Meningkatkan Kualitas Belanja produk jumma

Meningkatkan Kualitas Belanja
Oleh Nico Aditia, Pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan

Banyak kalangan, utamanya oposisi Pemerintah, menganggap pembangunan di Indonesia tidak
merata. Hal ini setidaknya didasarkan oleh koefisien Gini Ratio (rasio ketimpangan ekonomi, semakin
besar berarti kesenjangan semakin lebar) yang dianggap masih cenderung besar. Bahkan, pada
tahun 2011, Gini Ratio Indonesia mengalami peningkatan dari 0,3% menjadi 0,4%. Peningkatan
tersebut menandakan pembangunan ekonomi di Indonesia semakin tidak merata dan mulai
memunculkan berbagai permasalahan. Salah satu wujud permasalahan yang terjadi adalah
ketimpangan distribusi pembangunan antar wilayah, khususnya Jawa dan luar Jawa. Kesenjangan
tersebut dapat dilihat dari penyebaran industri, perdagangan dan jasa, infrastruktur, listrik, irigasi,
pendidikan, pertanian bahkan sumber daya manusia.
Meskipun pemerintah sudah menjalankan kebijakan desentralisasi, ketimpangan Jawa-luar Jawa tetap
saja masih lebar. Sektor Industri misalnya, 80 persennya masih ada di Jawa. Sekolah-sekolah dan
universitas terbaik umumnya juga berada di Jawa. Kegiatan ekonomi dan infrastuktur juga relatif
lebih baik di Jawa. Sehingga hingga kini, Jawa masih menjadi episentrum ekonomi nasional.
Akibatnya, dapat ditebak, Jawa bukan saja menjadi magnet bagi kegiatan ekonomi, tapi juga magnet
bagi penduduk Indonesia untuk mengadu nasib. Gelombang “migrasi” SDM-SDM terbaik, “brain
drain” terjadi di mana-mana. Anak-anak terbaik putra daerah lebih memilih tinggal di Jawa
dibandingkan daerah asalnya.
Adanya ketimpangan pembangunan tersebut pada dasarnya bukan merupakan kesalahan saat ini

saja. Ketimpangan pemerataan pembangunan ekonomi di Indonesia sudah terjadi sejak
pemerintahan kolonial Belanda. Indikasinya, Belanda sejak menjajah Indonesia pada awal abad ke-18
cenderung memusatkan pemerintahan dan ekonominya di Jawa. Bahkan pada masa orde baru,
pembangunan juga banyak terjadi di pulau Jawa. Kala itu, pembangunan hanya mengejar
pertumbuhan dan melupakan aspek pemerataan. Strategi pembangunan yang “kurang tepat”
tersebut berimplikasi pada lebarnya kesenjangan antar wilayah. Kebijakan pertumbuhan tanpa
mempertimbangkan pemerataan bahkan menimbulkan berbagai dilema dalam pembangunan nasional
di kemudian hari. Berbagai program pemerintah tak berjalan optimal karena tak ditopang kebijakan di
sektor terkait lainnya.
Belanja Negara
Brons, de Groot dan Nijkamp (1999) berpendapat, bahwa pemerintah seharusnya dapat
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut dapat
dilakukan melalui tiga instrumen kebijakan fiskal yakni pajak, pengeluaran dan keseimbangan
anggaran. Ke tiga hal tersebut dalam jangka panjang dapat mempengaruhi efisiensi penggunaan
sumber daya dan kemajuan teknologi. Faktanya, hubungan antara pengeluaran pemerintah dan
pertumbuhan ekonomi tidak selalu berjalan beriringan. Menurut Barro (1990) dampak pengeluaran
pemerintah akan sangat bergantung pada kondisinya. Kondisi pengeluaran yang produktif akan
berkolerasi positif dengan pertumbuhan ekonomi, sedangkan pengeluaran yang tidak produktif akan
berkolerasi negatif.
Bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 2013, pemerintah dalam APBN 2013 menargetkan

penerimaan sebesar Rp1.507,7 Triliun. Penerimaan tersebut mencapai dua kali lipat dibandingkan
dengan tahun 2007. Sementara, target penerimaan pajak masih menjadi target penerimaan terbesar,
yakni mencapai Rp1.031,7 triliun atau sekitar 68,4 persen dari total penerimaan negara. Namun
demikian, meskipun penerimaan negara terus naik dari tahun ke tahun, apabila kita bedah lebih
lanjut, ternyata kenaikan penerimaan dalam APBN tersebut hanya berdampak signifikan pada
beberapa pos saja, yakni belanja pegawai, subsidi dan membayar cicilan pokok hutang beserta
bunganya. Sementara itu, pengeluaran untuk pembangunan infrastruktur kurang lebih hanya

mencapai 10 persen dari belanja negara. Bahkan apabila dibandingkan dengan belanja subsidi,
alokasi untuk pembangunan infrastruktur tidak sampai 60 persennya. Fakta ini menunjukkan masih
tingginya beban subsidi pada APBN kita. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa kenaikan penerimaan
perpajakan belum efektif menopang laju pembangunan, karena sebagian besar masih ditunjukkan
untuk belanja non infrastruktur.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang semakin
merata, persoalan pokok yang dihadapi bukan hanya sekedar masalah kualitas penyerapan belanja
negara. Pemerataan pembangunan ekonomi juga berkaitan dengan besaran anggaran yang
dialokasikan untuk pembangunan fisik. Apa artinya daya serap anggaran yang besar akan tetapi
hanya didominasi untuk belanja subsidi dan pegawai. Yang terpenting adalah bagaimana
memperbesar porsi belanja modal yang produktif yang akan berdampak langsung pada
perekonomian. Dan tentunya porsi belanja modal yang produktif tersebut memberikan efek yang

merata bagi pertumbuhan ekonomi. Bukan hanya di pulau Jawa saja, tapi merata di seluruh
Indonesia secara proporsional.
Menurunkan anggaran belanja subsidi nampaknya sulit, karena secara politis akan berbenturan
dengan kepentingan partai politik. Begitu juga dengan pembayaran cicilan pokok dan bunga sulit
dihindari, karena menyangkut kredibitas pemerintah. Satu-satunya langkah yang dapat ditempuh
adalah dengan melakukan efiseinsi belanja pegawai yang selama ini hanya berkonotasi hanya untuk
menambah penghasilan pegawai. Hasil efisiensi ini sebaiknya digunakan untuk menambah porsi
belanja modal yang produktif. Langkah ini tidak mustahil, sebab menurut Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi mulai tahun 2013, semua
Kementerian/Lembaga diharapkan sudah mendapatkan remunerasi, sehingga tidak ada lagi alasan
untuk mengutak-atik belanja negara untuk memperkaya para pegawai negeri, baik sipil maupun non
sipil.
Dengan demikian, adanya peningkatan belanja modal diharapkan dapat memberikan kesempatan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi lebih besar. Selain itu, dengan adanya
penyebaran belanja modal yang tidak berpusat di pulau Jawa, diharapkan dapat memberikan
pemerataan pembangunan di Indonesia. Sehingga, peningkatan dan penyebaran alokasi belanja
modal, bukan saja dapat meningkatkan pemerataan pembangunan tapi juga dapat memperbaiki Gini
Ratio. Semoga.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi di mana penulis
bekerja.