Antara Qadha Qadar Dan Kehendak Bebas Ma (1)

Antara Qadha’, Qadar Dan Kehendak Bebas Manusia

Disusun oleh :
Nama

: Adam Arafat

Kelas

: 1-B

Program

: Diploma III

Spesialisasi

: Kebendaharaan Negara

NPM


: 143010004522

Sekolah
Tinggi
Akuntansi
Negara
2014

1

Kata Pengantar
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakattuh
Alhamdulillah wa syukurilah penulis ucapkan pada Allah Al-jabbaar yang
kehendaknya tidak dapat diingkari, yang telah menghendaki penulis dapat
menyelesaikan paper ini. Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Kuasa,
penulis menulis kata pengantar ini sebagai tulisan pengenalan paper yang
insyaallah bermanfaat bagi pembaca.
Pada paper yang penulis tulis ini, pembaca diajak untuk mengenal lebih
dalam tentang takdir. Mulai dari pengertian Qadha Qadar dari tingkat pemula,
sampai dalil-dalil untuk beriman kepada Qadha Qadar yang boleh dikatakan

sebagai bukti autentik pentingnya iman kepada Qadha Qadar. Pembahasan
dalam isi insyaallah dapat menjelaskan Qadha Qadar secara lebih terarah
terutama dalam aspek “Kehendak Bebas Manusia”.
Pembaca diajak berikhtiar dan memahami bersama tentang bahasan
Qadha Qadar atau bisa disebut dengan takdir. Karena sejatinya penulis juga
sambil belajar bagaimana konsep iman kepada Qadha Qadar dalam
kehidupan sehari-hari.
Terima kasih pada pembaca yang telah meluangkan waktu untuk
membaca paper ini. Mohon maaf sebesar-besarnya jika ada salah kata dan
banyak kekurangannya.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Penulis

Adam Arafat

Daftar Isi
Antara Qadha’, Qadar Dan Kehendak Bebas Manusia.............................................................0
Kata Pengantar........................................................................................................................ii
Bab I Pendahuluan..................................................................................................................1

A.

Pengertian Qadha dan Qadar..........................................................................................................1

B.

Pengertian Iman Kepada Qada dan Qadar.......................................................................................2

C.

Dalil – Dalil Tentang Beriman Kepada Qadha dan Qadar.................................................................2

Bab II Isi……………………………………………………………………………………………………………………………….3
A.

Takdir...............................................................................................................................................3

B.

Takdir Mua’llaq dan Takdir Mubram................................................................................................3


C.

Ikhtiar..............................................................................................................................................3

D.

Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar..........................................................................4

E.

Sunnatullah......................................................................................................................................5

F.

Tawakal............................................................................................................................................6

G.

Antara Qadha’, Qadar Dan Kehendak Bebas Manusia.....................................................................7


Bab III Kesimpulan.................................................................................................................10
Hikmah Beriman kepada Qada dan qadar..............................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................12

3

Bab I Pendahuluan
Takdir adalah salah satu rukun iman dalam agama islam. Sebagai orang islam
kita harus percaya dan mengimaninya dengan sepenuh hati. Umat Islam
memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani
sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat
dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al
Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir
sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.
Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan
dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu
ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya
akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada
perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan

realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu
takdirnya setelah terjadi.
Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam
menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa
untuk mengubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau
berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk
dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinilainya
gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber
kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang
dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).

A. Pengertian Qadha dan Qadar
Menurut bahasa qadha memiliki beberapa arti yaitu hukum, ketetapan,
perintah, kehendak, pemberitahuan, dan penciptaan. Sedangkan menurut istilah,

1

qadha adalah ketentuan atau ketetapan Allah SWT dari sejak zaman azali tentang
segala sesuatu yang berkenaan dengan makhluk-Nya sesuai dengan iradah
(kehendak-Nya), meliputi baik dan buruk, hidup dan mati, dan seterusnya.

Menurut bahasa, qadar berarti kepastian, peraturan, dan ukuran. Sedangkan menurut
istilah, qadar adalah perwujudan ketetapan (qadha) terhadap segala sesuatu yang
berkenaan dengan makhluk-Nya yang telah ada sejak zaman azali sesuai dengan iradahNya. Qadar disebut juga dengan takdir Allah SWT yang berlaku bagi semua makhluk
hidup, baik yang telah, sedang, maupun akan terjadi.

B. Pengertian Iman Kepada Qada dan Qadar
Beriman kepada qada dan qadar adalah menyakini dengan sepenuh hati adanya
ketentuan Allah SWT yang berlaku bagi semua mahluk hidup. Semua itu menjadi
bukti kebesaran dan kekuasan Allah SWT. Jadi, segala sesuatu yang terjadi di alam
fana ini telah ditetapkan oleh Allah SWT.

C. Dalil – Dalil Tentang Beriman Kepada Qadha dan Qadar
1. Q.S Ar-Ra’d ayat 11 :
‫ظونه م ل‬
‫ما‬
‫ح ل‬
‫مع ل ق‬
‫ن ل‬
‫خل ن م‬
‫ن ي لد لي نهم ول م‬

‫ت م‬
‫مرم الل لهم إ م ل‬
‫فه م ي ل ن‬
‫ه ل ي هغلي قهر ل‬
‫ن الل ل ل‬
‫نأ ن‬
‫قلبا ت‬
‫ه ه‬
‫لل ه‬
‫ف ه ل ه م ن‬
‫م ن‬
‫م ن‬
‫ن ب لي ن م‬
‫ل‬
‫فسهم وإ ل ل‬
‫م‬
‫ه بم ل‬
‫بم ل‬
‫قونم م ل‬
‫قونم م ه‬

‫ما ل لهه ن‬
‫ه ول ل‬
‫ملرد ل ل ل ه‬
‫سوءءا لفل ل‬
‫ذا ألراد ل الل ل ه‬
‫حلتى ي هغلي قهروا ل‬
‫ما ب مأن ن ه م م ن ل م‬
‫ل‬
‫دون مهم م‬
‫م‬
‫ن ه‬
‫ن لوا م‬
‫م ن‬
‫م ن‬
Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya
bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah
Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum
sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka
tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi

mereka selain Dia.

2. Q.S Al-A’laa ayat 3 :
‫لوال ل م‬
‫ذي قلد للر فلهلد لىى‬
Artinya :"Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi
petunjuk.”

Bab II Isi
A. Takdir
Takdir adalah ketentuan suatu peristiwa yang terjadi di alam raya ini
yang meliputi semua sisi kejadiannya baik itu mengenai kadar atau
ukurannya, tempatnya maupun waktunya. Dengan demikian segala
sesuatu yang terjadi tentu ada takdirnya, termasuk manusia.
Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan
Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman.
Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan,
yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan
umat Islam dengan sederhana telah mengartikan takdir sebagai segala
sesuatu yang sudah terjadi.


B. Takdir Mua’llaq dan Takdir Mubram
a. Takdir mua’llaq
Yaitu takdir yang erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Contohnya
seorang siswa bercita-cita ingin menjadi insinyur pertanian. Untuk
mencapai cita-citanya itu ia belajar dengan tekun. Akhirnya apa yang
ia cita-citakan menjadi kenyataan. Ia menjadi insinyur pertanian.
b. Takdir mubram
Yaitu takdir yang terjadi pada diri manusia dan tidak dapat diusahakan
atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. adapun salah satu
contohnya adalah kematian dan sebagainya.

C. Ikhtiar
Ikhtiar adalah usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan dalam
hidupnya, baik material, spiritual, kesehatan, dan masa depannya agar
tujuan hidupnya selamat sejahtera dunia dan akhirat terpenuhi. Ikhtiar
juga dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan semaksimal

3

mungkin sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya. Akan tetapi,
usaha kita gagal, hendaknya kita tidak berputus asa. Kita sebaiknya
mencoba lagi dengan lebih keras dan tidak berputus asa. Kegagalan dalam
suatu usaha, antara lain disebabkan keterbatasan dan kekurangan yang
terdapat dalam diri manusia itu sendiri. Apabila gagal dalam suatu usaha,
setiap muslim dianjurkan untuk bersabar karena orang yang sabar tidak
akan gelisah dan berkeluh kesah atau berputus asa. Agar ikhtiar atau
usaha kita dapat berhasil dan sukses, hendaknya melandasi usaha
tersebut dengan niat ikhlas untuk mendapat ridha Allah, berdoa dengan
senantiasa mengikuti perintah Allah yang diiringi dengan perbuatan baik,
bidang usaha yang akan dilakukann harus dikuasai dengan mengadakan
penelitian atau riset, selalu berhati-hati mencari teman (mitra) yang
mendukung usaha tersebut, serta memunculkan perbaikan-perbaikan
dalam manajemen yang professional.

D. Hubungan antara qadha dan qadar dengan ikhtiar
Iman kepada qadha dan qadar artinya percaya dan yakin dengan
sepenuh hati bahwa Allah SWT telah menentukan tentang segala sesuatu
bagi makhluknya. Berkaitan dengan qadha dan qadar, Rasulullah SAW
bersabda yang artinya sebagai berikut yang artinya :
”Sesungguhnya seseorang itu diciptakan dalam perut ibunya selama 40
hari dalam bentuk nuthfah, 40 hari menjadi segumpal darah, 40 hari
menjadi segumpal daging, kemudian Allah mengutus malaekat untuk
meniupkan ruh ke dalamnya dan menuliskan empat ketentuan, yaitu
tentang rezekinya, ajalnya, amal perbuatannya, dan (jalan hidupnya)
sengsara atau bahagia.” (HR.Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin
Mas’ud).
Dari hadits di atas dapat kita ketahui bahwa nasib manusia telah
ditentukan Allah sejak sebelum ia dilahirkan. Walaupun setiap manusia

4

telah ditentukan nasibnya, tidak berarti bahwa manusia hanya tinggal
diam menunggu nasib tanpa berusaha dan ikhtiar.
Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha, sebab keberhasilan
tidak datang dengan sendirinya. Janganlah sekali-kali menjadikan takdir
itu sebagai alasan untuk malas berusaha dan berbuat kejahatan.
Mengenai adanya kewajiban berikhtiar , ditegaskan dalam sebuah kisah.
Pada zaman nabi Muhammad SAW pernah terjadi bahwa seorang Arab
Badui datang menghadap nabi. Orang itu datang dengan menunggang
kuda. Setelah sampai, ia turun dari kudanya dan langsung menghadap
nabi, tanpa terlebih dahulu mengikat kudanya. Nabi menegur orang itu,
”Kenapa kuda itu tidak engkau ikat?.” Orang Arab Badui itu menjawab,
”Biarlah, saya bertawakkal kepada Allah”. Nabi pun bersabda, ”Ikatlah
kudamu, setelah itu bertawakkalah kepada Allah”.
Dari kisah tersebut jelaslah bahwa walaupun Allah telah menentukan
segala sesuatu, namun manusia tetap berkewajiban untuk berikhtiar. Kita
tidak mengetahui apa-apa yang akan terjadi pada diri kita, oleh sebab itu
kita harus berikhtiar. Jika ingin pandai, hendaklah belajar dengan tekun.
Jika ingin kaya, bekerjalah dengan rajin setelah itu berdo’a. Dengan
berdo’a kita kembalikan segala urusan kepada Allah kita kepada Allah
SWT. Dengan demikian apapun yang terjadi kita dapat menerimanya
dengan ridha dan ikhlas.

E. Sunnatullah
Menurut bahasa sunnatullah berasal dari kata sunnah yang
bersinonim dengan tariqah yang berarti jalan yang dilalui atau sirah yang
berarti jalan hidup. Kemudian, kata tersebut digabung dengan lafal Allah
sehingga menjadi kata sunatullah yang berarti ketentuan-ketentuan atau
hukum Allah swt. yang berlaku atas segenap alam dan berjalan secara
tetap dan teratur.

5

Sunnatullah terdiri dari dua macam, yaitu :
1. Sunnatullah qauliyah adalah sunnatullah yang berupa wahyu yang
tertulis dalam bentuk lembaran atau dibukukan, yaitu Al-Qur’an.
2. Sunnatullah kauniyyah adalah sunnatullah yang tidak tertulis dan
berupa kejadian atau fenomena alam. Contohnya, matahari terbit di
ufuk timur dan tenggelam di ufuk barat.
Kedua sunatullah tersebut memiliki persamaan, yaitu :
1. Kedua-duanya berasal dari Allah swt.
2. Kedua-duanya dijamin kemutlakannya.
3. Kedua-duanya tidak dapat diubah atau diganti dengan hukum
lainnya.
Contohnya adalah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam AlQur’an dikatakan bahwa barang siapa yang beriman dan beramal
saleh, pasti akan mendapat balasan pahala dari Allah swt. Selain
memiliki persamaan, keduanya juga mempunyai perbedaan.
Sunatullah yang ada di alam, dapat diukur. Lain halnya dengan
sunnatullah yang ada dalam AL-Qur’an. Walaupun hal itu pasti terjadi,
tetapi tidak diketahui secara pasti kapan waktunya.

F. Tawakal
Tawakal atau tawakkul berarti mewakilkan atau menyerahkan. Dalam
agama Islam, tawakal berarti berserah diri sepenuhnya kepada Allah
dalam menghadapi atau menunggu hasil suatu pekerjaan, atau menanti
akibat dari suatu keadaan.
Imam al-Ghazali merumuskan definisi tawakkal sebagai berikut, "Tawakkal
ialah menyandarkan kepada Allah swt tatkala menghadapi suatu
kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam waktu kesukaran, teguh hati
tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang dan hati yang tenteram.

6

Berdasarkan al-Qur’an Surah At-Talaq ayat 3, Allah SWT akan
mencukupkan segala keperluan orang-orang yang bertawakal dan
keistimewaanya adalah :
1. Mendapatkan limpahan sifat ‘aziz atau kehormatan dan kemuliaan.
2. Memiliki keberanian dalam menghadapi musibah atau maut.
3. Menghilangkan keluh kesah dan gelisah, serta mendapatkan
ketenangan, ketentraman, dan kegembiraan.
4. Mensyukuri karunia Allah swt. serta memiliki kesabaran apabila belum
memperolehnya.
5. Memiliki kepercayaan diri dan keberanian dalam menghadapi setiap
persoalan.
6. Mendapatkan pertolongan, perlindungan, serta rezeki yang cukup dari
Allah swt.
7. Mendapatkan kepercayaan dari orang banyak karena budi pekertinya
yang terpuji dan hidupnya yang bermanfaat bagi orang lain.

G. Antara Qadha’, Qadar Dan Kehendak Bebas Manusia
Seperti yang kita tahu bahwa keyakinan terhadap qadha’ dan qadar
‘aini Ilahi itu menuntut adanya keyakinan bahwa keberadaan setiap
makhluk dari awal keberadaannya lalu tahap-tahap pertumbuhannya
sam-pai akhir usianya, bahkan sejak terpenuhinya syarat-syarat yang jauh,
seluruhnya tunduk kepada takdir dan pengaturan Ilahi yang mahabijak.
Begitu pula, terpenuhinya syarat-syarat bagi kemunculan dan proses
mereka hingga tahap akhir dari keberadaan mereka sungguh bersandar
kepada kehendak Allah swt.

7

Dengan kata lain, sebagaimana wujud setiap fenomena itu
bersandar kepada ijin dan kehendak cipta (takwiniyah) Allah Swt., dan
tanpa izin dan kehendak-Nya, maka seluruhnya tidak akan mungkin
mencapai pelataran eksistensi. Demikian pula wujud dan terbentuknya
segala sesuatu bersandarkan kepada qadha’ dan takdir Ilahi; yang tanpa
keduanya segala realitas tidak akan sampai kepada bentuk dan batasanbatasannya yang khas serta ketentuan ajalnya. Penjelasan atas
penyandaran dan penisbahan ini pada dasarnya lebih merupakan
pengajaran secara bertahap tentang Tauhid dalam arti Pengaruh Mandiri;
sebuah derajat tauhid yang paling tinggi, yang memiliki peranan besar
dalam membentuk kepribadian seseorang, sebagaimana telah kami
jelaskan.
Adapun disandarkannya seluruh makhluk kepada izin Allah, atau
bahkan kepada kehendak-Nya itu lebih mudah dan lebih dekat kepada
pemahaman. Dibandingkan dengan menyandarkan tahap terakhir dan
kepastian wujud mereka kepada qadha’ Ilahi adalah sulit dan lebih banyak
menjadi topik perdebatan, karena sulitnya mengkompromikan antara
keimanan terhadap qadha’ Ilahi ini dan keimanan terhadap kehendak
bebas yang ada pada manusia dalam menentukan jalan dan nasib
hidupnya.
Oleh karena itu, kita melihat sebagian kaum mutakalim, yaitu para
teolog Asy’ariyah, tatkala mereka menerima kemutlakan qadha’ Ilahi pada
perbuatan-perbuatan manusia, tampak kecondongan mereka kepada
pemikiran Jabariyah (determinisme). Lain halnya ketika kita melihat teolog
lainnya, yaitu kaum Mu’tazilah. Madzhab teologi ini tidak menerima
pandangan Jabariyah. Kaum Mu’tazilah mengingkari qadha’ Ilahi pada
seluruh perbuatan manusia yang bersifat sengaja dan berkehendak bebas.

8

Masing-masing kelompok menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dan
riwayat-riwayat yang saling berlawanan satu dengan yang lainnya,
sebagaimana hal ini tercatat di dalam ilmu Kalam dan dalam risalahrisalah yang membahas secara khusus masalah jabr dan tafwidh,
keterpaksaan dan kebebasan (mutlak).
Titik inti persoalan yang mengemuka di sini adalah bahwa perbuatan
manusia itu, apabila ia bersungguh-sungguh dengan sifat kebebasan
kehendaknya, dan bahwa per-buatannya itu bersandar kepada
kehendaknya sendiri, maka bagaimana mungkin hal itu dapat disandarkan
kepada kehendak dan qadha’ Allah swt. Sebaliknya, apabila perbuatan
manusia itu disandarkan kepada qadha’ Ilahi, bagaimana mungkin hal itu
tunduk kepada kehendak bebas manusia itu sendiri.
Untuk menjawab persoalan semacam ini dan meng-kompromikan
perbuatan manusia dan kehendak bebasnya, serta penyandaran dan
penisbahannya kepada qadha’ Ilahi, kita mesti membahas berbagai
macam penyandaran satu akibat kepada sebab yang beraneka ragam.
Sehingga akan menjadi jelaslah jenis penyandaran suatu perbuatan
sengaja manusia kepada dirinya dan kepada Allah Swt.

9

8. Bab III Kesimpulan
9.

Hikmah Beriman kepada Qada dan

qadar
10.

Dengan beriman kepada qadha dan qadar, banyak hikmah

yang amat berharga bagi kita dalam menjalani kehidupan dunia dan
mempersiapkan diri untuk kehidupan akhirat. Hikmah tersebut antara
lain:
a. Melatih diri untuk banyak bersyukur dan bersabar
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar, apabila mendapat
keberuntungan, maka ia akan bersyukur, karena keberuntungan itu
merupakan nikmat Allah yang harus disyukuri. Sebaliknya apabila
terkena musibah maka ia akan sabar, karena hal tersebut merupakan
ujian.
Firman Allah dalam QS. An-Nahl ayat 53 yang artinya :
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah
(datangnya), dan bila ditimpa oleh kemudratan, maka hanya kepadaNya lah kamu meminta pertolongan.”
b. Menjauhkan diri dari sifat sombong dan putus asa
Orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar, apabila
memperoleh keberhasilan, ia menganggap keberhasilan itu adalah
semata-mata karena hasil usahanya sendiri. Ia pun merasa dirinya
hebat. Apabila ia mengalami kegagalan, ia mudah berkeluh kesah dan
berputus asa , karena ia menyadari bahwa kegagalan itu sebenarnya
adalah ketentuan Allah.
11.
Firman Allah SWT dalam QS.Yusuf ayat 87 yang artinya :
Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf
dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah.
Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum
yang kafir.

10

c. Memupuk sifat optimis dan giat bekerja
Manusia tidak mengetahui takdir apa yang terjadi pada dirinya. Semua
orang tentu menginginkan bernasib baik dan beruntung.
Keberuntungan itu tidak datang begitu saja, tetapi harus diusahakan.
Oleh sebab itu, orang yang beriman kepada qadha dan qadar
senantiasa optimis dan giat bekerja untuk meraih kebahagiaan dan
keberhasilan itu.
Firaman Allah dalam QS Al- Qashas ayat 77 yang artinya :
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
d. Menenangkan jiwa
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar senangtiasa mengalami
ketenangan jiwa dalam hidupnya, sebab ia selalu merasa senang
dengan apa yang ditentukan Allah kepadanya. Jika beruntung atau
berhasil, ia bersyukur. Jika terkena musibah atau gagal, ia bersabar
dan berusaha lagi.
Firman Allah dalam QS. Al-Fajr ayat 27-30 yang artinya :
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang
tenang lagi diridhai-Nya. Maka masuklah kedalam jamaah hambahamba-Ku, dan masuklah kedalam surga-Ku.

11

12.

DAFTAR PUSTAKA

1. Syeikh Dr. Sayyid Ahmed al-Musayyar, “Fatawa al-Aqidah al-Islamiyah”.
2. Prof Dr. Mohamad Rabi’ Jawhari, “Aqidatuna”.
3. Syeikh ‘Abd ar-Rahman Hasan Habnakah al-Maidani, “Al-Wajizatu fi alAqidah al-Islamiyah”.
4. Tuan Guru Haji Abdul Hadi Awang, “Muqaddimah Aqidah Muslim”.
5. Al-Qur’anul Kariim
6. http://wikipedia.com/takdir

13.
14.

15.
16.
17.
18.

12