi sehingga jika individu dihadapkan pada dua pilihan A dan B maka seorang
muslim (orang yang mempunyai prinsip keislaman) akan memilih barang yang mempunyai
tingkat kehalalan dan keberkahan yang lebih tinggi, walaupun barang yang lainnya secara
fisik lebih disukai.


Dalam Islam dikenal pula konsumsi sosial, dengan penjelasan sebagai berikut:



Konsumsi dalam islam tidak hanya untuk materi saja tetapi juga termasuk konsumsi
social yang terbentuk dalam zakat dan sedekah. Dalam al-Qur’an dan hadits
disebutkan bahwa pengeluaran zakat sedekah mendapat kedudukan penting dalam
islam. Sebab hal ini dapat memperkuat sendi-sendi social masyarakat.
zakat



sedekah



2.5. Analisis Perbandingan Perilaku dan Prinsip Konsumsi Antara Konvensional dan
Islam
Dalam kerangka pemikiran teori ekonomi konvensional, lahirnya ilmu perilaku ekonomi
didasarkan kepada jumlah sumber daya (resource) yang terbatas dengan kebutuhan (needs)

yang tidak terbatas. Fenomena keterbatasan tersebut melahirkan suatu kondisi yang disebut
kelangkaan (scarcity). Munculnya kelangkaan mendorong berbagai permasalahan dalam
memilih (problem of choices) yang harus diselesaikan gunamencapai suatu tujuan yang
dinamakan kesejahteraan (welfare).
Dalam Principles of Economics mengatakan bahwa kriteria penilaian pencapaian hasil
ekonomi berdasarkan kepada:



Efficiency (allocative efficiency): menghasilkan apa yang dibutuhkan masyarakat
dengan biaya yang serendah-rendahnya
Equity: fairness (keadilan)



Growth: peningkatan total output dalam perekonomian



Stability: kondisi output yang tetap atau meningkat dengan tingkat inflasi rendah dan

tidak ada sumber daya yang menganggur.



Dalam mempelajari consumer behavior ada tiga langkah yang dilakukan oleh ekonomi
konvensional (Pyndick):

1. Mempelajari consumer preferences: mendeskripsikan bagaimana seseorang lebih
memilih suatu barang terhadap barang yang lain. Asumsi dasar dalam konsumsi:


Preferences are complete pilihan-pilihan menyeluruh.



Preferences are transitive pilihan-pilihan bersifat konsisten A>B, B>C, makaA>C.



Consumers always prefer more of any good to less: konsumen selalu memilih sesuatu
yang banyak dibandingkan yang sedikit.

1. Mengetahui keberadaan budget constraint (keterbatasan anggaran/sumber daya).
2. Menggabungkan antara consumer preferences dan budget constraint untuk
menentukan pilihan konsumen atau dengan kata lain kombinasi barang apa saja yang
akan dibeli untuk memenuhi kepuasannya.
Manusia termasuk makhluk multidimensi, yaitu makhluk yang di dalam dirinya terdapat
berbagai aspek yang cenderung menggerakkan manusia untuk berbuat, bertindak dan
membutuhkan sesuatu. Sehingga manusia terdorong untuk melakukan sesuatu guna
memenuhi kebutuhannya.
Telah dijelaskan dalam ekonomi konvensional, bahwa perilaku konsumsi mencakup kegiatan
kegiatan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan baik jasmani maupun rohani
guna mencukupi kelangsungan hidup. Perilaku konsumsi individu berbeda-beda, perbedaan
tersebut disebabkan adanya perbedaan pendapat dan latar belakang .Dalam perspektif
ekonomi konvensional dikatakan lebih banyak selalu lebih baik. Sementara dalam islam ada
beberapa etika ketika seorang muslim berkonsumsi :
Menurut M.A. Manan :
1. Prinsip Keadilan
2. Prinsip Kebersihan
3. Prinsip Kesederhanaan
4. Prinsip Kemurahan hati.
5. Prinsip Moralitas.
Menurut Yusuf Qardhawi
1. Membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir.
2. Tidak melakukan kemubadziran.
3. Menjauhi berutang. setiap muslim diperintahkan untuk menyeimbangkan pendapatan
dengan pengeluarannya.
4. Menjaga asset yang mapan dan pokok.
5. Tidak hidup mewah dan boros.
3.

Kesederhanaan.

Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
1. Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan
seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia.
Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah
merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan
konsumsi duniawi adalah present consumption.
2. Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan
bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula
kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan
kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan
bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3. Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya
bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk
mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar. (QS.2.265)
III. KESIMPULAN & SARAN
1. Ada perbedaan nyata antara perilaku konsumen konvensional dan Islam.
2. Perilaku konsumen Islam memiliki dasar rujukan syariah yang diambil dari Kitab suci
Al Quran dan Al Hadis. Sedangkan perilaku konsumen konvensional berdasarkan
rujukan logika manusia dan menganut paham kebebasan, hak pilihan mutlak pada
keinginan logika manusia. Tujuan konsumsi dalam ekonomi Islam adalah
memaksimalkan mashlahah.
3. Mashlahah merupakan integrasi dari manfaat fisik dan keberkahan (keberkahan
diperoleh dari produk/jasa halal, mengkonsumsi dengan niat/motif ibadah, konsumsi
dibeli dari harta/rejeki yang halal dan lain sebagainya). Dalam rumusan matematis
penghitungan mashlahah marginal, preferensi terhadap keberkahan terbukti dapat
memperpanjang rentang kegiatan konsumsi, sehingga akan memperlambat/mencegah
kebosanan. Sedangkan tujuan konsumsi dalam ekonomi konvensional adalah
memaksimalkan kepuasan, tanpa memperhatikan halal haram atau menerapkan
perilaku bebas nilai. Jika pun ada nilai yang dipakai tidak bersifat mengikat dan
melekat, tujuan akhirnya tetap saja memaksimalkan kepuasan.
3.2. Saran
1. Dibutuhkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut untuk mendeskripsikan,
memformulasikan dan mempertajam kajian serta analisa tentang teori perilaku
konsumen.
2. Perilaku konsumen Islam memiliki kandungan nilai moral dan etika yang lengkap dan
komprehensif. Namun untuk menjadi sebuah cabang ilmu tersendiri, ilmu ekonomi
Islam harus membangun kerangka teoritik sesuai dengan tinjauan dari sisi axiologi,
epistemologi dan ontologi. Oleh karena itu para ekonom/ilmuwan ekonomi Islam
harus bersepakat membuat standarisasi ilmu ekonomi Islam, termasuk pula di
dalamnya teori perilaku konsumen.
3. Teori Ekonomi konvensional bisa dijadikan komplementer

dalam mengembangkan ilmu ekonomi Islam, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
1. Pemerintah Indonesia, harus memberi dukungan konkret terhadap perkembangan ilmu
ekonomi Islam, baik dalam bentuk regulasi maupun dana, infrastruktur, sarana dan
prasarana, sehingga diharapkan, Indonesia bisa menjadi pusat Ilmu Ekonomi Islam di
dunia, bukan negara lain.
DAFTAR PUSTAKA
Kahf, M., 1995, Ekonomi Islam, PustakaPelajar, Yogyakarta
Karim, A. Ir. , 2007. Ekonomi Mikro Islam, edisi ketiga, Rajawali Pers, Jakarta
Marton, Saad, Said, (2004), Ekonomi Islam Ditengah Krisis Ekonomi Global, Zikrul Hakim,
Jakarta
Metwally, (1995), Teori dan model ekonomi islam. PT Bangkit Daya Insana, Jakarta
Nasution, M.E., Huda, N., dkk (2006). Pengenalan Ekslusif Ilmuekonomi Islam, Kencana
Prenada Group, Jakarta
P3EI, 2008, Ekonomi Islam, Rajawali Pers, Jakarta
Rahardja, P. dan Mandala, M., 2004, Teori Ekonomi Mikro: Suatu Pengantar, edisi ketiga,
Lembaga Penerbit FE UI, Jakarta.
Sukirno, S., 2009, Mikro Ekonomi: Teori Pengantar, edisi ketiga, Rajawali Pers, Jakarta
Yusuf, Q., 2002, Halal dan Haram dalam Islam, Bina Ilmu,
Surabayahttp://ekonomikonvensionaldanekonomiislam.blogspot.com/2011/10/pengertiankonsumsi.html, diambil tanggal 11 Maret 2013.