Sadisme Dalam Fotojurnalistik (Analisis Ikonografi Foto – Foto Kematian Moammar Khadafi Di Harian Waspada)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Kajian

  Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang memungkinkan seorang peneliti untuk menginterpretasikan dan menjelaskan suatu fenomena secara menyeluruh dengan menggunakan kata-kata, tanpa harus bergantung pada sebuah angka. Menurut Bodgan dan Taylor, metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi tidak boleh mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan (Bodgan & Taylor, 1975: 4).

  Suparlan menjelaskan bahwa penelitian kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia atau pola-pola. Gejala-gejala sosial dan budaya dianalisis dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku, dan pola-pola yang ditemukan tadi dianalisis lagi dengan menggunakan teori yang objektif (Suparlan, 1994: 6). Secara teoritis, ada beberapa paradigma yang sangat besar pengaruhnya terhadap pengembangan penelitian kualitatif. Paradigma tersebut yakni, fenomenologi, etnografi, interaksi simbolik, etnometodologi, dan kontruktivisme (Irawan, 2006: 13).

  Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang (Mulyana, 2003: 19).

  Paradigma membantu memberikan definisi tentang apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dikemukakan, bagaimana pertanyaan itu dikemukakan, dan peraturan apa yang harus dipatuhi dalam menginterpretasi jawaban yang diperoleh. Paradigma merupakan suatu konsensus yang paling luas dalam suatu ilmu pengetahuan dan membantu membedakan satu komunitas ilmiah (atau subkomunitas) dari yang lain.

  Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objektivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap socially meaningful action melalui pengamatan langsung dan memelihara/ mengelola dunia sosial mereka (Hidayat, 2003: 3).

  Menurut Patton, para peneliti konstruktivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut (Patton, 2002: 96-97).

  Konstruktivis beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari “skema” diri yang dimiliki pembelajar. Oleh karena itu, pengetahuan ataupun pengertian dibentuk oleh siswa secara aktif, bukan hanya diterima secara pasif dari guru mereka. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang (guru) ke kepala orang lain (subyek belajar) karena pengetahuan bukanlah barang yang dapat ditransfer begitu saja dari pikiran seseorang kepada orang lain, subjek yang mengartikan apa yang telah diajarkan dengan penyesuaian terhadap pengalaman-pengalaman mereka.

  Guba menyatakan

  “Finally, it depicts knowledge as the outcome or

consequence of human activity; knowledge is a human construction, never

  

certifiable as ultimately true but problematic and ever changing” (Guba,

  1990:26), yang berarti “pengetahuan dapat digambarkan sebagai hasil atau konsekuensi dari aktivitas manusia, pengetahuan merupakan konstruksi manusia, tidak pernah dipertanggungjawabkan sebagai kebenaran yang tetap tetapi merupakan permasalahan dan selalu berubah.”

  Dari beberapa penjelasan Guba yang dikutip di atas dapat disimpulkan bahwa realitas itu merupakan hasil konstruksi manusia. Realitas itu selalu terkait dengan nilai jadi tidak mungkin bebas. Nilai dan pengetahuan hasil konstruksi manusia itu tidak bersifat tetap tetapi berkembang terus.

  Konstruktivis ini secara embrional bertitik tolak dari pandangan Rene Descartes (1596-1690) dengan ungkapannya yang terkenal:

  “Cogito Ergo Sum,”

  yang artinya

  “Aku berpikir maka aku ada.” Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah

  sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemikiran rasio. Pengamatan merupakan hasil/ kerja dari indera (mata, telinga, hidung, peraba, pengecap/ lidah), oleh karena itu hasilnya kabur. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari.

  Selanjutnya menurut Guba (1990: 27) sistem keyakinan dasar pada peneliti Konstruktivisme, yaitu: Asumsi ontologi: “Realitivis – realitas-realitas ada dalam bentuk konstruksi mental yang bersifat ganda, didasarkan secara sosial dan pengalaman, lokal dan khusus bentuk dan isinya, tergantung pada mereka yang mengemukakannya.” Asumsi epistimologi: “Subjektif – peneliti dan yang diteliti disatukan ke dalam pengetahuan yang utuh dan bersifat tunggal (monistic). Temuan- temuan secara harafiah merupakan kreasi dari proses interaksi antara peneliti dan yang diteliti.” Asumsi metodologi: “Hermeneutik – dialektik – konstruksi-konstruksi individual dinyatakan dan diperhalus secara hermeneutik dengan tujuan menghasilkan satu atau beberapa konstruksi yang secara substansial dise pakati”.

  Konstruktivisme bukan merupakan satu teori yang berdiri sendiri, tapi lebih dari itu ia seringkali digambarkan sebagai suatu rangkaian kesatuan. Secara khusus rangkaian kesatuan konstruktivisme ini dibagi dalam tiga katagori besar yaitu konstruktivisme kognitif, konstruktivisme sosial dan konstruktivisme radikal (Suparno, 1997: 25).

  Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk itu tidak selalu representasi dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tdak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif karena itu konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah saran terjadinya konstruksi itu.

  Konstruktivisme kognitif tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi lebih hendak melihat bagaimana menjadi tahu akan sesuatu. Sedangkan mengenai kebenaran, bagi kaum konstruktivis kebenaran diletakkan pada kemampuan suatu konsep atau pengetahuan dalam beroperasi. Artinya, pengetahuan yang dikonstruksi dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena dan persoalan yang berkaitan dengan pengetahuan itu. Dengan kata lain, pengetahuan itu bukan barang mati yang sekali jadi, melainkan suatu proses yang terus berkembang. Sebagai teori belajar, konstruktivisme kognitif seringkali mempertimbangkan “kelemahan” konstruksi. “Kelemahan” dalam kasus ini tidak mempunyai nilai keputusan, seperti baik atau jelek, tapi cukup hanya pada indikasi kesetiaan pada asumsi yang mendasar. Jadi, konstruksi pengetahuan adalah mempertimbangkan secara khusus proses teknik atau mengkreasi struktur mental, tapi mempunyai sedikit hubungan pada tujuan pengetahuan secara alamiah dalam otak. Namun demikian, konstruktivisme kognitif dan hubungan secara historisnya dengan pemrosesan informasi, mempunyai peran penting yang sangat signifikan dalam menemukan secara empiris berkenaan dengan belajar, ingatan, dan kognisi.

  Tidak seperti konstruktivisme kognitif dan konstrukvisme radikal, konstruktivisme sosial menekankan pada menetapkan prinsip-prinsip dalam memelihara pengetahuan alamiah sosial, dan percaya bahwa pengetahuan itu adalah hasil dari interaksi sosial dan menggunakan bahasa, jadi pengetahuan didapat lebih banyak dari hasil tukar pendapat daripada pengalaman individu (Prawatt & Floden, 1994: 37). Konstruktivisme sosial pada umumnya mengecilkan konstruksi mental pada pengetahuan (bukan karena konstruksi sosial tidak percaya pada konstruksi mental, tapi karena melihatnya relatif mudah) dan menekankan pada konstruksi arti dalam aktivitas sosial. Jadi, konstruktivisme sosial lebih memperhatikan konstruksi arti daripada struktur.

  Dari ketiga macam konstruktivisme, terdapat kesamaan dimana konstruktivisme dilihat sebagai sebuah kerja kognitif individu untuk menafsirkan dunia realitas yang ada karena terjadi relasi sosial antara individu dengan lingkungan atau orang di sekitarnya. Individu kemudian membangun sendiri pengetahuan atas realitas yang dilihat itu berdasarkan pada struktur pengetahuan yang telah ada sebelumnya, inilah yang oleh Berger dan Luckmann disebut dengan konstruksi sosial. Berger dan Luckman (Bungin, 2009: 195) mulai menjelaskan realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas- realitas yang diakui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Sementara, pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik.

  Pada hakikatnya isi media adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat dalam mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa yang ingin diciptakan oleh bahasa tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya. Manakala konstruksi realitas media berbeda dengan realitas yang ada di masyarakat, maka hakikatnya telah terjadi kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik bisa mewujud melalui penggunaan bahasa penghalusan, pengaburan, bahkan pengasaran fakta.

  Media sesungguhnya memainkan peran khusus dalam mempengaruhi budaya tertentu melalui penyebaran informasi media. Peran media sangat penting karena menampilkan sebuah cara dalam memandang realitas. Para produser mengendalikan isi medianya melalui cara-cara tertentu untuk menjadikan pesan- pesan. Media tidak bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak pembaca. Media massa tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan pihak lain sebagai penerima pesan. Lebih dari itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan strukturalisme yang dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske, 1990: 39).

  Gagasan konstruksi sosial telah dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang melakukan interpretasi terhadap teks, wacana dan pengetahuan masyarakat. Gagasan ini dimulai Deridda (1978) yang terkenal dengan gagasan

  

deconstruction . Gagasan ini kemudian melahirkan tesis-tesis keterkaitan antara

kepentingan (interest) dan metode penafsiran (interpretation) atas realitas sosial.

  Gagasan Deridda sejalan dengan Habermas (1972), bahwa terdapat hubungan strategis antara pengetahuan manusia dengan kepentingan, walau tidak dapat disangkal bahwa pengetahuan adalah produk kepentingan.

  Dengan demikian gagasan-gagasan tersebut membentuk dua kutub dengan satu garis linear atau garis vertikal. Kajian-kajian mengenai realitas sosial dapat dimulai dengan gagasan dekonstruksi sosial dari Deridda dan Habermas ataupun dari Berger dan Luckmann tentang konstruksi sosial. Kajian dekonstruksi menempatkan konstruksi sosial sebagai objek yang didekonstrusksi, sedangkan kajian konstruksi sosial menggunakan dekonstruksi sebagai bahan analisanya tentang bagaimana individu memaknakan konstruksi sosial tersebut. Dengan demikian maka dekonstruksi dan konstruksi sosial merupakan dua konsep yang senantiasa hadir dalam satu wacana perbincangan mengenai realitas sosial.

  Realitas sosial tidak berdiri sendiri tanpa kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial itu memiliki makna, manakala realitas sosial di konstruksi dan dimaknai oleh individu lain sehingga memantapkan realitas sosial itu secara objektif. Individu mengonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Semiotika

  Basis dari seluruh komunikasi adalah tanda-tanda (signs) (Littlejohn, 1996: 64). Manusia dengan perantara tanda-tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Dasar segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda. Sebuah bendera kecil, isyarat tangan, sebuah kata, keheningan, kebiasaan makan, gejala mode, gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu dianggap sebagai tanda.

  Tanda yang digunakan untuk menyampaikan pikiran, informasi dan perintah serta penilaian, memungkinkan kita untuk mengembangkan persepsi dan pemahaman terhadap sesama dalam dunia ini. Misalnya, suatu hari saya dan beberapa teman SMA mengadakan reuni di Medan. Ditengah obrolan, kami merinci keberadaan beberapa teman, seperti siswa populer, teman satu kelas dan lainnya. Seorang teman dekat saya kemudian menceritakan tentang Irma yang satu kampus dengannya di Solo. Irma yang dikenal sebagai anak pendiam dan jarang bergaul, ternyata saat kuliah ia aktif di kampus dan menjadi anggota senat mahasiswa. Selepas kuliah, kabarnya Irma menjadi aktivis Non Government

  

Organization (NGO) internasional. Untuk mengetahui kebenaran mengenai Irma,

  saya membutuhkan informasi yang berasal dari dua sumber, yang pertama informasi dari sesorang yang mengetahui Irma adalah aktivis dan kedua, informasi yang saya ketahui langsung atau dalam istilah semiotika tanda-tanda yang saya lihat. Beberapa bulan setelah reuni, saya liburan ke Jakarta. Saya memanfaatkan busway sebagai transportasi yang murah dan praktis. Sekitar 200 meter sebelum melewati Bundaran Hotel Indonesia (tanda simbolik) gerak bus melambat. Posisi duduk saya didekat jendela menghadap ke arah bundaran, saya melihat ternyata sedang ada aksi/ demontrasi.

  Pandangan saya tertuju pada seorang wanita memakai baju putih bergambar hewan, memakai ikat kepala, yang sedang berteriak-teriak kepada pengguna jalan menggunakan pengeras suara (tanda ikonik) ditengah kerumunan demonstran (tanda indeksikal). Saya merasa mengenal wanita itu. Dia seperti teman saya Irma. Karena jarak pandang yang cukup jauh, sehingga wajahnya samar-samar. Dari banyaknya spanduk/ poster (tanda verbal) yang mereka pegang, mereka melakukan aksi penyelamatan hutan Indonesia dan meminta kepada presiden untuk serius mengusut pihak-pihak atau perusahaan lokal maupun asing yang melakukan eksploitasi berlebihan pada hutan. Apa yang telah saya lihat, membuat saya mengambil kesimpulan bahwa Irma yang pendiam, sekarang menjadi aktivis. Meskipun tidak menutup kemungkinan, bisa saja Irma adalah masyarakat yang hanya berpartisipasi dan mendukung aksi penyelmatan hutan.

  Tanda-tanda adalah perangkat yang digunakan manusia dalam berusaha mencari jalan di dunia ini, di dalam kehidupan antar sesama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to

  ) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan

  signify

  (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2009: 15).

  Dengan tanda-tanda, kita mencoba mencari keteraturan di tengah-tengah dunia yang karut-marut ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. Pines mengungkapkan “apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran” (Berger, 2000a: 14). Manusia mempunyai kecendrungan untuk mencari makna dan arti serta berusaha memahami segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Seluruh hal yang ada disekelilingnya disebut sebagai tanda, tanda tersebutlah yang kemudian akan diungkapkan melalui metode penelitian menggunakan teori semiotika.

  Penerima pesan ataupun pembaca memainkan peranan yang lebih aktif dalam model teori semiotika dibandingkan model proses lainnya. Semiotika lebih suka memilih arti ”pembaca” mewakili pernyataan penerima pesan bahkan untuk sebuah foto ataupun gambar. Karena hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan derajat aktivitas yang lebih besar dan juga pembacaan merupakan sesuatu yang kita pelajari untuk melakukannya. Maka dari itu, pembacaan tersebut ditentukan oleh pengalaman kultural pembacanya. Pembaca membantu menciptakan makna teks dengan membawa pengalaman, sikap dan emosinya terhadap teks tersebut.

  Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti “tanda” atau “seme” yang berarti “penafsir tanda”. Semiotika berakar dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. “Tanda” pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Contohnya asap yang menandai adanya api (Sobur, 2009: 16-17). Secara terminologis, semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Sobur, 2006: 95).

  Beberapa ahli yang mengungkapkan pengertian semiotika antara lain, John Lechte menyatakan semiotika adalah teori tentang tanda dan penandaan. Lebih jelas lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs

  „tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada sistem tanda (sign system) atau kode. Paul Cobley dan Litza Jansz menyebutnya sebagai ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Chales Sanders Peirce mendefinisikan semiotika sebagai suatu hubungan diantara tanda, objek dan makna (Sobur, 2009: 16).

  Scholes menyebutkan, semiotika yang biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda-tanda (the study of science), pada dasarnya merupakan sebuah studi atas kode-kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna (Budiman, 2004: 3). Bahkan Eco menyatakan, semiotika pada prinsipnya merupakan disiplin ilmu yang mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau mengecoh (Sobur, 2009: 18). Maksud dari pernyataan Eco adalah, jika tanda dapat digunakan untuk berkomunikasi, maka tanda juga dapat digunakan untuk mengkomunikasikan kebohongan.

  Kajian semiotika sampai sekarang telah membedakan dua jenis semiotika, yakni semiotika signifikasi yang tidak bisa terlepas dari Ferdinand de Saussure dan semiotika komunikasi yang identik dengan Charles Sanders Pierce. Namun, menurut Yasraf Amir Piliang, pembacaan ulang yang dilakukan oleh Umberto Eco dan Paul J. Thibault terhadap karya Saussure dan Pierce sesungguhnya tidak saling beroposisi atau berseteru, melainkan saling melengkapi seperti sebuah totalitas teori bahasa yang saling menghidupi. Seperti yang dikatakan Eco, bagaimanapun juga „tanda‟ adalah asal usul dari „proses semiosis‟, sehingga dengan demikian tidak ada oposisi atara aktivitas interpretasi Pierce dan kekakuan tanda Saussure (Sobur, 2009: vi).

  Semiotika signifikasi yang berakar pada pemikiran bahasa Saussure, meskipun lebih menaruh perhatian pada tanda sebagai sebuah sistem dan struktur, akan tetapi tidak berarti mengabaikan penggunaan tanda secara konkret oleh individu-individu di dalam konteks sosial. Semiotika komunikasi yang jejaknya ada pada pemikiran Pierce, meskipun menekankan produksi tanda secara sosial dan proses interpretasi yang tanpa akhir, akan tetapi tidak berarti mengabaikan sistem tanda. Kedua semiotika ini justru hidup dalam relasi saling mendinamisasi. Akhirnya, Eco memberikan sebuah elaborasi yang komprehensif dan kritis mengenai „model signifikasi‟ Saussure dan „model produksi tanda‟ Pierce di dalam buku A Theory of Semiotics (1979). Perdebatan mengenai semiotika yang akhirnya diredam oleh Eco, membuat orang-orang yang akan menggunakan pandangan Saussure maupun Pierce ataupun para ahli lainnya, akan merangkai sendiri sistem tanda dan penggunaan tanda secara sosial dalam berbagai media komunikasi (iklan, sastra, film, komik, karikatur, dan sebagainya) yang disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan.

  Beberapa tokoh yang menggeluti bidang semiotik atau semiotika diantaranya (Sobur, 2009: 39-63) : a)

  Charles Sander Peirce. Pierce terkenal karena teori tandanya. Di dalam lingkup semiotika, Pierce sebagaimana dipaparkan Lechte, seringkali mengulang-ulang bahwa secara umum tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (index) dan symbol (simbol). Dijelaskan, ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan, misalnya foto dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau kenyataan. Contoh, asap sebagai tanda adanya api. Dan simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.

  b) Ferdinand de Saussure. Sedikitnya ada lima pandangan Saussure yang di kemudian hari menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi-

  Strauss, salah satunya ialah signifier (penanda) dan signified (petanda). Dengan kata lain penanda adalah “bunyi ysng bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Bisa juga disebut aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Bisa juga disebut aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret, kedua unsur tadi tidak dapat dilepaskan.

  “penanda dan petanda merupakan kesatuan seperti dua sisi dari sehelai kertas,” kata Saussure. c) Roman Jakobson. Jakobson adalah salah seorang dari teoritikus yang pertama-tama berusaha menjelaskan komunikasi teks sastra. Pengaruh

  Jakobson pada semiotika berawal pada abad ke-20. Menerangkan adanya fungsi bahasa yang berbeda, yang merupakan faktor-faktor pembentuk dalam setiap jenis komunikasi verbal: addresser (pengirim), message (pesan), addresse (yang dikirimi), context (konteks), code (kode), dan (kontak).

  contact

  d) Louis Hjelmslev. Hjelmslev mengembangkan sistem dwi pihak

  (dyadic system) yang merupakan ciri sistem Saussure. Sumbangan Hjelmslev terhadap semiologi Saussure adalah dalam menegaskan perlunya sebuah “sains yang mempelajari bagaimana tanda hidup dan berfungsi dalam masyarakat. Dalam pandangan Hjelmslev, sebuah tanda tidak hanya mengandung sebuah hubungan internal antara aspek material (penanda) dan konsep mental (petanda), namun juga mengandung hubungan antara dirinya dan sebuah sistem yang lebih luas di luar dirinya.

  e) Roland Barthes. Barthes dikenal sebagai seorang pemikir strukturalis yang getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussure. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran ke-dua yang ia sebut dengan konotative, yang di dalam

  mythologies -nya secara tegas ia bedakan dari denotative atau sistem pemaknaan tataran pertama.

  Ikonografi dalam Analisis Semiotika

2.2.2 Dalam analisis visual, ada dua pendekatan yang biasa digunakan yakni

  semiotika Roland Barthes dan ikonografi. Kedua pendekatan ini meminta dua pertanyaan mendasar yang sama, yakni: pertanyaan tentang representasi gambar mewakili apa dan bagaimana? dan pertanyaan tentang 'makna tersembunyi' dari gambar (apa ide-ide dan nilai-nilai yang dilakukan orang, tempat, dan sesuatu yang diwakili dalam gambar). Namun, studi semiotika visual Barthes yang hanya seputar gambar itu sendiri, dan memperlakukan makna budaya sebagai mata uang yang diberikan yang dibagi oleh semua orang yang terakulturasi dengan budaya populer kontemporer, dan yang kemudian dapat diaktifkan dengan gaya dan isi gambar, ikonografi juga memperhatikan konteks dimana foto tersebut diproduksi dan diedarkan, serta bagaimana dan mengapa makna budaya dan ekspresi visual mereka terjadi secara historis (Van Leeuwen, 2001: 92). Untuk menganalisis sadisme dalam fotojurnalistik, peneliti menggunakan pendekatan ikonografi. Alasan peneliti yakni, selain karena masih minimnya mahasiswa/i yang menggunakan pendekatan ini dalam penelitiannya, ikonografi tidak hanya terbatas pada analisis tekstual (semiotika visual Barthes) tetapi juga menggunakan analisis yang didasarkan pada perbandingan intertekstual dan penelitian latar belakang sejarah.

  Istilah ikonografi (iconography) berasal dari istilah Yunani eikonographia yang merupakan gabungan dari kata eikon yang berarti “citraan” atau “gambar” dengan graphia y ang berarti “menulis”. Secara harfiah ikonografi berarti

  “penulisan gambar”. Dalam pemakaiannya sehari-hari, istilah ikonografi seringkali merujuk pada kegiatan mendeskripsikan dan mengklasifikasikan gambar. Ada pula masanya ketika istilah tersebut cenderung dikaitkan pada pengkajian atas gambar-gambar yang bernuansa keagamaan. Namun sesungguhnya ikonografi merupakan disiplin keilmuan yang menganalisis dan menafsirkan karya-karya visual dalam suatu tinjauan yang implikasinya sangat luas.

  Dilihat dari awal kemunculannya, ikonografi erat berpaut pada bidang seni rupa, teristimewa menyangkut ilustrasi buku. Istilah tersebut mulai digunakan pada abad ke-18. Pada waktu itu istilah tersebut mengacu pada kajian atas karya- karya visual yang berupa engraving (produksi ilustrasi buku seni).

  Sebagai disiplin keilmuan tersendiri, ikonografi berkembang pada abad ke-19. Ketika itu perhatian utama para ahli ikonografi seperti Adolphe Napoleon Didron (1806-1867), Anton Heinrich Springer (1825-1891) dan Émile Mâle (1862-1954) dicurahkan pada karya-karya visual yang dibuat dalam kerangka ekspresi iman Kristiani. Sementara pada abad ke-20 disiplin ini terus berkembang, antara lain melalu kajian-kajian para ahli seperti Aby Warburg (1866-1929), Fritz Saxl (1890-1948) dan Erwin Panofsky (1826-1968). Mereka tidak hanya mengobservasi isi gambar, melainkan juga mengiterpretasikan makna gambar.

  Pada gilirannya kajian-kajian ikonografi tidak hanya berkisar di sekitar sejarah seni, melainkan juga merambah kebidang-bidang lainnya. Lagipula sebagaimana yang dikatakan Panofsky, “ahli sejarah kehidupan politik, puisi, agaman, filsafat, dan keadilan sosial patut menerapkan cara kerja yang analog dengan cara yang diterapkan atas karya seni” (Panofsky, 1939: 16).

  Sebagai salah satu kajian mengenai interpretasi sebuah makna dalam karya seni rupa adalah iconography (iconografi) dan iconology (iconologi). Melalui pendekatan iconography (ikonografis)-iconology (ikonologi) maka sebuah pesan piktorial dapat diinterpretasikan makna yang terkandung didalamnya. Sebagai salah satu kajian tentang interpretasi makna karya seni rupa, ikonografi merupakan pendekatan yang mempertanyakan representasi dan makna yang tersembunyi dari sebuah karya visual (Van Leeuwen, 2001: 93).

  Erwin Panofsky sendiri dikenal sebagai salah seorang perintis kajian ikonografi dalam sejarah seni. Dalam salah satu bukunya yang utama, Studies in (1939), Panofsky mendefinisikan bidang keilmuan ini dengan

  Iconology

  mengatakan bahwa “Ikonografi merupakan cabang dari sejarah seni yang memiliki pokok kajian yang berkaitan dengan sisi manusia (subject matter) atau makna dari suatu karya seni, sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan bentuk karya tersebut (sisi formalisnya)” (Panofsky, 1939: 3). Ketika Panofsky merumuskan metode kerjanya, disiplin sejarah seni cenderung didominasi oleh kajian-kajian yang memusatkan perhatian pada bentuk (form) dan penggayaan (stylistic). Dengan kata lain, metode yang diajukan oleh Panofsky, yang terfokus pada makna gambar, turut memperbaharui minat intelektual dibidang sejarah seni.

  Metode Panofsky pada intinya berupa “tiga strata yang menyangkut pokok atau makan” (three strata of subject matter of meaning) karya visual. Ketiga tingkatan makan yang terkandung dalam karya visual itu secara berurutan terdiri atas tingkatan praikonografi (pre-iconography), ikonografi (iconography) dan ikonologi (iconology). Pada lapisan praiconografi pengamat

  • – sesuai dengan
kerangka pemahaman dan cakupan pengalamannya sendiri

  • – memperhatikan bagian-bagian tertentu gambar yang dianggap menarik. Pada lapisan ikonografi pengamat memperhatikan pertautan antara motif gambar dan maknanya. Sedangkan pada lapisan ikonologi pengamat berupaya menafsirkan atau menggali makna intrinsik dari gambar yang diamati. Penjelasan Panofsky mengenai ketiga lapisan makna yang dapat digali dari karya visual serta syarat-syaratnya, yaitu (Panofsky, 1939:5-8) : 1.

  Makna primer atau alamiah, yang terbagi dalam makna faktual dan ekspresional Makna ini digali dengan mengidentifikasi bentuk murni, yaitu : susunan garis dan warna tertentu, atau bongkahan perunggu atau batu yang dipahat sedemikian rupa sebagai representasi dari objek alamiah semisal manusia, binatang, tumbuhan, rumah, perkakas dan sebagainya, dengan mengidentifikasi hubungan timbal balik diantara objek-objek itu sebagai peristiwa, serta dengan memperhatikan kualitas-kualitas ekspresional semisal watak yang sedih dari suatu pose atau gerak-gerik, atau suasana yang menyenangkan dan menentramkan dari suatu interior. Pemerincian atas motif-motif ini merupakan deskripsi praikonografis atas karya seni.

  2. Makna sekunder atau konvensional Makna ini digali dengan memahami bahwa sosok wanita yang memegang sebutir buah persik adalah personifikasi dari kejujuran, bahwa sekelompok figur yang duduk mengahadapi sebuah meja makan dengan tata letak dan tertentu merepresentasikan perjamuan terakhir, atau bahwa dua sosok

  pose

  yang sedang bertarung dengan cara tertentu merepresentasikan perlawanan antara kebaikan dan kejahatan. Dalam hal ini kita menghubungkan motif- motif artistik dan menggabungkan motif-motif artistik (komposisi) dengan tema atau konsep. Motif-motif yang kemudian dipahami sebagai penghantar makna sekunder atau konvensional dapat disebut citraan, dan gabungan citraan tiada lain dari apa yang oleh para ahli teori masa silam disebut “invenzioni”, kita biasa menyebutnya cerita dan alegori. Identifikasi atas citraan, cerita dan alegori merupakan wilayah ikonografi dalam pengertian yang lebih sempit. Sebenarnya, ketika kita secara longgar berkata tentang „makna yang dapat dibedakan dari bentuk‟ hal yang kita maksudkan adalah wilayah makna sekunder atau konvensional, yakni tema atau konsep khusus yang diwujudkan melalui citraan, cerita dan alegori, yang dapat dibedakan dari makna primer atau alamiah yang diwujudkan melalui motif-motif artistik. Jelas, analisi ikonografis dalam arti sempit yang benar mengandaikan adanya identifikasi yang tepat atas motif-motif. Makna pada tahap ini juga bisa digali melalui literatur- literatur, baik secara alamiah maupun informasi dari mulut ke mulut.

  3. Makna atau isi intrinsik

  Makna ini digali dengan memastikan prinsip-prinsip mendasar yang mengungkapkan sikap dasar suatu bangsa, kelas, persuasi keagamaan atau filosofis

  • – yang secara tidak sadar dikualifikasikan oleh suatu kepribadian dan dipadatkan dalam suatu karya. Tidak perlu dikatakan bahwa prinsip- prinsip tersebut diungkapkan dan karena itu diarahkan pada, „metode kompensional‟ dan „signifikansi ikonografi‟. Interpretasi yang benar-benar mendalam atas makan atau isi intrinsik bahkan dapat menunjukkan bahwa prosedur-prosedur teknis yang khas di negeri tertentu, dalam periode tertentu, atau pada seniman tertentu, misalnya Michelangelo lebih suka membuat patung dengan batu ketimbang dengan perunggu, bersifat simptomatik pada sikap dasar yang kentara dalam seluruh kualitas khusus lain pada gayanya. Maka dengan memperhatikan bentuk-bentuk murni, motif, citraan, cerita dan alegori sebagai perwujudan dari prinsip-prinsip yang mendasarinya, kita menafsirkan seluruh elemen tersebut sebagai apa yang oleh Ernst Caissar disebut nilai- nilai „simbolis‟. Penemuan dan penafsiran nilai- nilai ‟simbolis‟ ini (yang pada umumnya tidak diketahui oleh seniman itu sendiri bahkan secara empatik dapat berbeda dari apa yang secara sadar ingin dia ungkapkan) adalah tujuan dari apa yang dapat kita sebut ikonografi dalam arti mendalam: menyangkut suatu metode penafsiran yang muncul sebagai suatu sintetis ketimbang analisis. Dan sebagaimana idntifikasi yang tepat atas motif-motif merupakan syarat mutlak bagi analisis ikonografi dalam arti sempit yang benar, analisis yang tepat atas citraan, cerita dan alegori merupakan syarat mutlak bagi intrepretasi ikonografi dalam arti mendalam yang tepat.
Panofsky juga merangkum ketiga strata penafsiran tersebut dalam sebuah tabel sebagai berikut : Tabel 1. Strata Penafsiran atas Karya Visual dari Panofsky

  

Objek Tindak Perangkat Prinsip Pemandu

Penafsiran Penafsiran Penafsiran Penafsiran

  Makna primer Deskripsi Pengalaman Sejarah

  • – atau alamiah praikonografi praktis (pengenalan penggayaan faktual (A), (dan analisis atas dan (telaah atas cara

  objek

  Ekspresional (B) - semi formal). ). dan

  peristiwa objek

  , yang

  peristiwa

  membentuk juga diungkapkan motif artistik. melalui bentuk , dalam berbagai kondisi historis).

  Makna sekunder Sejarah

  Analisis Pengetahuan ragam

  atau dalam (telaah atas

  ikonografi mengenai bahan- karya

  , pengertian yang cara tema atau

  konvensional bahan bacaan

  yang membentuk lebih ketat. (pengetahuan atas konsep khusus

  citraan , cerita tema dan konsep diungkapkan

  dan alegori. khusus). melalui objek atau khusus,

  peristiwa

  dalam berbagai kondisi historis). atau sintesis Sejarah

  

Makna Penafsiran Intuisi gejala

  dalam (pengenalan atas atau

  kandungan ikonografi budaya intrinsik , yang pengertian yang kecenderungan-

  “simbol” pada membentuk nilai- lebih mendalam kecenderungan umumnya (telaah (sintesis dari pikiran atas cara

  hakiki nilai “simbolis”.

  ). manusia), yang

  ikonografi kecenderungan-

  dikondisikan oleh kecenderungan kepribadian. hakiki dari

  pikiran manusia

  diungkapkan melalui tema dan

  konsep khusus,

  dalam berbagai kondisi historis). Sumber : Panofsky, 1939: 14-15

  Namun, Panofsky mengingatkan : Patut kita ingat bahwa kategori-kategori yang dibedakan secara terperinci itu, yang dalam tabel tersebut seakan-akan menunjukkan tiga wilayah makna tersendiri, sesungguhnya mengacu pada aspek-aspek dari satu fenomena, yakni karya seni secara menyeluruh. Dengan demikian, dalam pelaksanaannya, metode-metode pendekatan yang di sini tampak sebagai tiga langkah terpisah berpautan satu sama lain dalam suatu proses yang bersifat organis dan terpadu (Panofsky, 1939: 16).

  Patut dicatat bahwa dalam Studies in Iconology metode penafsiran karya visual dari Panofsky itu dikemukakan sebelum ia menafsirkan lukisan-lukisan dari zaman Renaissance. Lukisan-lukisan tersebut lazimnya digolongkan sebagai fine

  

art , yang karateristiknya tentu akan dianggap sangat berlainan dengan karya

  visual yang ditelaah dalam penelitian ini, yakni foto-foto terkait peristiwa tewasnya Moammar Khadafi. Namun, pada dasarnya metode Panofsky dapat diandalkan untuk membaca berbagai gejala visual.

  Dalam penelitian ini, aspek ikonografis dari karya visual diperinci menjadi dua segi, yakni motif (motif) dan makna (meaning). Motif mengacu pada hal yang tampak pada bidang gambar, sedangkan makna mengacu pada hal yang tersirat di balik gambar. Demikianlah dengan mengkaji serangkaian foto kematian Moammar Khadafi pada Oktober 2011, diharapkan akan memperdalam pemahaman mengenai fotografi khususnya yang mengandung unsur sadis serta mengenai kehidupan masyarakat Libya.

2.2.3 Sadisme Dan Etika Fotojurnalistik

  Istilah sadisme diambil dari nama seorang bangsawan, yang juga penulis filsafat, Donatien Alphonse François Marquis de Sade (1740-1814). Bukan hanya melakukan sadisme seksual, dia juga menuliskannya ke dalam novel yang menggambarkan praktik tersebut (dikenal dengan nove. Di dalam novel- novel itu, ia memaparkan hal-hal yang akan menggetarkan serta mengagetkan. Juga di dalam novel-novel itu, kita akan menemukan jiwa pemberontakan total yang terdapat di dalam diri de Sade. Di balik semua itu, kita juga bisa menemukan pemahaman yang amat kaya, yang merentang dari seksualitas sampai moralitas, dari politik sampai agama, dari estetika sampai metafisika, dari kritik sastra sampai dengan persoalan hidup dan mati. Pemikiran de Sade yang kontroversial dan tajam, ia bisa dibilang adalah satu-satunya orang yang sungguh mengalami revolusi Prancis dari sisinya yang paling hitam, dan mengajukan komentar yang cukup mendalam tentangnya. Ide-idenya mendalam karena ia berhasil mengungkapkan dan menyatakan dengan lugas siapa dan apa itu manusia sesungguhnya tanpa ragu, yakni sebagai mahluk yang memiliki tubuh seksual (sexual body). Dengan gairah semacam itu, Foucault, seorang filsuf besar asal Prancis di abad ke dua puluh, menempatkan de Sade sebagai salah satu filsuf terbesar di masa Pencerahan Eropa. Ia menulis dengan berani dan dengan stamina yang menakjubkan. Karena itu pula ia ditangkap, dan kemudian dipenjara (Phillips, 2005: 1-2).

  Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam jaringan (daring) edisi III tahun 2008 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, sadis berarti tidak

  • – mengenal belas kasihan, kejam, buas, ganas, atau kasar. Bila mendapat akhiran isme yang artinya „faham‟ maka istilah sadisme dapat didefinisikan sebagai kenikmatan atau kepuasan yang diperoleh lewat upaya menyakiti, melecehkan, menghina dan menghancurkan pihak-pihak lain. Sadisme merupakan patologi psiko-sosial yang sangat berbahaya terutama bila bukan lagi sekedar diidap oleh segelintir orang, namun juga masyarakat luas.

  Apakah seseorang yang memiliki temperamen tinggi, berbicara kasar atau bertampang keras selalu indentik dengan orang berwatak sadis? Dalam kenyataan, sering kali seorang yang oleh orang-orang dekatnya dikenal sangat halus, murah hati, penuh perhatian, murah senyum, bahkan sangat dermawan malah sering dianggap berwatak sadis.

  Sebagai contoh yang sangat klasik (tapi kasus sadisme seberat ini memang jarang walau di dunia modern ini masih tetap terjadi) adalah Heinrich Himmler (kepala dinas rahasia Nazi) yang bersama-sama Hitler bertanggung jawab terhadap matinya sekitar 15-20 juta warga Rusia, Polandia dan Yahudi yang tak bersalah. Oleh lingkungan dekatnya Himmler pun semula dikenal sebagai orang yang sangat baik dan penuh perhatian. Pernah pada suatu hari karena merasa iba terhadap istri bawahannya karena suaminya di rumah sakit, Himmler mengirim mobilnya agar istri bawahannya itu tidak repot mondar-mandir ke rumah sakit. Himmler memang pandai menenangkan hati orang yang gelisah, sehingga orang- orangpun percaya kepadanya. Tapi tanpa disangka, bawahannya itu tewas atas perintah Himmler juga.

  Erich Fromm menyebut sadisme sebagai transformasi dari ketidakkuasaan (inpotence) ke dalam pengalaman yang maha kuasa (omnipotence). Sadisme menurut Fromm, adalah keinginan untuk memiliki secara sempurna orang lain, membuat orang lain menjadi objek yang tak berdaya. Orang yang didominasi dan diperlakukan sebagai benda untuk dipergunakan dan dieksploitasi (Fromm, 1988: 84).

  Secara umum, orang berwatak sadis cenderung ingin mengontrol orang lain dan menjadi sesuatu yang memiliki objek untuk dikontrol. Orang semacam ini ingin menjadi "tuan" dalam hidup dan nilai hidupnya memang ditentukan oleh korban yang dijatuhkannya. Ciri lain dari watak sadis, ia hanya terangsang oleh keadaan atau orang yang lemah dan tidak pernah oleh yang kuat. Sebab bagi seorang yang berwatak sadis berhadapan dengan yang kuat tidak pernah menghasilkan kekuatan yang imbang. Lebih-lebih karena yang diinginkannya memang mengontrol orang lain yang lemah, yang tidak sanggup untuk melawannya. Sebab itu bagi seorang yang sadis ada satu hal yang sangat penting dalam hidupnya yaitu kekuasaan, baik itu kekuasaan terhadap sesuatu maupun kekuasaan untuk menjadi sesuatu.

  Di penghujung tahun 2011, dunia dikejutkan dengan kabar mengenai kematian Presiden Libya, Moammar Khadafi. Kematiannya menuai kecaman dari sejumlah pimpinan negara lain hingga PBB. Betapa tidak, ia meninggal dengan cara yang tragis bahkan hingga sebelum ia dikuburkan. Video dan foto detik-detik menjelang kematiannya yang mengenaskan, beredar luas bahkan menjadi headline pemberitaan media massa selama sepekan.

  Jurnalisme memang sudah lama membicarakan fakta, tetapi jurnalisme juga sudah lama diembargo, dimanipulasi, atau ditutup oleh tinta hitam, walaupun pada akhirnya kebenaran akan muncul dengan sendirinya, seperti kenyataan (Ajidarma, 2005: 1). Tapi tidak untuk saat ini. Sebab jurnalisme sudah lama bebas bernafas dari cengkraman para diktator. Terlebih lagi setelah adanya undang- undang yang menyatakan kebenaran dan perlindungan bagi mereka. Serta etika jurnalisme dan kode etik yang meluruskan moral mereka sebagai pencari berita (informasi).

  Jurnalis foto bukanlah profesi eksklusif meski dalam diri mereka melekat hak-hak yang bersifat istimewa. Dibanding masyarakat umum jurnalis foto memiliki lebih banyak keleluasaan dalam memotret. Mereka bisa menjangkau tempat-tempat terlarang atau terlindung dari penglihatan publik. Mereka leluasa memotret presiden di istana negara, aktivitas orang, alat-alat dan latihan militer, tempat privat dengan alasan komersial seperti rumah, kamar, pabrik, dan mal. Pemberian akses yang lebih luas kepada jurnalis foto semata-mata untuk memenuhi hak masyarakat akan informasi.

Dokumen yang terkait

Tinjauan Hukum Penerapan Manajemen Risiko Pada Bank Syariah Dalam Kaitannya Dengan Bancassurance (Riset : Pada Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Iskandar Muda)

0 0 8

BAB II TANGGUNG JAWAB PIHAK BANK TERHADAP KERUGIAN YANG DIALAMI NASABAH JIKA TERJADI KEHILANGAN ATAU KERUSAKAN BARANG YANG DISIMPAN DALAM SAFE DEPOSIT BOX DI PT. BANK PANIN CABANG PEMBANTU TEBING TINGGI - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di S

1 4 31

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di Safe Deposit Box (Studi Pada PT. Bank Panin Cabang Pembantu Tebing Tinggi

0 1 28

Perlindungan Konsumen Atas Penyimpanan Barang Di Safe Deposit Box (Studi Pada PT. Bank Panin Cabang Pembantu Tebing Tinggi

0 1 14

Doctoral Program of Regional Development University of North Sumatera – Medan - Indonesia Abstract: The research goal is to determine how the intergenerational transfer in the elderly population based on residence (living alone, living with family, living

0 0 8

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Basis Gigitiruan 2.1.1 Pengertian - Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 15

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 6

Pengaruh Lama Perendaman Serat Kaca Dalam monomer Metil Metakrilat Terhadap Kekuatan Transversal Bahan Basis Gigitiruan Resin Akrilik Polimerisasi Panas

0 0 15

Analisis Pengaruh Jumlah Pelanggan Dan Jumlah Penjualan Terhadap Jumlah Produksiair Di Pdam Tirtanadi Cabang Medan Kota

0 0 17

Analisis Pengaruh Jumlah Pelanggan Dan Jumlah Penjualan Terhadap Jumlah Produksiair Di Pdam Tirtanadi Cabang Medan Kota

0 0 10