Makalah Teori Belajar Behavioristik Sabt (1)

Makalah: Teori Belajar Behavioristik
Sabtu, November 09, 2013 Makalah 2 comments
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses usaha sadar yang dilakukan oleh individu untuk suatu
perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak memiliki sikap menjadi bersikap benar, dari
tidak terampil menjadi terampil melakukan sesuatu. Belajar tidak hanya sekedar memetakan
pengetahuan atau informasi yang disampaikan. Namun bagaimana melibatkan individu secara
aktif membuat atau pun merevisi hasil belajar yang diterimanya menjadi suatu pengalamaan
yang bermanfaat bagi pribadinya. Pembelajaran merupakan suatu sistim yang membantu
individu belajar dan berinteraksi dengan sumber belajar dan lingkungan.
Teori adalah seperangkat azaz yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia
nyata. Teori merupakan seperangkat preposisi yang didalamnya memuat tentang ide, konsep,
prosedur dan prinsip yang terdiri dari satu atau lebih variable yang saling berhubungan satu sama
lainnya dan dapat dipelajari, dianalisis dan diuji serta dibuktikan kebenarannya. Dari dua
pendapat diatas Teori adalah seperangkat azaz tentang kejadian-kejadian yang didalamnnya
memuat ide, konsep, prosedur dan prinsip yang dapat dipelajari, dianalisis dan diuji
kebenarannya. Teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara
pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode
pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan landasan diatas dapat kami rumuskan permasalahan yang akan kita bahas sebagai
berikut:
1.
2.
3.
4.

Apa yang dimaksud dengan teori belajar Behavioristik?
Bagaimana definisi belajar menurut pandangan teori Behavioristik?
Apa saja kekurangan dan kelebihan dari teori Behavioristik?
Bagaimana Aplikasi teori Behavioristik dalam pembelajaran?

Itulah ke-empat permasalahan yang akan kita bahas satu persatu dalam bab berikutnya.
C. Tujuan

1.
2.
3.
4.


Mengerti dan memahami mengenai teori pembelajara Behavioristik
Mampu mengkaji hakikat belajar menurut teori Behavioristik
Mengetahui apasaja yang menjadi kelemahan serta kelebihan teori Behavioristik
Memahami dan menjelaskan bagaimana penerapan teori Behavioristik dalam sistem
pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori Belajar Behavioristik
Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan tingkah laku
serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Tokoh pelopor dari teori behavioristik
adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie dan Skinner.

Koneksionisme (connectionism), merupaakan rumpun yang paling awal dari teori beavioristik.
Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan stimulus-respons. Siapa
yang menguasai stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang yang pandai dan berhasil
dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui ulangan-ulangan.
Tokoh yang terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike (1874-1949), dengan
eksperimentnya belajar pada binatang yang juga berlaku bagi manusia yang disebut Thorndike

dengan trial and error. Thorndike menghasilkan belajar Connectionism karena belajar
merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi atara stimulus dan respons Stimulus yaitu apa
saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain
yang dapat ditangkap melalui alat indra. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan
peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atua gerakan/tindakan.
Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar, yaitu:
1. Law of readines, belajar akan berhasil apabila peserta didik memiliki kesiapan
untuk melakukan kegiatan tersebut karena individu yang siap untuk merespon
serta merespon akan menghasilkan respon yang memuaskan
2. Law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan serta selalu
mengulang apa yang telah didapat.
3. Law of effect, belajar akan menjadi bersemangat apabila mengetahui dan
mendapatkan hasil yang baik.
Pengkondisian (conditioning), merupakan perkembangan lanjut dari koneksionisme. Teori ini
didasari percobaan Ivan Pavlov (1849-1936) menggunakan obyek yaitu anjing. Secara singkat
adalah sebagai berikut: Seekor anjing yang telah dibedah sedemikian rupa, sehingga saluran
kelenjar ludahnya tersembul melalui pipinya, dimasukan kedalam kamar gelap. Dikamar itu
hanya ada sebuah lubang yang terletak di depan moncongnya, tempat menyodorkan makanan
atau menyorotkan cahaya pada waktu diadakan percobaan. Pada moncongnya yang telah dibedah
itu disambungkan sebuah pipa yang dihubungkan dengan sebuah tabung diluar kamar. Dengan

demikian dapat diketahui keluar tidaknya air liur dari moncong anjing itu pada waktu diadakan
percobaan, alat-alat yang digunakan dalam percobaan itu antara lain makanan, lampu senter, dan
sebuah bunyi-bunyian.
Dari hasil percobaan yang dilakukan dengan anjing itu Pavlov mendapat kesimpulan bahwa
gerakan-gerakan reflek itu dapat dipelajari, dapat berubah karena mendapat latihan latihan,
sehingga dari hasil ini ia membedakan 2 macam refleks, yaitu refleks bawaan dan refleks hasil
belajar. Sebenarnya hasil-hasil percobaan Pavlov dalam hubungannya dengan belajar yang kita
perlukan sekarang ini adalah tidak begitu penting. Mungkin beberapa hal yang ada sangkut

pautnya dengan belajar yang perlu diperhatikan antara lain ialah bahwa dalam belajar perlu
adanya latihan-latihan dan kebiasaan-kebiasaan yang telah melekat pada diri dapat
mempengaruhi dan bahkan mengganggu proses belajar yang bersifat skill.
Penguatan (reinforcement), merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori pengkondisian.
Jika pada teori pengkondisian (conditioning) yang diberi kondisi adalah perangsangnya
(stimulus), maka pada teori penguatan (reinforcement) yang dikondisikan atau diperkuat adalah
responsnya. Contohnya, soerang anak yang belajar dengan giat dan dia dapat menjawab semua
pertanyaan dalam ulangan atau ujian, maka guru memberikan penghargaan pada anak itu misal
dengan nilai yang tinggi, pujian, atau hadiah. Berkat pemberian penghargaan ini, maka anak itu
akan belajar lebih rajin dan lebih bersemangat lagi untuk mengulang agar mendapat penghargaan
lagi.

Operant conditioning, Tokoh utamanya adalah Skinner. Skinner memandang bahwa teori
Pavlov tentang reflek berhasrat hanya tempat untuk menyatakan tingkah laku respon . tingkah
laku respon yang terjadi dari suatu rangsangan.
Seperti Pavlov, Thorndike, dan Watson, Skinner juga menyakini adanya pola hubungan
stimulus-respons. Tetapi berbeda dengan para pendahulunya, teori skinner lebih menekankan
pada perubahan prilaku yang dapat diamati dengan mengabaikan kemungkinan yang terjadi
dalam proses berfikir pada otak seseorang.
Menurut Skinner, hubungan stimulus dan respons yang terjadi melalui interksi dalam
lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana
yang digambarkan oleh tokoh-tokoh sebelumnya. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang
diberikan kepada sesorang akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus tersebut akan
mempengaruhi bentuk respon yang diberikan.
Beberapa konsep yang berhubungan dengan operant conditioning:
1. Penguatan positiv (positeve reinforcement), ialah penguatan yang menimbulkan
kemungkinan untuk bertambah tingkah laku. Contoh seorang siswa yang mencapai
prestasi tinggi diberikan hadiah maka dia akan mengulangi prestasi itu dengan harapan
dapat hadiah lagi. Penguatan bisa berupa benda, penguatan sosial (pujian, sanjungan)
atau token (seperti nilai ujian).
2. Penguatan negatif (negatif reinforcement), ialah penguatan yang menimbulkan perasaan
menyakitkan atau yang menimbulkan keadaan tidak menyenangkan atau tidak

mengenakan perasaan sehingga dapat mengurangi terjadinya sesuatu tingkah laku.
Contoh seorang siswa akan meninggalkan kebiasaan terlambat mengumpulkan tugas/PR
karena tidak tahan selalu dicemooh oleh gurunya.
3. Hukuman (Punishment), respons yang diberi konsekuensi yang tidak menyenangkan
atau menyakitkan akan membuat seseorang tertekan. Contoh seorang siswa yang tidak
mengerjakan PR tidak dibolehkan bermain bersama teman-temannya saat jam istirahat
sebagai bentuk hukuman.

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua
teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori
belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran
berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep
hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement),
merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak
kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan
atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga
menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang
mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan

digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan
penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan
berimajinasi.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak
sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai
stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat
negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat.
Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut
masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak
mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah)
dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang
disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive
reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat
positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
B. Belajar Menurut Teori Behavioristik
Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar merupakan
bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan
cara yang baru sebagai hasil dari interaksi stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar
apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Contoh, seorang anak mampu

berhitung penjumlahan dan pengurangan, meskipun dia belajar dengan giat tetapi dia masih
belum bisa mempraktekkan penjumlahannya, maka ia belum bisa dikatakan belajar karena ia
belum menunjukkan perubahan tingkah laku sebagai hasil dari belajar.
Dalam teori Behavioristik, yang terpenting itu adalah masukan atau input yang berupa stimulus
serta output yang berupa respon. Apa yang terjadi diantara stimulus dan respon dianggap
tidaklah penting karena tidak dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran
sebab dengan pengukuran kita akan melihat terjadi tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.
Faktor lain yang dianggap penting bagi teori ini adalah penguatan (reinforcement). Penguatan
adalah apa saja yang dapat memperkuat respon. Jika penguatan ditambahkan (positive

reinforcement) maka respon akan semakin kuat, begitu juga penguatan dikurangi (negative
reinforcement) respon akan tetap dikuatkan. Misal jika peserta didik diberi tugas oleh guru,
ketika tugasnya ditambahkan, maka ia akan lebih giat belajarnya (positive reinforcement).
Apabila tugas-tugas dikurangi justru akan meningkatkan aktifitas belajarnya (negative
reinforcement). Jadi penguatan merupakan suatu bentuk stimulus yang penting diberikan
(ditambah) atau dihilangkan (dikurang) untuk memungkinkan mendapat respon.
Pada dasarnya para penganut aliran behavioristik setuju dengan pengertian belajar diatas, namun
ada beberapa perbedaan pendapat diantara mereka.
C. Kelebihan serta Kekurangan Teori Behavioristik


1. Kelebihan Teori Behavioristik

 Membisakan guru untuk bersikap jeli dan peka terhadap situasi dan kondisi
belajar.
 Guru tidak membiasakan memberikan ceramah sehingga murid dibiasakan belajar
mandiri. Jika murid menemukan kesulitan baru ditanyakan pada guru yang
bersangkutan.
 Mampu membentuk suatu prilaku yang diinginkan mendapatkan pengakuan
positif dan prilaku yang kurang sesuai mendapat penghargaan negative yang
didasari pada prilaku yang tampak.
 Dengan melalui pengulangan dan pelatihan yang berkesinambungan, dapat
mengoptimalkan bakat dan kecerdasan siswa yang sudah terbentuk sebelumnya.
Jika anak sudha mahir dalam satu bidang tertentu, akan lebih dapat dikuatkan lagi
dengan pembiasaan dan pengulangan yang berkesinambungan tersebut dan lebih
optimal.
 Bahan pelajaran yang telah disusun hierarkis dari yang sederhana sampai pada
yang kompleks dengan tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian-bagian kecil
yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu mampu
menghasilakan suatu prilaku yang konsisten terhadap bidang tertentu.
 Dapat mengganti stimulus yang satu dengan stimuls yang lainnya dan seterusnya

sampai respons yang diinginkan muncul.
 Teori ini cocok untuk memperoleh kemampuan yang membutuhkan praktek dan
pembiasaan yang mengandung unsure-unsur kecepatan, spontanitas, dan daya
tahan.
 Teori behavioristik juga cocok diterapakan untuk anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka
meniru, dan suka dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung.
2. Kekurangan Teori Behavioristik

 Sebuah konsekwensi untuk menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah
siap.
 Tidak setiap pelajaran dapat menggunakan metose ini.
 Murid berperan sebagai pendengar dalam proses pembelajaran dan menghafalkan
apa di dengar dan di pandang sebagai cara belajar yang efektif.
 Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru
dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.
 Murid dipandang pasif, perlu motifasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh
penguatan yang diberikan oleh guru.
 Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelsan dari guru dan mendengarkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif sehingga

inisiatf siswa terhadap suatu permasalahan yang muncul secara temporer tidak
bisa diselesaikan oleh siswa.
 Cenderung mengarahakan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif,
tidak produktif, dan menundukkan siswa sebagai individu yang pasif.
 Pembelajaran siswa yang berpusat pada guru(teacher cenceredlearning) bersifat
mekanistik dan hanya berorientasi pada hasil yang dapat diamati dan diukur.
 Penerapan metode yang salah dalam pembelajaran mengakibatkan terjadinya
proses pembelajaran yang tidak menyenangkan bagi siswa, yaitu guru sebagai
center, otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih, dan menentukan
apa yang harus dipelajari murid.
D. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan
praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini
menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik
dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan
semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti:
tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas
pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik
memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar
adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar.
Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses
berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar
diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya,
apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik

mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu
dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses
evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga halhal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan
kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot.
Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri
mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan
ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam
belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan
atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang
perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku
yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu
keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan
aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan,
sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan
kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi
atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta
mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara
ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan
penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut.
Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan
paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila
pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa
pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya.
Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya
dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada
kemampuan pebelajar secara individual.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan maslah yang kita bahas, dapat diambil kesimpulan:

1. Teori behavioristik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada perubahan
tingkah laku serta sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon.
2. Teori behaviristik terdiri dari dari 4 landasan: koneksionisme, pengkondisian, penguatan,
dan Operant conditioning.
3. Menurut teori belajar behavioristik, belajar merupakan suatu proses perubahan tingkah
laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah
belajar apabila ia bisa menunjukkan perubahan tingkah lakunya.
4. Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan
fasilitas pembelajaran yang tersedia.
B. Saran
Kita sebagai calon guru harusnya mampu mendidik para peserta didik kita dengan baik, dengan metode
serta teori yang tepat sehingga proses belajar mengajar berjalan dengan baik. Oleh karena itu pelajarilah
teori-teori pembelajaran yang ada agar kita mampu menemukan kecocokan dalam metode mengajar yang
tepat.

REFERENSI
Budinungsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
http://aguswedi.blogspot.com

http://rhazhie.blogspot.com
Sagala, Syaiful. 2011. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.
Yulaelawati, Ella. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran Filosofi, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Pakar Raya.

Psikologi Pendidikan, Pengertian Dan Penerapan
Posted on September 20, 2010 by Mautau Aja

Psikologi Pendidikan, Pengertian dan Penerapan – Seperti kita ketahui secara umum tujuan
pendidikan nasional sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang Undang Dasar 1945 adalah
sebagai upaya mencerdaskan generasi-generasi bangsa yang nantinya akan menjadi penerus
perjuangan generasi terdahulu dalam mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia menuju bangsa
yang berbudi luhur dan berkesejahteraan sosial.
Namun demikian untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945
diatas, bukanlah merupakan suatu hal yang mudah untuk diraih. Realitas globalisasi dan
modernisasi dilengkapi dengan perkembangan teknologi yang begitu pesatnya, diakui atau tidak
telah memberi dampak negatif yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dampak positif
yang ditimbulkan terhadap perkembangan para generasi bangsa ini, dan selanjutnya hal ini akan
dapat menghambat pencapaian tujuan pendidikan sebagaimana diamatkan oleh UUD 1945
diatas.
Dampak negatif dari globalisasi, modernisasi dan perkembangan teknologi yang begitu pesatnya
terhadap perkembangan generasi-generasi bangsa ini tentunya bukan merupakan rahasia lagi.
Hampir tiap hari kita disuguhi dengan informasi-informasi mengenai pelajar yang membolos
sekolah dan keluyuran dijalanan atau berada di tempat penyewaan Play Station (Memorandum,
11 Maret 2008), pelajar yang terlibat perkelahian (News.okezone.com), pelajar yang terlibat
perilaku seks bebas (http:www.bkkbn.go.id), pelajar yang terlibat penyalah gunaan NARKOBA
(http:www.bkkbn.go.id) dan masih banyak lagi.
Realitas perilaku para pelajar sebagaimana telah digambarkan diatas, jelas sangat menuntut
keterampilan para tenaga pendidik dalam memahami perkembangan kognitif, afektif, dan
psikomotorik para pelajar jika menginginkan para pelajar tersebut tidak gagal di bangku sekolah
dan tidak kehilangan masa depan mereka. Disinilah pentingnya penguasaan psikologi pendidikan
bagi para tenaga pendidik dan disinilah pentingnya peran seorang Psikolog dalam dunia
pendidikan.
Arthur S. Reber, 1988 seorang guru besar psikologi di Brooklyn College, University of New
York City, University of British Columbia Canada, dan University of Innsbruck Austria (dalam
Syah, 2001) mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai subdisiplin ilmu psikologi yang
berkaitan dengan teori dan masalah kependidikan yang berguna dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Penerapan prinsip-prinsip belajar dalam kelas.
2. Pengembangan dan pembaruan kurikulum.
3. Ujian dan evaluasi bakat dan kemampuan.
4. Sosialisasi proses-proses dan interaksi proses-proses tersebut dengan pendayagunaan ranah
kognitif.
5. Penyelenggaraan pendidikan keguruan.
Tadrif, 1987 (dalam Syah, 2001) mendefinisikan psikologi pendidikan sebagai bidang studi yang
berhubungan dengan penerapan pengetahuan tentang perilaku manusia untuk usaha-usaha
kependidikan. Adapun ruang lingkupnya, meliputi:
1. Context of teaching and learning (situasi atau tempat yang berhubungan dengan mengajar dan
belajar).
2. Process of teaching and learning (tahapan-tahapan dalam mengajar dan belajar); dan

3. Outcomes of teaching and learning (hasil-hasil yang dicapai oleh proses mengajar dan
belajar).
Senada dengan gagasan Tadrif diatas Santrock (2007) menegaskan psikologi pendidikan adalah
cabang ilmu psikologi yang mengkhususkan diri pada cara memahami pengajaran dan
pembelajaran dalam lingkungan pendidikan dan merupakan bidang yang sangat luas, mencakup
bagaimana mendesain lingkungan fisik kelas?, bagaimana menciptakan lingkungan yang positif
untuk pembelajaran?, bagaimana menghadapi perilaku bermasalah?, bagaimana memahami gaya
belajar dan gaya berfikir siswa?, bagaimana mendeteksi kemampuan belajar siswa?, bagaimana
memotivasi siswa?, bagaimana cara penggunaan pendekatan behavioral, kognitif dan sosial
dalam pembelajaran? dan masih banyak lagi.
Berangkat dari beberapa definisi dan ruang lingkup psikologi diatas, kiranya telah cukup jelas
bahwa pengetahuan tentang psikologi pendidikan sangatlah diperlukan dalam upaya mencapai
tujuan pendidikan nasional. Menurut Lindgren sebagaimana dikutip Surya (1982), manfaat
psikologi pendidikan ialah untuk membantu para tenaga pendidik dalam mengembangkan
pemahaman mengenai kependidikan dan prosesnya. Sementara itu Chaplin (1972) menitik
beratkan psikologi pendidikan untuk memecahkan masalah-masalah yang terdapat dalam dunia
pendidikan dengan cara menggunakan metode-metode yang telah disusun secara rapi dan
sistematis.
Jika ditilik dari sejarah perkembangan disiplin ilmu psikologi pendidikan, memang tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa ilmu psikologi pendidikan sangatlah dibutuhkan dalam dunia pendidikan.
Sejarah telah mencatat peran William James (1842 – 1910) dalam dunia pendidikan yang telah
memberikan sumbangan pemikiran akan pentingnya mempelajari proses belajar dan mengajar
dikelas guna meningkatkan mutu pendidikan melalui kuliahnya yang bertajuk “Talks to
Teachers”, John Dewey (1859-1952) telah memberikan sumbangan tentang konsep anak sebagai
pembelajar aktif (active learner), kemudian Skinner (1954) telah mengembangkan konsep
programmed learning (pembelajaran terprogram) dan masih banyak lagi.
Lebih jelas Syah (2001) dalam bukunya Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru
menegaskan, setidaknya ada 10 (sepuluh) macam kegiatan pendidikan yang banyak memerlukan
prinsip-prisnsip psikologis, yaitu:
1. Seleksi penerimaan siswa baru.
2. Perencanaan pendidikan.
3. Penyusunan kurikulum.
4. Penelitian kependidikan.
5. Administrasi kependidikan.
6. Pemilihan materi pelajaran.
7. Interaksi belajar mengajar.
8. Pelayanan bimbingan dan penyuluhan.
9. Metodologi mengajar.
10. Pengukuran dan evaluasi.