Apakah itu “Historiografi Pembebasan
“HISTORIOGRAFI PEMBEBASAN”: SUATU ALTERNATIF
Singgih Tri Sulistiyono*
Abstrak
Terdapat banyak sinyalemen yang mengatakan historiografi Indonesia telah tidak mampu menunaikan fungsinya dalam ikut memecahkan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Padahal, pada saat ini masyarakat Indonesia sedang menghadapi berbagai macam persoalan seperti kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan, eksploitasi, dan sebagainya menyusul terjadinya badai krisis ekonomi sejak tahun 1998.
Ketidakmampuan historiografi Indonesia untuk ikut ambil bagian dalam memecahkan persoalan bangsa di samping disebabkan oleh keterbelengguan pada formalisme metodologi dan epistemologi, juga disebabkan oleh kekurangberanian sejarawan untuk menggugat realitas kekinian. Dalam hal inilah, “historiografi pembebasan” dapat dijadikan sebagai sebuah alternatif historiografi yang akan
mampu membebaskan pikiran masyarakat dari belenggu mitos kelampauan sehingga memiliki kesadaran terhadap penyelesaian persoalan kekinian dan cita-cita di masa depan. Untuk itu, kajian “historiografi pembebasan” lebih menekankan kepada persoalan-persoalan kontemporer yang sedang menghimpit masyarakat Indonesia saat ini seperti kemiskinan, ketidakadilan, ketergantungan, dan sebagainya yang sudah diterima sebagai sebuah keniscayaan. Dengan demikian, kajian “historiografi pembebasan” akan menggunakan point of departure kekinian untuk mengkaji masa lampau sehingga kajian sejarah tidak tercerabut dengan akar kepentingan masa kini. Dalam hubungan itu, “historiografi pembebasan” mengedepankan komitmen kepada nilai-nilai keindonesiaan dengan dasar kemanusiaan, yaitu kembali kepada cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Kata Kunci: Historiografi, Pembebasan
Pendahuluan
pengalaman masyarakat pada masa lampau dalam menghadapi tantangan dan jawaban
terhadap masalah-masalah pada jamannya. Pengukuhan
Pada bagian
akhir
Pidato
Penguasaan pengetahuan masa lampau akan disampaikannya pada Rapat Senat
memungkinkan kita dapat memahami masa Terbuka Universitas Gadjah Mada pada
sekarang, dan berarti bahwa kegagalan tahun 1998, Prof. Dr. Djoko Suryo
dalam membaca tanda-tanda jaman masa menyatakan:
lampau akan menggagalkan kemampuan kita “...menghadapai persoalan masyarakat
membaca isyarat-isyarat jaman pada masa dan bangsa masa kini yang sedang
kini”.
menghadapi krisis ekonomi dan politik Kutipan tersebut setidak-tidaknya yang berat, maka diperlukan pemahaman
mencerminkan dua hal. Pertama, sebagai dan kesadaran akan dinamika sejarah
sejarawan senior, beliau sangat responsif masyarakat Indonesia dari masa ke masa
terhadap situasi krisis dan peristiwa besar untuk dapat diambil pelajaran dan
yang sedang dihadapi oleh masyarakat, hikmahnya.
bangsa, dan negaranya. Seperti diketahui diharapkan akan dapat membantu dalam
Pendekatan
sejarah
bahwa tahun 1998 merupakan puncak memperoleh pemahaman akan
terjadinya krisis moneter di mana Mata uang
10 | JURNAL AGASTYA VOL 6 NO 1 JANUARI 2016
rupiah kehilangan sekitar 80 persen nilai penting bagi masyarakat untuk memahami tukarnya dalam pasar uang internasional.
masa kini. Jika karya sejarawan tidak mampu Nilai rupiah anjlok dari sekitar Rp. 2.600
menjelaskan situasi dan persoalan kekinian ke Rp. 18.000 per dolar Amerika. Dari
akan gagal pula bulan Desember 1997 hingga Juli 1998
maka
masyarakat
pemahaman terhadap angka inflasi mencapai 59,1 persen. 1 persoalan-persoalan kekinian yang pada Secara
memperoleh
umum ekonomi
Indonesia
gilirannya juga menyesatkan langkah di masa mengalami kontraksi hingga 13,7 persen. 2 yang akan datang. Jika sejarawan tak mampu
Krisis moneter itu juga menjadi pemicu menjelaskan persoalan kekinian melalui terjadinya
karya-karya historiografinya, maka sejarah melengserkan Presiden Suharto yang
akan dipandang sebagai ilmu yang tidak ada telah berkuasa lebih dari 30 tahun.
manfaatnya untuk kepentingan masa kini dan Kedua, sebagai seorang sejarawan
masa depan. Sejarah dipandang hanya beliau sangat yakin bahwa pemahaman
sebagai ilmu yang hanya bicara masa lampau dan kesadaran sejarah akan mampu
tanpa ada kaitannya dengan masa kini dan membantu segenap elemen masyarakat
masa depan. Hal ini bukan sekedar dalam
pengandaian belaka. Menurut Bambang mengembangkan
Purwanto bahwa akhir-akhir ini banyak menyelesaikan
strategi
untuk
kepada sejarawan berlangsung sebab pemahaman sejarah
krisis yang
sejarawan yang dapat memberikan pelajaran dan hikmah
akademis,
yaitu
berkecimpung di dunia ilmu sejarah pada untuk menghadapi krisis yang sudah biasa
perguruan tinggi. Kritik itu antara lain terjadi dalam sejarah manusia. Namun
menyatakan bahwa pada saat ini tulisan- demikian, jika orang gagal dalam
tulisan para sejarawan akademis, tidak memahami tanda-tanda jaman yang
memiliki akar persoalan dari masyarakatnya, diajarkan oleh sejarah, maka orang itu
sehingga karya-karya mereka tidak mampu akan gagal juga dalam menyelesaikan
mencerahkan masyarakat dan tidak memiliki persoalan masa kini dan masa datang.
bagi pemecahan Dengan
sumbangan
apapun
persoalan aktual apalagi untuk masa yang diungkapkan di atas tampaknya sangat
akan datang. 3 Mereka dipandang tidak jelas bahwa pemahanan dan kesadaran
komitmen moral dan sejarah
menunjukkan
kepedulian terhadap masyarakatnya. Dengan memecahkan persoalan kekinian (present)
demikian sejarah telah kehilangan nilai sosial dan kemasadatangan (future). Di sinilah
sehingga tidak peran seorang sejarawan sebagai narator
dan
kulturalnya,
menampakkan tanggung jawab kepada dan masa lampau (past) menjadi sangat
relevansi bagi kehidupan kekinian. Mereka penting. Dengan demikian karya seorang
diibaratkan seperti berdiri di menara gading sejarawan (historiografi) memiliki peran
yang bangga terhadap kehebatan sendiri,
* Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang. Makalah ini pernah disampaikan pada Seminar Akademik dengan Tema ”Historiografi Indonesia Modern” yang diselnggarakan oleh Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta: 29 Desember 2009). Sebagain besar makalah ini diambil dari pidato pengukuhan guru besar penulis yang berjudul “Historiografi Pembebasan untuk Indonesia Baru” (Semarang, 15 Maret 2008).
1 Prijono Tjiptoherijanto, “Economic Crisis in Indonesia: General Consequence of People’s Life and Pilicy Implications”, paper dipresentasikan pada The Conference on the Modern Economic History of
Indonesia (Yogyakarta: 26-28 Juli 1999), hlm. 1. 2 Robert Cribb, Historical Atlas of Indonesia (Honolulu: University of Hawaii Press, 2000), hlm. 188.
3 Bambang Purwanto, “Sejarawan Akademik dan Disorientasi Historiografi: Sebuah Otokritik”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta:
28 September 2004).
“ Historiografi Pembebasan”: Suatu Alternatif | 11
namun tidak mampu menjadi pencerah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. bagi masyarakat. 4 Padahal diyakini bahwa seharusnya
Apakah itu “Historiografi Pembebasan
kepentingan orang yang hidup pada masa lampau itu
Dalam khasanah ilmu sejarah, istilah kepentingan masa kini dan mendatang. 5 historiografi (historiography) digunakan Apabila kritik tersebut benar
sendiri
tetapi untuk
untuk menyebut langkah terakhir dari adanya, maka tidak ada waktu lagi bagi
metode penelitian sejarah, yaitu proses sejarawan Indonesia saat ini dan siapa
menyusun secara tertulis hasil temuan- pun yang peduli terhadap masa depan
temuan yang diperoleh dalam sebuah bangsa Indonesia untuk tidak berpikir dan
penelitian sejarah menjadi sebuah cerita menggagas sebuah historiografi alternatif
yang siap untuk dibaca para pembacanya. yang mampu memberikan sumbangan
Proses penyusunan hasil-hasil temuan tertentu untuk ikut menyelesaikan
penelitian sejarah itu juga sering disebut persoalan bangsa yang saat ini sedang
rekonstruksi sejarah berjuang mempertahankan eksistensi dan
sebagai
proses
(reconstructing the past) dengan asumsi keberlangsungannya. Dalam hubungan itu,
bahwa masa lampau sebagai aktualitas tulisan ini akan menawarkan suatu
merupakan sebuah konstruksi sebagai hasil konsep historiografi alternatif yaitu
dari proses-proses sosial dengan segala “historiografi pembebasan” sebagai salah
kompleksitasnya dalam sebuah komunitas satu corak historiografi yang sekiranya
manusia. 6 Oleh karena itu, seringkali pula dapat
istilah historiografi secara umum digunakan membangkitkan
dimanfaatkan
untuk
untuk menyebut hasil penelitian dan aktual, dan sekaligus futural bagi segenap
kesadaran
historis,
penulisan sejarah. Istilah ini bahkan masyarakat
digunakan untuk menyebut tulisan sejarah selanjutnya membangkitkan semangat
atau cerita sejarah yang berbentuk tulisan. untuk bergerak membebaskan diri dari
Sementara itu, kata “pembebasan” berbagai persoalan yang hingga saat ini
berasal dari bahasa Inggris liberation yang tidak terpecahkan sebagaimana Profesor
dapat dipahami sebagai “menjadi terbebas” Djoko Suryo telah mengutip ucapan
atau perubahan dari kondisi tidak memiliki Michael Howard yang menyatakan: “The
kebebasan menjadi memiliki kebebasan. Kata study of history has been believed to
“pembebasan” juga seringkali digunakan provide a guide, not simply to passive
untuk mengacu pada tindakan untuk understanding of the world, but to active
menghapuskan secara paksa kekuasaan yang political and moral action within it”.
tidak diinginkan atas suatu wilayah, ‘Historiografi pembebasan’ ini diharapkan
seseorang, atau kelompok masyarakat oleh dapat
kekuatan (seringkali militer) orang asing. 7 historiografi yang mampu membebaskan
Kata “pembebasan” yang digunakan di cara berpikir masyarakat terhadap masa
sini dimaksudkan sejajar dengan kata lampau dari belenggu ketidaktahuan,
“pembebasan” yang pernah digunakan pada kepalsuan, mitos-mitos, manipulasi, dan
gerakan (sering juga disebut paham) kesalahtafsiran aktual mengenai masa
“Teologi Pembebasan”. Gerakan Teologi lampau sehingga memberikan spirit untuk
Pembebasan muncul sejak akhir tahun 1960- bertindak menyelesaikan permasalahan
an di kalangan gereja Katolik Roma. Gerakan
4 Bambang Purwanto & Asvi Warman Adam, Menggugat Historiografi Indonesia (Yogyakarta: Ombak, 2005), hlm. 22-26.
5 B. Croce, “History and Cronicle”, dalam: Hans Meyerhoff, The Philosophy of History in Our Time: An Anthology (New York: Anchor Original Publisher, 1959), hlm. 44.
6 Gilbert J. Garraghan, A Guide to Historical Method (New York: Fordham University Press, 1957), hlm. 396. 7 Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/Liberation (Dikunjungi tanggal 20 November 2009).
12 | JURNAL AGASTYA VOL 6 NO 1 JANUARI 2016
yang pada awalnya berpusat di Amerika Bagi para penganut teologi ini, kitab Latin ini berusaha untuk mempraktikkan
Injil seharusnya tidak dipandang sekedar kepercayaan agama dengan membantu
sebagai ayat yang diperlakukan sebagai orang miskin dan tertindas melalui
mantra bertuah, tetapi lebih dari itu Injil keterlibatannya dalam gerakan politik dan
harus dijadikan sebagai panduan untuk masalah-masalah sosial. Gerakan ini
berpikir dan beraksi. Dalam hal ini surga berusaha
bukan jauh di awang-awang yang hanya kesadaran terhadap struktur sosio-
meningkatkan
baik
dapat dicapai jika telah mati, tetapi surga ekonomi yang menyebabkan terjadi-
mestinya harus direalisasi di bumi sekarang nya ketidakadilan sosial maupun
ini.
seharusnya mampu membebaskan masyarakat dari berbagai
Agama
kesadaran untuk berpartisipasi aktif
penderitaan, seperti dalam perubahan struktur yang tidak
belenggu
dan
penindasan serta adil itu. Para penganut Teologi
kemiskinan
dan
ketidakadilan di dunia ini. Dalam konteks Pembebasan percaya bahwa Tuhan
inilah, penggunaan istilah “pembebasan” berfirman melalui si miskin, dan
dalam konsep “historiografi pembebasan” bahwa Injil hanya dapat dipahami jika
mengacu kepada karya sejarah yang tidak dilihat dari perspektif si miskin.
sekedar sebagai pelipur lara dan pengisi Mereka merasa bahwa gereja Katolik
waktu senggang, tetapi sebuah karya sejarah Roma di Amerika Latin secara
yang mampu membangkitkan kesadaran fundamental berbeda dengan gereja di
terhadap masalah aktual yang sedang dihadapi
masyarakat Eropa, yaitu bahwa gereja di Amerika seperti kemiskinan, ketergantungan, ketidakadilan,
oleh
Latin adalah gereja miskin dan untuk penindasan, dan sebagainya. orang miskin.
konteks keindonesiaan, Kelahiran
Dalam
perpaduan antara kesadaran sejarah dan Pembebasan ini lazim dikaitkan dengan
gerakan
Teologi
kesadaran aktual serta kesadaran futural itu Konferensi para Uskup Amerika Latin
pada gilirannya akan mendorong semangat pada tahun 1968 di Medelin, Colombia.
masyarakat untuk melakukan suatu langkah Dalam konferensi ini para uskup
perbaikan demi mencapai cita-cita bangsa membuat dokumen menge nai hak-hak
Indonesia yaitu masyarakat yang makmur, orang
berkeadilan, mandiri, bebas dari penindasan pernyataan bahwa negara-negara
miskin
dan
membuat
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. maju telah memperkaya diri sendiri
demikian, “historiografi dengan mengeruk keuntungan dari
Deng an
pembebasan” ini akan membangkitkan negara-negara dunia ketiga. Beberapa
kesadaran bahwa bangsa Indonesia masih tokoh teologi pembebasan antara lain:
harus berjuang untuk membebaskan diri dari Gustavo Gutiérrez
kemiskinan, (Peru), Oscar Arnulfo ketergantungan, ketidakadilan, penindasan dan lain-lain.
belenggu
Romero (El Salvador), Leonardo Boff, Selama ini, lemahnya semangat untuk
Jon Sobrino, Archbishop Helder membebaskan diri dari belenggu itu semua Câmara (Brasilia), dan sebagainya. disebabkan oleh salah pemahaman terhadap
Gerakan teologis
masa lampau dan masa kini, bahwa bangsa pendukung yang sangat kuat di Amerika
ini
memperoleh
Indonesia sudah merasa merdeka, sudah Latin pada tahun 1970-an pada saat
merasa kecukupan, berkeadilan, bebas dari sosialisme tumbuh dengan subur di
belenggu penindasan, dan sebagainya. kawasan ini, yang secara ekonomi sangat
“Paradigma rakyat belum merdeka” miskin
dan penindasan
serta
barangkali dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan perspektif
ketidakadilan merajalela. 8
8 Lihat http://www.britanica.com (Dikunjungi tanggal 15 November 2009).
“ Historiografi Pembebasan”: Suatu Alternatif | 13
“historiografi pembebasan” bagi populer dengan sebutan Indonesiasentris Indonesia di masa sekarang dan masa
muncul sebagai bentuk respon terhadap yang
penulisan sejarah kolonialisme, dan pemerintahan tirani
akan
datang. 9 Feodalisme,
dominasi
warisan
Indonesia (ataupun sejarah Hindia Belanda) pada
yang bersifat Neerlandosentris (berpusat menempatkan rakyat sebagai pihak yang
masa lampau
telah
selalu
pada orang Belanda) yang memang ditulis terpinggirkan dalam relasi sosial, politik,
oleh para sejarawan Belanda. 11 Sudah barang ekonomi dan budaya. Harus disadari,
tentu, fenomena Neerlandosentris ini dapat meskipun bangsa Indonesia telah berhasil
dipahami sebab mereka menulis sejarah itu mengusir
dipengaruhi oleh pandangan hidup dan memproklamasikan kemerdekaan namun
kolonialis
dan
perspektif serta kepentingan mereka sendiri. belum berarti mereka telah merdeka
Tidak mengherankan jika historiografi yang secara hakiki dalam hal pemenuhan hak-
mereka hasilkan untuk periode kehadiran haknya untuk merdeka memperoleh
mereka di Hindia Belanda (abad XVI hingga keadilan dan kehidupan yang layak.
XX) juga menempatkan orang-orang Belanda Penjajahan
sebagai dramatisch persoon, sedangkan dilakukan tidak hanya oleh para penjajah
se bagai “peran asing (kolonialis), tetapi dapat juga
orang-orang
pribumi
pembantu” atau bahkan sebagai peran yang dilakukan oleh sesama anak bangsa ini
antagonistik. Perlawanan kaum pribumi sebagaimana wacana yang dikembangkan
terhadap dominasi kolonial diposisikan oleh pendekatan pascakolonialisme. 10 sebagai pemberontak, sedangkan orang-
Dalam konteks pengawalan proses orang Belanda yang berhasil menumpas pembentukan masyarakat Indonesia yang
dipuja sebagai madani sebagaimana yang dicita-citakan
perlawanan
pribumi
Gerakan-gerakan resisten dalam Pembukaan UUD 1945 inilah,
pahlawan.
melawan orde kolonial dipandang sebagai kiranya “historiografi pembebasan” dapat
gerakan kaum ekstremis dari inlanders. bertindak sebagai kritik sosial yang
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus aktual. Nilai inilah yang mungkin dapat
1945 tentu telah mendorong para sejarawan dijadikan ukuran bagi “historiografi
melakukan “dekolonisasi” pembebasan” untuk dapat bertindak
Indonesia
terhadap historiografi kolonial yang bercorak sebagai kritikus sosial. Dengan demikian,
Sejarawan ingin “historiografi pembebasan” ini lebih
Neerlandosentris.
menempatkan orang pribumi sebagai banyak menyangkut upaya pemikiran
pemeran utama dalam panggung sejarah agar historiografi memiliki fungsi yang
Indonesia, sedangkan orang-orang Belanda signifikan dalam ikut memecahkan
sebagai peran pembantu. Apa yang persoalan yang sedang dihadapi oleh
pemberontak kemudian masyarakat dan bangsa Indonesia pada
dipandang
pahlawan atau saat ini dan mendatang.
diposisikan
sebagai
sebaliknya. Dengan demikian, lahirlah “sejarah nasionalistis”, yaitu tipe tulisan
Landasan Historiografi Pembebasan
sejarah yang lebih menonjolkan semangat nasionalisme yang merupakan antitesis dari
kolonialisme sehingga seringkali bersifat munculnya wacana penulisan sejarah
Seperti diketahui
bahwa
anakronistis dan over interpretative. yang bercorak keindonesiaan atau
Historiografi Indonesiasentris yang
9 Istilah ini diambil dari ungkapan Rendra yang berbicara tentang keterjajahan budaya Indonesia. Lihat W.S. Rendra, Rakyat belum Merdeka: Sebuah Paradigma Budaya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000).
10 Ania Loomba, Kolonialisme/ Pascakolonialisme (Yogyakarta: Bentang, 2003), hlm. 22-23.
11 Sejarah Indonesia ataupun Sejarah Hindia Belanda yang bersifat Neerlandosentris merupakan Sejarah Hindia Belanda atau sejarah Indonesia yang menggunakan perspektif dan moralitas Belanda.
14 | JURNAL AGASTYA VOL 6 NO 1 JANUARI 2016
telah membelenggu periode perang kemerdekaan dan tahun
menghasilkan sejarah nasionalistis selama struktural
juga
sejarawan-sejarawan muda Indonesia untuk 1950-an ini dapat dipahami mengingat
mengembangkan dan situasi zaman pada waktu itu memang
tidak
lagi
menganekaragamkan epistemologi dalam menuntut hal yang demikian. Sebagai
pengkajian sejarah. 13
telah berubah. membutuhkan legitimasi dan semangat
negara-bangsa baru,
Nasionalisme tidak semata-mata dimaknai nasionalisme yang bersumber dari
secara romantis sebagai antitesis dari perkembangan sejarah dan budaya dalam
kolonialisme. Berbeda dengan generasi rangka untuk menghadapi kolonialisme
sebelumnya, generasi sekarang, dan mungkin Belanda yang belum sepenuhnya mau
datang membutuhkan hengkang
yang
akan
“nasionalisme yang berbeda”. Romantisme merupakan sesuatu yang wajar bahwa
dari Indonesia.
Artinya,
perjuangan melawan penjajah barangkali sejarah
bukan lagi merupakan faktor terpenting zamannya.
ditulis untuk
kepentingan
untuk mempertahankan integrasi bangsa Ketika ancaman kolonial Belanda
Demokrasi, keadilan, dan semakin
Indonesia.
barangkali merupakan perkembangan kematangan intelektual
mampu mengikat dari para sejarawan Indonesia, perspektif
kebanggaan
yang
keindonesiaan. Dulu mungkin semua daerah Indonesiasentris disempurnakan dengan
merasa senasib sebagai koloni Belanda, metodologi sejarah kritis sehingga
tetapi sekarang tidak merasa senasib lagi Indonesiasentrisme tidak mengorbankan
karena ada yang kaya dan ada pula yang kebenaran
miskin. Barangkali dalam kerangka berpikir memberikan
yang semacam inilah GAM (Gerakan Aceh Indonesiasenrisme, Sartono Kartodirdjo
Merdeka) misalnya, ingin melepaskan Aceh misalnya, telah memelopori pendekatan
dari NKRI, padahal pada awal kemerdekaan, ilmu
sosial dalam
historiografi
Aceh merupakan daerah yang sangat Indonesiasentris. 12 mendukung kemerdekaan RI. Mungkin
justru perubahan semangat kebangsaan sebagaimana
inilah yang gagal ditangkap oleh para Bambang Purwanto bahwa wacana
pemimpin Indonesia, termasuk sejarawan. historiografi Indonesiasentris mengalami
Mereka gagal dalam menjelaskan perubahan “jumud” atau kemandegan ketika generasi
perspektif nasionalisme dalam masyarakat sejarawan pasca Sartono belum berhasil
Indonesia.
mengembangkan kepioniran yang telah
itu, mestinya dirintis oleh Sartono. Bambang Purwanto
Dalam
konteks
pendekatan Indonesiasentris memang hanya mengatakan
cocok untuk mengkaji sejarah Indonesia Indonesiasentris akhirnya terjebak pada
bahwa
historiografi
periode prakemerdekaan. Tentunya untuk kubangan
mengkaji sejarah Indonesia setelah periode substantif sama dengan hitoriografi
pascakemerdekaan tidak perlu pendekatan kolonial. Hanya titik pandangannya saja
Indonesiasentris, karena semua dramatisch yang berubah 180 derajat. Bahkan, karena
persoon adalah orang-orang Indonesia semangat nasionalisme yang begitu
sendiri, kecuali kalau kita merasa bahwa menggelora
neokolonialisme seperti kata Bung Karno anakronisme yang berlebihan dalam
sehingga
muncul
masih hadir di Indonesia. Bahkan simptom menggambarkan
disorientasi ini tidak hanya dialami oleh Sementara itu, bayang-bayang sejarah
periode
kolonial.
sejarawan Indonesia, tetapi sudah mewabah pada para pemimpin Indonesia yang tidak
12 Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif (Jakarta: Gramedia, 1982).
13 Purwanto, Gagalnya Historiografi, hlm. 46.
“ Historiografi Pembebasan”: Suatu Alternatif | 15
lagi memiliki orientasi yang jelas mau Akibatnya, “wacana dekonstruktif” dibawa ke mana negeri tercinta ini.
kurang muncul dalam naskah disertasi. Hal Lalu,
ini juga berarti bahwa karya disertasi itu diperlukan untuk mengkaji sejarah
tidak menjadi bagian dari sebuah dialog Indonesia
ilmiah yang panjang dari tema yang “historiografi pembebasan” yang memiliki
sehingga
menghasilkan
dibahasnya. Munculnya sebuah disertasi kemanfaatan
seolah- olah merupakan “spesies baru” yang persoalah
dalam
menyelesaikan
tidak memiliki genealogi dengan “spesies” masyarakat Indonesia saat ini? Dalam hal
yang sudah ada sebelumnya. Dengan ini, ajakan Bambang Purwanto untuk
demikian, kajian-kajian mengenai tema-tema mengembangkan kesadaran dekonstruktif
sejarah kurang mengalami progress. Mereka dalam historiografi guna mendobrak
hanya bergulat dengan diri sendiri sehingga kebekuan dan disorientasi historiografi
kurang menghasilkan “spesies” yang semakin Indonesia saat ini adalah sangat penting.
berkualitas.
Sangat menarik apa yang dikemukakan Untuk dapat melakukan dekonstruksi oleh Jacques Derrida, seorang pemikir
terhadap historiografi yang ada yang lebih pascastrukturalis bahwa “semua teks
banyak berfungsi sebagai pelipur lara dan harus
hanya menina-bobokan sebagian besar kebenarannya” karena sesungguhnya
selalu
dipertanyakan
masyarakat Indonesia yang sedang menjerit membaca teks secara kritis merupakan
menghadapi situasi sulit, “historiografi permulaan
pembebasan” harus berani menempatkan sejarah. 14 Dalam
penemuan
kebenaran
kondisi aktual dan kontekstual sebagai point historiografi yang ada juga harus
of departure. Hanya dengan cara itu, karya dipandang sebagai teks yang harus
historiografi memiliki hubungan yang erat diragukan kebenarannya dan kalau perlu
dengan persoalan kekinian. Kembali harus dibongkar kembali. Dengan demikian
diingat ucapan Croce bahwa historiografi penulisan kembali sejarah (rewriting
merupakan contemporary thought about the history) merupakan suatu keniscayaan,
past. Dalam hubungan itu, penelitian sejarah bukan barang tabu yang dapat dipaksakan
tidak harus hanya menggunakan metodologi secara politis.
dan epistemologi yang digunakan dalam Kesadaran dekonstruktif semacam
paradigma positivisme yang memperlakukan itu memang tidak mudah dilakukan,
sumber-sumber sejarah secara eksak dan bahkan termasuk untuk para kandidat
kuantitatif dan dianggap “dapat berbicara doktor. Kebanyakan para kandidat doktor
sendiri” sebagaimana yang terjadi dalam sejarah memperlakukan karya-karya
ilmu alam.
penulis sebelumnya yang dipaparkan Metodologi positivis berakar pada dalam tinjauan pustaka hampir selalu
pemikiran teoritis Comte dan Durkheim ditempatkan sebagai “bahan acuan” atau
yang memandang fakta sosial sebagai sekedar sebagai sebuah informasi, bukan
keadaan objektif yang terlepas bahkan sebagai teks yang harus dikritik dan
berada di luar keadaan subjektif individu, diragukan kebenarannya. Perlakuan yang
tetapi berpengaruh dan memaksakan sama juga diberikan kepada sumber-
pengaruh dari luar. Dalam hal ini, mereka sumber dan teks-teks yang yang
sangat percaya pada kreteria rigor, yaitu semestinya harus disikapi secara kritis. 15 kesahihan eksternal dan internal, keandalan
14 Ia mengatakan bahwa “deconstruction is an attempt to open a text (literary, philosophical, or otherwise) to several meanings and interpretations ”, lihat http://en.wikipedia.org/wiki/ Jacques_Derrida# Deconstruction (Dikunjungi tanggal 10 Desember 2009).
15 Hal ini dapat dilihat antara lain dalam naskah ujian disertasi yang ditulis oleh Anatona di Universitas Gadjah Mada. Ia mengutip tulisan Martin A. Klein mengenai sejarah perbudakan di Asia dan Afrika, bahwa: “Sultan Mahmud Syah yang berkuasa dari tahun 1488 hingga 1511, dalam pemerintahannya dikelilingi oleh para perempuan yang sebagian di antara mereka dijadikan sebagai gundik
16 | JURNAL AGASTYA VOL 6 NO 1 JANUARI 2016
dan obyektivitas. Metodologi ini sangat memberi pemahaman atas ketidakadilan berpengaruh terhadap penelitian sejarah
dalam distribusi kekuasaan dan distribusi sejak abad ke-19 dengan tokoh utama
resources, tetapi seharusnya berusaha untuk Leopold von Ranke yang ingin menulis
ikut membantu menciptakan kesetaraan dan sejarah “as it actually happened”. Seleksi
kemajuan (emansipasi) dalam kehidupan yang sangat ketat diberlakukan untuk
sosial masyarakat. Selain itu, teori kritis sumber sejarah, sehingga hanya sumber
tampaknya juga memiliki keterikatan moral tertulis saja yang dapat digunakan. Dalam
untuk mengkritik status quo dan membangun konteks itu, muncul pomeo bahwa: “no
kehidupan sosial masyarakat yang lebih (written) document, no history”.
berkeadilan Hal ini juga sesuai dengan apa Untuk
yang diungkapkan oleh Jean Paul Sartre ‘historiografi pembebasan” tentu saja
dapat
mengembangkan
bahwa: “...the duty of the intellectual is to tidak
denounce injustices and abuses of power, and paradigma positivis, tetapi juga perlu
cukup hanya
menggunakan
to fight for truth, justice, progress, and other menerapkan paradigma lain yang juga
universal values...”. 16
digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu Sejalan dengan paradigma teori sosial. Dalam hal ini, paradigma teori
kritis dalam studi sosiologi, “histriografi kritis sangat bermanfaat untuk itu. Secara
pembebasan” juga memiliki perhatian umum teori kritis dalam konteks ilmu
utama untuk membebaskan pikiran sosial dapat didefinisikan sebagai suatu masyarakat dari kungkungan mitos, proses
kritis untuk
mendorong
ketidaktahuan, dan manipulasi masa kemampuan untuk “menghadapi” kondisi lampau yang menyebabkan kesalahan
penyadaran orang
agar
memiliki
struktural yang mendominasi, menekan dalam memahami kondisi sekarang dan bahkan mengeksploitasi. Untuk itu,
masa yang akan datang. Atau dengan kata pendekatan teori kritis tampak jelas
lain, “historiografi pembebasan” memiliki mempunyai komitmen yang tinggi pada
misi untuk membangkitkan kesadaran terbangunnya tata kehidupan sosial yang
terhadap persoalan- setara (equal), berkeadilan dalam arti
masyarakat
persoalan aktual yang mereka hadapi terbebas (misi pembebasan) dari suatu
sehingga memberikan inspirasi untuk sistem yang mendominasi/diskriminatif,
melakukan suatu perbaikan demi represif dan eksploitatif. Hal ini
mencapai masa depan yang gemilang. didasarkan pada pemikiran, bahwa ilmu Persoalan-persoalan aktual yang dapat sosial mestinya tidak hanya sekedar
atau perempuan simpanan” (halaman 331). Selanjutnya ia menulis: “Pada awal abad ke-17, seorang Sultan (Aceh) memiliki lebih dari 300 orang gundik. Gundik-gundik didapatkan dari daerah-daerah yang
ditaklukkan Aceh. Setelah Sultan tidak lagi memakai mereka, gundik-gundik tersebut diperbolehkan menikah dengan laki- laki lain” (halaman 332). Dalam hal ini, Anatona tidak membedakan antara konsep gundik (concubine) dengan budak (slave) di dalam Islam (karena Sultan Malaka dan Aceh beragama
Islam). Gundik atau wanita simpanan merupakan “orang merdeka” yang berbeda dengan wanita budak yang berstatus “tidak merdeka”. Hubungan seksual laki-laki dengan wanita gundik merupakan
perzinahan dan dilarang oleh Islam, sedangkan hubungan seksual antara laki-laki dengan budak perempuan miliknya diperbolehkan sebagaimana yang tertera dalam Al Quran Surat Al Mukminun Ayat 1-7. Jadi sejauh para Sultan itu betul-betul memiliki budak perempuan (karena waktu itu perbudakan masih merupakan istitusi yang legal) maka hal itu syah adanya baik secara syariat maupun konteks tradisi. Jadi sikap dekonstruktif yang diuraikan pada bagian pendahuluan dari disertasi belum sepenuhnya diterapkan dalam bagian analisisnya. Lihat Anat ona, “Perbudakan dan Perdagangan Budak di Kawasan Selat malaka, 1786-1880- an” (naskah ujian disertasi pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2006).
16 Lihat misalnya R. Morrow, Critical Theory and Methodology (Newbury Park, Calif: Sage, 1994). Lihat juga W.L. Neuman, Social Researh Methods: Qualitative and Quantitative Approaches (Boston: Allyn &
Bacon,1994).
“ Historiografi Pembebasan”: Suatu Alternatif | 17
dianalisis secara historis antara lain kebanyakan dalam historiografi. Oleh para menyangkut kemiskinan, ketidakadilan,
sejarawan, corak penulisan sejarah yang dominasi, eksploitasi, diskriminasi (ras,
menonjolkan orang kebanyakan ini sering gender, kepercayaan, dan sebagainya),
juga disebut sebagai history from below. 18 manipulasi,
Corak penulisan yang seperti ini berkaitan sebagainya. Hanya dengan penyadaran
dengan soal fokus dan perspektif. Dalam semacam itu masyarakat Indonesia akan
hubungan ini, ada persoalan perspektif meyadari dan kemudian tergerak untuk
dalam penulisan sejarah Indonesia periode melakukan action. Dengan demikian
Jika perspektif sejalan dengan apa yang dikatakan Sartre
kemerdekaan.
Indonesiasentris kurang diperlukan lagi tersebut
dalam mengkaji sejarah Indonesia pasca pembeba san” juga dimaksudkan untuk
di atas,
“historiografi
kemerdekaan, karena semua pelaku sejarah ambil
di Indonesia semuanya adalah orang ketidakadilan, penyalahgunaan wewe-
bagian dalam
memerangi
Indonesia, lalu perspektif apa yang nang, perjuangan untuk kebenaran,
diperlukan? Memang tidak mudah untuk keadilan, kemajuan, dan hak asasi
pertanyaan itu. Perlunya manusia melalui misi penyadaran dengan
menjawab
perspektif Indonesiasentris dalam mengkaji tulisan sejarah.
sejarah Indonesia periode kolonial jelas Sebagai
sangat diperlukan untuk menampilkan peran ketidakbermanfaatan historiografi yang
respon
terhadap
orang Indonesia dalam panggung sejarah selama ini berkembang, “historiografi
Indonesia sendiri. Oleh karena itu, jawaban pembebasan” lebih berorientasi untuk
atas pertanyaan tersebut tergantung dari menyoroti persoalan-persoalan ketidak-
komitmen kebangsaan para sejarawan adilan dan eksploitasi yang bersifat aktual
Indonesia itu sendiri.
dalam masyarakat yang seringkali justru Sudah terbukti bahwa nasionalisme dilanggengkan oleh para penulis sejarah. 17 romantis
menekankan kepada Dengan cara demikian, “historiografi
yang
perjuangan melawan kolonialisme sudah pembebasan” akan dapat membantu
sulit untuk dipertahankan sebagai sarana masyarakat untuk menemukan jalan
utama untuk menjaga integrasi bangsa keluar yang mendasar guna memecahkan
Indonesia. 19 Apalagi para pejuang dan orang- persoalan masyarakat dan bangsa untuk
orang yang memiliki pengalaman langsung menuju kejayaanya di masa depan.
berhadapan dengan kolonialisme sudah mulai menghilang satu per satu. Jika
Sejarah Sosial dan “Historiografi
disepakati bahwa nilai-nilai demokrasi,
Pembe basan”
masyarakat madani, kesejahteraan sosial, dan keadilan menjadi cita-cita Indonesia di
Entah karena latah atau karena masa yang akan datang, maka “perspektif ingin bersikap populis atau memang
seyogyanya mewarnai betul-betul ingin menunjukkan peran
kerakyatan”
pendekatan “historiografi pembebasan”. orang kebanyakan (common people)
Namun demikian, baik kaum alite maupun dalam panggung sejarah yang pada
orang kebanyakan juga bagian dari rakyat umumnya didominasi oleh kaum elite,
Indonesia, sehingga membedakan satu akhir-akhir ini banyak sejarawan yang
kelompok
yang lainnya ingin menonjolkan peran orang sesungguhnya tidak fair . “Sejarah orang
dengan
17 Lihat misalnya Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca- Soeharto (Jakarta: ELSAM, 2004).
18 Jim Sharpe, “History from Bellow”, dalam: Peter Burke, New Perspectives on Historical Writing (Cornwall: Polity Press, 1991), hlm. 24-41.
19 Sartono Kartodirdjo, Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1994), hlm. 32-59.
18 | JURNAL AGASTYA VOL 6 NO 1 JANUARI 2016
kebanyakan” yang memiliki Mengapa kebanyakan masyarakat Indonesia kecenderungan mengontradiksikan rakyat
masih tidak menyadari dan bahkan masih dan negara, elite dan orang kebanyakan, si
membanggakan diri sebagai bangsa merdeka kaya dan si miskin harus ditinjau kembali.
ketidakadilan, Penggambaran
ketika
kemiskinan,
ketergantungan menjadi semakin parah? kebanyakan” dalam kehidupan sehari-hari
“sejarah
orang
Pertanyaan-pertanyaan itu dapat diperinci tanpa dapat menangkap
lagi dalam pertanyaan-pertanyaan yang lebih perjuangan mereka dalam mencari
semangat
detail mengenai kondisi aktual bangsa kemakmuran dan keadilan juga perlu
Indonesia yang kemudian dijawab dalam ditinjau kembali. Oleh karena penindasan
penelitian sejarah.
dan ketidakadilan tidak hanya terjadi di Dengan demikian, “historiografi kalangan orang kebanyakan, maka objek
pembebasan” perlu memiliki point of kajian “historiografi pembebasan” tidak
departure dari persoalan kekinian karena hanya teristimewa pada sejarah orang
historiografi adalah kebanyakan atau sebaliknya sejarah kaum
sesungguhnya
“contemporary thought about the past” elite saja. Apa yang lebih menjadi titik
sebagaimana yang diungkapan oleh filsuf tekan adalah fenomena historis yang saat
idealis Italia Beneditto Croce. 21 Dalam hal ini, ini telah memprekondisikan terjadinya
historiografi Indonesia semestinya mampu persoalan kemiskinan, ketergantungan,
menjadi pelita kegelapan masyarakat dalam kemelaratan, penindasan, ketidakadilan
kini. Historiografi yang dapat dialami oleh berbagai
memahami
masa
hendaknya dapat menjawab pertanyaan kelompok sosial dalam masyarakat baik
mengapa semua terjadi seperti sekarang ini. dari kalangan rakyat biasa maupun dari
Jawaban atas pertanyaan itulah yang akan kalangan elite itu sendiri. 20 membangkitkan
kesadaran masyarakat Dalam konteks itu, “historiografi
tentang persoalan aktual yang bersumber pembebasan”
dari masa lampau yang seobjektif mungkin, kesadaran kepada masyarakat pembaca
perlu
membangkitkan
yang pada gilirannya dapat membangkitkan tentang persoalan yang sedang dihadapi
semangat untuk mengubah kondisi saat ini dan masa depan yang akan diraih bersama
guna mencapai kejayaan masa depan sebagai komunitas bangsa. Historiografi
Indonesia tercinta ini.
Indonesia semestinya mampu menjawab Pertanyaan kunci adalah: Apakah pertanyaan berikut ini dengan uraian
selama ini historiografi Indonesia tidak historis: Mengapa semua terjadi seperti
berkembang? Justru sebaliknya, tulisan sekarang ini? Mengapa Indonesia masih
Indonesia berkembang pesat tergantung kepada negara lain? Mengapa
sejarah
terutama setelah memasuki masa reformasi. hutang Indonesia semakin menumpuk?
Sementara pihak mensinyalir telah terjadi Mengapa kemiskinan semakin akut?
overproduksi dalam historiografi Indonesia 22 Mengapa pemerataan kemakmuran sulit
sebagaimana gejala yang sama telah terjadi dicapai? Dengan beban yang seperti itu: dalam historiografi Barat pada abad lalu. 23
20 Dalam hal ini perlu disebut karya Sartono Kartodirdjo mengenai petani Banten. Karya ini memberikan kesadaran bagaimana petani yang merupakan kelompok sosial yang marginal selalu berjuang untuk membebaskan diri dari
ketidakadilan dan penindasan. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).
21 Garraghan, A Guide to Historical Method, hlm. 21. 22 Slamet Subekti, “Bagaimana Menyikapi Overproduksi Historiografi dalam Era Postmodern: Pembelajaran dari
Perspektif F.R. Ankersmit untuk Proyeksi Diri Keindonesiaan”, makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Sejarah VIII (Jakarta: 14-17 Nopember 2006).
23 F.R. Ankersmit, History and Tropology: The Rise and Fall of Metaphor (Los Angeles: University of California Press, 1994), hlm. 162.
“ Historiografi Pembebasan”: Suatu Alternatif | 19
bahwa strategi dikemukakan oleh Bambang Purwanto
Namun demikian, sebagaimana yang baru
menyadari
pembangunan yang kapitalistik justru telah bahwa historiografi yang menjamur itu
menjerumuskan Indonesia dalam jurang tidak diiringi dengan upaya tertentu
ketergantungan dan keterpurukan. Demikian sehingga historiografi itu dinilai tidak
juga, diplomasi dan konsesi yang diberikan memiliki kontribusi apa-apa terhadap
kepada kekuatan penjajah juga telah masyarakat. Dalam hal ini, pertanyaan
menempatkan politik Indonesia pada posisi mendasar harus diajukan sesuai dengan
lemah dalam pergaulan internasional. kepentingan masa kini. Masa lampau
Pertanyaan yang lebih detail juga bukan untuk masa lampau itu sendiri,
dapat diajukan untuk masalah-masalah tetapi untuk masa kini. Dalam kaitan
aktual lain yang sedang dihadapi oleh kondisi Indonesia saat ini, upaya
masyarakat Indonesia, seperti: kemiskinan, dekonstruksi harus dilakukan terhadap
ketidakadilan yang masih merajalela, historiografi Indonesia modern saat ini.
eksploitasi, korupsi, pelanggaran hak asasi Hal ini berkaitan dengan kenyataan
manusia, birokrasi, gender, dan sebagainya. bahwa selama ini ilmu tidak pernah dapat
Jika hal itu dilakukan oleh para sejarawan menciptakan sebuah konsensus yang
Indonesia, maka “historiografi pembebasan” mapan dan bergantung kepada dinamika
betul-betul akan dapat membebaskan pikiran yang berada di luar dirinya. 24 masyarakat
kungkungan mitos, Para sejarawan Indonesia selama
dari
ketidaktahuan, salah tafsir, manipulasi, dan ini dalam menggambarkan periode perang
sebagainya terhadap masa lampau, yang kemerdekaan,
pada gilirannya sangat menentukan cara memberikan penilaian “positif” terhadap
misalnya,
lebih
pandang masyarakat terhadap persoalan “nilai
masa kini dan harapan masa depan. diplomasi dan konsesi ekonomi serta politik yang diberikan kepada bangsa
Sejarah Nasional dan Sejarah Indonesia
asing yang hingga sekarang ini menjadi
sebagai “Historiografi
sumber ketergantungan
Indonesia.
Pembebasan”
Sementara itu, kekuatan-kekuatan rakyat yang menginginkan kemerdekaan 100%
Sejalan dengan runtuhnya kekuasaan dipandang sebagai ekstremis. Pandangan
Orde Baru, runtuh pula “kewibawaan” semacam itu, sama persis dengan yang
Sejarah Nasional. Sebagian sejarawan sudah dimiliki
tidak mau lagi mengembangkan jenis sejarah Celakanya hampir semua orang Indonesia
oleh kolonialis
Belanda.
ini. 25 Hal ini dapat terjadi karena “kedekatan” juga berpandangan seperti itu, karena
sejarah nasional dengan “penyalahgunaan guru-guru sejarah juga mengajar para
sejarah” untuk kepentingan rezim yang muridnya seperti itu. Demikian juga
sedang berkuasa. Ada upaya dari pemerintah upaya-upaya pemerintah yang berusaha
untuk menggunakan Sejarah Nasional untuk menegakkan ekonomi berdikari
sebagai alat legitimasi kekuasaan. Seperti digambarkan oleh banyak sejarawan, juga
diketahui bahwa setelah penerbitannya sejak sebagian besar bangsa Indonesia, sebagai
1970-an, Sejarah rezim yang konservatif dan diberi stigma
pertengahan
tahun
Nasional yang terdiri dari enam jilid sebagai pemerintahan yang dipengaruhi
dijadikan sebagai “buku babon” dari oleh komunisme. Sekarang banyak orang pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah.
24 Lihat Hans Kung, Etika Ekonomi dan Politik Global: Mencari Visi Baru bagi Kelangsungan Agama di Abad XXI (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm. 160. Lihat juga Subekti, “Bagaimana Menyikapi
Overpr oduksi”, hlm. 6. 25 Sebuah tim yang dibentuk pada masa reformasi yang diketuai oleh Prof. Dr. Taufik Abdullah
yang anggotanya terdiri dari para sejarawan dari berbagai perguruan tinggi dan berbagai instansi di Indonesia yang diberi tugas untuk melakukan penulisan sejarah Indonesia dari perspektif reformasi lebih senang memberi label sebagai “Sejarah Indonesia” daripada “Sejarah Nasional”.
20 | JURNAL AGASTYA VOL 6 NO 1 JANUARI 2016
Dengan demikian, seringkali Sejarah nation Indonesia merupakan realitas baru, Nasional
namun tidak muncul secara tiba-tiba pada kepentingan politik penguasa. Oleh karena
diidentikkan
dengan
awal abad XX atau bahkan baru pada tahun itu, dapat dipahami jika “kewibawaan”
1945. “Proses menjadi Indonesia” itu sudah Sejarah Nasional mengalami keruntuhan
berlangsung berabad-abad yang lalu. ketika rezim Orde Baru lengser dari
Menurut Sartono, “network” merupakan panggung politik Indonesia.
elemen penting dalam proses formasi nasion Pentingnya kedudukan Sejarah
Indonesia. Ia mengatakan: 26 Nasional
“Sejarah Nasional Indonesia sesungguhnya Indonesiasentris
dengan
perspektif
sebagai proses keindonesiaan perlu dipahami dalam
perkembangan yang secara lambat laun dan kaitannya dengan situasi yang dihadapi
kontinu mewujudkan integrasi, sejak zaman oleh bangsa Indonesia ketika konsep
prasejarah sampai masa kini yang akhirnya Sejarah Nasisonal itu lahir pada tahun
menghasilkan bentuk integrasi seperti 1950-an. Tahun-tahun 1950-an telah
terwujud pada kesatuan nasional dewasa memberikan
pengalaman-pengalaman
ini.”
baru kepada segenap elemen bangsa
itu, perspektif Indonesia dalam kehidupan bersama
Oleh
karena
Indonesiasentris sangat diperlukan dalam sebagai
menulis Sejarah Nasional agar peran elemen- kemerdekaan melawan tentara Sekutu
elemen sosio-kultural yang kemudian dan Belanda, jatuh-bangunnya NKRI,
Indonesia dapat berbagai konflik daerah dan gerakan
menjadi
nation
diungkapkan. Jadi pada tahun 1950-an itu separatisme,
historiografi Indonesia sudah menjalankan keterlibatan
serta
pemberontakan,
ikut menyelesaikan pemberontakan RMS (Republik Maluku
aktual yang sedang Selatan), keterlibatan Amerika dalam
masalah-masalah
dihadapi bangsa Indonesia terutama dalam Pemberontakan
pencarian identitas sebagai sebuah nation penguasaan Irian Barat oleh Belanda, dan
PRRI/PERMESTA,
baru yang sangat plural secara kultural. sebagainya. Semua itu telah menempa
Persoalan identitas kultural ini sebetulnya semangat nasionalisme yang tinggi di
tidak hanya dihadapi oleh sejarawan kalangan bangsa Indonesia termasuk para
Indonesia saja tetapi secara umum juga sejarawan. Dalam hubungan ini dapat
dihadapi oleh sejarawan di Asia Tenggara. 27 dipahami jika semangat dekolonisasi
Apa yang menjadi pertanyaan adalah: historiografi sangat mewarnai Seminar
Apakah sudah saatnya “Sejarah Nasional” Sejarah Nasional I yang diselenggarakan
dicampakkan begitu saja? Apakah hanya di penghujung tahun 1957.
karena campur tangan pemerintah Orde Baru Dalam seminar itu hampir semua
terhadap Sejarah Nasional kemudian jenis peserta mencurahkan perhatiannya untuk
sejarah ini dihapus begitu saja? Apakah merumuskan landasan filosofis dan
bangsa Indonesia tidak memerlukan Sejarah metodologis sejarah Indonesia. Pada
Nasional lagi? Apakah semestinya Sejarah waktu itu dirasakan betapa pentingnya
diperlukan dengan mencari dan neneguhkan identitas bangsa
Nasional
masih
pada aspek Indonesia yang berasal dari kajian sejarah.
perubahan-perubahan
kata, sederet Sejarawan
metodologis?
Pendek
pertanyaan dapat diajukan di sini. Jika menggagas konsep Sejarah Nasional yang
Sartono
Kartodirdjo
diingat bahwa Sejarah Nasional merupakan akan
menggambarkan
pasang-surut
sejarah yang menggambarkan perkembangan proses formasi nation Indonesia. Memang ke arah integrasi Indonesia, maka
26 Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900: Dari Emporium sampai Imperium I (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. xiii-xxiii.
27 Lihat Geoffrey Barraclaough, Main Trends in History (New York-London: Holmes & Meier, 1991), hlm. 130.
“ Historiografi Pembebasan”: Suatu Alternatif | 21
sesungguhnya Sejarah Nasional itu masih Nasional tidak perlu disingkirkan hanya diperlukan. 28 Hal ini terkait erat dengan
karena kontaminasi kepentingan politik Orde kenyataan bahwa integrasi bangsa
Baru. Dengan perpektif baru dan pendekatan merupakan
baru, Sejarah Nasional dapat dikembangkan Integrasi nasional sebuah bangsa dapat
untuk memupuk persatuan dan nasionalisme mengalami kehancuran jika segenap
yang berlandaskan pada dialog, keadilan dan elemen sebuah bangsa tidak memiliki
Mengingat begitu komitmen lagi untuk hidup bersama
kesejahteraan.
kompleksnya latar belakang sosial dan sebagai sebuah bangsa. Kehancuran Uni
etnisitas masyarakat Indonesia, maka Soviet dan Yugoslavia telah memberikan
perspektif cultural relativism atau relativisme pelajaran berharga mengenai integrasi
budaya merupakan salah satu alternatif nasional. Selama persatuan Indonesia
dalam menulis sejarah nasional agar masih didambakan oleh bangsa Indonesia
memiliki daya integratif dan dapat maka selama itu pula Sejarah Nasional
prasangka etnik (ethnic masih signifikan. Hal ini pernah
mengurangi
Prasangka etnik dalam diingatkan oleh sejarawan R. Mohammad
prejudice).
historiografi itu kadang-kadang muncul, Ali bahwa Sejarah Nasional memiliki
sinyalemen adanya fungsi untuk meningkatkan kesatuan dan
misalnya tentang
historiografi Indonesia yang masih bersifat
mentalitas nasional. 29 Jawa sentris. 32
Jika dalam penyusunan sebuah sejarah sebagai refleksi pengalaman bersama
nasional tidak semua fakta memiliki nilai, (common experience) sangat penting
namun hanya fakta-fakta yang merajut karena dari sejarah ini lah akar budaya,
benang merah keindonesiaan saja yang politik, dan struktur ekonomi dari suatu
berguna,
maka
Sejarah Indonesia
memberikan ruang yang luas kepada fakta- diingat
bangsa dapat ditemukan. 30 Apalagi jika
fakta sejarah yang terjadi di ruang yang Indonesia masih menghadapi tantangan