Kaitan Doktrin Piercing The Coorporate V

Kaitan Doktrin Piercing The Coorporate Veil Dengan Doktrin Business
Judgement Rule pada Perseroan Terbatas di Indonesia 1
Oleh :
Adi Seno2
PENDAHULUAN
Di picu meledaknya revolusi industri yang setidaknya dalam sejarah yang
diketahui bermula di kawasan Inggris, langkah awal adalah memenuhi kebutuhan
pokok manusia dengan membangun antara lain pabrik tekstil dan pabrik mesin
tekstil yang dikategorikan berteknologi rendah dan minim modal. 3 Berpijak dari
revolusi bersejarah tersebut pertumbuhan sains dan teknologi pesat tak lagi
terhindarkan mendorong kebutuhan manusia yang semakin menuntut
keberagaman, sudah barang tentu kompleksitas. Maka produk dan jasa makin
membanjiri dunia yang saat ini katanya telah digandrungi globalisasi serta
berbanding lurus dengan makin suburnya praktek produksi sebagai mula-mula
terbentuknya komoditas tersebut baik itu produk atau jasa.
Barang tentu atas adanya perkembangan di bidang ekonomi tersebut
perlu adanya sebuah pengaturan demi adanya ketertiban. Pengaturan dan
ketertiban dalam perkembangannya merupakan sovereignty dari hukum. Seperti
yang didengungkan Roscoe Pound bahwa hukum sebagai sarana rekayasa sosial
(law as tool of social engineering). 4 Badan hukum merupakan rekayasa manusia
untuk membentuk suatu badan agar dapat bertindak dalam status, kedudukan,

kewenangan yang seakan-akan sama seperti manusia dalam lingkup hukum
perdata. Badan ini disebut artificial person karena merupakan hasil rekayasa
yang berupa tiruan, tidak sama namun dalam hal tertentu dapat dipersamakan
dengan aslinya.5 Maka perusahaan sebagai suatu rekayasa sosial yang baik
untuk mengayomi kegiatan produksi tersebut.
Perkembangan perusahaan sebagai suatu rekayasa sosial ekonomi
khususnya di Indonesia dalam kenyataannya (das sollen) sudah terjadi bahkan
sebelum negara ini berdiri. Terbatasnya waktu membuat penulis membuat
terbatasanya pembahasan mengenai perkembangannya perusahaan apabila
ditelusuri dari sifat-sifat dan ciri-cirinya paling tidak yang paling sederhana
antara lain mencari keuntungan, melakukan pembukuan dll. 6 Penulis hanya

1 Disampaikan dalam diskusi sore hari
2 Bukan Mahasiswa Strata satu Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
3 Lebih jauh. Lihat Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu Asia Tenggara. 1990. LP3ES.
Jakarta. Hlm. xvii. Tulisan tersebut merupakan buah tangan Arief Budiman yang
memberikan pengantar atas buku Kapitalisme Semu Asia Tenggara. Dalam tulisan
tersebut diruntutkan awal mula perkembangan dunia industri di kawasan Uni Eropa
4 Marwan, Awaludin, Satjipto Rahardjo Sebuah Biografi Intelektual dan Pertarungan Tafsir
terhadap Filsafat Hukum Progresif. 2013. Thafa Media. Yogyakarta. Hlm. 259

5 Analisis Pemahaman Business Judgement Rule, Kristanto, fakultas hukum, universitas
indonesia, 2010
6Lihat H.M.N Purwosutjipto dalam Pokok-Pokok Hukum Dagang volume 1 mengenai
perbedaan pekerjaan dan perusahaan

mencantumkan salah satu peristiwa yang secara nyata menunjukan eksistensi
perusahaan di Indonesia sebelum Indonesia merdeka yaitu Bremen Case. 7
Sejarah perkembangan perusahaan di Indonesia apabila ditelisik lebih jauh
dalam segi hukum utamanya hukum positif yang diartikan sebagai aturan hukum
tertulis mulanya dapat dilihat dari KUHD dan KUHPer yang merupakan warisan
hukum “Londo”.8 Kemudian dianggap memerlukan pengaturan yang lebih
kompleks dan modern mengikuti perkembangan genderang tabuh ekonomi
munculah UU no 1 tahun 1995 yang selanjutnya akan disebut “rezim lama”
tentang perseroan terbatas yang kemudian diganti dengan UU no 40 tahun 2007
yang selanjutnya akan disebut “rezim baru”.
MENGETAHUI MAKNA DUA DOKTRIN
Mengkerucutkan kembali bahasan kita hanya pada lingkup perusahaan
jenis perseroan terbatas maka dengan munculnya pengaturan yang modern dan
sesuai tata hukum Indonesia yaitu UU no 1 tahun 1995 yang kemudian diganti
dengan UU no 40 tahun 2007 terdapat beberapa doktrin-doktrin yang memang

dengan pada masa sekarang ini dirasa sangat perlu untuk dimasukan dalam
pengaturan hukum positif sebagai pegangan para pemilik modal untuk
selanjutnya mengharmoniskan dan mengungkit perekonomian Indonesia pada
umumnya ke level yang lebih tinggi. Doktrin itu antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.

Piercing the corporate veil
Fiduciary Duty
Derivative Action
Ultras Vires Doctrine
Liability of Promotors

7 Diperoleh dari pertemuan mata kuliah Hukum Internasional yang diampu oleh Prof Dr.
FX Adji Samekto, S.H., M.H., secara singkat bahwa Bremen Case ialah sengketa yang
terjadi antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda. Bermula dari Rezim
Soekarno yang sedang gencar melakukan nasionalisasi atas misi politik ingin mengambil

kembali Irian Barat dan mencabut pengaruh-pengaruh kolonialisme di Indonesia.
Awalnya perkebunan tembakau tersebut dimiliki perusahaan Belanda yaitu NV Verenigde
Deli-Maatschappijen dan NV Sanembah-Maatschappi kemudian dinasionalisasi dengan
kompensasi ganti rugi. Kemudian hasil perkebunan tersebut dijual di kota Bremen Jerman
oleh Indonesia dengan menggunakan perusahaan patungan baru. Kemudian tidak terima
atas kejadian tersebut Pemerintah Belanda mengklaim hasil perkebunan tersebut dan
sengketa tersebut kemudian disidangkan. Putusan pengadilan negeri Bremen lebih
berpihak ke sikap yang diambil Pemerintah Indonesia begitu juga Pengadilan Tinggi
Bremen yang memperkuat posisi Pemerintah Indonesia. Dalil yang diajukan oleh
Pemerintah Belanda ialah mengenai ganti rugi oleh Pemerintah Indonesia yang dianggap
kurang dapat dipertanggungjawabkan namun pengadilan secara garis besar memberikan
argumen bahwa sebagai negara yang baru merdeka bahwasanya Pemerintah Belanda
harus sabar dalam menerima ganti rugi Pemerintah Indonesia yang pasti diberikan
namun dengan jangka waktu dan Itikad baik Pemerintah Indonesia juga menjadi salah
satu pertimbangan. Kasus tersebut terjadi pada tahun 1959. Kejadian tersebut langsugn
direspon cepat oleh Pemerintah Indonesia dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah
no 9 tahun 1959 yang didalamnya mengatur bahwa atas hasil perkebunan disisihkan
sebagian hasil untuk membayar ganti rugi yang ditimbulkan akibat adanya peristiwa
nasionalisasi.
8 KUHD pasal 14 sampai 35 membahas tentang Firma dan Persekutuan Komanditer,

pasal 36 sampai 56 membahas tentang perseroan terbatas. KUHPer pasal 1618
sampai .... membahas tentang persekutuan perdata

6. Business Judgement Rule
7. Self Dealing
8. Corporate Opportunity.9
Saat ini akan dibahas keterkaitan utama antara doktrin piercing the
corporate veil dengan doktrin business judgement rule. Sebelum itu perlu
adanya untuk mengetahui apa makna dua doktrin tersebut
Pertama, secara umum doktrin piercing the corporate veil yaitu mengoyak
tirai perusahaan. Sedangkan dalam ilmu hukum kewenangan untuk meminta
pertanggung jawaban pribadi terhadap orang atau perusahaan lain terhadap aksi
yang dilakukan senyata-nyatanya atas nama perusahaan. Memang ini
mengabaikan tanggung jawab terbatas pada Perseroan Terbatas namun ada
pengecualian karena biasanya ada pihak lain yang dirugikan atas tindakan
tersebut. Doktrin ini sesungguhnya telah diakui hampir diseluruh sistem hukum
namun dalam kesehariannya derajat pengakuan atas doktrin ini yang berbedabeda di tiap sistem hukum. Hal tersebut dipengaruhi pandangan suatu sistem
hukum mengenai badan hukum perseroan yang memiliki beberapa teori. 10 Ada
teori yang pandangannya menyebabkan timbulnya pendangan bahwa
perusahaan adalah manusia yang mengendalikannya sehingga kesalahan

perusahaan pasti salah manusianya.
Berdasarkan pengamatan penulis baik dalam peraturan rezim lama
maupun rezim baru pada pasal 1 yang tidak berubah secara substansial terlihat
bahwa Indonesia menggunakan teori realistis yang mulanya diprakarsai oleh
Otto Von Gierke dalam memandang perusahaan sebagai badan hukum. 11 Terlihat
dalam aturan tersebut mengakui bahwa badan usaha perseroan terbatas adalah
subjek hukum yang digerakan oleh organ perusahaan yang berimpas bahwa
perusahaan memiliki hak dan kewajiban terlepas dari orang-orang yang ada di
dalamnya. Dengan adanya pengakuan serta diikuti cagak penguatnya tersebut
maka eksistensi PT sebagai subjek yang mandiri diakui yang menyebabkan kadar
derajat pengakuan piercing the corporate veil melemah.
Adapun syarat terpenuhinya unsur-unsur piercing the corporate veil secara
universal adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.


Terjadinya penipuan
Didapatkan ketidakadilan
Terjadinya suatu penindasan
Tidak memenuhi unsur hukum
Dominasi pemegang saham yang berlebihan
Perusahaan
merupakan
alter
ego
dari
mayoritasnya12

pemegamg

saham

9 Dapat diliihat di Fuady, Munir, Doktrin, Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan
Eksistensinya Dalam hukum Indonesia.2002. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
10 ibid hlm. 3 disadur dari (Mayson, Stephen W, 1988: 161) ada beberapa teori yaitu
teori fiksi, individualisme, simbolis, realistis, ciptaan diri sendiri, kesatuan bisnis dan teori

kontrak.
11 Lihat lampiran
12 Fuady, Munir, Doktrin, Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam
hukum Indonesia.2002. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm.10

Selebihnya daripada itu penulis ingin menambahkan bahwa tidak memenuhi
unsur hukum merupakan kesalahan fatal yang sekuat-kuatnya harus dihindari. 13
Tak lepas juga hubungan holding company sangatlah beresiko pula dikenakan
doktrin ini karena tidak jarang transaksi dengan perusahaan induk menyalahi
aturan dan adanya pemisahaan badan hukum yang hanya terpisah secara
artifisial.14 Dalam hal-hal penjalanan perusahaan pihak direksi adalah yang paling
rentan terkena doktrin ini. Ada beberapa pasal dalam aturan baik dalam rezim
lama maupun rezim baru yang mengatur tentang piercing corporate veil. 15
Kedua, doktrin business judgement rule merupakan cermin dari
kemandirian direksi sebagai roda penggerak perusahaan untuk mengambil
keputusan. Doktrin ini merupakan perlindungan bagi direksi yang beritikad baik
dalam menjalankan tugasnya. Hanya salah dalam mengambil keputusan atau
kesalahan yang jujur tidak dapat dipikulkan tanggung jawabnya terhadap direksi.
Namun dalam catatan ada direksi-direksi tertentu yang dibebankan tanggung
jawab yang lebih dari direksi yang lainnya dan kaitan hal ini berdasarkan jenis

bisnis perusahaan yang ia pegang. 16 Aturan ini diatur jelas baik dalam aturan
rezim lama maupun rezim baru. 17 Latar belakang doktrin ini dikarenakan bahwa
penunjukan terhadap direksi telah dilakukan melalui RUPS dan orang yang
ditunjuk sebagai direksi telah dipandang mampu untuk mengelola perusahaan.
Oleh karena itu tidak ada satu orangpun yang dapat menghakimi keputusan dari
direksi sebagai orang yang tau betul apa yang sedang terjadi. Karena dalam hal
perusahaan menjalankan suatu bisnis selalu terkandung resiko dan hampir dapat
dipastikan tidak mungkin selalu untung. Oleh karena itu tidak semerta-merta
faktor internal merupakan penyebab kerugian. 18 Sesungguhnya doktrin ini
memiliki kaitan erat dengan doktrin fiduciary duty karena fiduciary duty
merupakan awalan dan dasar untuk melakukan akhiran yaitu business
judgement rule. Hubungan dua doktrin ini dapat dianalogikan sebagai suatu
proses input kemudian output.
Pernyataan diatas semua dibenarkan selama keputusan yang diambil
direksi meskipun pada akhirnya merugikan memenuhi unsur berikut :
1.
2.
3.
4.
5.


Putusan sesuai hukum yang berlaku
Dilakukan dengan itikad baik
Dilakukan dengan tujuan yang benar
Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional
Dilakukan dengan kehati-hatian, seperti dilakukan oleh orang yang
cukup hati-hati dalam keadaan serupa

13 Raden Roosman v. Perusahaan Otobis N.V. Sendiko, No. 224/1950/Perdata (1951). dan
O. Sibarani v. PT. Perusahaan Pelayaran Samudera “Gesuri Lloyd”, No. 21/Sip/1973 (1973)
merupakan kasus yang karena adanya unsur tidak memenuhi unsur hukum karena telah
memenuhi salah satu unsur piercing corporate veil maka pemegang saham bertanggung
jawab pribadi atas ganti rugi. Lebih jelas lihat lampiran 2
14 Fuady, Munir, Doktrin, Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam
hukum Indonesia.2002. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm.11
15 Lihat lampiran
16 Ibid Hlm.197
17 Lihat lampiran
18 Faktor internal perusahaan yang dimaksud adalah hal-hal yang terjadi dalam
perusahaan tersebut seperti keadaan karyawan atau organ perusahaan.


6. Dilakukan dengan cara yang layak dipercayainyasebagai yang terbaik
bagi perseroan.19
IMPLEMENTASI KETERKAITAN DOKTRIN DALAM PERJALANAN PERSEROAN
TERBATAS DI INDONESIA
Pertama, dalam perkara Herman Rachmat v. Ny. Maryam Abas, No. 268
K/Sip/1980 (1982), Mahkamah Agung berpendapat Tergugat Ny. Maryam Abas
sejak tanggal 20 Desember 1977 bukanlah Direktris lagi dari PT. Cikembang.
Oleh karena PT. Cikembang telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman
tanggal 13 Januari 1976, dengan demikian Perseroan Terbatas tersebut telah
merupakan dan berbentuk badan hukum. Oleh karena itu Penggugat tidak dapat
mengajukan gugatan terhadap pribadi tergugat, yang tidak ada hubungan dan
sangkut paut sama sekali dengan PT. Cikembang. Perkara ini bermula dari PT.
Cikembang pada masa Direktrisnya Ny. Maryam Abas, yang memesan bahanbahan bangunan untuk proyeknya yang bernilai Rp. 23.869.655,-. Sampai
dengan Pengugat mengajukan gugatannya, hutang tersebut belum dibayar.
Pengadilan Negeri berpendapat, yang harus digugat adalah PT. Cikembang, yang
diwakili oleh Direkturnya yang sekarang, bukan Direkturnya yang telah berhenti,
yaitu Tergugat Ny. Maryam Abas.20
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi dalam pertimbangannya
menyatakan :
“..., akan tetapi apabila kewajiban hukum tersebut adalah tanggung
jawab PT. Cikembang sebagai “rechts persoon” maka yang harus disebutkan
dalam gugatan adalah pengurusnya yang sekarang, sebab tanggung jawab dari
suatu badan hukum adalah melekat pada badan hukum itu sendiri.” 21
Pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung membenarkan putusan Pengadilan
Tinggi, sehingga menolak permohonan kasasi dari Penggugat, Herman Rachmat
tersebut.22
ANALISIS :
Dalam kasus tersebut perlu dilihat kembali unsur-unsur yang kiranya
membenarkan bahwa memang Ny Maryam Abas selaku mantan direktris PT
Cikembang dilindungi doktrin business judgement rule. Adapun ketentuan yang
harus dilihat sama seperti yang telah ditulis diatas yaitu :
1.
2.
3.
4.

Putusan sesuai hukum yang berlaku
Dilakukan dengan itikad baik
Dilakukan dengan tujuan yang benar
Putusan tersebut mempunyai dasar-dasar yang rasional

19 Fuady, Munir, Doktrin, Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam
hukum Indonesia.2002. Penerbit PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm.198
20 Dapat dilihat di ermanhukum.com makalah PENGELOLAAN PERUSAHAAN YANG BAIK :
TANGGUNG JAWAB PEMEGANG SAHAM, KOMISARIS, DAN DIREKSI kasus Herman Rachmat
v. Ny. Maryam Abas, No. 188/1978/C/Bdg (1979).
21 Ibid Herman Rachmat v. Ny. Maryam Abas, No. 244/1979/Perd.PTB (1979).
22 Ibid Herman Rachmat v. Ny. Maryam Abas, No. 268 K/Sip/1980 (1982).

5. Dilakukan dengan kehati-hatian, seperti dilakukan oleh orang yang
cukup hati-hati dalam keadaan serupa
6. Dilakukan dengan cara yang layak dipercayainyasebagai yang terbaik
bagi perseroan.
Selaku mantan direktris PT Cikembang tidk terlihat Ny Maryam Abas
melakukan piercing the corporate veil baik dilihat dari ia menjalankan
perusahaan dengan semestinya dan mendaftarkan perusahaan ke kementrian
berwenang. Uang tersebut juga dipinjam atas nama perseroan dan demi
kebaikan perseroan. Kemudian yang paling krusial tidak dapat dibuktikan bahwa
Ny Maryam Aabas melakukan transaksi demi kepentingan dirinya sendiri atau
afiliasi lainnya. Terakhir bahwa demi kepentingan berjalannya perseroan
merupakan hal yang rasional bahwa Ny Maryam Abas meminjam uang. Perlu
dijadikan catatan ialah selisih waktu Ny Maryam berhenti menjadi direktris
hingga saat ini mengapa belum terlunasi utang perseroan tersebut harusnya
ditujukan pada pengurus yang sekarang. Karena logikanya tidak ada direksi
ataupun komisaris yang mundur atau dipecat untuk tidak meninggalkan utang
apabila memang modal kerja perusahaan tersebut didapat dari perputaran
utang.
Kemudian atas putusan pengadilan tersebut didasari pada analisis ecekecek ini saya membenarkannya isi putusan tersebut.
Kemudian dalam perkara lainnya, perkara PT. Bank Perkembangan
Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 1916 K/Pdt/1991 (1996), Mahkamah Agung
membatalkan putusan Pengadilan Tinggi. Menurut Mahkamah Agung,
pertanggungjawaban suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat dipikulkan kepada
para pengurus, apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas
nama P.T. mengandung persekongkolan dengan itikad buruk yang menimbulkan
kerugian kepada pihak lain. Dalam perkara ini Tergugat II, III, IV dan V sebagai
Direksi atau Komisaris PT. Bank Perkembangan Asia dan sekaligus pula sebagai
Direksi atau Komisaris PT. Djaja Tunggal (Tergugat I), meminjamkan uang kepada
Tergugat I tanpa analisis kredit. Mereka pun sudah tahu anggunan kredit tersebut
adalah tanah Hak Guna Bangunan sudah habis waktunya pada tanggal 24
September 1980, sehingga sudah menjadi Tanah Negara. Sengketa ini bermula
dari PT. Bank Perkembangan Asia memberikan pinjaman kredit kepada PT. Djaja
Tunggal,
yang
setelah
beberapa
kali
diperpanjang
berjumlah
Rp.
5.502.293.038,84,-. Perjanjian kredit diberikan dengan jaminan tanah Hak Guna
Bangunan No. 39 dan No. 40 berikut bangunan pabrik atas nama PT. Djaja
Tunggal. Pada saat semua pinjaman kredit tersebut jatuh tempo, PT. Djaja
Tunggal tidak dapat membayar. Perusahaan ini berhenti beroperasi karena
menderita rugi 75%, sehingga perusahaan menyatakan diri tidak mampu
membayar hutangnya kepada Penggugat dalam keadaan insolvensi. Ternyata
Direktur dan Komisaris Bank pemberi kredit sama orangnya dengan Direktur dan
Komisaris PT. Djaja Tunggal. Ternyata pula, anggunan tanah Hak Guna Bangunan
No. 39 dan 40 telah habis masa berlakunya, sehingga statusnya menjadi tanah
negara. Kekalutan PT. Bank Perkembangan Asia menyebabkan Bank Indonesia
mengganti pengurus Bank, dan Bank mengajukan gugatan kepada bekas Direksi
dan Komisarisnya serta PT. Djaja Tunggal. Dalam jawabannya, para Tergugat

menyatakan, antara lain, hutang tersebut adalah hutang PT. Djaja Tunggal dan
karenanya menjadi tanggung jawab PT. Djaja Tunggal, sebatas harta kekayaan
perusahaan tersebut. Oleh karenanya Tergugat II dan sampai V secara pribadi
tidak harus dimintai tanggung jawab terhadap hutang PT. Djaja Tunggal (Tergugat
I).
Pengadilan Negeri Bogor dalam putusannya, antara lain, menyatakan :
1. Tergugat I, PT. Djaja Tunggal berhutang kepada Penggugat sebesar Rp.
5.502.293.038,83,-.
2. Tergugat I, PT. Djaja Tunggal telah ingkar janji (wanprestasi) kepada
Penggugat.
3. Tergugat II-III-IV-V-VI dan VII melakukan perbuatan melawan hukum oleh
pengurus.
4. Menghukum Tergugat I, PT. Djaja Tunggal untuk mengembalikan seluruh
pinjamannya berikut bunga Rp. 5.502.293.038,83,-.
5. Menghukum Tergugat II-III-IV-V-VI-VII untuk membayar ganti kerugian
Rp. 100.0000.000,secara tunai kepada Penggugat. 23
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi Bandung menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Bogor tersebut di atas. 24
Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyatakan, adalah merupakan
fakta, bahwa yang menjadi pengurus dari Tergugat I adalah bersamaan pula
dengan pengurus dari Penggugat sebelum Penggugat sebagai PT. Bank
Perkembagan Asia diambil alih Bank Indonesia karena mengalami kekalahan
kliring. Dengan demikian pada diri Tergugat I dan Penggugat I pada saat terjadi
pemberian kredit bersatu pada diri Tergugat II sampai dengan V. Jadi pada saat
perjanjian kredit ditandatangani dan direalisasi Dewan Direksi dan Dewan
Komisaris dari Penggugat dan Tergugat sebagai Badan Hukum (PT) bersatu pada
diri para tergugat tersebut.
Berdasarkan fakta dimaksud dihubungkan dengan cara pemberian kredit
dari Penggugat yang nota bene dikuasai oleh para Tergugat II-V, yang diberikan
kepada perusahaan yang mereka kuasai pula (Tergugat I : PT. Djaja Tunggal),
dapat diduga adanya persekongkolan dan itikad buruk pada diri para Tergugat I,
II, III, IV dan V. Dalam kasus seperti ini telah dikembangkan suatu ajaran hukum
yang disebut “piercing the corporate veil” yakni pembatasan pertanggung
jawaban dari suatu Perseroan Terbatas (PT) dapat dipikulkan kepada pengurus,
apabila tindakan hukum yang mereka lakukan untuk dan atas nama P.T.
mengandung persekongkolan secara itikad buruk yang menimbulkan kerugian
kepada pihak lain. Dalam perkara ini para Tergugat II, III, IV dan V sebagai
23 Ibid PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 136/Pdt.G/1987/PN.Bgr
(1988).
24 Ibid PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 431/Pdt/1989/PT.Bdg
(1990).

pengurus dari PT. Perkembangan Asia (Penggugat) dan sekaligus pula pengurus
dari Tergugat I (PT. Djaja Tunggal) dengan itikad buruk meminjamkan uang
kepada Tergugat tanpa analisis kredit serta agunannya pun Hak Guna Bangunan
(HGB) No. 39-40 yang mereka sendiri tahu sudah habis waktunya pada tanggal
24 September 1980. Dengan demikian kerugian yang diderita Penggugat tidak
hanya dibebankan kepada Tergugat I, tapi meliputi Tergugat II, III, IV dan V
secara tanggung renteng.
Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung
tanggal 12 Februari 1990. Mahkamah Agung memutuskan, antara lain,
menyatakan Tergugat I, II, III, IV dan V berhutang kepada Penggugat sebesar Rp.
5.502.293.038,83,-. Menghukum Tergugat I, II, III, IV dan V untuk membayar
hutang tersebut secara tanggung renteng. 25
ANALISIS :
Dalam kasus ini dapat diidentifikasikan beberapa unsur agar dapat
dijatuhkannya doktrin piercing the corporate veil seperti yang telah dijelaskan
diatas. Lengkapnya yaitu :
1
2
3
4
5
6

Terjadinya penipuan
Didapatkan ketidakadilan
Terjadinya suatu penindasan
Tidak memenuhi unsur hukum
Dominasi pemegang saham yang berlebihan
Perusahaan merupakan alter ego dari pemegamg saham mayoritasnya

Dari kasus tersebut ada beberapa poin yang mutlak terpenuhi, yaitu :
1.Terjadinya penipuan
Tergugat II, III, IV, dan V yang merupakan direksi dan komisaris Tergugat I
dan Penggugat telah secara sengaja mengucurkan uang dari Penggugat ke
Tergugat I dikarenakan posisi penggugat sebagai badan hukum dengan
salah satu tugas pemberian kredit maka Tergugat II, III, IV, dan V
memanfaatkan kekuasaan mereka untuk meloloskan sejumlah kredit
kepada Tergugat I yang sedang membutuhkan kucuran kredit meskipun
apabila dilakukan prinsip kehati-hatian maka Tergugat I tidak layak
mendapatkan sejumlah kredit tertentu.
2.Tidak memenuhi unsur hukum
Lebih jauh sesungguhnya suatu proses due diligence oleh kreditur
terhadap debitur telah setidaknya diatur dalam peraturan perundangundangan atau otoritas tertentu yang mengedepankan prinsip prudent.
Terlebih agunan yang diberikan Tergugat I tidaklah layak. 26 Bahkan itu
merupakan tanah negara yang tidak dapat diangunkan.
25 Ibid PT. Bank Perkembangan Asia v. PT. Djaja Tunggal cs, No. 1916 K/Pdt/1991 (1996),
26 Lihat di Ibrahim, Johannes, Bank Sebagai Lembaga Intermediasi Dalam Hukum Positif.
2004. Penerbit CV Utomo. Bandung. Hlm 99-105.

Kemudian atas analisis yang mungkin tidak seberapa ini penulis setuju
terhadap putusan yang diambil baik di tingkat negeri sampai ke MA
KETERKAITAN DUA DOKTRIN
Pertemuan doktrin ini sesungguhnya memiliki dua hubungan yaitu
hubungan mutualisme dan hubungan kontradiktif. 27 Hubungan mutualisme yaitu
baik satu sama lain sesungguhnya menjaga agar para direksi utamanya disini
menjaga
keseimbangan
dalam
melakukan
tugasnya
dengan
segala
kewenangannya. Apabila diumpamakan kurang lebih seperti suatu check and
balances apabila ditinjau dari tujuan untuk mensejahterakan baik pribadi
maupun perseroan. Namun apabila ditinjau dari fungsinya, kedua doktrin ini
seakan menjatuhkan satu sama lain yang dimana doktrin business judgement
law menganggap keputusan direksi tidak dapat diganggu gugat sementara
doktrin piercing the corporate law menganggap tidak boleh ada keputusan yang
kebal atas kesalahan. Hubungan seperti yang tersebut diatas memang tak dapat
dihindarkan namun kita manusia yang hidup di bumi manusia haruslah memetik
manfaat dan barang tentu keadilan dari tidak sempurnanya baik kedua doktrin
ini maupun dengan doktrin lain yang sempat disebutkan diatas.

LAMPIRAN
2.

Organ Perseroan adalah Rapat
Umum Pemegang Saham, Direksi,
dan Komisaris.

3.

Rapat Umum Pemegang Saham yang
selanjutnya disebut RUPS adalah
organ perseroan yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam perseroan
dan memegang segala wewenang
yang tidak diserahkan kepada Direksi
atau Komisaris.

4.

Direksi adalah organ perseroan yang
bertanggung jawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk

UU no 1 tahun 1995
Pasal 1
1.

Perseroan Terbatas yang selanjutnya
disebut perseroan adalah badan
hukum yang didirikan berdasarkan
perjanjian, melakukan kegiatan usaha
dengan modal dasar yang seluruhnya
terbagi dalam saham, dan memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam
Undang-undang ini serta peraturan
pelaksanaannya.

27 “mutualisme” hubungan yang pada akhirnya menguntungkan, “kontradiktif” situasi
yang bertolak belakang satu sama lain sehingga berpotensi menimbulkan pertentangan.

kepentingan dan tujuan perseroan
serta mewakili perseroan baik di
dalam maupun di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan Anggaran
Dasar.
5.

Komisaris adalah organ perseroan
yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan atau
khusus serta memberikan nasihat
kepada Direksi dalam menjalankan
perseroan.

setempat, maupunmasyarakat pada
umumnya.
4.

Rapat Umum Pemegang Saham,
yang selanjutnya disebut RUPS,
adalah Organ Perseroan yang
mempunyai wewenang yang tidak
diberikan kepada Direksi atau Dewan
Komisaris dalam batas yang
ditentukan dalam undang - undang
ini dan/atau anggaran dasar.

5.

Direksi adalah Organ Perseroan yang
berwenang dan bertanggung jawab
penuh ataspengurusan Perseroan
untuk kepentingan Perseroan, sesuai
dengan maksud dan tujuan
Perseroan serta mewakili Perseroan,
baik di dalam maupun di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar.

6.

Dewan Komisaris adalah Organ
Perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau
khusus sesuai dengan anggaran
dasar serta memberi nasihat kepada
Direksi.

Pasal 3
(1) Pemegang
saham
perseroan
tidak
bertanggung jawab secara pribadi atas
perikatan
yang
dibuat
atas
nama
perseroan dan tidak bertanggung jawab
atas kerugian perseroan melebihi nilai
saham yang telah diambilnya.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyaratan perseroan sebagai badan
hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan
baik langsung maupun tidak langsung

UU No 40 tahun 2007
Pasal 1
1.

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya
disebut perseroan, adalah badan
hukum yangmerupakan persekutuan
modal, didirikan berdasarkan
perjanjian, m elakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan
memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang - undang
ini serta peraturan pelaksanaannya.

2.

Organ Perseroan adalah Rapat
Umum Pemegang Saham, Direksi,
dan Dewan Komisaris.

3.

Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan adalah komitmen
Perseroan untuk berperan serta
dalam pembangunan ekonomi
berkelanjutan guna meningkatkan
kualitas kehidupan dan lingkungan
yang bermanfaat, baik bagi
Perseroan sendiri, komunitas

Pasal 3
(1)

(2)

Pemegang saha m Perseroan tidak
bertanggung jawab secara pribadi
atas perikatan yangdibuat atas nama
Perseroan dan tidak
bertanggung
jawab
atas
kerugian
Perseroan
melebihi saham yang dimiliki.
Ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyara tan Perseroan sebagai
badan hukum belum atau tidak
terpenuhi;

dengan itikad buruk memanfaatkan
perseroan semata-mata untuk kepentingan
pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan
terlibatdalam perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik
langsung maupun tidak langsung secara
melawan hukum menggunakan kekayaan
perseroan, yang mengakibatkan kekayaan
perseroan menjadi tidak cukup untuk
melunasi utang perseroan.
Pasal 23
Selama pendaftaran dan pengumuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan
Pasal 22 belum dilakukan, maka Direksi
secara tanggung renteng bertanggung jawab

atas segala perbuatan hukum yang dilakukan
perseroan.

d.
pemegang
saham
yang
bersangkutan baik
langsung
maupun
tidak
langsung
secaramelawan
hukum
menggunakan kekayaan Perseroan,
yang
mengakibatkan
kekayaanPerseroan menjadi tidak
cukup untuk
melunasi utang
Perseroan.

Pasal 60
(3)

(4)

Dalam hal dokumen perhitungan
tahunan yang disediakan ternyata
tidak benar dan atau menyesatkan,
anggota Direksi dan Komisaris secara
tanggung renteng bertanggungjawab
terhadap pihak yang dirugikan.
Anggota Direksi dan Komisaris
dibebaskan dari tanggung jawab
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) apabila terbukti bahwa keadaan
tersebut bukan karena kesalahannya.

Pasal 104
(1)

Direksi tidak berwenang mengajukan
permohonan pailit atas Perseroan
sendiri kepada Pengadilan Niag a
sebelum
memperoleh persetujuan
RUPS,
dengan
tidak
mengurangiketentuan sebagaimana
diatur dalam undang - undang
tentang
Kepailitan
dan
PenundaanKewajiban
Pembayaran
Utang.

(2)

Dalam hal kepailitan sebagaimana
dimaksud pada ayat terjadi karena
kesalahan ataukelalaian Direksi dan
harta pailit tidak
cukup untuk
membayar
seluruh
kewajiban
Perseroan dalam kepailitan tersebut,
setiap
anggota
Direksi
secara
tanggung
renteng
bertanggung
jawab atas seluruh kewajiban yang
tidak terlunasi dari harta pailit
tersebut.

(3)

Tanggung
jawab sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berlaku juga
bagi anggota Direksi yang
salah
atau lalai yang pernah menjabat
sebagai
anggota
Direksi
dalam
jangka waktu
5 (lima) tahun
sebelum putusan pernyataan pailit
diucapkan.

(4)

Anggota
Direksi
tidak
bertanggungjawab atas kepailitan
Perseroan sebagaimana dimaksud
pada
ayat
(2)
apabila
dapat
membuktikan:

Pasal 85
(1)

(2)

Setiap anggota Direksi wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung
jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan.
Setiap anggota Direksi
bertanggungjawab penuh secara
pribadi apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Pasal 90

(2)

Dalam hal kepailitan terjadi karena
kesalahan atau kelalaian Direksi dan
kekayaan perseroan tidak cukup
untuk menutup kerugian akibat
kepailitan tersebut, maka setiap
anggota Direksi secara tanggung
renteng bertanggung jawab atas
kerugian itu.
Pasal 98
(1) Komisaris wajib dengan itikad baik
dan
penuh
tanggung
jawab
menjalankan
tugas
untuk
kepentingan dan usaha perseroan.

b.
pemegang
saham
yang
bersangkutan baik langsungmaupun
tidak langsung dengan itikad buruk
memanfaatkan
Perseroan
untuk
kepentingan pribadi;
c.
pemegang
saham
yang
bersangkutan terlibat dalam perbuat
an melawan hukum yang dilakukan
oleh Perseroan; atau

a.

kepailitan tersebut
karena
kesalahan
kelalaiannya;

bukan
atau

b.

telah melakukan pengurusan
dengan itikad baik, kehati hatian, dan penuh tanggung
jawab
untuk
kepentingan
Perseroan dan sesuai dengan
maksud
dan
tujuan
Perseroan;

c.

tidak mempunyai benturan
kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung atas

tindakan pengurusan yang
dilakukan; dan

(1)

(2)

(3)

Setiap anggota Direksi wajib dengan
itikad baik dan penuh tanggung
jawab menjalankan tugas untuk
kepentingan dan usaha perseroan.
Setiap
anggota
Direksi
bertanggungjawab
penuh
secara
pribadi apabila yang bersangkutan
bersalah atau lalai menjalankan
tugasnya sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1).
Atas nama perseroan, pemegang
saham yang mewakili paling sedikit
1/10 (satu persepuluh) bagian dari
jumlah seluruh saham dengan hak
suara yang sah dapat mengajukan
gugatan
ke
Pengadilan
Negeri
terhadap
anggota
Direksi
yang
karena kesalahan atau kelalaiannya
menimbulkan
kerugian
pada
perseroan.

d.

telah mengambil tindakan
untuk mencegah terjadinya
kepailitan.
Pasal 97

(5)

Anggota
Direksi
tidak
dapat
dipertanggungjawabkan atas
kerugian
sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
apabila dapat membuktikan:
a.

kerugian tersebut
karena
kesalahan
kelalaiannya;

bukan
atau

b.

telah
melakukan
pengurusan dengan itikad
baik dan kehati - hatian untuk
kepentingan
dansesuai
dengan maksud dan tujuan
Perseroan;

c.

tidak mempunyai benturan
kepentingan baik langsung
maupun tidak langsung atas
tindakan pengurusan yang
mengakibatkan kerugian; dan

d.

telah mengambil tindakan
untuk mencegah timbul atau
berlanjutnya
kerugian
tersebut.

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

ENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA MATA PELAJARAN IPS POKOK BAHASAN KERAGAMAN SUKU BANGSA DAN BUDAYA DI INDONESIA DENGAN MODEL PROBLEM POSING PADA SISWA KELAS V SDN GAMBIRAN 01 KALISAT JEMBER TAHUN PELAJARAN 2011/2012

1 24 17

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN TENAGA KERJA PENGRAJIN ALUMUNIUM DI DESA SUCI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER The factors that influence the alumunium artisans labor income in the suci village of panti subdistrict district jember

0 24 6

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Hubungan motivasi belajar dengan hasil belajar pendidikan agama islam siswa kelas V di sdn kedaung kaliangke 12 pagi

6 106 71

HUBUNGAN KEPRIBADIAN DENGAN TINGKAT KEBUGARAN JASMANI PADA SISWA KELAS V SD NEGERI 2 PONCOWARNO KALIREJO LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2013/2014

10 138 52

HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN BELAJAR DI SEKOLAH DAN MOTIVASI BELAJAR DENGAN PRESTASI BELAJAR IPS SISWA KELAS V SD NEGERI 1 RAJABASA RAYA KOTA BANDAR LAMPUNG

6 60 62

PENGARUH KOSENTRASI SARI KUNYIT PUTIH (Curcuma zediaria) TERHADAP KUALITAS TELUR ASIN DITINJAU DARI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN, TOTAL FENOL, KADAR PROTEIN DAN KADAR GARAM The Addition of White Turmeric (Curcuma zedoaria) Concentrated Base on Quality Antioxidan

1 1 8