INOVASI JASA SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETIT (1)

INOVASI JASA SEBAGAI KEUNGGULAN KOMPETITIF
Ardiwansyah Nanggong*
*Fakultas Ekonomi Universitas Ichsan Gorontalo
Email: ardi_fe@unisan.ac.id

Abstrak: Makalah ini membahas tentang bagaimana peran inovasi jasa (service innovation) di
tengah terjadinya pergeseran paradigma pemasaran dari goods-dominant logic ke servicedominant logic. Fokus bergeser dari tangibles mengarah ke intangibles, seperti keterampilan,
informasi, pengetahuan, dan hubungan interaksi. Hal ini sesuai dengan karakter jasa yang
mengutamakan pada pengembangan ide dalam proses inovasi. Pergeseran tersebut mengubah
cara pandang dalam proses inovasi yang tidak lagi memandang sumberdaya yang bersifat
material sebagai bahan baku utama (raw materials). Fokus utama perspektif ini pada proses
pertukaran (exchange) dengan pihak yang terlibat (konsumen, supplier) sehingga akan
menghasilkan nilai (value). Dalam pertukaran tersebut akan terjadi transfer pengetahuan dan ide
yang akan berguna membentuk inovasi yang bernilai. Keterlibatan konsumen dalam menciptakan
nilai dari suatu jasa sebagai creation value dalam suatu jasa. Pengetahuan yang dimiliki oleh
konsumen akan menjadi sumber berharga bagi organisasi dalam melakukan inovasi jasa yang
bernilai (value). Dalam proses penciptaan nilai pada inovasi jasa, pelanggan berperan sebagai cocreator of value. Dalam lingkungan yang terus berubah dan hyper competitive menjadi perlu bagi
perusahaan memberikan jasa superior yang dibutuhkan oleh konsumen. Service Innovation
menjadi salah satu jawaban untuk merespon perubahan lingkungan tersebut. Terlebih lagi, konsep
inovasi jasa yang melibatkan dan menempatkan konsumen sebagai pusat dari usaha inovasi
sehingga proses transformasi informasi dan pengetahuan akan terjadi. Nilai proses co-creation

yang melibatkan pelanggan, pemasok dan pesaing akan menciptakan value proposition yang
unggul. Proses penciptaan nilai dalam hubungan relasional inilah yang menjadi sumber yang
fundamental sebuah proses inovasi dalam menciptakan keunggulan bersaing (competitive
advantage).
Keywords: Service-dominant logic, service innovation, co-creation value, competitive advantage.

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa hari yang lalu, kita disuguhkan fenomena yang mencuat dalam sektor
jasa. Peristiwa paling terakhir adalah adanya seorang Bupati di Propinsi Nusa Tenggara
Timur yang membuat geger dengan aksi “koboy”-nya yang menyuruh aparat satpol
Pamong Praja menutup bandara (www.tempo.co/ 21 Desember 2013). Selang beberapa
hari sebelumnya terjadi aksi demo besar-besaran para dokter seindonesia sebagai bentuk
1

simpati atas kasus yang menimpa dokter Ayu dkk (www.tribunnews.com/ 27 November
2013). Beberapa tahun yang lalu juga sempat heboh kasus yang menimpa Prita, seorang
korban atas sebuah layanan rumah sakit (www.lipsus.kompas.com). Kita juga masih ingat
bagaimana kasus pemukulan pramugari oleh seorang penumpang yang juga sebagai
pejabat di suatu daerah (www.tempo.co/ 7 juni 2013). Menarik disimak rentetan peristiwa

tersebut terjadi dalam bidang layanan jasa. Beberapa fenomena di atas mengindikasikan
sangat penting dan mendesaknya sektor jasa menjadi perhatian praktisi, akademisi, dan
pemerintah dalam rangka menciptakan pelayanan prima atau menurut Treacy dan
Wiersema (1993) disebut sebagai keprimaan operasional (operational excellence) dalam
menyampaikan jasa.
Sektor jasa memang menjadi mencuat sejalan dengan perubahan kebutuhan
masyarakat. Keinginan akan kemudahan dan kecepatan pemenuhan kebutuhan
masyarakat menyebabkan sektor jasa terus mengakselerasi bentuk. Dalam perspektif
ekonomi, perbedaan produk (goods) dan jasa (services) pun menjadi lebih luas. Proses
penciptaan dan penawaran jasa tidak lagi memandang semata-mata bersifat intangible
atau murni jasa (pure services) tetapi kadang bersifat hybrid product (Kotler dan Keller,
2012), yang berarti dalam penciptaan jasa terdapat sejumlah unsur produk fisik yang
terlibat. Dan saat ini, beberapa produk fisik (goods) telah memasukkan instrumen jasa
sebagai daya tarik dan pelengkap produk intinya. Hal inilah menyebabkan terjadinya
pergeseran dari goods dominant logic ke service dominant logic seperti yang diprediksi
oleh Vargo dan Lusch (2004,2008a).
B. Pergeseran paradigma sektor jasa
Mulai tahun 1980-an ditandai dengan banyaknya bermunculan rerangka baru
yang tidak didasarkan pada konsep 4P yang berasal dari analisis luar mikroekonomi. Hal
itu antara lain relationship marketing, manajemen mutu, orientasi pasar, manajemen

rantai nilai dan pasokan, resource management dan jaringan. Hal paling menonjol adalah
munculnya pemasaran jasa sebagai sub disiplin baru dalam pemasaran. Kemunculan ini
sebagai akibat dari kelemahan logika dominan pemasaran produk fisik dalam
menjelaskan fenomena jasa yang memiliki karakter khusus (Tjiptono dan Chandra,
2011).
2

Sejalan dengan perkembangan waktu, para pakar mulai mempertanyakan masa
depan konsep pemasaran yang didasari teori pertukaran barang fisik. Atas dasar itulah,
Vargo dan Lusch (2004) merumuskan evolusi pemikiran pemasaran dalam sebuah logika
dominan yang berbasis jasa/layanan. Fokus bergeser dari tangibles mengarah ke
intangibles, seperti keterampilan, informasi, pengetahuan, dan hubungan interaksi.
Paradigma pemasaran baru beralih dari goods-dominant view (output fisik, transaksi
diskrit) ke arah service-dominant view (intangibility, proses pertukaran dan relasi).
Service-Dominant Logic (S-D logic) sebagai penyediaan layanan/jasa merupakan tujuan
fundamental dari pertukaran ekonomi dan pemasaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan
(Maglio, dan Spohrer, 2008) bahwa entitas dalam pertukaran kompetensi sistem jasa
setidaknya ada empat dimensi yaitu berbagi informasi, worksharing, risk-sharing dan
goods sharing. Individu dan organisasi (kelompok) saling mempertukarkan sedangkan
barang, uang, organisasi dan jejaring merupakan perantara (intermediaries) atau institusi

tambahan (collateral institutions) dalam proses pertukaran layanan/jasa (Tjiptono, 2008).
Berbeda dengan produk fisik yang produksinya membutuhkan sumber daya
material, produksi jasa tidak membutuhkan sumber daya material tetapi yang bersifat
intangibles seperti ide, dan inovasi. Sedangkan, dalam penyediaan produk fisik yang
membutuhkan input yang berwujud sebagai bahan baku (raw material). Hal ini menjadi
tantangan dan kelemahan dalam produk fisik karena sumberdaya berwujud itu dapat
habis dan bisa saja tidak terbaharukan. Sehingga penciptaan produk fisik sangat
tergantung pada kesediaan raw material yang berwujud.
Atas dasar itulah, penyediaan jasa menjadi salah satu jawaban atas makin
berkurangnya sumberdaya yang berwujud. Sistem pengembangan produk baru yang
tradisional dengan pendekatan industri menjadi pengembangan inovasi jasa (service
innovation) yang mengembangkan kapabilitas pengetahuan dan ide demi inovasi
berkelanjutan (Sivunen et al, 2013). Service innovation juga akan berdampak pada
kepuasan konsumen, nilai perusahaan dan resiko perusahaan (Dotzel et al, 2013). Adapun
Vargo dan Lusch (2004) beranggapan bahwa pendekatan Service-Dominant Logic dalam
pengembangan inovasi menekankan pada penciptaan nilai dimana terdapat keterlibatan
konsumen selama proses inovasi sebagai co-creator. Untuk itulah, pentingnya
meletakkan dasar, bagaimana suatu inovasi jasa menjadi keunggulan kompetitif baru
3


dalam ranah pemasaran di tengah perubahan lingkungan dan kompleksitasnya industri
manufaktur.

PEMBAHASAN

Telah diketahui secara umum bahwa sumbangsih penyerapan tenaga kerja dalam
sektor jasa menunjukkan tingkat yang signifikan. Data triwulan III BPS November 2013
memaparkan sumbangsih penyerapan tenaga kerja pada beberapa kategori yang
didalamnya terdapat layanan jasa seperti sektor jasa-jasa 11,10%, perdagangan, Hotel dan
restoran 13,88%, komunikasi 7,07%, keuangan dan jasa perusahaan 7,44%. Dalam
beberapa dekade terakhir pola penyerapan tenaga kerja bergeser, dari yang semula
berpusat pada sektor industri manufaktur beralih ke sektor jasa. Disamping itu, berbagai
bentuk jasa baru juga bermunculan dalam rangka merespon perubahan kebutuhan
konsumen, baik individual maupun organisasi. Perubahan pola penyerapan tenaga kerja
ini oleh Lovelock et al disebut sebagai hollowing out effect (Tjiptono dan Chandra,
2011).
A. Konsep Jasa
a. Definisi Jasa
Istilah jasa (service) dalam literatur manajemen beraneka ragam. Johns dalam
Tjiptono dan Chandra (2011) mengemukakan bahwa konsep “ service” secara garis

besar mengacu pada tiga lingkup definisi utama: industri, output atau penawaran dan
proses. Lingkup industri digunakan untuk menggambarkan kategori aktivitas
ekonomi seperti transportasi, finansial, ritel, kesehatan, pendidikan dan layanan
publik. Lingkup penawaran, bahwa jasa sebagai produk intangible yang outputnya
lebih berupa aktivitas ketimbang obyek fisik. Lingkup proses mencerminkan
panyampaian jasa inti, interaksi personal, serta pengalaman layanan. Sementara
Lovelock et al dalam Tjiptono dan Chandra (2011) beranggapan bahwa service
sebagai sebuah sistem. Dalam pandangan ini, setiap jasa dianggap sebagai sebuah
sistem yang terdiri dari dua komponen utama yaitu operasi jasa (service operations)
dan penyampaian jasa (service delivery).

4

Penyediaan jasa bisa hadir dimanapun berada, Kotler and Keller (2012)
mendefinisikan sebuah jasa adalah segala tindakan atau kenerja suatu kelompok yang
dapat menawarkan pada yang lain sesuatu yang intangible dan tidak menghasilkan
kepemilikan apapun. Sejalan dengan hal itu, Vargo dan Lusch (2008b) dalam
perspektif S-D Logic beranggapan bahwa jasa adalah pengaplikasian kompetensi
(knowledge dan skills) melalui tindakan, proses dan kinerja untuk memberikan
manfaat (benefit) bagi entitas yang lain atau entitas itu sendiri.

Berdasarkan beberapa argumen tentang konsep dan definisi jasa, dapat
disimpulkan bahwa jasa adalah proses penyampaian sesuatu yang tak berwujud
(intangible) kepada pihak lain sehingga berguna, bermanfaat dan kepuasan atas apa
yang ditawarkan.

b. Bentuk Jasa
Sesungguhnya perbedaan secara tegas antara barang dan jasa tidaklah mudah
dilakukan. Hal ini disebabkan karena pembelian produk fisik sering kali dibarengi
pula dengan unsur jasa/layanan tertentu, misalnya instalasi, penyampaian garansi,
pelatihan operasional, perawatan dan reparasi. Sedangkan pembelian jasa juga
seringkali melibatkan barang-barang pelengkap, misalnya buku tabungan dan kartu
ATM, bis dan kereta api dalam jasa transportasi.
Dalam kenyataannya, penawaran dapat bervariasai di antara dua titik ekstrim
yang bersifat kontinum, yaitu murni berupa barang pada satu sisi dan jasa murni pada
sisi yang lainnya. Kotler dan Keller (2012) membedakan lima kategori jasa yang
dinamakannya Service Mix :
1. Pure Tangible Good, berupa produk fisik murni seperti sabun mandi, pasta gigi,
garam, yang tidak disertai layanan jasa pada produk bersangkutan.
2. Tangible Good with Accompanying services, sebuah penawaran barang fisik
yang disertai dengan satu atau beberapa layanan. Misalnya dealer mobil

menawarkan jasa test drive, reparasi, penggantian suku cadang. Pada tipe ini
lebih bertipikal pnggunaan teknologi dalam mendukung kinerja jasa.

5

3. Hybrid, penawaran pada tipe ini terdiri atas komponen barang dan jasa yang
relatif seimbang. Misalnya restoran siap saji yang menyediakan makanan dan
penyediaannya.
4. Major service with accompanying minor goods and services, dalam tipe ini
membutuhkan kapital intensif yang cukup besar untuk mewujudkannya tetapi
item jasa yang menjadi utama. Misalnya dalam konteks jasa penerbangan, ada
sejumlah unsur barang fisik pelengkap yang terlibat seperti makanan, minuman
dan televisi.
5. Pure service, penawaran pada tipe ini hamper seluruhnya adalah jasa seperti jasa
tukang pijat, konsultan psikologi, babysitter, pengacara dan pengajar.

c. Karakteristik Jasa
Berbagai literatur manajemen dan pemasaran jasa mengungkap bahwa jasa
memiliki empat karakteristik unik yang membedakannya dengan barang dalam
mengelola dan memasarkannya. Lovelock dan Gummensson dalam Tjiptono (2011)

mengistilahkannya sebagai paradigma IHIP (Intangibility, Heterogenity/Variability,
Inseparability, perishability). Kotler dan Keller (2012) juga membedakan empat
karakter jasa tersebut yang akan berdampak pada program pemasaran.
1. Intangibility, tidak seperti produk fisik, suatu jasa tidak dapat dilihat, dirasa,
dicium, didengar atau diraba sebelum dibeli atau dikonsumsi. Produk intangible
diyakini akan lebih sulit dievaluasi, karena dapat menimbulkan tingkat
ketidakpastian dan resiko yang lebih besar. Oleh karena itu, untuk mengurangi
ketidakpastian, pembeli seringkali menggunakan bukti fisik kualitas jasa yang
bersangkutan yang digambarkan dari tempat (place), orang (people), peralatan
(equipment), materi komunikasi (communication material), simbol (symbols),
harga (price) yang mereka amati.
2. Heterogenity/Variability, karena kualitas jasa tergantung siapa, kapan, dimana

dan untuk siapa jasa tersebut disediakan maka jasa sangat beraneka ragam.
Misalnya dua orang datang ke salon yang sama dan meminta model rambut yang
sama, tidak akan mendapatkan hasil yang identik. Untuk menjamin konsumen,

6

beberapa perusahaan menawarkan garansi jasa untuk mengurangi resiko persepsi

konsumen.
a) Investasi pada rekrutmen dan prosedur pelatihan
b) Standardisasi proses kinerja jasa organisasi secara menyeluruh
c) Mengawasi kepuasan konsumen
3. Inseparability, jika biasanya produk fisik diproduksi dahulu, dijual lalu
dikonsumsi, maka jasa diproduksi dan dikonsumsi secara bersamaan. Interaksi
antara penyedia jasa dan pelanggan merupakan ciri khas jasa. Keduanya akan
mempengaruhi

hasil

(outcome)

dari

jasa

yang

bersangkutan


karena

keterlibatannya dalam proses produksi jasa tersebut.
4. Perishability, salah satu karakter jasa adalah tidak tahan lama, tidak dapat
disimpan untuk pemakaian masa mendatang. Sifat perishability jasa ini akan
menimbulkan masalah krusial ketika terjadi fluktuasi permintaan. Oleh karena itu,
beberapa alternatif strategi yang bisa digunakan perusahaan dalam mengatasi
masalah penawaran dan permintaan jasa tersebut, antara lain :
a) Differential pricing atau De-marketing
b) Nonpeak Demand
c) Conmplementary services
d) Reservation systems

B. Inovasi Jasa (Service Innovation)
Seperti telah diketahui bahwa sektor jasa memiliki karakteristik yang unik dan
berbeda dengan produk fisik. Salah satu hal signifikan dalam jasa adalah proses
produksinya yang bertumpu pada kemampuan keterampilan (skill) dan pengetahuan
(knowledge) penyedia jasa. Sehingga jasa pada dasarnya adalah pengaplikasian
kompetensi yang dimiliki penyedia jasa dalam menawarkannya ke konsumen.
Dengan sifat jasa yang berbasis pada sumberdaya (resource) tak berwujud
(intangibles) maka dalam pengembangan jasa akan didasarkan pada perluasan idea
creative dalam rangka menciptakan nilai dari jasa tersebut. Atas dasar itulah, inovasi
jasa (service innovation) menjadi hal krusial dalam pengembangan jasa.

7

Konsep RBV (Resource-Based View) yang dipopulerkan oleh Barney pada
tahun 1991 beranggapan bahwa sumber daya menjadi kompetensi dan kapabilitas
intra organisasi dalam menciptakan dan menangkap nilai (value). Walaupun
demikian, konsep RBV banyak mengalami kelemahan karena hanya mencakup
kapabilitas atau sumberdaya (resources) internal organisasi sehingga perlu
dikolaborasikan dengan aktivitas proses (Möller et al, 2008). Keterlibatan konsumen
dalam menciptakan nilai dari suatu jasa sebagai creation value dalam suatu jasa.
Pengetahuan yang dimiliki oleh konsumen akan menjadi sumber berharga bagi
organisasi

dalam

melakukan inovasi

jasa

yang bernilai

(value).

Dengan

menggabungkan kapabilitas internal dengan berdasarkan konsep RBV dan aspek
relasional diharapkan akan terjadi inovasi jasa (service innovation). Istilah service
innovation menurut Helge Aas dan Pedersen (2010) dikenal juga, sebagai New
Service Development (NSD) yang merupakan sub kategori New Product Development
(NPD). Sejalan dengan itu, Aa dan Elfring dalam Aas et al (2010) mengatakan bahwa
service innovation adalah meliputi gagasan, praktek atau objek baru untuk organisasi
dan lingkungan yang relevan, yang menjadi kelompok referensi dari inovator.
a. Transfer ide dan pengetahuan dalam inovasi Jasa
Resource theory yang diinspirasi oleh Service-Dominant Logic (SDL)
memberikan gambaran nilai strategi, keterampilan, pengetahuan dan budaya
kompetensi perusahaan (Arnould, 2008). Konsep SDL dari Vargo dan Lusch
(2004) memperkenalkan perspektif tersendiri mengenai sumber daya (resources),
yang menurutnya bahwa sumber daya itu bersifat dinamis dan mencakup pula
unsur-unsur non-fisik. Dalam perspektif S-D Logic dibagi menjadi dua, yaitu
Operand Resources dan Operant Resources.
Operand Resouces yaitu sumberdaya yang menjadi objek tindakan,
operasi atau kinerja. Pada dasarnya, jenis ini berupa sumberdaya fisik, seperti
mesin, tanah, bangunan, bahan mentah. Sedangkan Operant Resources yaitu
sumberdaya yang bertindak atas atau menghasilkan sumberdaya lain. Jenis ini
meliputi sumberdaya manusia (seperti keterampilan dan pengetahuan karyawan),
organisasional (pengendalian, budaya perusahaan, kompetensi), informasional
(seperti informasi tentang segmen pasar, pesaing dan teknologi) dan relasional
8

(misalnya, hubungan dengan pesaing, pemasok, dan pelanggan) (Vargo dan
Lusch, 2004; Hunt, 2004) .
Perspektif

S-D

Logic

menempatkan

operant

resources

sebagai

sumberdaya utama yang dibutuhkan setiap perusahaan. Lebih lanjut S-D logic
berpandangan bahwa pemasaran merupakan serangkaian proses sosial dan
ekonomi yang sangat terfokus pada operant resources sebagai elemen utama
untuk menghasilkan value propositions yang lebih baik dibandingkan pesaing.
Fokus utama perspektif ini pada proses pertukaran (exchange) dengan pihak yang
terlibat (konsumen, supplier) sehingga akan menghasilkan nilai (value). Dalam
pertukaran tersebut akan terjadi transfer pengetahuan dan ide yang akan berguna
membentuk inovasi yang bernilai. Dengan kata lain pelanggan menentukan valuein-use mereka dan pemasar hanya bisa menawarkan value propositions (Varey
and Ballantyne,2008).
Salah satu sumbangsih penemuan Vargo dan Lusch (2004)

adalah

menguraikan 8 premis pokok S-D logic, yaitu
1. Aplikasi keterampilan dan pengetahuan yang terspesialisasi merupakan
unit pertukaran fundamental.
2. Pertukaran tidak langsung menyelubungi unit pertukaran fundamental.
3. Barang merupakan mekanisme distribusi bagi penyediaan jasa.
4. Pengetahuan adalah sumber fundamental keunggulan kompetitif.
5. Semua perekonomian adalah perekonomian jasa.
6. Pelanggan selalu berperan sebagai “Co-Creator of Value”
7. Perusahaan hanya bisa membuat value propositions.
8. S-D logic berorientasi pada pelanggan dan bersifat relasional.

b. Co-creation Value
Seperti yang diungkapkan oleh Vargo dan Lusch bahwa proses penciptaan
nilai melibatkan konsumen sebagai co-creator nilai. Misalnya, merek global
McDonald, sering mengambil makna yang berbeda karena memasuki negara dan
budaya berbeda (Watson dalam Akaka et al. 2013). Watson menjelaskan makna
dan norma-norma sosial berbeda yang terkait dengan interaksi antara McDonald
9

dan pelanggan dalam berbagai negara Asia. Secara umum, pelanggan Asia tidak
menganggap sebagai "fast food" dan menghabiskan jauh lebih banyak waktu
untuk bersosialisasi dengan makan di McDonald. Pelanggan memberlakukan
perbedaan konteks budaya untuk mencerminkan pengalaman unik dan penciptaan
nilai melalui pertukaran dan integrasi penawaran pasar tertentu.
Nilai proses co-creation yang melibatkan pemasok akan menciptakan
value proposition yang unggul, dengan pelanggan penentuan nilai terjadi ketika
sebuah pelayanan atau barang yang baik dikonsumsi. Value proposition, yang
relevan dengan target pelanggan pemasok , akan menghasilkan kesempatan yang
lebih besar untuk co-creation dan menghasilkan manfaat (atau 'value') yang
diterima oleh pemasok melalui pendapatan, laba, (Payne et al, 2008). Dalam
konsep S-D Logic, co-creation value adalah suatu tujuan yang diinginkan karena
dapat membantu perusahaan-perusahaan dalam menyorot cara pandang pelanggan
atau konsumen dan meningkatkan proses mengidentifikasi

kebutuhan dan

keinginan pelanggan dari awal sampai akhir.
Payne et al, (2008) dalam studinya membangun rerangka proses
pengelolaan creation value yang melibatkan pelanggan sebagai co-creator of
value; pemasaran sebagai 'perancang' hubungan, pertemuan dan dialog antara
pelanggan

dengan

pemasok,

pengetahuan

sebagai

sumber

fundamental

keunggulan kompetitif, dan fokus pada sumber daya instrumental (operant
resources) sebagai unit kunci dari pertukaran. Penemuan ini mendukung premis
Vargo dan Lusch bahwa pelanggan berperan sebagai co-creator of value. Hasil
studi ini juga berimplikasi bagaimana pentingnya perjumpaan antara pemasok dan
pelanggan dan berkolaborasi dalam penciptaan nilai. Sehingga komunikasi
pemasaran dan dialog dalam rangka penciptaan nilai (co-created value) menjadi
sangat mendesak dilakukan.
c. Dampak Inovasi Jasa dalam Perusahaan Jasa
Masih kurangnya penelitian dan literatur yang mengkaji efek dari inovasi
jasa (service innovation) sehingga tidak menemukan kesepakatan yang pasti akan
efek dari inovasi jasa. Studi Aas et al (2010) yang melakukan penelitian akan
10

dampak inovasi jasa dengan pendekatan studi literatur mengkategorisasikan
dampak inovasi jasa dalam lima level, yaitu :
1. Efek Proses Bisnis, dalam level ini membahas dampak pada: proses
internal bisnis, kapasitas penyediaan jasa, biaya internal, produktivitas,
fleksibilitas reduksi resiko.
2. Efek

Kapabilitas,

dalam

kategori

ini

mencakup

dampak

pada:

pembelajaran (learning), budaya, pertumbuhan karyawan, kepuasan
karyawan.
3. Efek Relasional, dalam kategori ini didasarkan pada dampak : nilai
konsumen, kepuasan konsumen, loyalitas konsumen, lock-in effect, citra
(image), hubungan mitra bisnis, kualitas jasa.
4. Efek Finansial, dalam kategori ini mencakup dampak pada: kinerja
finansial secara umum, market share, penjualan (jasa baru), penjualan
(jasa yang telah ada), market value perusahaan.
5. Efek Kompetitif, dalam kategori ini didasarkan dampak pada: posisi
persaingan, kemampuan untuk bertahan (survive), penciptaan pasar baru,
kinerja strategik.

Dari kelima efek dari inovasi jasa ini, diketahui bahwa efek proses bisnis,
efek kapabilitas dan efek relasional berhubungan langsung dengan service
innovation. Efek proses bisnis berhubungan dengan efek kinerja finansial karena
dapat mengurangi dan meningkatkan pendapatan dari penjualan. Selanjutnya efek
relasional dapat berhubungan dengan efek kinerja finansial (melalui peningkatan
pendapatan penjualan) dan efek kompetitif.
Hubungan antara efek relasional dan efek kompetitif dari inovasi jasa
didasari pada konsep resource-based view dari Barney sebagai keunggulan
kompetitif. Hasil ini juga mendukung penemuan Vargo dan Lusch (2004) yang
beranggapan konsep service-dominant view menitikberatkan aspek relasional
dalam proses pertukaran dimana akan mengakibatkan keunggulan kompetitif
karena sharing knowledge terjadi dalam proses tersebut.

11

C. Inovasi Jasa sebagai Keunggulan bersaing
Dalam lingkungan yang terus berubah dan hyper competitive menjadi perlu
bagi praktisi dan perusahaan memberikan jasa superior yang dibutuhkan oleh
konsumen. Service Innovation menjadi salah satu jawaban untuk merespon perubahan
lingkungan tersebut. Terlebih lagi, konsep inovasi jasa yang melibatkan dan
menempatkan konsumen sebagai pusat dari usaha inovasi sehingga proses
transformasi informasi dan pengetahuan akan terjadi. Kandampully and Duddy
(1999) menjelaskan bahwa service innovation dibutuhkan untuk memahami sifat
kebutuhan konsumen yang kompleks dan nilai yang dikaitkan pada produk atau jasa
tersebut. Dalam pasar global, keunggulan kompetitif perusahaan dapat dengan mudah
diimitasi oleh kompetitor. Hal ini tentu berkaitan dengan ketidakmampuan
perusahaan menciptakan dan mematenkan inovasi mereka.
Keunggulan kompetitif menjadi wacana penting dalam lingkungan yang terus
berubah, beberapa literatur mengacu pada konsep RBV dari Barney dalam kaitannya
dengan keunggulan kompetitif perusahaan (Fahy, 1996; Borchert, 2008). Disamping
peran resource dalam keunggulan kompetitif, Bharadwaj et al (1993) mengusulkan
keterampilan (skill) dan sumberdaya (resource) organisasi yang akan menjadi
sustainable competitive advantage dalam industri jasa. Walaupun banyak yang
mengacu pada RBV, beberapa pakar berpendapat bahwa RBV tidak memadai dalam
mencakup proses bagaimana sumber daya ditransformasikan dan ditawarkan kepada
pelanggan

karena

terlalu

berorientasi

pada

intra-organisasi

sehingga

mengesampingkan aspek relasional (Möller et al, 2008). Sehingga dalam konteks
inovasi jasa (service innovation), konsep S-D logic Vargo dan Lusch yang
berorientasi pada pertukaran relasional dapat menjawab kelemahan konsep RBV
dalam menjelaskan terciptanya keunggulan kompetitif (competitive advantage) dalam
sektor jasa. Hal ini sesuai dengan studi Sivunen, et al (2013) yang didasarkan pada SD logic menemukan rerangka sustainability business innovation (SBI) yang terdiri
dari komponen partisipasi aktif konsumen, keterlibatan jaringan nilai, diskontinuitas
inovasi.

12

KESIMPULAN

Sejalan dengan mencuatnya perkembangan sektor jasa dalam dunia bisnis, maka
sektor jasa menjadi fokus perhatian banyak pihak termasuk pemasar, akademisi dan
praktisi. Saat ini, layanan jasa yang tidak lagi semata-mata dipahami sebagai domain
produk jasa (service) tetapi dalam produk fisik juga telah memasukkan elemen jasa dalam
melengkapi produk intinya. Hal ini membuat proses pengembangan inovasi jasa menjadi
sangat vital perannya dalam bisnis saat ini. Proses inovasi jasa yang membutuhkan
sumberdaya yang bersifat intangible seperti ide, pengetahuan dan skill menjadikan proses
inovasi jasa menjadi sangat kompleks. Oleh karena itu, proses pengelolaan sumberdaya
intangible menarik perhatian perusahaan ditengah pergeseran paradigma goods-dominant
logic menuju service-dominant logic.
Ide, pengetahuan dan skill dalam berinovasi saat ini tidak lagi berasal dari internal
perusahaan tetapi juga berasal dari luar perusahaan, seperti pelanggan, pemasok bahkan
dari pesaing itu sendiri. Dengan kata lain, pemasaran berbasis relasional menjadi medium
dalam mengakselerasi proses inovasi suatu perusahaan. Berbagai hasil studi
menunjukkan bagaimana pola interaksi relasional akan menjadikan pihak eksternal
perusahaan berperan sebagai co-creator of value dalam proses inovasi penciptaan produk
dan jasa. Nilai proses co-creation yang melibatkan pelanggan, pemasok dan pesaing akan
menciptakan value proposition yang unggul. Proses penciptaan nilai dalam hubungan
relasional inilah yang menjadi sumber yang fundamental sebuah proses inovasi dalam
menciptakan keunggulan bersaing.

13

Referensi

Aas, T. H., and Pedersen, P.E. (2010). The Firm-Level Effects Of Service Innovation: A
Literature Review. International Journal of Innovation Management, Vol. 14, No.
5 (October 2010) pp. 759–794.
Akaka, M. A., Vargo, S. L., and Lusch, R. F. (2013). The Complexity of Context: A
Service Ecosystems Approach for International Marketing, Journal of
International Marketing, Vol. 21, No. 4, pp 1-20.
Arnould, J. E. (2008). Service-dominant logic and resource theory. Journal of the
Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p21-24.
Bharadwaj, S. G., Varadarajan, P.R. and Fahy, J. (1993). Sustainable Competitive
Advantage in Service Industries: A Conceptual Model and Research Proposition.
Journal of Marketing, Vol. 57. Pp. 83-99.
Borchert, O. (2008). Resouce-Based Theory: Creating and Sustaining Advantage; Book
Review. Journal Of Marketing Management, Vol. 24, No. 9-10, pp. 1041-1044.
Dotzel, T.,Shankar, V. and Berry, L. (2013). Service Innovativeness and Firm Value.
Journal of Marketing Research, Vol. L (April).
Fahy, J. (1996). Competitive Advantage in International Services: A Resource-Based
View. International Studies of Management and Organization, Vol. 26, N0. 2, pp.
24-37.
Hunt, S. D. (2004). On the service-centered dominant logic of marketing. Journal of
Marketing, 68(1), 21–22.
Kandampully, J and Duddy, R. (1999). Competitive advantage through anticipation,
innovation and relationships. Management Decision, Vol. 37/1, pp 51-56.
Kotler, P. and Keller, K. L. (2012), Marketing Management 14th ed. Upper Saddle River,
NJ: Prentice Hall.
Maglio, P. P., and Spohrer, J. (2008). Fundamental Service System. Journal of the
Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p18-20.
Möller, K., Rajala, R. and Westerlund, M. (2008). Service Innovation Myopia? a new
recipe for client provider value creation. California Management Review, vol. 50,
no. 3.
14

Payne, A. F., Storbacka, K. and Frow, P. (2008). Managing the co-creation of value.
Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p83-96.
Sivunen, M.,Pulkka, L.,Henonen, J.,Kajander, J.K and Junnila, S (2013). Servicedominant innovation in the built environment. Construction Innovation, Vol. 13
No. 2.
Tjiptono, F dan Gregorius Chandra. (2011). Service, Quality & Satisfaction. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Tjiptono, F. (2008). Service Management: mewujudkan layanan prima. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Treacy, M and Fred Wiersema (1993), “Customer Intimacy and Other Value
Disciplines,” Harvard Business Review, January-February, pp 83-93.
Varey, R.J.,and Ballantyne, D. (2008). The service-dominant logic and the future of
marketing. Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p11-14.
Vargo, S. L., and Lusch, R. F. (2004). Evolving to a new dominant logic for marketing.
Journal of Marketing, 68, 1–17, (January).
Vargo, S. L., and Lusch, R. F. (2008a). Service-dominant logic: continuing the evolution.
Journal of the Academy of Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p1-10.
Vargo, S. L., and Lusch, R. F. (2008b). Why “service” ?. Journal of the Academy of
Marketing Science, Vol. 36 Issue 1, p25-38.
http://www.tempo.co/read/news/2013/12/21/058539214/Tidak-Dapat-Tiket-Bupati-Ngada-TutupBandara (di akses 31 Desember 2013)
http://www.tribunnews.com/nasional/2013/11/27/ratusan-dokter-demo-di-ma-istana-danbundaran-hi (Di akses 31 Desember 2013)
http://lipsus.kompas.com/topikpilihanlist/1294/1/Kasus.Prita.Mulyasari (Di akses 31 Desember
2013)
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/07/063486506/Kronologi-Pemukulan-PramugariSriwijaya-Air (di akses 31 desember 2013)

15