Teori Belajar Perilaku 2.1 Teori Belajar (1)

Teori Belajar Perilaku
2.1 Teori Belajar Perilaku (Behavioristik)

Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai perubahan tingkah laku yang
terjadi berdasarkan paradigma Stimulus – Respon (S-R), yaitu suatu proses yang
memberikan respon tertentu terhadap stimulus yang datang dari luar. Proses S-R
terdiri dari empat unsur.
Pertama, dorongan (drive) yaitu siswa merasakan adanya kebutuhan terhadap
sesuatu yang kemudian terdorong untuk berupaya memenuhi kebutuhan
tersebut.
Kedua, rangsangan (stimulus) yaitu sesuatu yang diberikan atau diperhadapkan
kepada siswa.
Ketiga, respon yaitu suatu reaksi yang muncul pada diri siswa sebagai akibat
adanya (diberikannya) stimulus.
Keempat, penguatan (reinforcement) yaitu tindakan yang perlu diberikan kepada
siswa agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respon lagi.
Behaviorisme menekankan pada hasil belajar (berupa perubahan tingkah
laku) dan tidak memperhatikan pada proses berpikir siswa (karena tidak dapat
dilihat), Oleh karena itu, Galloway (1967), menganggap proses belajar menurut
behaviorisme sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otomatik tanpa
membicarakan apa yang terjadi di dalam diri siswa selama belajar berlangsung.


2.2
Teori-Teori yang Terkandung di Dalam Teori Belajar Perilaku
(Behavioristik)

Tokoh-tokoh behaviorisme yang sangat terkemuka adalah Ivan Petrovitch
Pavlov, Edward Thorndike, dan B.F Skinner. Berikut ini adalah ide-ide mereka
secara garis besar.

2.2.1 Teori Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari Pavlov
Ivan Petrovitch Pavlov (1849-1936), memperkenalkan teorinya yang dikenal
dengan nama Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning). Teori ini
dikembangkan melalui eksperimen Pavlov dengan menggunakan air liur anjing
yang dapat dilihat melalui kulit luarnya. Sebuah kapsul dipasang di pipinya untuk
mengukur aliran air liurnya. Laboratorium diatur sedemikian rupa sehingga
bubuk daging dapat diisi pada panci di hadapan anjing tersebut dengan remote
control. Pengeluaran air liur direkam secara otomatis. Pada tahap awal (sebelum
pengkondisian), lampu dinyalakan. Anjing terlihat bergerak sedikit tetapi tidak
mengeluarkan air liur. Kemudian, kepada anjing tersebut diberikan serbuk
daging dan sambil makan terlihat air liur anjing tersebut keluar. Serbuk daging

disebut stimulus tidak terkondisi (ST) dan air liur disebut respon tidak terkondisi

(RT). Terjadinya respon ini bukan karena proses belajar tetapi karena insting
anjing.
Tahap berikutnya sebelum memberikan serbuk daging, lampu dinyalakan.
Dengan mengulangi kondisi ini berulang kali, terlihat bahwa pada saat lampu
dinyalakan dan dilanjutkan dengan pemberian serbuk daging, air liur anjing
tetap keluar. Selanjutnya, pada percobaan berikutnya lampu dinyalakan tetapi
serbuk daging tidak diberikan. Ternyata bahwa air liur anjing juga tetap keluar.
Cahaya yang semula merupakan stimulus netral, sekarang berubah menjadi
stimulus terkondisi (SD), dan respon yang ditimbulkan disebut respon terkondisi
(RD).
Melalui eksperimen ini Pavlov, dkk menunjukkan bagaimana belajar dapat
mempengaruhi perilaku. Suatu stimulus tidak terkondisi (ST) akan
mengakibatkan munculnya respon tidak terkondisi (RT).

Beberapa hukum yang berkaitan dengan teori pengkondisian klasikal
(classical conditioning theory) dari Pavlov (Atkinson, et.al. 1997) adalah sebagai
berikut.
1)


Pemerolehan

Pemberian stimulus yang tidak terkondisi (ST) bersama-sama dengan
stimulus terkondisi (SD) disebut percobaan (trial) dan periode selama organisme
belajar mengasosiasikan kedua stimuli disebut sebagai “pemerolehan
pengkondisian” (acquisition stage of conditioning). Interval waktu penyajian ST
dan SD dapat saja berbeda. Melalui penyajian ST dan SD ini akan mengakibatkan
terbentuknya respon terkondisi (RD). Dengan terbentuknya RD yang memang
diharapkan maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar. Pembentukan
RD ini pada umumya bersifat gradual. Makin banyak (sering) diberikan ST dan
SD akan mengakibatkan RD yang dibentuk makin mantap. Sampai pada suatu
saat tanpa diberikan ST, tetap akan terbentuk RD yang diharapkan.

2)

Pemunahan (Extinction)

Bila perilaku terkondisi tidak diteruskan (dikuatkan) atau bila stimulus tidak
terkondisi (ST) berulang-ulang tidak diberikan, maka respon terkondisi (RD)

kadarnya makin menurun dan akhirnya dapat menghilang sama sekali.
Pengulangan stimulus terkondisi (SD) tanpa penguatan (ST) ini disebut
pemunahan (extinction), yakni proses hilangnya respon yang diharapkan. Jika
diberikan ST kembali maka RD yang telah hilang dapat muncul kembali
(spontaneous recovery) dalam waktu yang relatif singkat.

3)

Generalisasi

Bila respon terkondisi (RD) diperoleh sebagai tanggapan atas suatu stimulus
tertentu, maka stimulus lain yang sejenis (serupa), akan menyebabkan
terjadinya RD tersebut. Makin serupa stimulus baru tersebut dengan stimulus
aslinya, makin tinggi pula kemungkinan terjadinya RD tersebut. Prinsip ini

disebut sebagai generalisasi (generalization). Prinsip ini menerangkan akan
adanya kemampuan untuk bereaksi pada situasi baru sepanjang stimulus serupa
dengan stimulus yang dikenal.

4)


Diskriminasi

Diskriminasi merupakan reaksi terhadap stimulus yang berbeda. Menurut
Morgan, et.al (1986), diskriminasi stimuli merupakan suatu proses belajar untuk
memberikan respon terhadap suatu stimuli tertentu atau tidak memberikan
respon sama sekali terhadap stimulus lain. Hal ini dapat diperoleh dengan cara
memberikan ST lain.
Generalisasi dan diskriminasi muncul dalam perilaku sehari-hari. Anak kecil
yang telah merasa takut pada anjing (generalisasi). Lambat laun melalui proses
penguatan dan peniadaan diferensial, rentang stimulus rasa takut semakin
menyempit, hanya pada anjing yang berperilaku galak (diskriminasi).

2.2.2 Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike
Edward Lee Thorndike (1874-1949) merupakan guru besar pertama di dunia
dalam bidang psikologi pendidikan. Dalam sejumlah eksperimen, Thorndike
menempatkan kucing-kucing dalam kotak teka-teki atau kotak masalah (problem
box). Kucing yang beberapa hari lamanya tidak diberi makanan ditempatkan
dalam problem box. Kotak tersebut diberikan pintu yang memungkinkan kucing
tersebut dapat melihat sesuatu di luar kotak dan dapat keluar melalui pintu yang

telah disediakan tersebut. Makanan diletakkan di luar kotak agar setiap kucing
berusaha dari kotaknya untuk memperoleh makanan. Segera setelah kucing
melihat makanan tersebut, ia mulai mencoba-coba berlari kesana kemari,
memanjat kurungan, mencakar, menggigit kotak, menjulur kaki dan kepala
melalui ruji-ruji kotak, dan sebagainya. Thorndike mengamati bahwa setelah
selang waktu tertentu, kucing-kucing tersebut dapat mempelajari cara
mengeluarkan diri lebih cepat dari kotaknya. Mereka mengulangi perilaku yang
efektif dan tidak mengulangi perilaku yang tidak efektif.
Thorndike juga melakukan eksperimen dengan menggunakan kera.
Thorndike meletakkan kotak berisi pisang di dalam kurungan. Untuk dapat
mengambil pisang tersebut, kera harus terlebih dulu mencabut paku penjepit
kawat. Pada percobaannya yang pertama, kera membutuhkan waktu 36 menit
untuk mencabut paku penjepit kawat. Tetapi pada percobaan kedua, ternyata
hanya dibutuhkan waktu 2 menit 30 detik.
Thorndike menerangkan perilaku kucing dan kera tersebut secara
mekanistis. Jika suatu reaksi berhasil maka hubungan di antara reaksi tersebut
dengan kondisi yang memberikan rangsangan akan diperkuat. Asosiasi-asosiasi
yang berhubungan dengan reaksi-reaksi yang gagal makin lama makin lemah,
yakni reaksi-reaksi yang gagal tersebut tidak muncul lagi.
Thorndike mengemukakan teorinya yang disebut sebagai Connectionism.

Menurut teori ini, belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung

menurut prinsip yang sama. Dasar terjadinya belajar adalah pembentukan
asosiasi antara stimulus dan respon. Terjadinya asosiasi tersebut menurut
Thorndike berdasarkan hukum-hukum sebagai berikut:
1)

Hukum Kesiapan (Law of readiness)

Hukum ini menjelaskan kesiapan individu untuk melakukan sesuatu. Ciri-ciri
berlakunya hukum kesiapan adalah sebagai berikut:
Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Orang tersebut
bertindak, maka akan menimbulkan kepuasan dan tindakan lain yang tidak
dilakukan.
Misalkan seseorang memiliki kecenderungan bertindak. Orang tersebut tidak
bertindak, maka akan muncul rasa tidak puas dan ia akan melakukan tindakantindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
Misalkan seseorang tidak mempunyai kecenderungan bertindak. Tetapi orang
tersebut bertindak, maka akan muncul rasa tidak puas dan ia akan melakukan
tindakan-tindakan lain untuk menghapus rasa tidak puasnya.
Menurut hukum ini keberhasilan individu dalam melaksanakan sesuatu sangat

tergantung pada kesiapannya. Belajar akan berhasil jika siswa telah siap untuk
belajar.

2)

Hukum Latihan (Law of exercises)

Hukum ini menunjukkan bahwa prinsip utama belajar adalah pengulangan.
Bila S (stimulus) diberikan akan terjadi R (respon). Lebih sering asosiasi S dan R
digunakan akan membuat hubungan yang terjadi semakin kuat. Sebaliknya
makin jarang asosiasi S dan R digunakan, akan membuat hubungan tersebut
semakin lemah. Thorndike juga mengemukakan bahwa latihan yang berupa
pengulangan tanpa ganjaran tidak efektif. Asosiasi antara S dan R hanya akan
menjadi kuat jika diberikan ganjaran.

3)

Hukum Pengaruh (Law of efect)

Menurut hukum ini, dalam suatu lingkungan, jika suatu tindakan (perilaku)

menghasilkan perubahan yang memuaskan, maka terdapat kemungkinan
tindakan tersebut akan diulangi lagi dalam situasi serupa dan akan semakin
meningkat intensitasnya. Tetapi jika tindakan (perilaku) tersebut menghasilkan
perubahan yang tidak memuaskan, maka tindakan tersebut kemungkinan tidak
akan diulangi lagi.
Ganjaran dan hukuman berkaitan dengan hukum pengaruh ini. Ganjaran
merupakan sesuatu yang diperoleh siswa atas keberhasilan atau usaha yang
dilakukannya. Misalnya, nilai balik (tinggi) yang diperoleh pada hasil tesnya.
Sedangkan, hukuman berkaitan dengan sesuatu yang diperoleh siswa sebagai
akibat dari kegagalan atau pelanggaran yang dilakukan. Misalnya, nilai jelek
atau teguran kepada siswa atas hasil tesnya. Menurut Thorndike, hukuman tidak
selalu melemahkan hubungan S-R dan juga tidak mempunyai akibat yang
berlawanan dengan ganjaran.

2.2.3 Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory) dari B.F.
Skinner
Burhus Frederic Skinner (1904-1990) memulai karyanya dengan menerima
asumsi-asumsi metode almiah sebagai pedoman berpikir mengenai perilaku
manusia. Hal ini mengkristalisasikan ”behaviorisme radikal” menjadi gerakan
sadar diri. McLeish (1986) mendeskripsikan prinsip-prinsip fundamental

pandangan ini sebagai berikut:
Perilaku harus dipandang berketeraturan dan ditentukan oleh hukum kausalitas.
Objek pengkajian ilmiah ialah memahami sebab dan akibat sehingga perilaku
dapat diramalkan dan diubah jika perubahan itu diperlukan.
Perilaku tidak mempunyai hakikat khusus atau tersendiri yang menuntut
penggunaan metode unik atau pengetahuan khusus berbeda dari prosedurprosedur ilmiah yang telah diterima untuk memahaminya. Kita harus
menganggap bahwa hubungan-hubungan kausal yang telah ditemukan dalam
ilmu-ilmu lain dapat diterapkan untuk mengkaji manusia, kecuali terdapat bukti
yang bertentangan.
Variabel-variabel yang dipilih untuk pengkajian haruslah dapat diamati. Variabelvariabel itu haruslah berkedudukan seperti metode dan teknik-teknik yang
dipakai dalam sains (eksperimen dan observasi). Variabel-variabel tersebut
tersedia untuk analisis ilmiah dan terdapat di luar organisme. Variabel-variabel
berada di lingkungan terdekat atau dalam lingkungan historis organisme.
Keadaan internal harus dipandang di bawah kontrol kekuatan-kekuatan yang
mengontrol perilaku yang tampak. Keadaan internal tidak menerangkan perilaku
dan harus dinyatakan tidak relevan sampai keadaan internal tersebut berada di
bawah kontrol metode ilmiah.
Skinner mengakui eksistensi Classical Conditioning dan ketergantungannya
pada prinsip penguatan, tetapi ia kurang meminatinya. Skinner lebih tertarik
pada tipe belajar lain yang juga tergantung pada prinsip penguatan. Tipe belajar

ini mula-mula diteliti secara sistematis oleh Thorndike yang kemudian
diperkenalkan oleh Skinner sebagai ”Pengkondisian Instrumental (Instrumental
Conditioning)” atau ”Pengkondisian Operan (Operant Conditioning)”.
Skinner memperkenalkan konsep ”Pengkondisian Operan (Operant
Conditioning)” untuk menyebut prosedur tingkah laku yang dikembangkannya.
Menurut Skinner, tingkah laku organisme itu dapat dikontrol melalui pemberian
penguatan (reinforcement) yang tepat dalam lingkungan yang relatif baru.
Skinner melakukan eksperimen dengan menggunakan seekor tikus lapar
yang diletakkan dalam kotak yang disebut ”kotak Skinner (Skinner Box)”. Di
dalam kotak tersebut, hanya terdapat sebuah jeruji yang menonjol di mana di
bawahnya terdapat piring makanan dan di atasnya terdapat lampu kecil.
Tikus yang dibiarkan sendiri di dalam kotak berjalan ke sana ke mari.
Kadang-kadang tikus melihat jeruji tersebut dan menekannya. Setiap kali tikus
menekan jeruji, butir-butir makanan meluncur jatuh ke piring makanan. Tikus
memakannya dan segera menekan jeruji kembali. Makanan ”menguatkan

(reinforce)” terhadap penekanan jeruji dan kecepatan penekanan jeruji
meningkat drastis. Bila tempat makanan tidak dihubungkan dengan jeruji
sehingga penekanan jeruji tidak lagi mengeluarkan makanan, maka kecepatan
penekanan jeruji akan berkurang.Pada percobaan dengan tikus di atas, jika
setiap kali tikus menekan jeruji akan diikuti dengan jatuhnya makanan, maka
tikus akan semakin cepat menekan jeruji. Kondisi ini disebut sebagai ”penguatan
berkesinambungan (continuous reinforcement)”. Akan tetapi, bila makanan tidak
lagi jatuh (pemberian makanan dihentikan) ketika jeruji ditekan, maka kecepatan
penekanan jeruji akan semakin berkurang, bahkan mungkin tidak lagi terjadi.
Respon yang sebelumnya diperkuat kini telah dihapuskan.
Apabila tempat makanan dihubungkan dengan jeruji hanya pada interval
waktu tertentu misalnya setiap lima menit, sehingga makanan baru jatuh ketika
jeruji ditekan setelah interval waktu lima menit. Maka penguatan yang dilakukan
disebut sebagai ”penguatan interval (interval reinforcement)”. Jika interval
waktu tersebut bersifat tetap, maka kita menghadapi suatu ”jadwal penguatan
interval tetap (fxed interval reinforcement schedule)”.
Skinner mengemukakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus, maka
seseorang akan memberikan respon berdasarkan hubungan S-R. Respon yang
diberikan ini dapat sesuai (benar) atau tidak sesuai (salah) dengan apa yang
diharapkan. Respon yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement) agar
orang tersebut ingin melakukannya kembali.Skinner membagi penguatan atas
penguatan positif (positive reinforcement) dan penguatan negatif (negative
reinforcement). Penguatan positif sebagai stimulus, bila pemberiannya
mengiringi suatu tingkah laku seseorang yang cenderung meningkatkan
pengulangan tingkah laku tersebut. Ini berarti bahwa tingkah laku tadi telah
diperkuat. Ganjaran seperti pujian misalnya, merupakan penguatan positif.
Sedangkan, penguatan yang negatif adalah stimulus yang dihapuskan yang
cenderung menguatkan tingkah laku. Misalkan, perhatian serius siswa dapat
ditingkatkan dengan menghilangkan stimulus yang mengganggu seperti suara
gaduh atau sikap guru yang sering marah-marah. Istilah ”penguatan negatif”
sering salah diartikan sebagai ”hukuman”. Dua istilah ini jelas berbeda,
penguatan negatif cenderung memperkuat perilaku dengan cara mencabut atau
menghilangkan konsekuensi yang tidak menyenangkan, sedangkan hukuman
cenderung memperlemah perilaku dengan cara memberikan konsekuensi yang
tidak diinginkan. Slavin (1997) memberikan contoh hal ini melalui tabel berikut.
Memperkuat Perilaku

Memperlemah Perilaku

Penguatan positif
Contoh: memberi hadiah atau pujian
Penguatan negatif
Contoh: membebaskan dari situasi yang tidak diinginkan, Tidak ada penguatan
Contoh: mengabaikan siswa
Hukuman larangan
Contoh: melarang melakukan tugas atau situasi yang diinginkan
Hukuman paksaan

Contoh: memaksa melakukan tugas atau situasi yang tidak diinginkan.

Dalam classical conditioning respon yang diharapkan dapat dimunculkan
dengan memberikan stimulus tertentu (ST dan SD). Fleksibilitas situasi hampir
seluruhnya terbatas pada pemindahan hubungan asosiatif dari ST ke SD. Proses
belajar semacam ini disebut Skinner sebagai ”respondent conditioning” untuk
membedakannya dengan proses belajar yang lebih feksibel yaitu ”operant
conditioning”. Skinner membedakan adanya 2 (dua) macam respon, yakni:
Respondent respone yaitu respon yang terjadi karena proses ”respondent
conditioning” seperti dalam prosedur classical conditioning dari Pavlov. Respon
ini juga disebut sebagai ”refexive respone”. Menurut Hal & Lindzey (1993),
Skinner menggunakan istilah respondent untuk menekankan peranan penyebab
yang kuat yang dimainkan oleh stimulus yang mendahului.
Operant respone yaitu respon yang terjadi karena proses ”operant conditioning”.
Dapat juga dikatakan bahwa operant respone adalah respon yang timbul karena
adanya hadiah (reward) atau penguatan (reinforcement).
Respondent respone pada kenyataannya sangat terbatas adanya dan
kemungkinan modifkasinya sangat kecil. Sebagian besar tingkah laku manusia
masuk dalam kategori operant respone. Karenanya teori Skinner lebih
menitikberatkan perhatiannya pada tingkah laku operant respone.

2.3
Implementasi dari Teori-Teori yang Terkandung di Dalam Teori Belajar
Perilaku (Behavioristik)
2.3.1

Teori Pengkondisian Klasikal (Classical Conditioning Theory) dari Pavlov

Dalam lingkup pemerolehan bahasa pertama, classical conditioning ini dapat
menjelaskan bagaimana kita belajar makna kata. Seperti diketahui dalam
lingkungan banyak rangsangan yang dapat menimbulkan emosi positif atau
negatif. Jika rangsangan-rangsangan bahasa, misalnya kata, frasa, atau kalimat,
sering terjadi bersamaan dengan rangsangan-rangsangan lingkungan, maka
pada akhirnya rangsangan bahasa tersebut dapat menimbulkan respon
emosional walaupun tidak ada rangsangan lingkungan.
Contohnya, Yudi yang berumur sekitar 15 bulan akan menarik taplak meja
makan. Ibunya segera mengatakan, “Tidak! Tidak!” sambil menepis tangannya
dengan harapan Yudi akan menghubungkan sakit di tangannya dengan kata
“Tidak! Tidak!” akan menimbulkan respon makna yang tidak menyenangkan
bagi Yudi. Jika hal ini terjadi berulang kali dan respon emosional sudah
ditransferkan dari hukuman fsik ke ujaran “Tidak! Tidak!”, maka pembiasaan
telah berhasil. Jadi, kata “Tidak” menghasilkan respon emosional, sama halnya
dengan bunyi bel menimbulkan respon air liur. Dengan demikian, ibu tersebut
telah berhasil mengajarkan makna “Tidak”. Dengan kata lain, Yudi memahami
makna “Tidak” yang berarti suatu larangan.

2.3.2

Teori Koneksionisme (Connectionism Theory) dari Thorndike

Menurut Thorndike, perubahan tingkah laku dapat berwujud sesuatu yang
konkret (dapat diamati), atau yang nonkonkret (tidak bisa diamati). Di dalam
belajar praktik misalnya, perubahan tingkah laku seseorang dapat dilihat secara
konkret atau dapat diamati. Pengamatan ini dapat diwujudkan dalam bentuk
gerakan yang dilakukan terhadap suatu objek yang dikerjaakannya. Seorang
guru memberikan perintah kepada siswa untuk melakukan kegiatan praktik
merupakan ”stimulus” dan siswa dengan menggunakan pemikirannya,
melakukan kegiatan praktik merupakan ”respon” yang hasilnya langsung dapat
diamati. Dengan demikian, kegiatan belajar yang tampak dalam teori belajar
tingkah laku dalam pandangan Thorndike mengarah pada hasil langsung belajar,
atau tingkah laku yang ditampilkan.
Sebagai contoh lain, siswa yang tidak mau mendengarkan pelajaran,
stimulus yang diberikan oleh guru berupa latihan dengan titik fokus pada anak
tersebut secara berulang-ulang dengan memberikan tugas secara klasikal dan
anak tersebut mengerjakan di depan kelas dalam keadaan siap. Hasil
memuaskan dapat diperoleh dengan reward pujian dari guru dapat
menghasilkan respon yang baik dari anak tersebut, sedangkan untuk siswa yang
hanya ingin bermain di kelas, guru dapat membuat pembelajaran matematika
sebagai arena bermain dengan melibatkan operasi hitung penjumlahan
menggunakan benda konkrit sebagai bahan penjumlahan dan pengurangan,
guru dapat mencoba berbagai cara untuk melakukan penghitungan secara
klasikal sampai akhirnya anak tersebut mampu melakukan operasi hitung secara
teori.

2.3.3 Teori Pengkondisian Operan (Operant Conditioning Theory) dari B.F.
Skinner
Skinner berpandangan bahwa belajar adalah suatu perilaku. Pada saat orang
belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar
maka responnya menurun.
Guru dapat menyusun program pembelajaran berdasarkan pandangan Skinner.
Dalam menerapkan teori Skinner, guru perlu memperhatikan dua hal yang
penting, yaitu pemilihan stimulus yang diskriminatif dan penggunaan penguatan.
Langkah-langkah pembelajaran berdasarkan teori pengkondisian operan sebagai
berikut:
Kesatu, mempelajari keadaan kelas. Guru mencari dan menemukan perilaku
siswa yang positif atau negatif. Perilaku positif akan diperkuat dan perilaku
negatif diperlemah atau dikurangi.
Kedua, membuat daftar penguat positif. Guru mencari perilaku yang lebih
disukai oleh siswa, perilaku yang kena hukuman, dan kegiatan luar sekolah yang
dapat jadi penguat.
Ketiga, memilih dan menentukan urutan tingkah laku yang dipelajari serta jenis
penguatnya.

Keempat, membuat program pembelajaran. Program pembelajaran ini berisi
urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan
penguat yang berhasil dan tidak berhasil. Ketidakberhasilan tersebut menjadi
catatan penting bagi modifkasi perilaku selanjutny.

DAFTAR PUSTAKA
Dahar, Ratna Wilis.1989. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Dimyati & Mudjiono.2006. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Ratumanan, Tanwey Gerson.2002. Belajar dan Pembelajaran. Ambon: Unesa
University Press.
Slameto.2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Uno, Hamzah B.2008. Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis di Bidang
Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Pendampingan Pada Siswa Berkesulitan Belajar Di SDI ISKANDAR SAID Surabaya

0 16 2

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Hubungan Kenakalan Remaja dengan Prestasi Belajar Siswa Di MTS YPKP Jakrta Timur

8 97 91

Perilaku Kesehatan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakrta Angkatan 2012 pada tahun2015

8 93 81

Perilaku komunikasi para pengguna media sosial path di kalangan mahasiswa UNIKOM Kota Bandung : (studi deksriptif mengenai perilaku komunikasi para pengguna media sosial path di kalangan mahasiswa UNIKOM Kota Bandung)

9 116 145

Perilaku Komunikasi Waria Di Yayasan Srikandi Pasundan (Studi Deskriptif Mengenai Perilaku Komunikasi Waria di Yayasan Srikandi Pasundan di Kota Bandung)

3 50 1

Pengaruh Kemampuan Manajerial Dan Perilaku Kewirausahaan Terhadap Keberhasilan Usaha Di Unit Agro Bisnis Pada Yayasan Al-Anshor Bandung (survey pada petani unit Agro Bisnis Yayasan Al-Anshor Bandung)

5 61 1

Mari Belajar Seni Rupa Kelas 7 Tri Edy Margono dan Abdul Aziz 2010

17 329 204

Peranan Komunikasi Antar Pribadi Antara Pengajar Muda dan Peserta Didik Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar ( Studi pada Program Lampung Mengajar di SDN 01 Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran )

3 53 80