BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL - Perlindungan Terhadap Paus Di Southren Ocean Whale Sanctuary Menurut International Convention For The Regulation Of Whaling (Studi Pada Sengketa Perburuan Paus Antara Jepang Dan Australia )

BAB II PENGATURAN PERBURUAN PAUS DI DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Perjanjian Internasional

1. Pengertian Perjanjian Internasional

  Hukum Internasional di dalam pelaksanaannya, memiliki beberapa beberapa sumber. Di dalam Statuta Mahkamah Internasional, tertulis bahwa hukum

29 Internasional bersumber dari : 1.

   Perjanjian / konvensi Internasional yang diakui oleh pihak pihak yang

  terlibat di dalamnya (international conventions, whether general or

  particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states).

  2. Kebiasaan International (international custom, as evidence of a general practice accepted as law).

  3. Prinsip hukum umum yang diakui oleh negara negara beradab. (the general principles of law recognized by civilized nations) .

  4. Keputusan Pengadilan terdahulu dan pendapat para ahli yang telah

  diakui oleh negara negara.(judicial decisions and the teachings of the

  most highly qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law).

  Di dalam skripsi ini, akan dibahas lebih lanjut mengenai perjanjian internasional sebagai suatu hukum internasional yang mengikat para pihak yang telah menyepakatinya. Subjek hukum Internasional sendiri tidak hanya terbatas pada negara saja, dimana organisasi internasional juga termasuk kedalamnya. Berikut 29 ini, pendapat beberapa ahli terkemuka mengenai perjanjian Internasional :

  Statuta Mahkamah internasional, Pasal 38 ayat (1), Menurut Wayan Parthiana, perjanjian internasional ialah: “Kata sepakat antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum

  

  atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum Internasional” Di Indonesia sendiri, ada disebutkan pengertian mengenai perjanjian internasional. Hal ini terdapat di dalam Undang-undang No.24 Tahun 2000 yang menyebutkan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta

  

  menimbulkan hak dan kewajiban dibidang hukum publik”

  

“Treatie are agreement between subjects of international law. They may be

bilateral (ie. Concluded between contracting parties) or multilateral (ie.

  Concluded more than contracting parties).”

  “Perjanjian ialah suatu kesepakatan antara subjek-subjek international. Yang di dalamnya mencakup kesepaktan bilateral dan multilateral yang menyebabkan perikatan terhadap pihak pihak yang menyepakatinya”.

   Pengertian perjanjian internasional menurut Ian Brownlie :

“Treaty as an International agreement concluded between states in written form

and governed by International law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.”

  “Perjanjian internasional sebagai suatu kesepakatan antara negara-negara dalam bentuk tertulis dibawah hukum internasional, baik di dalam suatu badan ataupun 30 beberapa badan yang terkait mengenai tujuan khusus yang ingin dicapai”

  

Wayan Parthiana, Perjanjian Internasional, bagian 1, cet.I, Mandar Maju, Bandung, 2002, 31 hlm.11. 32 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional 33 G.Schwarenberger, A manual of International Law, Vol.1, Edisi ke-4, London 1960, hlm.26. rd

Ian Browlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3 edition, 1979), hlm. 602. Mochtar Kusumaatmadja di dalam bukunya, mengartikan perjanjian internasional sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu karena itu dapat dinamakan perjanjian internasional, perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-

   subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional.

  Di dalam bukunya, Mochtar Kusumaatmadja tidak hanya membatasi perjanjian internasional dalam lingkup negara saja, melainkan juga organisasi internasional

  

  dan lain lain . Perjanjian Internasional menurut Mochtar, ada kalanya dinamakan traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convention) , piagam (statuta), charter, deklarasi, protokol, arrangement, accord, modus vivendi, convenant dan

   sebagainya.

  Boer Mauna, di dalam bukunya yang berjudul Hukum Internasional, menuliskan bahwa perjanjian internasional adalah semua perjanjian yang dibuat oleh negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, yang diatur oleh hukum

   internasional dan berisikan ikatan-ikatan yang mempunyai akibat hukum.

  Pengertian lebih jauh mengenai makna dan istilah perjanjian Internasional yang

  

  digunakan oleh para ahli hukum yaitu : 1.

  Traktat, merupakan istilah yang sudah umum dipergunakan untuk perjanjian internasional antara negara negara yang substansinya

   tergolong penting bagi para pihak.

  34 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar hukum Internasional, Buku 1- Bagian Umum, (Bandung : 35 Binacipta, 1990), hlm. 84 36 Mochtar Kusumaatmadja, op.cit., hlm 85 37 Mochtar Kusumaatmadja, op,cit., hlm 82

Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era DInamika

Global, edisi ke-2, (Bandung: P.T, Alumni.2005), dikutip dari Myers, “The Names and Scope of

38 Treaties”, 51 American Journal of International Law, 574,575 (1957).

  Tenri Ariantim Andi., Istilah-Istilah hukum perjanjian internasional, http://satutujuhsatusatu.blogspot.com/2009/11/istilah-istilah-hukum-perjanjian.html, diakses 39 pada 2 Novermber 2014 pukul 20.06 WIB Op.cit. I Wayan Parthiana. hal. 27.

  2. Treaties (Perjanjian Internasional / Traktat). Umumnya, traktat ini digunakan untuk perjanjian yang materi merupakan hal-hal yang sangat

   prinsipil dan memerlukan pengesahan /ratifikasi.

3. Convention (Konvensi). Kata konvensi ini umumnya digunakan untuk

  

  perjanjian multilateral yang beranggotakan banyak pihak. Konvensi juga digunakan secara umum di dalam bahasa indonesia untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional multilateral, baik yang dipreakarsai oleh negara-negara maupun oleh lembaga atau organisasi internasional. Pada umumnya kovensi ini digunakan untuk perjanjian- perjanjian internasional multilateral yang mengatur temntang masalah yang besar, penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang dapat berlaku secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum. Namun, ada pula perjanjian yang sebenarnya merupakan perjanjian bilateral tetapi diberi nama

   konvensi.

  4. Persetujuan. Istilah persetujuan (agreement, arrangement) digunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional yang ditinjau dari segi isinya lebih bersifat teknis dadministratif. Jika dibandingkan dengan substansi traktat (treaty) ataupun kjonvensi (convention) yang berkenaan dengan masalah masalah yang besar dan penting, substansi dari persetujuan berkenanan dengan masalah-masalah yang besar dan penting, substansi dari persetujuan berkenaan dengan masalah-masalah teknis yang ruang

  

  lingkupnya relatif kecil. Saat ini, istilah agreement jauh lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan istilah arrangement. Istilah persetujuan juga digunakan untuk perjanjian yang mengatur materi

   40 mengenai bidang ekonomi, kebudayaan, teknik dan ilmu pengetahuan.

  

Boer Mauna. Hukum Internasional; Pengertian; Peranan; dan Fungsi dalam Era Dinamika

41 Global. Hal.89. 42 Ibid. Hal. 91 43 Op.cit. I Wayan Parthiana. hal. 29. 44 Ibid. hal 32.

  Op.cit. Boer Mauna. Hal 91.

  5. Charter (piagam). Istilah charter ini umumnya digunakan untuk perangkat internasional seperti dalam pembentukan suatu organisasi international dimana penggunaan istilah ini berasal dari kata Magna

45 Carta . Istilah ini juga dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian

  internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi

   internasional.

  6. Protokol, jika digunakan dalam pengertian suatu instrument perjanjian biasanya dikaitkan pada instrumen tunggal yang memberikan amandemen atau pelengkap terhadap persetujuan internasional

  

  sebelumnya. Istilah protokol ini juga diberikan pada instrumen perjanjian yang memperpanjang masa berlakunya suatu perjanjian atau

   konvensi yang sudah hampir berakhir masa berlakunya.

  7. Declaration (Deklarasi). Isi dari deklarasi umumnya lebih ringkas dan padat serta mengenyampingkan ketentuan-ketentuan formal seperti

  

  surat kuasa (full powers), ratifikasi, dll. Deklarasi, dalam bahasa Indonesia, diartikan sebagai pernyataan ataupun pengumuman. Pada umumnya isi dari deklarasi tersebut lebih merupakan kesepakatan antara para pihak yang masih bersifat umum dan berisi tentang hal-hal yang merupakan pokok-pokok saja. Akan tetapi, ada pula deklarasi yang berisikan kaidah hukum yang mnegikat secara kuat sebagai kaidah

   hukum dalam pengertian yang sesungguhnya.

  8. Final Act, adalah suatu dokumen yang berisikan laporan sidang dari suatu konferensi yang mnyebutkan perjanjian-perjanjian dan terkadang

   disertai anjuran dan harapan.

9. Agreed Minutes and Summary Records, yaitu catatan mengenai hasil

  45 perundingan yang telah disepakati oleh pihak-pihak dalam perjanjian. 46 Ibid. hal 92. 47 Op.cit. I Wayan Parthiana. hal 31. 48 Op.cit. Boer Mauna. hal. 92 49 Sumaryo Suryokusumo. Hukum Perjanjian Internasional. hal 23. Tatanusa, 2008. 50 Op.cit. Boer Mauna. hal 93 51 Op.cit. I Wayan Parthiana.hal 29 Op.cit. Boer Mauna.hal 94

  Catatan ini selanjutnya akan digunakan sebagai rujukan dalam

   perundingan-perundingan selanjutnya.

  10. Memorandum of Understanding, yaitu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknis operasional suatu perjanjian induk. Jenis perjanjian ini umumnya dapat segera berlaku setelah penandatanganan tanpa

  

  11. Arrangement, yaitu suatu perjanjian yang mengatur pelaksanaan teknik operasional pada proyek-proyek jangka pendek yang betul-betul

   bersifat teknis.

  12. Exchange of Notes. Perjanjian ini dilakukan dengan mempertukarkan dua dokumen, yang kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak

  

pada masing-masing dokumen.

  13. Process-Verbal. Istilah ini dipakai untuk mencatat pertukaran atau penyimpanan piagam pengesahan atau untuk mencatat kesepakatan hal- hal yang bersifat teknik administratif atau perubahan-perubahan kecil

   dalam suatu persetujuan.

14. Modus Vivendi, yakni suatu perjanjian yang bersifat sementara dengan maksud akan diganti dengan pengaturan yang tetap dan terperinci.

  Biasanya dibuat secara tidak resmi dan tidak memerlukan

   pengesahan.

  15. Statuta. Istilah statuta (Statute) biasa dipergunakan untuk perjanjian- perjanjian internasional yang dijadikan sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Organisasi atau lembaga internasional yang menggunakan istilah statuta untuk piagamnya adalah Mahkamah Internasional Permanen dan Mahkamah Internasional yang masing-

  52 53 Ibid. hal.94. 54 Ibid. hal 95 55 Ibid. hal 95 56 Ibid. hal 95 57 Ibid. hal 96 Ibid. hal 96. masing piagamnya disebut Statute of Permanent Court of International

   Justice, dan Statute of International Court of Justice.

  16. Kovenan. Istilah kovenan (Covenant) juga mengandung arti yang sama dengan piagam, jadi digunakan sebagai konstitusi suatu organisasi

   internasional.

17. General Act. Suatu general act adalah benar-benar sebuah traktat tetapi

   sifatnya mungkin resmi mungkin juga tidak resmi.

  18. Pakta (Pact). Istilah pakta dalam bahasa Inggris pact dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional dalam bidang militer, pertahanan, dan keamanan. Misalnya perjanjian tentang organisasi kerjasama pertahanan dan keamanan Atlantic Treaty

   Organisation /NATO disebut dengan pakta atlantik.

  Di dalam kasus ini, Jepang secara langsung telah melakukan perjanjian internasional dengan suatu organisasi internasional yaitu International Whaling

  commission (IWC) sehingga Jepang terikat terhadap konvensi yang dianut oleh

  anggota tersebut yaitu International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW). Segala bentuk peraturan yang telah ditetapkan tidak boleh dilanggar oleh negara anggotanya karena bersifat mengikat meskipun sistem keanggotaannya bersifat sukarela.

  Dikarenakan adanya perjanjian internasional inilah, sengeketa antara Jepang dengan salah satu anggota IWC yaitu Australia dapat mengajukan gugatannya untuk diputus oleh Mahkamah Internasional dengan catatan adanya kesepakatan bersama untuk membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional.

  2. Kekuatan Mengikat Suatu Perjanjian Internasional

  58 59 Ibid. hal 30. 60 Ibid. hal 31 61 J.G. Starke. Pengantar Hukum Internasional 2 Edisi Kesepuluh. hal 589.

  Op.cit. I Wayan Parthiana. hal 33. Perjanjian Internasional, sejati mengacu kepada suatu prinsip dasar yang dianut oleh seluruh masyarakat internasional, yaitu “Pacta Sun Servada”. Pacta Sun merupakan norma fundamental yang menjadi jawaban atas pertanyaan,

  Servada

  mengapa perjanjian internasional mempunyai kekuatan mengikat. Tampak bahwa kekuatan mengikat dari perjanjian internasional tumbuh dari perkembangan

   prinsip tersebut sebagai kebiasaan.

  Lauterpact, di dalam bukunya mengenai perjanjian internasional mengemukakan “Treaties are legally binding because there exist a customary rule of

  

internasional law that treaties are binding ”. Yang dalam bahasa Indonesianya

  berbunyi “Perjanjian mengikat secara hukum karena ada hukum kebiasaan

   intenasional yang mengikat perjanjian”.

  Perjanjian yang ditetapkan, mulai berlaku saat tanggal yang telah disepakati sebelumnya dan di tuangkan kedalam Final Provision (ketentuan penutup) tercapai. Seluruh pihak yang terlibat di dalam perjanjian tersebut menentukan kapan mulai berlakunya perjanjian tersebut dan dicantumkan sebagai salah satu pasal atau ayat dari perjanjian itu.

   Di dalam buku yang berjudul “Modern International law” , terdapat 2

  penggolongan terhadap perjanjian international. Salah satu diantaranya yaitu tentang perjanjian multilateral, yang berlaku setelah terpenuhi jumlah dari ratifikasi yang ditentukan atau yang tealh didepositokan/ disimpan oleh negara/ organisasi internasional yang ditugasi untuk menyimpannya kecuali dimaksud lain oleh para pihak agar perjanjian mulai berlakunya beberapa saat setelah ratifikasi terakhir yang diisyaratkan.

  62 Budiono,K., Suatu Studi Terhadap Apek Operasional Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang 63 Hukum Perjanjian Internasional, Bina Cipta, hlm. 15.

  

Oppenheim Lauterpacht, International Law of Treaties, Volume 1, Edisi 8, Longmans, 1953,

64 hlm. 880-881.

  

R.C. Hingorani, Modern International Law, Oceana, 2 Sub edition (June 1984), the University

of California

B. Sejarah Berdirinya IWC

  

International Whaling commission (IWC) adalah organisasi internasional yang

  bergerak dibidang regulasi perburuan paus. Organisasi ini merupakan perwujudan dari pelaksanaan International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) yang ditandatangani di Washington D.C., Amerika Serikat pada tanggal 2 Desember 1946. IWC berpusat di Impington, Inggris dan memiliki 3 komite utama yang mencakup bagian penelitian, bagian keperluan sehari-hari, dan bagian finansial yang juga merangkap administrasi. Pada awalnya, IWC dibentuk dengan persetujuan bersama secara sukarela oleh negara-negara anggota yang menyetujui International Convention for the

  

Regulation of Whaling (ICRW) pada tahun 1946. Negara-negara tersebut sepakat

  untuk membentuk suatu organisasi independen yang bekerja berdasarkan ICRW untuk memberikan ruang agar dapat membicarakan masalah terkait penggunaan sumber daya paus. Disinilah awal terbentuknya organisasi untuk menciptakan industri perburuan paus yang terorganiasir; termasuk implementasi tujuan ekonomis dan keterjagaan linkungannya.

  IWC pada mulanya beranggotakan 15 negara dan terus bertambah setiap tahunnya.. Partisipasi sebagai anggota IWC tidak terbatas hanya pada negara yang memiliki hubungan dengan paus., negara negara yang bersedia untuk turut serta mendukung IWC walaupun tidak memiliki paus didaerahnya diperbolehkan untuk bergabung dan bersama-sama memonitoring pelaksaan ICRW. Anggota IWC telah naik dua kali lipat sejak 2001 dengan jumlah hampir 6 negara bergabung tiap tahunnya dalam rentang waktu 2002 sampai 2008. Pada tahun 1982, IWC mengadopsi sebuah moratorium mengenai perburuan paus dimana Jepang dan Rusia menjadi salah satu negara yang paling menentang diberlakukannya moratorium ini bersama dengan negara-negara oposisi lainnya.

  IWC, sesuai dengan tujuan utamanya untuk melindungi keberlanjutan eksistensi paus, “zero catch limit for commercial whaling” yang berarti menghapus segala bentuk perburuan paus pada tahun 1986 dan membatasi perburuan paus hanya

   untuk tujuan penelitian dengan syarat tertentu saja.

  Untuk penduduk lokal yang memang masih memiliki budaya ataupun keduayaan untuk berburu paus, seperti suku Makah, negara Jepang, Iceland, Norway dan lain lain, IWC memberikan keringanan berupa “non-zero whaling quota” bagi penduduk asli dan setiap negara boleh mengisukan “scientific permits” kepada penduduk mereka yang berupa izin untuk melakukan penelitian terhadap paus.

  IWC memberikan izin khusus seperti ini karena masih diakui kebiasaan setempat seperti kebiasaan suku Makah yang menyatakan bahwa prosesi adat perburuan paus merupakan perayaan tradisional yang sudah dilakukan sejak zaman nenek moyangnya, dan adat inilah yang menjadi sumber inspirasi terhadap lagu, tarian, desain dan alat keterampilan mereka. Bagi suku Makah, perburuan paus memberikan tujuan dan disiplin bagi seluruh komunitasnya; pada tahun 1855 , suku Makah berhasil mendapatkan hak untuk berburu paus di daerah Neah Bay

   sesuai dengan perjanjian terhadap Amerika Serikat.

  Izin lainnya yang diberikan oleh IWC yaitu izin penelitian. Yang dimaksud dengan izin penelitian ini ialah diperbolehkannya dilakukan penangkapan terhadap paus dengan tujuan untuk menganalisa, mencari data ataupun untuk memonitoring jenis paus tersebut dengan tujuan untuk mendapatkan informasi berharga yang kelak dapat disumbangkan kembali untuk membantu pelestarian

   paus tersebut ataupun sebagai ilmu pengetahuan tambahan bagi umat manusia.

  IWC, sebagai organisasi yang memberikan monitoriasi dan perlindungan terhadap paus memiliki tugas utama untuk terus mengawasi dan melakukan perubahan terhadap konvensinya seiring dengan aktivitas perburuan paus di seluruh dunia.

  IWC di dalam tindak tanduknya, juga membuat suatu wilayah perlindungan bagi 65 paus dengan nama “Southern Ocean Whale Sanctuary”. Tempat ini merupakan 66 IWC Resolution 1986-2, Resolution on Special Permits for Scientific Research.

  

The Makah Whaling Tradition, http://makah.com/makah-tribal-info/whaling/ , diakses pada

67 12 Juni 2014 pukul 09.24.

  International Convention for the Regulation of Whaling 1946, Pasal 8 ayat (1) & (2) area seluas 50 juta kilometer persegi yang mengelilingi Antartika dimana IWC telah menetapkan bahwa disini tidak boleh ada perburuan paus komersial dalam bentuk dan alasan apapun. IWC sebenarnya memiliki dua tempat perlindungan

   paus , dimana satunya lagi “Indian Ocean Whale Sanctuary”.

  Dari semua tindakan yang dilakukan oleh IWC, inilah yang dianggap sebagai tindakan terbaik dengan membuat kawasan lindung bagi paus seperti “Southern

  

Ocean Whale Sanctuary ”, sehingga dapat memberikan perlindungan total kepada

  jenis paus tertentu ; menentukan jumlah jenis paus yang boleh diburu didaerah tersebut; menentukan musim untuk melepas migrasi paus; mencegah penangkapan

   paus muda yang masih membutuhkan bantuan induknya.

  Dalam melaksanakan tugasnya, IWC juga diberikan izin untuk bekerja sama dengan badan khusus negara anggota atau badan badan lainnya dengan catatan : a.

  Mendukung, merekomendasi, atau jika diperlukan, melakukan penelitiandan invesigasi yang berkaitan dengan paus dan perburuannya.

  b.

  Mengumpulkan dan menganalisa informasi statistik mengenai kondisi terkini dan laju pertumbuhan jumlah paus serta dampak dampak dari perburuan paus.

  c.

  Pembelajaran, pengamatan dan pembedahan informasi yang berkaitan dengan metode-metode untuk mempertahankan ataupun menambah

   jumlah populasi paus.

  

C. Regulasi International Whaling Commission (IWC) Terhadap Perburuan

Paus

  IWC sebagai organisasi international yang bergerak di bidang perlindungan paus, 68 tidak membatasi sepenuhnya hak-hak untuk melakukan perburuan paus. Di dalam

  _ Southern Ocean Whale Sanctuary, http://en.wikipedia.org/wiki/Southern_Ocean_ 69 Whale_Sanctuary ,diakses pada 12 Juni 2014 pukul 12.00. 70 Catch Limits & Catches taken, http://iwc.int/catches , diakses pada 14 Juni 2014 pukul 14.47.

  International Convention for the Regulation of Whaling 1946, pasal 4 ayat (1) organisasi tersebut, ada izin khusus yang bisa diperoleh yaitu izin penangkapan untuk tujuan penelitian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

  Pada tahun 1940-an, negara-negara menyadari bahwa perlu adanya sutau regulasi terhadap paus agar eksistensinya tetap terjaga dan dapat tetap diburu kedepannya secara berkala untuk kepentingan komersial. Lalu, dibentuklah melalui kesepakatan untuk membuat pembatasan pada jumlah paus yang boleh di buru agar ada peluang bagi paus untuk berkembang biak. Ide inilah yang mendasari di bentuknya IWC setelah regulasi mengenai perburuan paus dituangkan dalam

  ICRW 1946. Dengan tujuan agar kedepannya masih ada paus untuk diburu secara berkelanjutan., IWC selalu mengedepankan ilmu pengetahuan dan penelitian sebagai bagian dari organisasi itu sendiri. Namun, setiap peraturan memiliki celah hukum sendiri yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan yang salah apabila tidak dimonitorisasi secara benar. Ada negara anggota yang dengan alasan demi ilmu pengetahuan dan penelitian berusaha mencari celah agar dapat menggunakan izin untuk kepentingan komersial negaranya sendiri dan melanggar regulasi yang ada. Pada tahun 1982, IWC melakukan voting untuk membentuk suatu moratorium terhadap perburuan paus. Di dalam voting tersebut, beberapa anggota dari IWC menolak, namun hal tersebut tetap dilakukan dan mulai berlaku tahun 1986. Setelah itu, para anggota IWC kembali melakukan voting untuk membentuk cagar untuk paus di Antartika. Secara perlahan, negara-negara yang menentang perburuan paus terus terkumpul dan mulai memberikan suaranya, IWC dianggap sebagai badan internasional untuk perlindungan paus, yang sebenarnya bukan tujuan utamanya. IWC pada dasarnya di berntuj untuk meregulasi perburuan paus demi ketersedian paus di masa depannya sehingga bisa diburu secara berkala.

  Konstitusi IWC yang lemah membuat banyak kontroversi. Anggota IWC sendiri meminta IWC untuk menguatkan eksistensi dan kewenangan organisasinya agar memiliki daya paksa terhadap negara-negara lain , terutama yang bukan anggota

  

untuk mengikuti ketentuan berburu paus.

  Prof. Nick Gales dan tim nya di dalam tulisannya mengenai “Applying scientific

  principles in international law on whaling ”, penerapan prinsip prinsip penelitian

  terhadap hukum international yang berkaitan dengan paus, menyatakan bahwa

  IWC tidak benar benar memiliki kemampuan untuk memaksa negara negara yang lain untuk patuh meskipun IWC berusaha melakukan revisi terhadap sistem regulasi perburuan paus demi penelitiannya. Prof. Gales menyarankan IWC untuk membuat larangan bagi tiap negara membuat izin penelitiannya sendiri. Harus ada faktor eksternal yang bukan dari negara tersebut yang ikut menentukan pemberian izin perburuan paus untuk penelitian. Tujuan dari penelitian itu juga harus disebutkan dengan jelas dan

   bukan sekedar alasan untuk menutupi kegiatan lainnya.

  IWC, di dalam kewenangannya menerapkan daerah cagar untuk paus, dipandang lemah dalam hal kredibilitas oleh Mahkamah Internasional. Segala perkembangan dan revisi peraturan yang ada di dalam IWC dianggap sama sekali tidak berpengaruh apapun karena masing-masing negara punya kepentingan politik masing-masing. IWC sebelum membuat revisi ataupun larangan haruslah menguatkan posisinya terlebih dahulu di dunia internasional atau kedepannya segala hal yang dilakukan IWC akan sia-sia.

D. International Convention for the Regulation of Whaling (ICRW) sebagai konvensi dasar International Whaling Commission (IWC).

71 The flawed nature of the International Whaling commission's science,

  

http://www.abc.net.au/environment/articles/2014/09/16/4088124.htm , diakses pada 22 Juni

72 2014 pukul 08.52.

de la Mare et al 2014 Policy Forum, Prof. Gales, Australian Antarctic Division, Kingston,

Tasmania 6050, Australia

  Di dalam menjalankan fungsinya, IWC yang bergerak dibidang regulasi perburuan paus, menggunakan ICRW sebagai dasar konvensinya untuk menjalankan kegiatannya dan memberikan izin terhadap kegiatan perburuan paus.

  ICRW sendiri merupakan sebuah konvensi internasional menyangkut permasalahan perburuan paus yang disetujui pada tahun 1946 di Washington D.C, Amerika Serikat. Pada awalnya, ICRW merupakan 2 perjanjian multilateral yang berkenaan dengan paus yang kemudian digabungkan. Kedua perjanjian tersebut yaitu konvensi mengenai regulasi paus (The Convention for the Regulation of

  

Whaling ) yang diadopsi pada tahun 1931 dan perjanjian internasional untuk

regulasi paus pada tahun 1937.

  Konvensi mengenai regulasi perburuan paus (Convention for the Regulation of

  

Whaling ) diadopsi pada tahun 1931 dengan alasan karena adanya kekhawatiran

  terhadap keberlangsungan industri paus. Industri pada saat itu berkembang pesat karena adanya kapal yang memadai dan inovasi teknologi yang memungkinkan untuk melakukan perburuan secara intensif dan jauh dari stasiun darat seperti di Antartika. Di dalam konvensi awal ini, konvensi hanya mengatur mengenai perizinan kapal dan pelarangan terhadap perburuan beberapa jenis paus.

  Dikarenakan konvensi sebelumnya menyebabkan jumlah paus yang ditangkap semakin banyak dan harga minyak paus turun. Adopsi dilakukan sekali lagi terhadap perjanjian internasional untuk regulasi paus pada tahun 1937, yang dalam pembukaannya tertulis bahwa tujuan dari dimunculkannya perjanjian ini adalah untuk menjaga kemakmuran dari industri paus dan untuk itu, menjaga ketersediaan paus. Perjanjian ini lebih kompleks dengan mengatur beberapa jenis paus yang tidak boleh ditangkap, menjadwalkan penangkapan paus jenis tertentu sesuai musimnya, melakukan zona larangan penangkapan dan memperkuat regulasinya terhadap insdustri. Konvensi tahun 1937 juga menjadi fondasi munculnya sistem perburuan paus demi penelitian dengan izin khusus dimana dalam pelaksanaannya, setiap pihak terkait harus melaporkan seluruh informasi terkait mengenai paus dan data data berguna lainnya dan dibawa ke badan penelitian internasional untuk data perburuan paus (International Bureau for Whaling Statistics ) di Norwegia.

  Kedua konvensi tersebut digabungkan dan menjadi dasar daripada ICRW. Meskipun merupakan gabungan dari konvensi 1931 dan 1937, ICRW memiliki kekhususan tersendiri, salah satunya yaitu fungsi amandemen di dalam pasalnya, dimana ICRW dapat mengajukan sutau perubahan kepada negara anggotanya dan para anggota tersebut akan memberikan jawaban. Pemungutan suara dilakukan melalui voting sampai ¾ (tiga per empat) suara dari yang melakukan voting tercapai. Negara anggota juga berhak untuk menolak amandemen sehingga amandemen tersebut baru berlaku padanya apabila penolakan telah dicabut. Sistem seperti ini menyebabkan regulasi ICRW bersifat dinamis dan berubah sesuai dengan kebutuhannya.

  Tujuan dasar dari ICRW ini sendiri ialah untuk melakukan konservasi terhadap berbagai jenis paus dan membuat regulasi perburuan yang terorganisir dan

   bertahahap terhadap industri komersial paus.

  ICRW ini mulai berlaku pada tanggal 10 November 1948 dan terus diperbaiki sampai pada tahun 1956 dimana helicopter dan kapal juga dimasukkan sebagai alat transportasi yang dikategorikan sebagai kendaraan untuk menangkap paus. Konvensi ini juga bertujuan untuk untuk melakukan perlindungan seluruh jenis paus terhadap perburuan secara besar besaran, penetapan suatu sistem internasional terhadap perburuan paus untuk memastikan adanya konservasi yang berjalan dengan baik dan terjaganya keseimbangan jumlah paus, dan untuk menjaga tersedianya sumber daya alam untuk generasi kedepannya dengan paus sebagai bentuk sumber daya alam yang dapat dieksploitasi secara berkelanjutan. Salah satu cara yang paling efisien untuk mencapai tujuan ini adalah dengan membentuk suatu organisasi internasional yaitu International Whaling commission (IWC). Badan ini juga berfungsi sebagai

73 International Convention for the Regulation of Whaling 1946

  tempat untuk pertimbangan pemberian izin kepada negara negara untuk

   melakukan penelitian terhadap paus yang melibatkan terjadinya perburuan paus.

  Di dalam pasal pertama disebutkan bahwa ICRW berlaku terhadap kapal pabrik, stasiun darat dan kapal pemburu paus dimana kewenangan konvensi ini berlaku terhadap seluruh negara peserta dan juga segala wilayah perairan yang melarang

   perburuan paus oleh kapal pabrik, stasiun darat dan pemburu paus.

  ICRW juga menjelaskan bahwa yang dikategorikan sebagai “Whale Catcher”, penangkap paus ,ialah kapal yang digunakan dengan tujuan untuk memburu, mengambil, menarik, meletakkan, ataupun memata-matai paus. Negara yang termasuk ke dalam negara yang turut serta menurut konvensi ini ialah negara yang telah

   meratifikasi ataupun telah memberikan persetujuan untuk konvensi ini.

  Pada tahun 1950, IWC membuat suatu komite di dalamnya yang mengurus segala hal yang berkaitan dengan penelitian. Komite ini diberi nama Scientific committee yang terdiri dari para ilmuan yang direkomendari oleh negara anggota. Namun, tidak tertutup kemungkinan bagi ilmuan dan ahli lainnya yang bukan rekomendasi negara untuk ikut terlibat di dalamnya selama pertemuan tersebut yang tidak menggunakan voting.

  Badan penelitian ini, membantu IWC di dalam melaksanakan tugasnya yang

   berkaitan dengan “studi dan penelitian mengenai paus dan perburuannya”.

  Badan ini menganalisa informasi yang disediakan negara anggota yang merupakan kewajibannya untuk memberikan seluruh infromasi penting yang

  

berkaitan dengan paus dan perburuannya.

  ICRW, melalui badan penelitian IWC, dapat diamandemen dari waktu ke waktu 74 sesuai dengan agenda dengan mengadopsi peraturan konservasi dan penggunaan

  International Convention for the Regulation of Whaling, http://en.wikipedia.org/wiki/International_Convention_for_the_Regulation_of_Whaling#cite_no 75 te-2, diakses pada 20 Juni 2014 pukul 10.27 WIB. 76 ICRW 1946, pasal 1 ayat (1) & (2). 77 ICRW 1946, pasal 2 ayat (3) & (4). 78 ICRW 1946, pasal 4.

  ICRW 1946, pasal 8 ayat (3). sumber daya paus, seperti mengamandemen peraturan tentang paus yang sudah dilindungi dan yang belum dilindungi, musim pembukaan dan penutupan, perairan terbuka dan tertutup, termasuk peruntukan daerah cagar perlindungan paus, ukuran maksimal untuk setiap jenis paus. Waktu, metode dan jumlah perburuan paus (termasuk jumlah perburuan paus maksimal disetiap musimnya); Jenis dan spesifikasi dari perlengkapan dan peralatan yang boleh digunakan; Metode pengukuran, penangkapan kembali serta data statistik dan biologis juga di

   atur di dalam ICRW.

  Peraturan ICRW tidak serta merta melarang seluruh perburuan paus tanpa memikirkan dampak yang terjadi dimasyarakat. Pada masyarakat tertentu, paus masih memiliki hubungan yang erat dengan tradisi, adat istiadat dan kebiasaan hidup mereka. Oleh karena itu, peraturan yang ada dan diamandemen masih terus memperhatikan perkembangan masyarakat international secara konsisten serta industri komersial paus.

  Amandemen yang direncanakan ke dalam ICRW kedepannya, haruslah benar benar diperlukan untuk melaksanakan tujuan dari konvensi ini seperti menyediakan konservasi, pengembangan dan penggunaan maksimal dari sumber daya paus. Amandemen juga didasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan tidak terikat pada pembatasan jumlah ataupun kewarganegaraan kapal dan tetap akan mempertimbangkan kepentingan konsumen produk paus serta badan

   usaha yang berkaitan dengan paus.

  79 80 ICRW 1946, pasal 5 ayat (1).

  ICRW 1946, pasal 5 ayat (2).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Investasi - Hubungan Antara Risiko Yang Diukur Dengan Metode Value At Risk (Var) Terhadap Imbal Hasil Reksa Dana Saham Di Indonesia

0 0 23

Hubungan Antara Risiko Yang Diukur Dengan Metode Value At Risk (Var) Terhadap Imbal Hasil Reksa Dana Saham Di Indonesia

0 0 10

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Otonomi Daerah - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Belanja Modal pada Kota di Pulau Sumatera

0 1 21

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Belanja Modal pada Kota di Pulau Sumatera

0 0 9

7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN TEORITIS 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah

0 1 26

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP dan LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka - Tradisi Persembahan Makanan Kepada Orang Meninggal Dalam Upacara Kematian Masyarakat Tionghoa di Kota Medan

0 1 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Automasi Perpustakaan 2.1.1 Pengertian Automasi Perpustakaan - Penerapan Automasi Pada Perpustakaan Universitas Darma Agung Medan

0 0 18

Efek Waktu Milling Menggunakan Hem (High Energy Milling) Pada Pembuatan Magnet Bonded Pr-Fe-B

0 0 14

BAB 2 LANDASAN TEORI - Efek Waktu Milling Menggunakan Hem (High Energy Milling) Pada Pembuatan Magnet Bonded Pr-Fe-B

0 0 16

BAB 2 LANDASAN TEORI - Kajian Teori Permainan Pada Strategi Pemasaran Suatu Produk Dengan Metode Simpleks

0 0 11