Poin Pemikiran Frithjof Schuon Tentang M

BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna
agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang
merupakan rangkuman jawaban atas perumusan masalah dalam kajian ini.
Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:
• Agama adalah pandangan hidup yang menjadi tolok ukur penganutnya
dalam bertindak. Pandangan hidup dalam berkehidupan di dunia
sekaligus menjadi harapan untuk kehidupan yang lebih baik lagi setelah
kematian. Sejalan dengan cita-cita luhur filsafat sebagai pencarian makna
kehidupan karena cinta kebijaksanaan, kajian agama tentu harus
didukung dengan konsep dan cara yang tepat. Membincang agama,
dimana agama dianggap sebagian besar peganutnya sebagai sesuatu yang
sensitif, tentunya membutuhkan langkah-langkah praktis yang bijak
dalam memperbincangkannya. Maka Filsafat Agama hadir sebagai
perspektif yang menjadi jalan tengah dari keterpisahan antara filsafat
sebagai suatu disipin yang kritis dengan agama yang memiliki ciri khas
dogmatis.

150


151

• Kegemilangan pemikiran Frithjof Schuon adalah pada kemampuannya
mensintesiskan pemahaman agama dengan konsep metafisika. Schuon
memaparkan kebenaran metafisika (metaphysical truth) yang dapat
dipahami yaitu dengan cara penghayatan agama secara mendalam.
Agama adalah jalan yang tak dapat diabaikan dalam proses pencarian
makna terdalam dari realitas. Proses penggalian hakikat realitas
(metafisika) dalam pandangan Schuon berupa penghayatan agama
menimbulkan dua corak pemahaman. Pertama adalah eksoterisme,
dimensi eksoterisme menunjukkan realitas yang terdiri dari beragam
bentuk agama. Kesadaran akan realitas pada ranah yang dipahami
sebagai bentuk yang banyak dan berbeda-beda. Kebenaran agama yang
dihasilkan pun berupa keyakinan yang terbatas, yaitu pada pemahaman
agama tertentu. Corak pemahaman agama yang kedua adalah esoterisme.
Dalam pemahaman agama corak ini, perbedaan yang tampak berupa
berbagai bentuk agama tersebut menjadi kesamaan yang satu. Kesadaran
akan kebenaran agama didasarkan pada pemahaman kesadaran ilahiyyah.
Sehingga, perbedaan agama berupa bentuk-bentuk tersebut disadari

secara hakiki sebagai yang tampak saja (fenomena). Bentuk agama
berupa Yahudi, Kristen, Islam dan lain-lain tak lain adalah bagian kulit
yang memiliki dan menuju pada Satu kesatuan kebenaran. Begitupun
kebenaran dalam ajaran agama yang berbeda-beda tersebut, pada dimensi
esoterisme, keberadaannya hanya dilatarbelakangi oleh alasan-alasan

152

manusiwi/jasmaniyyah,

termasuk

alasan

fungsional

historis

dari


kelahiran masing-masing agama yang betahap (dalam agama samawi
secara bertahap diawali oleh Agama Yahudi, kemudian Kristen dan
ditutup dengan Islam). Kedua pemahaman tersebut adalah bersifat
hirarkis. Pemahaman agama pada fase awal adalah eksoterisme dan
kedua adalah esoterisme. Fase pemahaman ini menunjukkan posisi
kesadaran

seseorang

akan

realitas.

Pada

dimensi

eksoterisme,

pemahaman realitas merupakan fenomena atau yang tampak saja, dan

pada pemahaman agama dimensi esoterik adalah pemahaman yang
bersifat universal dan hakiki. Akan tetapi, pada kedua dimensi tersebut,
terdapat unsur ilahiyyah yang tidak lain adalah diri manusia sendiri.
Manusia atau alam semesta secara umum adalah manifestasi Tuhan.
Tuhan adalah Wujud Mutlak dan segala yang ada di alam semesta adalah
wujud mungkin/nisbi. Keberadaan wujud mungkin mempunyai peran
sebagai argumentasi ontologis sebagai bukti kemutlakan Tuhan yang
tidak terbatas. Dengan segala kenisbias dalam wujud mungkin, terdapat
unsur kedinamusan yang sekaligus membuktikan kemutlakan Tuhan
sebagai Wujud Mutlak yang transenden dan tak berhingga dalam
kemutlakanNya. Namun demikian, alam semesta yang nisbi tidak akan
pernah sederajat dengan Tuhan yang bersifat mutlak. Jika pemahaman
tersebut disadari; manusia berkesadaran akan kenisbiannya atas
kemutlakan Tuhan akan menimbulkan sikap saling menghargai satu sama

153

lain sebagai mahkluk yang melekat dengan segala keterbatasannya.
Makhluk adalah wujud mungkin/nisbi yang sejatinya memiliki kesadaran
ilahiyyah, dan selalu ingin menuju Yang Ilahi sebagai sumber kesadaran

tersebut dan sumber segala sesuatu di alam semesta. Untuk mengenal
sumber segala sesuatu itu, Ia memberikan jalan berupa agama. Dan
terdapat berbagai bentuk jalan yang beragam tersebut menurut Schuon,
sejatinya memiliki alasan ontologis-fungsional masing-masing. Itulah
makna agama dalam pengertian metafisika.
• Konsepsi ketuhanan berupa transendensi dan imanensi dalam pemikiran
Frithjof Schuon dapat menjadi jalan tengah dari kontroversi pemahaman
Tuhan yang bernuansa sufistik;wahdat al-wujud, dalam artian Tuhan dan
alam semesta adalah kesatuan wujud, kesatuan eksistensi. yang (pernah)
berkembang, terkhusus corak yang pernah populer di Nusantara.
Pemikiran Schuon dapat menjadi jalan tengah dalam menjawab
kontrovesi wahdat al-wujud itu. Konsep wujud mutlak dan wujud
mungkin/nisbi yang dibalut atas pengalaman agama merupakan sintesa
antara konsep teologis yang tekstual dengan teologi corak metafisis;
wahdat al-wujud. Konsep teologis yang dirasa kaku dengan perbedaan,
dan konsep konsep spiritual yang dianggap sering mengabaikan peran
agama dalam proses perjalanannya, dapat didamaikan dalam konsep
Kebenaran Metafisika (Metaphysical Truth) yang dikemukakan Schuon.

154


• Pemaknaan akan realitas yang bijak akan menghasilkan sikap yang bijak.
Kesadaran akan adanya Realitas Mutlak di atas realitas yang ada atau
realitas yang nampak, akan menghasilkan kedewasaan dalam menerima
perbedaan. Kesadaran tersebut akan menghasilkan sikap beragama yang
konstruktif. Kesadaran akan pentingnya adanya perbedaan tidak lain
merupakan bagian dari keinginan Tuhan sendiri. Sehingga, akan muncul
rasa simpati dan keinginan untuk terus menjaga perbedaan yang ada.
Dengan pemaknaan tentang realitas sebagaimana demikian, harapannya
akan terciptalah kehidupan (beragama) yang saling menjaga dan interaksi
dalam keharmonisan. Dalam Filsafat Agama atau Religio Perennis
Frithjof Schuon, tidak dibenarkan makna istilah “spirituality, yes;
religion, no”. Spritualitas Menurut Schuon tidak dalam pengertian yang
dikemukakan Suhrawardi, Ibnu Arabi dan beberapa tokoh Sufi Islam
lain, yang membedakan makna spiritualitas dengan cara memisah praktik
agama dengan penghayatan spiritualitas murni. Spiritualitas sebagai
proses pencarian makna realitas bagi Schuon adalah melalui agama.
Agama merupakan pandangan hidup. Mengandung unsur filosofismetafisis, agama menurut Schuon adalah pandangan hidup yang
komprehensif. Pandangan hidup yang tidak semata memandang
kehidupan sebagai realitas materi, tidak juga memandang spiritual murni

tanpa ada sintetis dari realitas material, namun pandangan hidup yang
mengakui keberadaan keduanya dalam membentuk kehidupan secara

155

utuh. Pandangan Schuon ini tentu relevan dalam memetakan realitas atau
kondisi keagamaan di Indonesia yang plural. Pluralitas agama yang
menjadi identitas sekaligus karakter bangsa yang kuat maka harus terus
dijaga.
• Ringkasnya, Filfasat Agama Frithjof Schuon adalah bersifat teologismetafisis. Metafisika yang demikian abstrak diurai dalam pemahaman
terhadap agama. Pengetahuan tentang hakikat realitas yang bertahap
ditentukan oleh pemaknaan dan keyakinan terhadap agama yang
dianutnya. Jadi, jika di zaman postmodern ini metafisika diartikan
sebagai suatu kondisi di mana muncul kritisisme yang menghancurkan
hirarki yang mapan dalam masyarakat teologis. Dan dalam tahap
metafisis tersebut, orang tidak lagi merujuk pada Tuhan atau keilahian
tertentu, melainkan secara abstrak manusia berteori tentang sebuah
“Ada” di balik peristiwa (Wibowo, 2014: 30), maka, pandangan
demikian jelas bertolak belakang dengan metafisika Schuon. Sebab,
dalam kehidupan dan peristiwa, selalu ada keinginan dalam diri manusia

akan hal-hal yang positif. Semisal seseorang yang mengalami hal buruk,
satu hal yang paling mungkin dilakukakannya adalah berusaha
mengambil pelajaran dari kejadian tersebut untuk lebih berhati-hati dan
agar menjadi lebih baik di kemudian hari. Kecenderungan manusia untuk
berbuat baik dan lebih baik lagi dalam proses eksistesinya ini diulas oleh
Schuon. Menurut Shuon, dalam diri manusia mengandung unsur

156

ilahiyyah, unsur inilah yang menjadi alasan mengapa manusia selalu
mempunyai kecenderungan kepada hal-hal yang positif, bagaimanapun
keadaannya. Dan corak pemikiran Schuon ini tentu relevan dalam
mengarahkan kehidupan masyarakat di Indonesia yang nota bene adalah
masyarakat yag beragama, agar berkehidupan dalam kerangka pikir yang
religius secara dewasa. Lantaran kefanatikan agama adalah sesuatu yang
identik dengan pengetahuan agama, maka fanatisme tidak bisa
dihilangkan. Pada titik tertentu, agama mempunyai corak khas berupa
pengetahuan tanpa rasionalitas, yatu iman. Pada ranah ini, fanatisme
tidak dapat dihindarkan. Kefanatikan terhadap agama merupakan suatu
yang bersifat harus, jika seorang penganut agama ingin menjadi

penganut agama yang sejati. Akan tetapi, fanatisme dalam agama sering
menimbulkan efek negatif dalam berkehidupan sosial. Maka, langkah
selanjutnya adalah menentukan corak kefanatikan berupa fanatisme yang
baik dan mendukung akan terwujudnya kehidupan bersama dalam
keharmonisan. Sikap fanatik terhadap agama diarahkan kepada keinginan
dan kemampuan menerima realitas yang berbeda-beda. Sehingga,
fanatisme yang lahir adalah fanatisme yang konstruktif terhadap
kehidupan bersama, baik sosial, ekonomi dan paling penting adalah
bersikap konstruktif dalam konteks interaksi antar agama. Wallahu a’lam

157

B. Saran
Setelah menyelesaikan penelitian ini, beberapa saran yang dapat
diberikan penulis, yaitu:
1. Pola pengertian agama yang dikemukakakan Schuon sering ditarik dalam
diskursus pluralitas, spiritual dan teologi, namun belum banyak yang
melakukan pengkajian secara mendalam terkait konsep agama yang
dikemukakan, maka kiranya tulisan ini dapat menjadi referensi untuk
menjernihkan kerangka pikir tersebut dan melakukan penelitian lebih

lanjut, baik mengenai pemikiran Frithjof Schuon, maupun yang berkaitan
dengan pengertian agama dan filsafat agama secara umum.
2. Dalam pengembangan dan pendalam konsep yang dikemukakan Schuon,
penelitian lebih lanjut hendaknya dikembangkan dengan mencoba
mencari hubungan antara konsep agama yang dikemukakan Frithjof
Schuon dengan keyakinan masing-masing. Pemikiran Schuon diperdalam
dan diverifikasi melalui Refleksi terhadap agama masing-masing.
Sehingga, pemikiran agama dapat terus dikembangkan

melalui

perbaikan-perbaikan, bagian mana dari pemikiran Schuon yang
bertentangan dengan keyakinan sendiri ataupun sebaliknya.
3. Dalam beragama, tentunya dapat dipahami bahwa suatu konsep yang
dikemukakan tokoh tertentu tidak dapat membatasi sepenuhnya
pemikiran dan sikap pribadi. Sebab, pemikiran seorang tokoh tidak lepas

158

dari setting historis saat ia membangun pandangannya. Selain itu, setiap

orang mempunyai pemahaman dan pengalaman agama yang masingmasing berbeda. Maka bagaimanapun konsep yang dibangun Schuon,
kiranya hanyalah bersifat tambahan perspektif tanpa membatasi
pemaknaan personalitas masing-masing.
4. Suatu sikap dipengaruhi oleh pemahaman terhadap sesuatu. Dalam sikap
beragama, pemaknaan terhadap agama itu sendiri sangat penting. Makna
masing-masing agama yang dikemukakan Schuon kiranya dapat
membuka cakrawala pemikiran dalam memahami hakikat agama masingmasing. Sehingga, dalam bersikap antar pemeluk agama yang berbedabeda, sebagaimana di Indonesia yang kental dengan ragam agama,
masing-masing pemeluk agama dapat menyikapi perbedaan secara
dewasa. Dengan makna agama yang dikemukakan Schuon harapannya
masyarakat Indonesia mampu membangun sikap yang terbuka dengan
perbedaan, namun sekaligus tanpa menghilangkan identitas diri (agama)
sendiri.