BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1 Otonomi Daerah - Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK) terhadap Belanja Modal pada Kota di Pulau Sumatera

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1 Otonomi Daerah

  Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 ayat (5), Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

  Widjaya (1992:39) mengatakan ada tiga variabel yang menjadi tolok ukur kemampuan daerah otonom, yaitu: a.

  Variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/keuangan, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi.

  b.

  Variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya.

  c.

  Variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan serta penghayatan agama.

  Apabila pemahaman Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 (Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik) digabungkan dengan

  Pasal 18 beserta penjelasannya, maka dapat dikatakan bahwa Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang didesentralisasikan. Dalam negara kesatuan yang didesentralisasikan, pemerintah pusat tetap mempunyai hak untuk mengawasi daerah-daerah otonom.

  Penerapan otonomi daerah/desentralisasi fiskal oleh pemerintah pusat Indonesia memiliki tujuan untuk kemandirian pemerintah daerah dalam pengelolaan rumah tangganya. Dalam penerapannya pemerintah pusat tidak lepas tangan secara penuh dan masih memberikan bantuan kepada pemerintah daerah berupa dana perimbangan yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah dalam pembangunan dan menjadi menjadi komponen pendapatan daerah dala APBD. Pemerintah daerah harus dapat menjalankan rumahtangganya secara mandiri dan dalam upaya peningkatan kemandirian ini, pemerintah dituntut untuk meningkatkan pelayanan publiknya.

2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

  Pengurusan keuangan dipemerintah daerah diatur dengan membagi menjadi pengurusan umum dan pengurusan khusus. Pemerintah daerah memiliki Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam pengurusan umum dan kekayaan milik daerah yang dipisahkan pada pengurusan khusus. APBD dapat didefenisikan sebagai rencana operasional keuangan pemda, di mana pada satu pihak menggambarkan perkiraan pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah selama satu tahun anggaran tertentu, dan pihak lain menggarmbarkan perkiraan dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud (Mamesah, 1995: 20; dalam Halim, 2012). APBD sebagai anggaran daerah memiliki unsur-unsur sebagai berikut 1.

  Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraiannya secara terperinci.

  2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya terkait aktivitas tersebut, dan adanya biaya yang merupakan batas maksimal pengeluaran yang akan dilaksankan.

  3. Jenis kegiatan dan proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.

  4. Periode anggaran, biasanya satu tahun.

  Proses penyusunan APBD dimulai dengan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), selanjutnya RPJMD dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) untuk periode satu tahun. Berdasarkan RKPD tersebut, Pemerintah Daerah menyusun Kebijakan Umum Anggaran (KUA) yang dijadikan dasar dalam penyusunan APBD. Kemudian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menerima penyerahan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang sebelumnya disusun oleh Pemda untuk disetujui. Setelah Pemda menyetujui PPAS, selanjutnya disusun Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) yang kemudian disahkan menjadi APBD.

  Pada era reformasi keuangan daerah, mengisyaratkan agar laporan keuangan semakin informatif. Bentuk APBD mengalami perubahan yang cukup mendasar, yaitu didasari oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepemendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah, serta Tata Cara Penyusunan Anggaran dan Pendapatan dan belanja Daerah. Saat ini APBD yang digunakan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Daerah jo. Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah jo. Permendagri Nomor 59 Tahun 2007 jo. Permendagri Nomor 21 Tahun 2011. Bentuk APBD terbaru terdiri atas tiga bagian, yaitu pendapatan, belanja, dan pembiayaan (kategori baru). Pos Pembiayaan merupakan usaha agar APBD semakin informatif, yaitu memisahkan pinjaman dan pendapatan daerah. Selain itu pos Pembiayaan juga merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan deficit anggaran.

  Dalam APBD, pendapatan, belanja, dan pembiayaan tersebut dikelompokkan kembali menjadi berikut ini:

  1. Pendapatan, dibagi menjadi tiga kategori, yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, dan pendapatan lain-lain daerah yang sah.

  2. Belanja, dibagi menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut a.

  Belanja tidak langsung, yaitu belanja yang tidak terkait langsung dengan program dan kegiatan Pemerintah daerah. Belanja tidak langsung diklasifikasikan menjadi belanja pegawai yang berisi gaji dan tunjangan penjabat dan PNS daerah, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bagi hasil, belanja bantuan sosial, belanja bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.

  b.

  Belanja langsung, yaitu belanja yang terkait langsung dengan program dan kegiatan Pemerintah daerah. Belanja langsung dikelompokkan menjadi belanja pegawai yang berisi honorarium dan penghasilan terkait langsung dengan pelaksanaan kegiatan belanja barang dan jasa, dan belanja modal.

  3. Pembiayaan, yang dikelompokkan menurut sumber-sumber pembiayaan, yaitu sumber penerimaan dan pengeluaran daerah. Sumber pembiayaan berupa penerimaan daerah merupakan sisa lebih anggaran tahun sebelumnya, penerimaan pinjaman dan obligasi hasil penjualanaset daerah yang dipisahkan, dan transfer dari dana cadangan. Sedangkan sumber pembiayaan berupa pengeluaran daerah terdiri atas pembayaran utang pokok yang telah jatuh tempo, penyertaan modal, transfer ke dana cadangan, dan sisa lebih anggaran tahun yang sedang berlangsung.

2.1.3 Pendapatan Asli Daerah

  Defenisi pendapatan asli daerah sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah

  Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang- undangan”. Menurut Halim (2007:96) pendapatan asli daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah.

  Erlina dan Rasdianto (2013 : 93) mengelompokkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut jenis pendapatan yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lan- lain pendapatan asli daerah yang sah.

  Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas (subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia. Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin. Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan hal yang dikehendaki setiap daerah.

  PAD yang merupakan sumber penerimaan daerah sendiri perlu terus ditingkatkan agar dapat menanggung sebagian beban belanja yang diperlukan untuk penyelenggarakan pemerintah dan kegiatan pembangunan yang setiap tahun meningkat sehingga kemandirian otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dapat dilaksanakan. Sebagaimana diatur dalam pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah menyatakan sumber-sumber PAD terdiri dari: a.

  Pajak daerah b. Retribusi daerah c. hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan d.

  Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

  Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dasar pemungutannya berdasarkan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Aturan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001tentang Retribusi Daerah. Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada setiap daerah diatur dengan Peraturan Daerah.

  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 pajak yang dipungut pemerintah provinsi berebda objeknya dengan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

  Adapun jenis pajak yang dikelola/dipungut oleh pemerintah provinsi sebanyak 4 jenis yang terdiri dari;

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 2.

  Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 4. Pajak Pengembaliin dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air

  Permukaan Bagi hasil pajak untuk Kabupaten/Kota ditetapkan lebih lanjut dengan

  Peraturan Daerah Provinsi dengan memperhatikan aspek pemerataan dan potensi.

  Jenis-jenis pajak yang dikelola/dipungut oleh pemerintah Kabupaten/Kota adalah sebagai berikut:

1. Pajak Hotel 2.

  Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame 5. Pajak Penerangan Jalan 6. Pajak Pengambilan dan Pengelolahan Bahan Galian C 7. Pajak Parkir

  Selain jenis pajak tersebut denan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten/Kota dapat ditetapkan jenis pajak lainnya sesuai kriteria yang ditetapkan dalam Undang-undang. Penetapan jenis pajak lainnya harus benar- benar bersifat spesifik dan potensial daerah.

  Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut retribusi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.

  Jenis retribusi dikelompokkan dalam retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu. Retribusi Jasa Umum adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.

  Jenis-jenis Retribusi Jasa Umum adalah: a. Retribusi Pelayanan Kesehatan b.

  Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte

  Catatan Sipil d. Retribusi PelayananPemakaman dan Pengabuan Mayat e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum f.

  Retribusi Pelayanan Pasar g.

  Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor h. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta j. Retribusi Pengujian Kapal Perikanan

  Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai undang- undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

2.1.4 Dana Alokasi Umum

  Dana Alokasi Umun (DAU) dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN.

  Menurut Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2005 Tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, Dana Alokasi Umum merupakan salah satu komponen di dalam Dana Perimbangan di APBN yang pengalokasiannya didasarkan atas formula dengan konsep kesenjangan fiskal (fiscal gap). DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya celah fiskal suatu darah, yang merupakan selisih anatara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity).

  DAU merupakan transfer yang bersifat umum (block grant) yang diberikan kepada semua kabupaten dan kota untuk mengisi kesenjangan antara kapasitas dan kebutuhan fiskalnya dan didistribusikan dengan formula berdasarkan prinsip-pinsip tertentu yang secara umum mengindikasikan bahwa daerah miskin dan terbelakang harus menerima lebih banyak dari pada daerah kaya. Dana Alokasi Umum bersifat unconditional atau tidak memiliki syarat dalam penggunaannya sehingga bisa dialokasikan sesuai dengan kebutuhan daerah. DAU untuk suatu daerah ditetapkan berdasarkan kriteria tertentu yang menekankan pada aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang formula dan perhitungan DAU-nya ditetapkan sesuai Undang-Undang (pasal 161). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, daerah yang potensi fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU relatif besar. Secara impilisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.

2.1.5 Dana Alokasi Khusus

  Dana Alokasi Khusus (DAK) atau specific grant merupakan dana transfer yang bersifat kondisional. Sesuai dengan sifatnya, DAK dialokasikan untuk mendanai kegiatan khusus sesuai prioritas nasional pada daerah tertentu. Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu dalam rangka pendanaan pelaksanaan desentralisasi untuk: a.

  Mendanai kegiatan khusus yang ditentukan pemerintah atas dasar prioritas nasional b.

  Mendanai kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu Sesuai dengan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004, yang dimaksud dengan kebutuhan khusus adalah : (i) kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus alokasi umum, dalam pengertian kebutuhan yang tidak sama dengan kebutuhan daerah lain, misalnya: kebutuhan di kawasan transmigrasi, kebutuhan beberapa jenis investasi, prasarana baru, pembangunan jalan di kawasan terpencil, saluran irigasi primer dan saluran drainase primer, dan (ii) kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Kegiatan khusus yang akan didanai dari DAK diusulkan oleh Menteri teknis dan baru ditetapkan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, sesuai dengan Renja Pemerintah. Ketetapan tentang kegiatan khusus tersebut, disampaikan kepada Menteri Keuangan. DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik, penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.

  Ada beberapa kewajiban yang melekat pada daerah penerima DAK, yaitu: a.

  Daerah penerima DAK wajib mencantumkan alokasi dan penggunaan DAK nya di dalam APBD.

  b.

  Kecuali untuk daerah dengan kemampuan keuangan tertentu, daerah penerima DAK wajib menganggarkan Dana Pendamping dalam APBD sekurang-kurangnya 10% dari besaran alokasi DAK yang diterimanya. Dana Pendamping tersebut digunakan untuk mendanai kegiatan yang bersifat kegiatan fisik.

  c.

  Kepala daerah penerima DAK harus menyampaikan laporan triwulan yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK kepada Menteri Keuangan, Menteri Teknis, dan Menteri Dalam Negeri. Penyampaian laporan dilakukan sekurang-kurangnya 14 (empat belas) hari setelah triwulan yang bersangkutan berakhir.

2.1.6 Belanja Modal

  Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaaat lebih dari satu tahun periode akuntansi.

  Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan belanja Pemerintah Daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum. Sedangkan menurut Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-33/PB/2008 yang dimaksud dengan belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau aset lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset.

  Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatakan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta tetap lainnya. Secara teoretis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lain, dan membeli. Namun, untuk kasus di pemerintahan, biasanya cara yang dilakukan adalah dengan cara membeli. Proses pembelian yang dilakukan umumnya dilakukan melalui sebuah proses lelang atau tender yang cukup rumit. Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. Untuk memenuhi tujuan tersebut Kepala Daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi (capitalization treshold) sebagai dasar pembebanan belanja modal. Belanja modal meliputi: a.

  Belanja modal tanah b. Belanja modal peralatan dan mesin c. Belanja modal gedung dan bangunan d. Belanja modaljalan, irigasi, dan jaringan e. Belanja modal aset tetap lainnya f. Belanja aset lainnya (aset tetap tak berwujud)

  Abdul Halim (2012) mengatakan bahwa belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan.

  Belanja modal dibagi menjadi: a.

  Belanja publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik: pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans.

  b.

  Belanja aparatur, yaitu belanja yang manfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur.

  Contoh belanja aparatur: pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, dan pembangunan rumah dinas.

2.2 Penelitian Terdahulu

Tabel 2.1 berikut:Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

  Peneliti Judul Variabel Penelitian Kesimpulan Penelitian

  Beberapa penelitian terdahulu dengan hasil pengujiannya dapat dilihat dari

  Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal pada Kabupaten Buleleng tahun 2006 - 2012

  Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Belanja Modal

  Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal

  Saptaningsih Sumarmi (2010)

  Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Alokasi

  Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus,Belanja

  Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh

  Ni Luh Dina Selvia Martini, Wayan Cipta, I Wayan Suwendra (2014)

  Belanja Modal Daerah

  Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Belanja Modal

  Sumber: Review dari beberapa artikel.

  Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh sinifikan terhadap Belanja Modal, sedangkan PAD, DAU, DAK berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal.

  Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, DAK, Belanja Modal

  Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Anggaran Belanja Modal Pada Pemko/Pemkab Sumatera Utara

  Anggiat Situngkir (2009)

  PAD dan belanja modal tidak berpengaruh signifikan, sedangkan baik DAU maupun DAK berpengaruh secara signifikan terhadap belanja modal.

  Analisis Hubungan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus Atas Belanja Modal Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah

  Kabupaten/Kota Di Provinsi D.I. Yogyakarta

  Fahri Eka Oktora dan Winston Pontoh (2013)

  Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal

  Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Belanja Modal

  Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Study Kasus Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah)

  Nugroho Suratno Putro (2010)

  Modal positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal

  Adapun penelitian terdahulu yang terkait dengan penelitian ini diantaranya dilakukan oleh Ni Luh Dina Selvia Martini, Wayan Cipta, I Wayan Suwendra (2014) tentang pengaruh PAD, DAU dan DAK terhadap Belanja Modal dengan mengambil sampel penelitian di Pemerintah Kabupaten Buleleng. Hasil penelitian ini membuktikan PAD, DAU, dan DAK berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.

  Saptaningsih Sumarmi (2010) melakukan penelitian tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal pada Kabupaten/Kota di Provinsi D.I Yogyakarta. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.

  Nugroho Suratno Putro (2010) melakukan penelitian tentang Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Study Kasus Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah). Adapun hasil dari penelitian tersebut adalah Pertumbuhan Ekonomi, PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap belanja modal.

  Fahri Eka Oktora dan Winston Pontoh (2013) meneliti tentang hubungan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus atas Belanja Modal pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tolitoli Provinsi Sulawesi Tengah. Adapun hasil kesimpulan dari penelitian tersebut adalah PAD dan belanja modal tidak berpengaruh signifikan, sedangkan baik DAU maupun DAK berpengaruh secara signifikan terhadap belanja modal.

  Anggiat Situngkir (2009) meneliti pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, PAD, DAU, dan DAK terhadap alokasi anggaran Belanja Modal dengan mengambil sampel penelitian di Pemkab Sumatra Utara. Hasil penelitian tersebut variabel Pertumbuhan Ekonomi tidak berpengaruh signifikan terhadap alokasi anggaran Belanja Modal. Sedangkan variabel PAD, DAU, dan DAK berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.

2.3 Kerangka Konseptual

  Kerangka konseptual adalah kesimpulan yang bersifat sementara dari tinjauan teoritis yang mencerminkan hubungan antar variabel yang sedang diteliti.

  Menurut Sugiyono (2004 : 49) kerangka konseptual merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan.

  H1 Pendapatan Asli Daerah (X1)

  H2 Dana Alokasi Umum (X2)

  Belanja Modal (Y) H3H3

  H3 Dana Alokasi Khusus (X3)

  H4

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

  Dapat dilihat pada gambar 2.1 bahwa yang akan diuji dalam penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris apakah ada pengaruh antara Pendapatan Asli Daerah (X1) terhadap Belanja Modal, pengaruh Dana Alokasi Umum (X2) terhadap Belanja Modal, dan pengaruh Dana Alokasi Khusus (X3) terhadap Belanja Modal. Serta secara bersama-sama apakah ada pengaruh antara ketiga variabel tersebut (X1, X2, X3) terhadap belanja modal.

2.4 Hipotesis Penelitian

  Menurut Cooper (1998 : 43), “ A proposition is a statement about concepts that may be judged as true or false

  

it fit refers to observable phenomena. When a proporsition is formulated for

emprical testing, we call it hypothesi. As a declarative statement, a hypothesis is

of a tentative and conjectural nature. Hypotheses have also been described as

statements in which we assign variables to cases

  ”. Hipotesis merupakan dugaan sementara atau penjelasan sementara yang belum bisa dibuktikan sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji apakah dugaan tersebut benar atau salah.

  Berdasarkan rumusan masalah, tinjauan teoritis, penelitian terdahulu, serta kerangka konseptual, maka hipotesis dari penelitian ini antara lain sebagai berikut:

2.4.1 Hubungan Pendapatan Asli Daerah dengan Belanja Modal

  Pada studi yang dilakukan Mardiasmo dalam Rundengan dkk (2013) mengemukakan bahwa selama ini PAD memiliki peran untuk pelaksanaan otonomi daerah guna mencapai tujuan utama penyelengaraan otonomi daerah yang ingin meningkatkan pelayanan publik dan memajukan perekonomian daerah. Pelayanan publik yang ditunjukkan melalui sarana dan prasarana yang memadai membuat masyarakat mamput melakukan aktivitas sehari

  • – harinya secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat produktivitasnya yang semakin meningkat, dan dengan adanya infrastruktur yang memadai akan menarik investor untuk membuka usaha di daerah tersebut. Adanya pertambahan belanja modal berdampak pada produktivitas
masyarakat yang meningkat sehingga investor bertambah dan pada akhirnya meningkatkan pendapatan asli daerah.

  Maka hipotesisnya adalah:

  

H1 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh positif terhadap pengalokasian

  anggaran Belanja Modal

  2.4.2 Hubungan Dana Alokasi Umum dengan Belanja Modal

  Untuk mengatasi ketimpangan infrastruktur yang terdapat disetiap daerah, serta agar terciptanya Pertumbuhan Ekonomi yang merata, Pemerintah Pusat mengeluarkan Dana Perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU).

  Dalam studi yang dilakukan oleh Legrenzi & Milas (2001) dalam Abdullah dan Halim (2003) menemukan bukti empiris bawasanya dalam jangka panjang transfer berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi sumber dana perimbangan yang diterima daerah melalui DAU.

  Maka hipotesisnya adalah:

  H2 : Dana Alokasi Umum berpengaruh positif terhadap pengalokasian

  anggaran Belanja Modal

  2.4.3 Hubungan Dana Alokasi Khusus dengan Belanja Modal

  Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. Pemanfaatan DAK untuk kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam belanja modal Maka hipotesisnya adalah:

  

H3: Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif terhadap pengalokasian

  anggaran Belanja Modal

  

2.4.4 Hubungan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan

Dana Alokasi Khusus dengan Belanja Modal

  Suatu daerah otonom mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber - sumber keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Untuk mengatasi ketimpangan infrastruktur yang terdapat disetiap daerah, serta agar terciptanya Pertumbuhan Ekonomi yang merata, Pemerintah Pusat mengeluarkan Dana Perimbangan berupa Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Aloksi Khusus.

  Dalam studi yang dilakukan oleh Legrenzi & Milas (2001) dalam Abdullah dan Halim (2003) menemukan bukti empiris bawasanya dalam jangka panjang transfer dana perimbangan berpengaruh terhadap belanja modal dan pengurangan jumlah transfer dapat menyebabkan penurunan dalam pengeluaran belanja modal. Hal ini memberikan adanya indikasi bahwa perilaku belanja daerah khususnya belanja modal akan sangat dipengaruhi oleh PAD dan sumber dana perimbangan yang diterima daerah melalui DAU dan DAK.

  Maka hipotesisnya adalah:

  

H4 : PAD, DAU, dan DAK secara simultan berpengaruh positif terhadap

belanja modal.