MENGUBAH image MENANGGUK UNTUNG PENERBIT

MENGUBAH IMAGE, MENANGGUK UNTUNG:
PENERBIT MIZAN (1983—2010)
Oleh Rimbun Natamarga

Imej bisa diubah. Terlebih lagi, ketika imej yang kadung melekat itu dapat menghalangi
rencana yang telah disusun dengan begitu rapi.
Kasus paling menarik adalah Mizan. Menjadi fakta, Penerbit Mizan adalah
salah satu penerbit buku terkemuka di Indonesia yang paling

banyak berperan

menerbitkan buku-buku tentang pemikiran tokoh-tokoh Syiah di Iran pada 1980-an
dan awal 1990-an. Menariknya, meski pernah dilabeli masyarakat sebagai penerbit
buku-buku Syiah, Mizan mampu menghapus label itu sepuluh tahun belakangan ini,
setidaknya, di sebagian besar masyarakat kita sekarang.
MIMPI TIGA MAHASISWA ITB
Bermula dari keinginan untuk mengenalkan buku-buku rohani yang bermutu di
tengah orang-orang Islam dan rasa asyik untuk membaca sekaligus juga menulis,
Haidar Bagir, Ali Abdullah, dan Zainal Abidin Shahab terdorong untuk membuka
sebuah bisnis penerbitan buku di Bandung. Kebetulan, mereka bertiga sama-sama
kuliah di ITB dan lulus pada 1982.

Bermodal uang sekitar Rp. 45.000.000,00 yang mereka pinjam dari paman dari
pihak ibu Bagir, Abdillah Toha, dan teman sejawatnya, Anis Hadi, Bagir dan kedua
rekannya mendirikan Penerbit Mizan pada tanggal 7 Maret 1983. “Bersama beberapa
kawan, yaitu Ali Abdullah dan Zainal Abidin Shahab,” kenang Haidar Bagir, “kami
mendirikan penerbitan buku Mizan, yang berarti berimbang dan obyektif. Arti nama
itu kemudian dijadikan prinsip penerbitan Mizan, yang tidak memilah buku
berdasarkan latar belakang penulis, tetapi lebih pada isi tulisannya.”
Bagir sendiri melihat, peluang bisnis penerbitan bukuwaktu itu terbuka lebar.
Terlebih lagi di tengah kalangan intelektual muslim kelas menengah, anak-anak
keluarga santri, dan pejabat. Mereka ini adalah kelompok masyarakat yang mulai
tertarik kepada Islam dan wacana-wacana keislaman pasca Revolusi Iran tahun 1979.
Untuk mendapatkan pasar yang luas, Bagir beserta kedua rekannya
memikirkan ide-ide baru seputar buku dan penerbitan buku. Waktu itu, penerbitpenerbit yang telah mapan di pasaran buku-buku Islam adalah Bulan Bintang, Tinta
Mas, Pustaka Salman dan Shalahuddin Press.
Berbeda dengan dua penerbit itu, Bagir dan rekan-rekannya berkomitmen agar
penerbit mereka tidak hanya menyajikan isi buku tetapi juga memerhatikan cara buku

itu disuguhkan ke khalayak pembaca. Artinya, bagi mereka, kepuasan terhadap
sebuah buku tidak sekedar diukur dari isinya yang menarik atau mencerahkan, tetapi
juga kemasan, penampilan, yang membungkus isi itu. Buku-buku Bulan Bintang dan

Tinta Mas, ternyata, tidak memenuhi kedua hal tersebut.
Bagir dan teman-temannya kemudian tampil beda. Mereka mulai memikirkan
sampul buku yang menarik. Mereka juga memilih sekaligus memerhatikan jenis font,
tata-bahasa dan ejaan yang akan digunakan di dalam buku. Puncaknya, mereka
mencari dan merekrut seorang pelukis lulusan Seni Rupa ITB untuk merancang
perwajahan buku. Menariknya, di setiap akhir buku, dicantumkan indeks kata-kata
untuk memudahkan calon pembaca—padahal waktu itu sangat jarang penerbitpenerbit buku yang melakukan hal seperti ini.
Buku pertama yang diterbitkan Mizan adalah buku terjemahan berjudul Dialog
Sunnah-Syi’ah: Surat Menyurat antara as-Syaikh al-Misyri al-Maliki,

Rektor al-Azhar di

Kairo Mesir dan as-Sayyid Syarafuddin al Musawi al Amili seorang Ulama besar Syiah.
Buku ini dicetak sebanyak 2000-3000 eksemplar dan menjadi satu-satunya buku
yang diterbitkan selama tiga bulan Mizan berdiri. Meski demikian, buku Dialog SunniSyi’ah itu menjadi buku fenomenal untuk ukuran waktu itu.
HERNOWO DAN LINI PRODUK
Pada 1984, Hernowo bergabung dengan Mizan dan segera menjadi staf redaksi
pertama Mizan. Orang satu ini, menurut Bagir, kelak akan menjadi tokoh di balik
kemajuan pesat Mizan di dunia perbukuan Indonesia.
Hernowo yang baru bergabung itu melihat, pada tahun-tahun pertama, Mizan

ternyata tidak tegas dalam jalur produk (product line) mereka. Kriteria yang dipakai
dalam pemilihan judul-judul waktu itu pun tidak jelas. Alih-alih, Mizan baru mampu
menerbitkan buku-buku terjemahan, baik dalam bahasa Arab maupun dalam bahasa
Inggris.
Bahkan, pada 1985, Mizan mulai coba merintis penerbitan buku-buku untuk
anak Islam. Bagir mengakui, usaha itu dilakukan karena “tergoda” untuk mengikuti
kesuksesan buku serial Lima Sekawan, sebuah buku anak-anak yang berisi kisah
petualangan lima orang sahabat.
Dengan keadaan seperti itu, Mizan kemudian mengambil keputusan penting.
Pada 1987, mereka mulai menerbitkan tulisan-tulisan para penulis dan pemikir Islam
di Indonesia yang dikenal sebagai buku-buku Seri Cendekiawan Muslim. Di antara
yang pernah diterbitkan adalah tulisan-tulisan milik Fachry Ali, Bachtiar Efendi,
Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, A.M. Saefuddin, M. Amien Rais, Emha Ainun

Nadjib, Kuntowijoyo, M. Dawam Rahardjo, Fuad Amsyari, Taufk Adnan Amal, M.
Riza Sihbudi, M. Quraish Shihab, Mukti Ali.
Langkah seperti itu ternyata berpengaruh besar pada gerak produksi Mizan.
Ketika dikalkulasikan, gerak produksi mereka melonjak, melampaui, angka produksi
ketika Mizan baru sebatas menerbitkan buku-buku terjemahan. Pada 1993, Mizan pun
mulai mengukuhkan komitmen diri untuk meraih posisi sebagai matra baru di tengah

kaum muslimin di Indonesia.
Setahun setelah berkomitmen seperti itu, Mizan mulai membuka sebuah lini
produk yang bernama Kronik Indonesia Baru. Dengan lini produk ini, Mizan dapat
secara tegas merekam dan menerbitkan buku-buku tentang peristiwa-peristiwa
mutakhir tetapi penting di Indonesia tanpa kehilangan komitmen untuk menjadi
penerbit buku-buku keagamaan terkemuka.
Di dalam lini itu pula, Mizan dapat leluasa menampung tema-tema umum dan
luas serta tidak terkait secara langsung dengan agama tanpa perlu kehilangan imej di
tengah pembaca sebagai penerbit yang berbeda dari penerbit buku-buku umum.
Untuk itulah, hampir selalu di muka halaman sampul buku produk dari lini Kronik
Indonesia Baru dimuat boks panel berikut.
Salah satu contoh adalah buku Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam
Masyarakat Komoditas Indonesia yang dieditori Idi Subandy Ibrahim. Buku ini, sejatinya,
adalah kumpulan artikel sejumlah penulis dari dalam dan luar negeri yang membahas
fenomena kebudayaan pop dan pernah dimuat di berbagai media cetak.
Para penulis artikel-artikel itu sama sekali tidak bicara tentang Islam, umat
Islam atau sesuatu yang bersifat agamis. Mereka hanya berbicara tentang sebuah
fenomena yang berkembang di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk waktu itu.
Meski masih mencantumkan untaian kaligraf basmalah pada halaman pertama dan
sebuah hadits sahih dari Rasulullah yang berbunyi “Sebaik-baik tempat adalah mesjid

dan seburuk-buruk tempat adalah pasar” di akhir kata pengantar editor, buku itu
terkesan lebih sekuler dibanding buku-buku keagamaan yang pernah diterbitkan
Mizan.
Dua buku pertama yang diterbitkan dari lini Kronik Indonesia Baru adalah
buku Megaskandal Bapindo: Drama Pembobolan dan Kolusi Bapindo dan Prahara Budaya:
Kilas Bali Ofensif Lekra/PKI dkk. Khusus buku terakhir, buku itu diliput secara luas oleh
media cetak dan elektronik yang akhirnya mengundang perdebatan-perdebatan panas
di tengah masyarakat.
Perkembangan seperti itu kemudian diikuti usaha Mizan untuk menerbitkan
buku-buku biograf pada Agustus 1996. Terbitan buku-buku Mizan bergenre ini
dimulai dengan buku otobiograf Deliar Noer, Aku Bagian Umat, Aku Bagian Bangsa.

Setelah itu, diikuti oleh buku Wacana Baru Fiqih Sosial: 70 Tahun K.H. Ali Yafe, Jiwa yang
Resah—sebuah biograf Muhammad Yusuf Ali, penerjemah Al-Qur’an ke dalam bahasa
Inggris paling otoritatif—dan Sajadah Panjang Bimbo: 30 Tahun Perjalanan Kelompok
Musik Religius.
Pada November tahun yang sama, Mizan meluncurkan website Mizan Online di
alamat www.mizan.com. Lewat media baru ini, Mizan mulai merambah bisnis buku di
dunia maya. Waktu itu, internet belum memasyarakat di Indonesia seperti sekarang.
Meski demikian, penjualan tetap berjalan di media online itu. Bahkan, menyadari

internet adalah media bisnis perbukuan di masa depan, informasi yang ada di Mizan
Online diupdate setiap dua pekan sekali.
Langkah Mizan makin ambisius ketika masuk tahun 1997. Awal tahun itu,
Mizan mulai menerbitkan Mutiara Ihya’ Ulumuddin, sebuah hasil ringkasan Ihya’
Ulumuddin yang dilakukan oleh Imam Al-Ghazali sendiri. Kemudian, Mizan
menerbitkan Ringkasan Shahih Bukhari karya Imam Az-Zabidi yang diberi kata
pengantar oleh K.H. Ilyas Ruchiyat.
Pertengahan 1997, Mizan membuka sebuah lini baru, Mizan for Beginners. Lini
produk ini khusus menerbitkan buku-buku tentang pengetahuan-pengetahuan
kontemporer yang dikemas secara komprehensif dalam bentuk komik. Untuk langkah
ini, Mizan berupaya keras—dan berhasil—mendapatkan hak terjemahan eksklusif
langsung dari Icon Books, penerbit buku-buku bergenre seperti itu.
Sejak kemunculan Mizan for Beginners itu sampai tahun 2009, lebih dari tujuh
lini penerbitan buku yang telah didirikan Mizan. Tim-tim redaksi Mizan yang semula
mendapat bagian satu tema masing-masing sekarang diubah menjadi penerbitpenerbit yang terpisah di bawah naungan Mizan Pustaka.
Setiap lini itu memiliki genre masing-masing. Misalnya, lini penerbit yang
bernama Hikmah Publishing khusus menerbitkan buku-buku dengan tema akhlak,
kesalehan dan spiritualitas. Pelangi Mizan menerbitkan buku-buku referensi khusus
seperti Ensiklopedi Balita. Misykat menerbitkan buku-buku tentang doa dan zikir. AlBayan menerbitkan buku-buku bertema keislaman praktis. Harakah menerbitkan
buku-buku bertema pergerakan Islam. Kaifa menerbitkan buku-buku bergenre How to.

Arasy menerbitkan buku-buku yang “berbau” fkih. Qanita menerbitkan buku-buku
yang mengangkat tema-tema kewanitaan. Teraju menerbitkan buku-buku hasil karya
akademik seperti skripsi, tesis dan disertasi.
Perkembangan seperti itu tidak disangka oleh para pendiri Mizan. Jika Mizan
hanya mampu menerbitkan tujuh judul buku pada tahun pertama dan 22 judul pada
buku tahun kedua, maka pada September 2011 Mizan telah mampu menerbitkan
sekitar 80-90 judul buku setiap bulan. Mizan sendiri per September 2011 itu telah

menerbitkan sekitar 12000 judul buku dari beragam penulis, baik muslim atau nonmuslim, dari kalangan Syiah ataupun bukan.
Dari semua buku yang diterbitkan itu, pihak Mizan hanya mendapatkan
untung sekitar 10% sampai 12% dari satu eksemplar buku, sebagaimana umumnya
penerbit-penerbit buku di berbagai negara. “Dari sebuah buku yang diterbitkan,”
cerita Bagir suatu hari,
“komponen biaya yang dikeluarkan adalah untuk distributor 47,5%50%, penulis 10%, pembuatan buku hingga 20%. Berarti sudah 80%.
Belum lagi buku-buku yang tidak laku dan ada di gudang. Setiap
penerbit pasti punya gudang dengan buku-buku yang tidak laku.
Setiap tahun kami pasti right of untuk buku yang sudah terlalu lama
di gudang. Kami anggap sudah tidak menghasilkan pendapatan alias
kerugian.”
Bagaimana pun, dan inilah yang terpenting, langkah-langkah strategis yang

telah dilakukan selama 20 tahun ke belakang berdampak positif bagi Mizan. Hal itulah
yang diakui oleh banyak kalangan.
Seperti Ahmad Soemargono, misalnya. Orang yang dikenal publik sebagai
salah seorang tokoh pergerakan Islam ini, pada perayaan ulang tahun Mizan ke-15,
menulis,
“Dengan telah menerbitkan buku-buku dari tokoh-tokoh pemikir
Indonesia yang netral Mizan telah berhasil mengurangi citra bahwa
Mizan penerbit Syi’ah. Mizan telah diterima oleh masyarakat Islam
yang majemuk di Indonesia, aspirasinya telah mencakup seluruh
aspirasi yang ada.”
BAGIR SANG PENDIRI
Pada hari ini, bahwa Mizan adalah penerbit Syiah adalah sesuatu yang sangat susah
untuk diterima oleh sebagian besar masyarakat. Sebaliknya, citra yang kadung melekat
adalah Mizan sebuah perusahaan besar seperti halnya Kelompok Kompas-Gramedia.
“Menurut kami,” tulis Bagir suatu hari,
“memang selayaknya penerbit bertindak seperti Dewa Janus, dewa
penjaga kuil yang memiliki dua kepala. Kepala yang satu memandang
ke dalam untuk terus mengamati lingkungan dalam kuil dan
kebutuhan penghuni yang dijaganya, sedangkan kepala yang lain
memandang ke luar untuk mengawasi apa-apa atau siapa-siapa yang

mungkin masuk melewati gerbang itu. Dengan kata lain, membiarkan

masuk apa saja yang sejalan dengan kebutuhan warga kuil, dan
menghalau apa-apa yang bertentangan dengannya.”
Mizan telah sengaja berubah dan mereka telah berhasil sekarang. Terlebih lagi,
ketika Mizan telah memiliki unit-unit usaha yang berdiri sendiri di bawah perusahaan
induk mereka, P.T. Mizan Publika.
Di antara unit-unit usaha itu adalah Mizan Production. Unit usaha ini bergerak
dalam bidang event organizing dan production house. Sampai 2012, Mizan Production
telah mengeluarkan sejumlah flm layar lebar. Di antara flm-flm yang paling dikenal
adalah Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku, Sang Pemimpi, Emak Ingin Naik Haji dan Rindu
Purnama.
Dari semua flm itu terdapat beberapa flm yang mendapat apresiasi yang luar
biasa dari masyarakat Indonesia. Film-flm yang dimaksud ditonton oleh jutaan orang
dan diacungi jempol oleh para sineas flm. Sebuah artikel yang diolah dari hasil
wawancara bersama Bagir pada tahun 2011, misalnya, menurunkan opini,
“Begitu juga dalam bisnis perflman yang baru digelutinya, Mizan
berupaya untuk memproduksi flm-flm yang berkualitas dan mendidik
seperti Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Garuda di Dadaku dan yang
terbaru berjudul ‘Semesta Mendukung’ yang akan tayang di bioskop

pada 20 Oktober nanti. Film-flm mendidik ala Mizan juga dirasakan
berkontribusi dalam ikut mencerdaskan anak bangsa, sehingga
berbagai penghargaan dianugerahkan ke hampir seluruh flm yang
diproduksi Mizan.”
Ternyata, bukan sebatas pujian. Rekomendasi-rekomendasi pun datang dari
banyak pihak. Sebagian pihak menilai flm Laskar Pelangi sebagai sebuah flm
pendidikan yang bermutu dan—karenanya—patut ditonton para pelajar dan setiap
insan pendidikan di Indonesia. Sebagian lain menganggap, justru flm Garuda di
Dadaku yang patut ditonton, karena mampu memberi gairah baru kepada para
pencinta sepakbola di Indonesia ketika Timnas Indonesia dikutuk tak-pernah
berprestasi lagi di tingkat dunia.
“Film itu,” tutur Bagir, “punya pengaruh yang lebih besar karena khalayaknya
jauh lebih besar daripada buku.” Dengan alasan seperti itulah, mulai 2004 Bagir
“ngotot” merambah layar lebar. Lewat Mizan Production, Bagir ingin menawarkan
flm-flm yang sekedar menghibur tetapi juga inspirasi.
Diakui oleh banyak pihak, setelah Allah Al-Qadir jalla wa ‘ula,

Bagir

adalah fgur sentral di balik kesuksesan Mizan selama ini. Peran Bagir sangat kentara

selama hampir 30 tahun Mizan berdiri.

“Sebenarnya saya ini perfeksionis dan merasa, kalau saya kerjakan sendiri,
hasilnya lebih baik. Tapi saya tetap harus mendelegasikan wewenang demi terciptanya
ide-ide kreatif,” cerita Bagir ketika diwawancara. Beberapa tahun yang lalu, sepak
terjang Bagir di dunia bisnis itu diganjar sebagai “Top Ten the Best CEO 2008” oleh
Majalah Swa.
Bagir lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 20 Februari 1957. Orangtuanya
adalah Muhammad Bagir dan Gamar. Dari pasangan ini, Bagir menjadi anak kedua
dari delapan bersaudara.
Masa kecil Bagir dihabiskannya di Solo. Penyuka karya-karya Ibnu ‘Arabi—
pemuka aliran wihdatul wujud—ini adalah salah satu keturunan Arab di Indonesia.
Meski demikian, ia lebih merasa sebagai orang Jawa. “Saya memang keturunan Arab,”
katanya dalam wawancara, “tapi pada dasarnya saya ini orang Solo.”
Pada tahun 1977, orangtuanya pindah ke Bandung. Bagir sendiri sempat
diterima sebagai mahasiswa di UGM, Yogyakarta. Mengikuti kakak dan keluarga
dekatnya, Bagir justru memilih kuliah di Jurusan Teknik Industri, ITB, Bandung.
Baginya, “saya pilih jurusan teknik industri, (karena) yang paling tidak teknik.”
Semasa kuliah di ITB itu, Bagir sempat mengambil kuliah tentang dasar-dasar
manajerial dan pemasaran di Fakultas Ekonomi,

Unpad, Bandung, selama tiga

semester. Dari situ, ia mengetahui banyak dasar-dasar manajemen dan—barangkali
juga—seluk-beluk dunia kemanajeran dalam usaha.
Setelah mendirikan Mizan, Bagir turut serta membidani kemunculan Yayasan
Muthahhari pada 3 Oktober 1988. Bersama rekan-rekan pendiri lainnya, Bagir
berkomitmen untuk mengadakan sebuah pendidikan yang “lain” dari yang lain—dan
kemudian ikut terlibat juga mengajar di SMU Plus Muthahhari.
Pada waktu itu, Mizan telah memulai terbitan-terbitan Seri Cendekiawan
Indonesia yang mendongkrak laju keuntungan Mizan. Meski demikian, merasa
terkungkung oleh rutinitas kerja yang padat, Bagir justru memutuskan untuk
meneruskan kembali pendidikan kesarjanaannya di Pasca Sarjana Institut Agama
Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada 1988.
Studi S2 itu ternyata tidak rampung. Belum sempat menyusun tesis S2, Bagir
mendapat tawaran beasiswa Fullbright untuk kuliah di Center for Middle Eastern
Studies (Pusat Studi Timur Tengah), Universitas Harvard, Amerika Serikat, pada 1990.
Bagir selesai belajar di sana pada 1992.
Karir studinya kemudian berlanjut di S3 Jurusan Filsafat, UI, Jakarta. Lagi-lagi,
Bagir mendapat beasiswa riset dari Fullbright untuk penulisan disertasinya tentang
flsafat Islam selama setahun di Universitas Indiana, Bloomington, AS, pada 2001.

Pada akhirnya, Bagir meletakkan fokus untuk disertasinya pada pemikiran
flsafat yang dikembangkan Martin Heidegger (1889 – 1976)1. Ketika memberi kata
pengantar untuk Catatan Pinggir 6 Goenawan Mohamad, Bagir mengakui hal itu.
Di luar Mizan dan studinya, Bagir memegang sejumlah peran penting. Ia,
misalnya, menjadi direktur utama Gudwah Islamic Digital Edutainment (GUIDE),
Jakarta. Ia juga menjadi ketua pada Pusat Kajian Tasawuf Positif Iman dan Badan
Pendiri Yayasan Imdad Mustadhafn.

1

Martin Heidegger dikenal sebagai bapak flsafat Eksistensialisme. Eksistensialisme berasal

dari kata eksistensi. Eks berarti keluar. Sistensi diambil dari kata sisto yang berarti berdiri dan
menempatkan. Eksistensi dapat diartikan sebagai cara manusia berada di dunia ini.
Eksistensialisme adalah aliran flsafat yang bertujuan memahami hakikat, arti hidup dan cara
ber-ada segala

sesuatu.

Heidegger

adalah

murid Edmund

Husserl,

bapak

flsafat

Fenomenologi. Karena kenyataan ini, ada sebagian flosof yang berpendapat bahwa
Eksistensialisme adalah bagian Fenomenologi. Bahkan ada pula yang berpendapat bahwa
antara Eksistensialisme dan Fenomenologi tidak ada beda. Fenomenologi berasal dari
fenomenon yang berarti sesuatu yang tampak dan terlihat karena bercahaya. Jadi, fenomenologi
adalah aliran flsafat yang membicarakan segala sesuatu yang menampakkan diri. Meski
demikian, membicarakan Eksistensialisme orang-orang akan mengingat Heidegger sebagai
orang yang pertama kali mencetuskannya. Ironisnya, Heidegger sendiri tidak mau sistem
flsafat yang diajarkannya disebut dengan Eksistensialisme. Dalam perjalanan hidupnya,
Heidegger banyak menyimpang dari ajaran Husserl. Salah satu kritik Heidegger kepada
gurunya, Husserl terlalu mementingkan melihat fenomena yang ada dalam pengetahuan dan
tidak memikirkan tentang ada itu sendiri. Menurut Heidegger, untuk mengerti dan menyelidiki
ada, manusia harus memulai dari diri mereka dahulu. Manusia bereksistensi atau ber-ada.
Sebaliknya, hewan dan tumbuh-tumbuhan tidak bereksistensi. Ber-adanya manusia, demikian
Heidegger, tidak hanya di dalam alam ini tetapi juga dalam rangka menghadapi alam ini. Mereka
mengerti arti, mereka juga mengerti benda-benda yang ada. Mereka mengerti bahwa hidup
memiliki arti untuk berbuat dan menjalankan arti itu. Heidegger juga percaya, manusia ber-ada
untuk menjadi subjek, untuk menyadari dirinya sendiri dan objek-objek yang dihadapinya.
Semua benda akan menjadi objek manusia karena terletak di depan manusia. Objek-objek itu
tidak akan menyadari diri mereka atau tidak bereksistensi. Selain itu, Heidegger juga
menyebutkan tentang arti dunia. Manusia pada dasarnya menemukan dunia karena mereka
adalah makhluk yang bertindak dan berurusan dengan segala benda yang ada di sekitar
mereka. Benda-benda itu ada bagi manusia karena mereka dapat menggunakan semua benda
itu. Tentang mati, Heidegger mengibaratkannya dengan titik. Selama hidup, manusia seperti
koma. Ketika maut datang, barulah mereka menjadi titik. Bagaimana pun, lanjut Heidegger,
manusia ternyata tidaklah bebas. Ada yang membatasi. Batas awal kebebasan manusia adalah
nasib dan batas akhir adalah mati. Sebelum seseorang hidup, ia sejatinya tidak ada. Dari
ketiadaan ini, ia terlempar ke dunia ini dan hidup. Ketika maut datang, ia pun akan berpindah

Bagir juga tercatat menduduki jabatan pengajar di sejumlah lembaga
pendidikan. Pada 1996, ia menjadi pengajar di Jurusan Filsafat, UI. Pada 1997, ia
menjadi pengajar di Jurusan Filsafat, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta. Pada
1998, ia menjadi pengajar di Jurusan Filsafat, Universitas Madina Ilmu, Bogor.
PENERJEMAH PERTAMA MIZAN
Sebenarnya, aktiftas Bagir di dunia pendidikan seperti itu bukan sesuatu yang baru
sama sekali. Beberapa tahun setelah mendirikan Yayasan Muthahhari, Bagir
mendirikan Yayasan Lazuardi Hayati pada 1994 yang menyelenggarakan pendidikan
dari tingkat TK sampai SMP. Di antara yang berhasil menjadi sekolah-sekolah
unggulan dari yayasan itu adalah TK Kanifa dan SD Lazuardi di Jakarta.
Bersama

ayahnya,

Bagir

berkomitmen

mengadakan

sekolah-sekolah

berkualitas—tetapi juga diterima—di tengah masyarakat. Sampai 2010 lalu, misalnya,
sudah terdapat sebuah sekolah gratis dan sarana pelatihan menjahit untuk ibu-ibu
para siswa di Cinere, Jakarta, yang berhasil diselenggarakan mereka.
Al-Ustadz Al-Habib Muhammad Al-Bagir Al-Habsyi,

sang ayah itu, juga

bukan tokoh biasa. Oleh website Radio Iran Berbahasa Indonesia, www.indonesian.irib.ir,
Muhammad Bagir dijuluki sebagai “Tokoh Pencerah Ummat Nusantara,” “Tokoh
Pemersatu dan Pencerah Umat,” dan “Tokoh yang Selalu Memperjuangkan
Kerukunan Umat.”
Dalam sebuah wawancara, Kang Jalal mengatakan Muhammad Bagir sebagai,
“Syi’ah karena telah menerjemahkan rujukan-rujukan yang membela
Syi’ah. Dia juga membela Syi’ah apabila Syi’ah diserang. Tetapi,
orang yang datang ke rumahnya akan tahu bahwa dia seorang Sunni,
Sunni betulan. Karena ritus-ritusnya, ibadah-ibadahnya, semua serba
Sunni. Pernah seorang ulama Syi’ah kecewa melihat Ustad Bagir,
karena tidak sesyi’ah seperti yang dia duga. Itu, lagi-lagi, karena
masalah defnisi. Jadi buat orang seperti ulama itu, Pak Bagir bukan
kembali ke ketiadaan. Jadi, di antara dua ketiadaan itulah manusia hidup. Heidegger
menyadari, manusia adalah makhluk yang takut mati. Betapa banyak manusia yang takut mati.
Dalam keadaan ini, manusia itu tidaklah bebas, tidak bereksistensi. Agar bereksistensi, manusia
harus berani menghadapi mati. Perasaan takut itu sendiri adalah sesuatu yang pokok dalam
batin manusia. Takut, menurut Heidegger, berbeda dengan gentar. Manusia selalu gentar
terhadap sesuatu yang dapat menimpa manusia, seperti jatuh miskin atau terlihat tua. Takut
justru tidak tentu. Takut, tegas Heidegger, datang secara tiba-tiba. Manusia tidak dapat
mengetahui pasti kedatangan sesuatu yang ditakuti dan asal ketakutan itu. Takut pun dapat
hilang secara tiba-tiba. Karena itu, manusia merasa takut terhadap sesuatu yang sebenarnya
tidak ada.

Syi’ah. Tapi buat yang lain, yang menggunakan defnisi yang lain,
Pak Bagir itu Syi’ah.”
Di antara karya terjemahan Muhammad Bagir yang paling terkenal adalah buku
Dialog Sunni-Syiah, buku pertama yang diterbitkan Mizan.
Asal buku itu adalah surat-surat Salim Bisyri Al-Maliki, Rektor Universitas AlAzhar, Kairo, Mesir, dan Syarafuddin Al-Musawi Al-‘Amili, seorang ulama Syiah asal
Lebanon, ketika terjadi surat-menyurat di antara mereka. Oleh Syarafuddin AlMusawi Al-‘Amili kumpulan surat mereka itu disusun dan diterbitkan dengan judul
Al-Muraja’at.
Seperti yang diakui oleh banyak pihak dari kalangan Syiah di Indonesia, lewat
buku Dialog Sunni-Syiah, Muhammad Bagir telah mengenalkan Syiah ke masyarakat
kita. Banyak orang yang tercerahkan dan lewat buku itu. Di antara mereka, banyak
pula yang kemudian beralih menjadi Syiah.
Lewat buku itu pula, Muhammad Bagir ingin menyadarkan masyarakat
Indonesia agar tidak gampang terprovokasi oleh pihak-pihak tertentu yang berusaha
mengadu-domba antara kelompok Sunni dan Syiah. Karena itu, ketika meninggaldunia pada tanggal 13 September 2010 di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung,
ucapan belasungkawa datang dari mana-mana sebagai bentuk penghormatan atas jasa
Muhammad Bagir dalam menyatukan Sunni-Syiah di Indonesia.[]
DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman Zainuddin & M. Hamdan Basyar (Eds). 2000. Syi’ah dan Politik di Indonesia:
Sebuah Penelitian. Bandung: Penerbit Mizan.
Azyumardi Azra. “Syi’ah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas,” dalam Ulumul
Qur’an, No. 4, Vol. VI, 1995, hal. 4-19.
Bagir, Haidar. “Syi’ah versus Sunnah: Biarlah Menjadi Sejarah Masa Lampau,” dalam
Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, Tahun 1995, hal. 3.
_____. “Sekumpulan Tulisan dengan Banyak Sekali ‘Barangkali’,” “Pengantar,” dalam
Goenawan Mohamad. 2006. Catatan Pinggir 6. Jakarta: PDAT, hal. ix-xxii.
Dewi Nurjulianti & Arief Subhan. “Lembaga-Lembaga Syi’ah di Indonesia,” dalam
Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. VI, Tahun 1995, hal. 20-26.

Diyah Rahma Fauziana & Izzudin Irsam Mujib. 2009. Khomeini dan Revolusi Iran.
Yogyakarta: Penerbit NARASI.
Hefner, Robert W. 2001. Civil Islam: Islam dan Demokratisasi di Indonesia (Penerj. Ahmad
Baso). Jakarta: ISAI & The Asia Foundation.
Hernowo (Ed). 1998. Mosaik Mizan: Melaju Menuju Kurun Baru 1983 – 1998. Jakarta:
Mizan Pustaka.
Idi Subandy Ibrahim (Ed). 1997. Ecstasy Gaya Hidup: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat
Komoditas Indonesia. Bandung: Penerbit Mizan.
Jalaluddin Rakhmat. “Dikotomi Sunni-Syi’ah Tidak Relevan Lagi,” dalam Ulumul
Qur’an, No. 4, Vol. VI, Tahun 1995, hal. 92-103.
_____. 1997. Catatan Kang Jalal: Visi Media, Politik, dan Pendidikan. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam
Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Penerbit Mizan.
M. Amien Rais. 1989. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta (Cet. Ke-2). Bandung:
Penerbit Mizan.
M. Ma’ruf. 2010. 50 Great Business Ideas from Indonesia: Gebrakan Perusahaan-Perusahaan
Indonesia yang Mendunia (Cet Ke-2). Jakarta: Penerbit Hikmah.
M. Riza Sihbudi. 1991. Islam, Dunia Arab, Iran: Bara Timur Tengah. Bandung: Penerbit
Mizan.
Muthahhari, Murtadha. 1986. Masyarakat dan Sejarah: Kritik Islam atas Marxisme dan
Teori Lainnya (Penerj. M Hasem). Bandung: Mizan.
O. Hashem. 2004. Wafat Rasulullah dan Suksesi Sepeninggal Beliau di Saqifah (Cet. Ke-4).
Jakarta: Yapi.

Shihab, Alwi. 1999. Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Cet. Ke-7).
Bandung: Penerbit Mizan.
Zulkifli. 2009. “The Struggle of The Shi’is in Indonesia,” Proefschrift, Leiden University.

http://ahmadsahidin.wordpress.com/2008/10/28/jalaluddin-rakhmat-sebuah-biografsingkat/ diakses pada 01/06/2012.
http://www.ahmadsumargono.net/konten.phpd
nama=Buku&op=detail_buku&id_buku=4&id=30 diakses pada 01/06/2012.
http://batikamin.wordpress.com/2012/01/02/mengenal-gerakan-syiah-di-indonesiaversi-intelijen/ diakses pada 01/06/2012.
http://duniabuku.wordpress.com/2009/05/18/haidar-bagir-singa-dari-jeruk-purut/
diakses pada 01/06/2012.
http://groups.yahoo.com/group/ICAS-JKT/message/1449 diakses pada 01/06/2012.
http://hauzah.wordpress.com/2007/08/31/wawancara-haidar-bagir-membantutemukan-momen-a-ha/ diakses pada 01/06/2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Haidar_Bagir diakses pada 01/06/2012.
http://www.mizan.com/index.phpdfuseaction=news_det&id=125 diakses pada tanggal
01/06/2012.
http://muslim.or.id/manhaj/terimakasih-kepada-bapak-haidar-bagir-ataspengakuannya.html diakses pada 01/06/2012.
http://www.smuth.net/news.php diakses pada 01/06/2012.
http://www.smuth.net/news.phpefragment-2 diakses pada 01/06/2012.
http://www.smuth.net/news.phpefragment-3 diakses pada 01/06/2012.

http://www.smuth.net/news.phpefragment-4 diakses pada 01/06/2012.
http://www.smuth.net/news.phpefragment-6 diakses pada 01/06/2012.

Dokumen yang terkait

EVALUASI KEBIJAKAN PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 6 TAHUN 2008 BAB IV DAN BAB VI (STUDI KASUS PEDAGANG KAKI LIMA JALAN UNTUNG SUROPATI)

1 9 15

EVALUASI KEBIJAKAN PEDAGANG KAKI LIMA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 6 TAHUN 2008 BAB IV DAN BAB VI (STUDI KASUS PEDAGANG KAKI LIMA JALAN UNTUNG SUROPATI)

2 5 15

HUBUNGAN ANTARA MOTIVASI INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DENGAN PENDAPATAN PEDAGANG KAKI LIMA DI JALAN UNTUNG SUROPATI DAN SYAMANHUDI KABUPATEN JEMBER

0 7 16

HUBUNGAN HUKUM ANTARA BANK PENERBIT DENGAN PEMEGANG KARTU KREDIT DALAM PERJANJIAN PENERBITAN KARTU KREDIT

0 4 18

Analisis pengaruh promosi, kualitas produk dan brand image motor matic Honda terhadap keputusan pembelian serta dampaknya pada loyalitas pelanggan; studi kasus pengguna sepeda motor matic Honda di Kecamatan Ciputat Timur Kota Tangerang Selatan

1 27 132

Analisis pengaruh penetapan harga, promosi pemasaran dan brand image terhadap keputusan pembelian dan loyalitas konsumen: studi kasus pada sebagian masyarakat Bintaro Jaya

0 5 230

Pengaruh Brand awareness, brand assosiation, perceived quality, dan brani image terhadap loyalitas konsumen sepeda motor honda : studi kasus pada mahasiswa uin syarif hidayatullah jakarta

0 9 112

Pengaruh harga (price), trust in brand, dan brand image terhadap brand loyality (studi kasus pada konsemen motor honda di kota Tangerang)

0 9 167

Pembangunan aplikasi image retrieval dengan menggunakan metode histogram euclidean distance berdasarkan warna

2 22 100

KEMAMPUAN MENGUBAH KALIMAT AKTIF MENJADI KALIMAT PASIF SISWA KELAS X MADRASAH ALIYAH MATHLAUL ANWAR GISTING TAHUN PELAJARAN 2012/2013

1 28 55