BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Geografi Dialek Bahasa Minangkabau di Kabupaten Pesisir Selatan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

2.1.1 Dialek

  Dialek berasal dari bahasa Yunani yaitu dialektos. Dialektologi merupakan ilmu yang mempelajari ilmu kebahasaan yang terdapat dalam suatu bahasa yang disebabkan oleh faktor geografis. Meillet (dalam Ayatrohaedi 1983:1) menyatakan bahwa ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Selain itu terdapat dua ciri-ciri lain yang ada dalam dialek yaitu: 1.

  Dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.

2. Dialek tidak harus mengambil seluruh bentuk ujaran dari sebuah bahasa.

  Selain itu, Mahsun (1995:11) menyatakan bahwa dialektologi merupakan ilmu tentang dialek atau cabang dari linguistik yang mengkaji perbedaan-perbedaan isolek dengan memperlakukan perbedaan tersebut secara utuh. Perbedaan isolek satu dengan isolek lainnya dianalisis sehingga dapat ditentukan eksistensi sebuah isolek sebagai bahasa, sebagai dialek atau sebagai subdialek.

  2.1.2 Isolek

  Istilah isolek diambil oleh Adelaar dari Hudson (1970:302-303) yang digunakan untuk mengacu pada bentuk bahasa tanpa memperhatikan statusnya sebagai bahasa ataukah sebagai dialek. Istilah isolek merupakan istilah netral yang dapat digunakan untuk menunjuk pada bahasa, dialek, atau subdialek.

  2.1.3 Geografi Dialek

  Perbedaan unsur kebahasaan berkaitan dengan faktor geografis yang berhubungan dengan pemetaan perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat pada daerah pengamatan dalam sebuah penelitian. Geografi bahasa merupakan penyelidikan mengenai distribusi dialek atau bahasa dalam wilayah tertentu (Kridalaksana, 1984:58). mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa dengan bertumpu kepada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam tersebut (Debois, dkk dalam Ayatrohaedi 1983:29). Geografi dialek mencoba mempelajari variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal (tempat) dalam suatu wilayah bahasa (Keraf, 1984:143).

  Berdasarkan konsep di atas, disimpulkan bahwa geografi dialek adalah variasi bahasa yang dituturkan masyarakat dengan cara yang berbeda berdasarkan tempat.

  Dari konsep tersebut diharapkan dapat ditemukan variasi dialek dari bahasa yang akan diteliti pada daerah pengamatan.

  2.1.4 Korespondensi Bunyi dan Variasi Bunyi

  Perubahan bunyi yang muncul secara teratur disebut korespondensi. Pada dasarnya perubahan bunyi yang terjadi di antara dialek-dialek atau subdialek atau bahasa turunan dalam merefleksikan bunyi-bunyi yang terdapat dalam prabahasa atau proto bahasa yang mengakibatkan terjadi perbedaan dialek atau subdialek secara teratur. Berdasarkan sudut pandang dialektologi, bahwa kekorespondensian suatu perubahan bunyi berkaitan dengan dua aspek yaitu aspek linguistik dan aspek geografi. Dari aspek linguistik, bahwa korespondensi terjadi dengan persyaratan lingkungan linguistik tertentu, dari aspek geografi korespondensi terjadi pada daerah pengamatan yang sama (Mahsun, 1995: 29).

  Perubahan bunyi yang muncul secara tidak teratur disebut variasi. Variasi juga yang muncul karena persyaratan lingkungan linguistik tertentu, sedangkan dari segi geografi perubahan bunyi yang terjadi pada sebaran geografisnya tidak sama.

  2.1.5 Variasi Fonetik

  Variasi fonetik berada di bidang fonologi dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya variasi tersebut (Ayatrohaedi, 1983:3). Variasi fonologi dianalisis dengan menggunakan teori fonologi yang diawali dengan menganalisis perubahan bunyi dan status bunyi tersebut sebagai sebuah fonem atau variasi sebuah fonem. Perbedaan fonetik pada tataran fonologi dapat terjadi pada vokal ataupun konsonan. Contohnya, perbedaan fonetik pada konsonan, dalam bahasa Sunda untuk merealisasikan kata ‘gudang’, yaitu [gudaŋ] dan [kudaŋ]. Dalam bahasa Minangkabau kata [batu] di Kecamatan Linggo Sari Baganti untuk menyataka n kata ‘batu’, sedangkan di Kecamatan Air Pura dan Kecamatan Pancung soal menggunakan kata [

  batuŋ].

  2.1.6 Variasi Leksikon

  Suatu perbedaan disebut sebagai perbedaan dalam bidang leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari satu etimon prabahasa. Semua perbedaan bidang leksikal selalu berupa variasi (Mahsun, 1995:54). Sebagai contohnya, dalam bahasa Minahasa (Timur Laut) terdapat 3 kata yang digunakan untuk merealisasikan makna ‘lekas’, yaitu [rawak], [rior], dan [hagog]. Dalam bahasa Minangkabau

  Contohnya, kata ‘pondok’ di Kecamatan Linggo Sari Baganti menyatakan kata [

  pondoɁ], sedangkan di Kecamatan suduaŋ].

  2.1.7 Isoglos, Heteroglos, atau Watas Kata dan Berkas Isoglos

  Isoglos pada dasarnya merupakan sebuah garis imajiner yang diterapkan di atas sebuah peta (Lauder, 1990:117). Isoglos atau (garis) watas kata adalah garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan itu yang berbeda, yang dinyatakan di dalam peta bahasa (Dubois, dkk dalam Ayatrohaedi, 1983:5). Heteroglos merupakan garis yang memisahkan setiap gejala bahasa dari lingkungan varietas bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan yang berbeda (Fernandes, 1992:9).

  Selain itu, menurut Kridalaksana (1984:78), isoglos adalah garis pada peta bahasa atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa. Jadi isoglos dapat menunjukkan batas-batas dari dialek dan dapat menunjukkan perkembangan yang terjadi pada daerah pemakai bahasa.

  Selanjutnya, berkas isoglos adalah kumpulan dari beberapa isoglos yang membentuk satu berkas. Berkas isoglos ini dapat berupa metode dalam analisis data.

  Metode berkas isoglos dalam penelitian dialektologi merupakan salah satu metode pemilahan isolek atas dialek dan subdialek (Mahsun, 1995:126).

2.1.8 Peta Bahasa

  Perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat di antara daerah pengamatan perlu digambarkan secara umum pada peta bahasa. Dalam peta bahasa tergambar pernyataan yang lebih umum tentang perbedaan dialek yang penting dari satu bahasa dengan daerah yang lain. Karena itu, kedudukan dan peran peta bahasa dalam kajian

  Jenis peta yang digunakan dalam dialektologi yaitu peta peragaan (display

  mab ) dan peta penafsiran (interpretative mab). Peta peragaan merupakan peta yang

  berisi tabulasi data lapangan agar data-data tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis. Pengisian data lapangan pada peta peragaan dapat dilakukan dengan sistem: 1.

  Sistem langsung dapat dilakukan dengan memindahkan unsur-unsur kebahasaan yang memiliki perbedaan ke atas peta. Sistem ini dapat efektif jika unsur yang berbeda dimungkinkan dapat ditulis langsung pada daerah pengamatan,

  2. Sistem lambang dapat dilakukan dengan mengganti unsur-unsur yang berbeda dengan menggunakan lambang tertentu yang ditulis di sebelah kanan daerah pengamatan yang menggunakan bentuk (untuk perbedaan fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon) atau makna (untuk perbedaan semantik) yang dilambangkan, 3. Sistem petak merupakan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan bentuk atau makna yang lain dipersatukan oleh sebuah garis, sehingga keseluruhan peta terlihat terpetak-petak menurut daerah-daerah pengamatan yang menggunakan unsur-unsur kebahasaan yang serupa (Mahsun, 1995:59). Jadi, dalam penelitian ini digunakan sistem lambang dengan membuat fonologi maupun leksikon.

  Selanjutnya, peta penafsiran merupakan peta yang memuat akumulasi pernyataan-pernyataan umum tentang distribusi perbedaan-perbedaan unsur linguistik yang dihasilkan berdasarkan peta peragaan. Peta penafsiran merupakan peta yang berisi hal-hal yang berkaitan dengan inovasi dan relik (bila kajian secara diakronis, yaitu dengan memadukan teori linguistik historis komparatif dan dialektologi), juga termasuk peta berkas isoglos (Mahsun, 1995:68).

  Penelitian ini hanya bersifat deskriptif tanpa mengaitkan unsur-unsur kesejarahan. Jadi, teori linguistik historis komparatif tidak digunakan dalam penelitian ini.

2.1.9 Bahasa Minangkabau

  Bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa yang dituturkan oleh masyarakat Minangkabau sebagai bahasa Ibu di Provinsi Sumatera Barat. Bahasa Minangkabau masih digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh masyarakat Minangkabau, baik yang berdomisili di Sumatera maupun di perantauan. Secara historis, daerah sebar tutur bahasa Minangkabau meliputi bekas wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung yang berpusat di pedalaman Minangkabau.

  Bahasa Minangkabau memiliki banyak isolek, kampung yang dipisahkan oleh sungai pun isoleknya berbeda. Dalam penelitian ini penulis hanya membahas perbedaan isolek di Kabupaten Pesisir Selatan. (Elyondri dalam https://mersi.wordpress.com/2008/08/12/rahasia-dibalik-bahasa-minangkabau/).

  Penelitian ini dianalisis berdasarkan teori dialektologi yang merupakan cabang ilmu linguistik yang khusus mengkaji tentang dialek. Dialektologi disebut juga kajian variasi bahasa. Pada dialek bahasa Minangkabau di Kabupaten Pesisir Selatan akan dianalisis berdasarkan teori dialektologi struktural. Teori ini menganalisis perbedaan atau variasi isolek berdasarkan strukturnya, misalnya struktur bunyi dan perbedaan leksikon. Dialektologi struktural muncul pada tahun 1954 yang dikemukan oleh Uriel Weinreich dalam artikelnya “Is a structural dialectology possible?” Apakah dialektologi struktural memungkinkan?. Menurut (Chambers, 1990:54) dialektologi strukstural adalah salah satu upaya untuk menerapkan dialektologi dalam membandingkan varietas bahasa.

  Perbedaan unsur kebahasaan yang diteliti adalah bidang fonologi dan leksikon. Perbedaan dalam bidang fonologi, adanya perubahan bunyi yang berupa korespondensi dan variasi mengisyaratkan adanya perbedaan fonologi yang berkorespondensi dan variasi. Perbedaan fonetik dapat terjadi pada vokal dan konsonan. Contohnya, dalam bahasa Sunda menyatakan kata ‘jendela’ yaitu, [jendela], [ gandela] dan [ janela]. Dikatakan perbedaan dalam bidang leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama tidak berasal dari suatu etimon prabahasa (Mahsun, 1995;54). Contohnya, kata ‘nyaris’ memunculkan tiga varian yaitu, [

  hampē], [ŋai], [cɔmas]. Perbedaan ini terdapat di Kabupaten Batubara dan Kabupaten Asahan (Widayati, 1997:111).

  Dalam penelitian ini juga menggunakan pemetaan bahasa sesuai dengan objek (geografis). Peta bahasa dalam dialektologi khususnya dialek geografis memiliki peran yang cukup penting. Peran itu berkaitan dengan upaya memvisualisasikan data lapangan ke dalam bentuk peta agar data itu tergambar dalam perspektif yang bersifat geografis serta memvisualisasikan pernyataan-pernyataan umum yang dihasilkan berdasarkan distribusi geografis perbedaan-perbedaan yang lebih dominan dari wilayah ke wilayah yang dipetakan. Ada dua jenis peta yang digunakan dalam dialektologi yaitu peta peragaan dan peta penafsiran (Mahsun, 1995: 58-59).

  Pada peta bahasa akan diterangkan sejumlah unsur perbedaan baik secara fonologi maupun leksikon yang diperoleh di daerah pengamatan dengan menggunakan sistem lambang, misalnya lambang bulat ( ), segitiga ( ) dan lambang kotak ( ) yang sederhana bentuknya.

  Selanjutnya, untuk mengelompokkan unsur-unsur yang sama, data yang sama agar tampak berbeda dengan data yang lainnya, baik perbedaan bunyi maupun perbedaan leksikal, digunakan isoglos. Isoglos adalah sebuah garis imajiner yang diterakan di atas sebuah peta (Lauder, 1990: 117). Selanjutnya isoglos tersebut diakumulasikan menjadi sekumpulan isoglos-isoglos dalam sebuah peta. Kumpulan tersebut disebut berkas isoglos, baik berkas isoglos fonologi maupun berkas isoglos leksikal. Berkas isoglos adalah kumpulan dari beberapa isoglos yang membentuk satu berkas. Kemudian, perbedaan-perbedaan yang terdapat baik secara leksikal maupun secara fonologi. Perbedaan secara leksikal dihitung statusnya apakah dengan menggunakan perhitungan statistik bahasa atau dialektrometri. Dialektrometri merupakan ukuran statistik yang digunakan untuk melihat seberapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat tersebut (Revier dalam Mahsun, 1995: 118). Setelah langkah-langkah itu, dirumuskanlah status isolek dari Kabupaten Pesisir Selatan.

2.3 Tinjauan Pustaka

  Pada penelitian ini terdapat beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan pemetaan kebahasaan sebagai berikut:

  Bangun, dkk (1982) dalam penelitiannya yang berjudul : “Geografi Dialek Bahasa Batak Toba” dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif komperatif dengan teknik observasi, perekaman atau pencatatan tak langsung, pencatatan langsung dan transkripsi dan terjemahan. Kerangka teori yang digunakan berupa daftar pertanyaan, pembahan, alih tulis fonetik. Maka hasil dari penelitian, peneliti menyatakan bahwa bahasa Batak Toba terdiri dari lima dialek yaitu dialek Silinding, dialek Humbang, dialek Toba, dialek Samosir, dialek Sibolga. Dan adanya perbedaan yang berada pada bidang fonologis, perbedaan lafal dan perbedaan semantis.

  Widayati (1997) dalam te sisnya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Melayu di Wilayah Timur Asahan”, tesis ini mengkaji pada bidang fonologi dan leksikal. Penelitian ini menggunakan metode simak, metode cakap dan metode padan. dari penelitian bahwa bahasa Melayu Asahan memiliki dua kelompok fonem dan 18 fonem konsonan, dalam mendeskripsikan morfonologi terdapat korespondensi afiks Asahan secara umum yang dibedakan dari segi fonem vokal. Pada deskripsi leksikal menunjukan adanya beberapa perbedaan dengan bahasa Melayu Umum dan dalam Melayu Asahan terdapat dua dialek, yaitu dialek Melayu Batubara dan dialek Melayu Tanjung Balai.

  Isra Hayati (2009) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Minangkabau di Kecamatan Kamang Baru Kabupaten Sijunjung”, mengkaji variasi dibidang fonologis dan leksikal. Dalam penelitian ini menggunakan tiga tahap dalam pemecahan masalah terdiri dari penyediaan data dengan metode simak, metode analisis data digunakan metode padan dan metode penyajian hasil analisis data yaitu metode penyajian formal dan informal. Sebagai hasil analisisnya, bahwa bahasa Minangkabau di daerah Kecamatan Kamang Baru, Kabupaten Sijunjung memiliki variasi fonologis yang ditemukan adalah 3 variasi vokal, 14 variasi konsonan dan 3 variasi diftong. Dan memiliki 117 variasi leksikal dengan hasil hitung dialektrometri dengan persentase 0%-20%.

  Yonelda (2013) dalam skripsi nya yang berjudul “ Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Samosir”, dalam penelitian ini menggunakan metode cakap dalam pengumpulan data dan metode analisis data dengan menggunakan metode padan, metode berkas isoglos, dan metode dialektrometri. Teori yang digunakan yaitu teori dialektologi struktural. Hasil dari penelitian ini bahwa peneliti menyatakan Kabupaten Samosir. Di Kabupaten Samosir terdapat tiga bentuk kategori perbedaan, yaitu perbedaan subdialek (31-50%), perbedaan wicara (21-30%), dan tidak ada perbedaan (0-20%).

  Basaria Simanjuntak (2014) dalam skripsinya yang berjudul “Geografi Dialek Bahasa Batak Toba di Kabupaten Humbang Hasundutan” penelitian ini menggunakan metode cakap dalam pengumpulan data, metode padan, metode berkas isoglos dan metode dialektrometri dalam analisis data. Serta teori yang digunakan dalam penelitian ini merupakan teori dialektologi struktural. Adanya hasil penelitian ini menunjukan bahwa di Kabupaten Humbang Hasundutan memperlihatkan variasi fonemis dan variasi leksikon. Berdasarkan hasil dialektrometri bahasa Batak Toba di Kabupaten ini terdiri atas dua dialek yaitu dialek Humbang Husundutan Utara dan dialek Humbang Husundutan Selatan.

  Dari uraian di atas, bahwa penelitian ini memiliki perbedaan dengan Minangkabau di Kabupaten Pesisir Selatan. Adapun manfaat dari penelitian sebelumnya dapat menjadi referensi yang memberikan gambaran dan langkah- langkah yang digunakan dalam pemecahkan masalah pada penelitian ini.