Contoh Makalah Permasalahan Pendidikan d

MAKALAH
CERPEN
Mata Pelajaran

SASTRA INDONESIA
Guru Bahasa Indonesia :
Irawati Wowor

Disusun oleh :

1

Christian Katuuk

DAFTAR ISI

1.Fortofolio Sastrawan

2.Karya Karya Sastrawan

3.Cerpen Sastrawan


2

Mocthar Lubis
Mochtar Lubis, sastrawan Angkatan 1960-an, dikenal sebagai penulis novel, cerpen,
penerjemah, pelukis, dan seorang jurnalis ternama. Dia lahir di Padang, tanggal 7
Maret 1922 dari keluarga Batak Mandailing dan meninggal dunia di Jakarta pada
tanggal, 2 Juli 2004. Ayahnya bernama Marah Husin Gelar Raja Pandapotan Lubis
bekerja sebagai Kepala Distrik Kerinci pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dan
ibunya bernama Siti Madinah Nasution. Mochtar Lubis adalah anak keenam dari
sepuluh bersaudara dari keluarga beragama Islam. Mochtar Lubis pernah melihat
ayahnya memukuli seorang kuli kontrak yang mencoba melarikan diri. Dia tahu bahwa
ayahnya tidak tega bertindak seperti itu, tetapi tugasnya sebagai kepala distrik di
wilayah itu harus dijalankan, yaitu menghukum semua kuli kontrak yang melarikan diri.
Pengalaman itu oleh Mochtar Lubis ditulisnya menjadi cerita pendek dengan judul "Kuli
Kontrak". Dengan adanya peristiwa itu, ayahnya tidak mengizinkan anak-anaknya
bekerja di pemerintahan Belanda karena ada kalanya tugas yang dibebankan oleh
pemerintah Belanda bertentangan dengan hati nuraninya. Ayahnya mengajarkan
kedisiplinan dalam hidup dan ibunya mengajarkan agama dan kebenaran untuk tidak
berdusta kepada teman ataupun Tuhan. Mochtar Lubis dan saudara-saudaranya mulai

SD bersekolah di sekolah kebangsaan. Dia mengawali pendidikan di HIS Sungai
Penuh, Kerinci, Sumatra Tengah (kini masuk ke dalam Provinsi Jambi), tahun 1936.
Tahun 1940 ia melanjutkan pendidikannya ke Jurusan Ekonomi di Kayutanam,
Sumatra Tengah. Semangat kemerdekaan muncul dalam hati Mochtar Lubis yang
belajar politik, sosial, dan berhasil dengan baik mempelajari beberapa bahasa asing,
seperti bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman pada masa pendidikannya itu. Dia ingin
melanjutkan pendidikannya ke sekolah kedokteran, tetapi ayahnya melarangnya.
Selanjutnya, ia belajar secara autodidak. Selain itu, ia pernah menempuh pendidikan di
Thomas Jefferson Fellowship (East-West Center, University of Hawaii, USA). Mochtar
Lubis menikah dengan Siti Halimah Kartawijaya (mantan sekretaris redaksi harian Asia
Raya) dari Jawa Barat. Pernikahannya dilaksanakan pada tanggal 2 Juli 1945,
dikaruniai 3 orang anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan, yakni Indrawan Lubis, Arman
Lubis, dan Yana Zamin Lubis, serta 8 cucu. Dia mulai gemar menulis sejak masih
duduk di sekolah dasar. Ibunya selalu menceritakan dongeng yang kemudian oleh
Mochtar Lubis diceritakannya kembali kepada teman-temannya di sekolah. Dia

3

kemudian menjadi penulis novel dan cerpen. Mochtar Lubis pernah bekerja sebagai
wartawan Kantor Berita Antara yang saat itu berpusat di Yogyakarta, 1945—1952. Dia

juga bekerja sebagai karyawan Bank Factory di Jakarta, guru sekolah dasar di Pulau
Nias, anggota tim monitoring radio sekutu untuk kepentingan Gunseikenbu, tentara
Jepang pada tahun 1943, redaktur majalah Masa Indonesia, penulis kolom surat kabar
mahasiswa Kami tahun 1975, Ketua Dewan Redaksi majalah Solidarity, di Manila,
penulis tajuk majalah Suara Alam di Jakarta, dan juri Festival Film Indonesia tahun
1981. Setelah Kantor Berita Antara ditutup oleh pemerintah Belanda, ia bekerja
sebagai karyawan di surat kabar Harian Merdeka (1945) dan menjabat sebagai
pemimpin redaksi majalah Mutiara (1949—1950). Pada masa itulah Mochtar Lubis
berhubungan akrab dengan Chairil Anwar, Achdiat Karta Mihardja, Usmar Ismail, dan
Aoh K. Hadimadja. Tanggal 28 Desember 1949 ia mendirikan surat kabar Harian
Indonesia Raya dan ia sendiri menjadi pemimpin redaksinya, pada periode 1949—
1961 dan 1968—1974. Di masa pemerintahan Bung Karno, harian ini dianggap
sebagai harian yang paling keras mengritik penguasa dan para pejabatnya, sehingga
pemimpin umum dan pemimpin redaksinya, Mochtar Lubis, ditangkap dan
dipenjarakan di Madiun (dari 21 Desember 1956 sampai dengan Mei 1966) bersama
Mohamad Roem, Sutan Syahrir, dan beberapa tokoh politik lainnya. Setelah
dibebaskan dan aktif kembali pada masa awal Orde Baru, Indonesia Raya diberangus
kembali setelah peristiwa Malari 1974 bersama-sama beberapa media lain dan
Mochtar Lubis dipenjara kembali selama 2,5 bulan. Jabatan yang pernah
disandangnya ialah Wakil Ketua di Akademi Jakarta, Penanggung Jawab majalah

sastra Horison, Ketua Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Direktur Jenderal Press
Foundition of Asia di Manila, anggota Unesco Mc Bride Commission on
Communication and Information di Paris, anggota Internasional Press Institute (IPI)
London, anggota International Science Writers Association (ISWA), anggota Pen Club,
anggota Kelompok Pertemuan Sastra Asean, Ketua Dewan Penyantun Lembaga
Bantuan Hukum (LBH), anggota Monial Pour le Etudes Sur le Future, Wakil Ketua
Yayasan Pembinaan Pers Indonesia, dan aktif dalam kegiatan Yayasan Indonesia
Hijau. Mochtar Lubis menulis cerita anak dalam surat kabar Sinar Deli, kemudian
menulis cerita pendek yang diterbitkan majalah Siasat. Cerita-cerita pendeknya itu
kemudian dikumpulkan dan diterbitkannya dalam bentuk kumpulan cerpen yang
berjudul Si Jamal. Dia menulis novel Tidak Ada Esok dan Jalan Tak Ada Ujung. Dia
juga masih terus menulis cerita pendek yang kemudian dikumpulkannya dalam

4

kumpulan cerita pendeknya yang kedua berjudul Perempuan. Kekhasan karya-karya
Mochtar Lubis ialah banyaknya unsur humor di dalamnya. A. Teeuw menyatakan
bahwa karya Mochtar Lubis hampir sama dengan karya Somerset Maugham.
Persamaannya terletak pada struktur cerita, tekanan, dan putaran yang tak disangkasangka. Kadang-kadang pembaca merasa geli apabila membaca cerita-cerita pendek
Mochtar Lubis. Kekhasan yang lain dalam karya-karyanya terletak pada latar cerita,

yaitu berlatar revolusi, seperti dalam karyanya yang berjudul Jalan Tak Ada Ujung,
Tidak Ada Esok, serta Maut dan Cinta. Mochtar Lubis juga terkenal sebagai wartawan.
Pandangannya terhadap perilaku para pemimpin amat tajam dan kritis. Oleh karena
itulah hampir semua tulisannya baik fiksi maupun nonfiksi, mengritik para pemimpin.
Para pemimpin itu justru para pejuang sendiri yang ikut memperjuangkan
kemerdekaan, tetapi lupa amanat perjuangan mereka setelah Indonesia merdeka.
Kepandaian Mochtar Lubis berbahasa asing sangat menunjang pergaulannya dengan
pengarang-pengarang asing. Dia menguasai beberapa bahasa asing, seperti bahasa
Spanyol, Perancis, Inggris, dan Jerman. Pengarang asing yang berhubungan baik
dengannya adalah A. Vicents Compinos, Manual Pacheco, dan Alberto F. Orlandini.
Mereka sering mengirimkan karya-karyanya kepada Mochtar Lubis. Mochtar Lubis
gemar melakukan perjalanan jauh yang kemudian dibukukannya dalam Perlawatan ke
Amerika, Perkenalan di Asia Tenggara, dan Indonesia di Mata Dunia. Beberapa
catatan perjalanan sebagai seorang wartawan juga menjadi sumber inspirasinya,
seperti yang dicurahkannya dalam Catatan Korea dan Perlawatan ke Amerika.
Pengalaman Mochtar Lubis yang berhubungan dengan masalah revolusi ditulisnya
menjadi sebuah karya sastra, baik yang berbentuk novel maupun cerita pendek. Dia
menulis kebejatan-kebejatan manusia agar hal itu dapat disadari dan dimengerti oleh
masyarakat. Dia mengatakan bahwa kriteria satu-satunya bagi seorang sastrawan
adalah hati nuraninya sendiri. Kebebasan harus digugat untuk mengembalikan hak dan

harkatnya sebagai manusia yang merdeka. Sikapnya yang seperti itu pernah ditulisnya
dalam cerita pendek "Bromocorah" (Horison, No. 7, Th 17, 1982). Tahun 1957 Mochtar
Lubis ditahan oleh pemerintahan Bung Karno. Selama dalam tahanan ia menulis karya
sastra, melukis, belajar main biola, dan memperdalam yoga. Karya sastra yang
ditulisnya selama dalam tahanan itu antara lain Senja di Jakarta, Tanah Gersang,
Harimau! Harimau!, serta Maut dan Cinta. Tahun 1958 ketika masih dalam tahanan, ia
mendapat penghargaan Magsaysay Journalism and Literature Award dari Manila.
Penghargaan itu baru diterimanya di Filipina delapan tahun kemudian setelah ia

5

dibebaskan dari tahanan. Penghargaan lain dari luar negeri adalah Pena Emas untuk
kemerdekaan pers dari Federation Internationale Des Editeurs de Jounaoux et
Publication (Federasi Penerbit Surat Kabar Internasional) di Perancis. Penghargaan
lain yang diterimanya adalah Hadiah Sastra Nasional BMKN untuk Jalan Tak Ada
Ujung, 1952, Hadiah dari majalah Kisah untuk cerpen "Musim Gugur", 1953,
Penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) untuk peliputan perang di
Korea, 1953, Hadiah Sastra BMKN untuk kumpulan cerpen Perempuan, 1955—1956,
Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk
novelnya Harimau-Harimau, 1975, Hadiah Sastra Yayasan Jaya Raya untuk novel

Maut dan Cinta, 1979, Penghargaan Anugerah Sastra Chairil Anwar dari Dewan
Kesenian Jakarta, 1992, dan Penghargaan Bintang Mahaputera Utama dari
Pemerintah RI, 2004. Tanggal 17 Mei 1966 Mochtar Lubis bebas dari rumah tahanan.
Bulan Juli 1966 ia menerbitkan majalah sastra Horison dan ia sendiri sebagai
pemimpin redaksi. Majalah itu sampai sekarang masih terbit.

6

Karya-Karya
Novel dan Cerpen
Tidak Ada Esok (novel, 1951)
Si Jamal dan Cerita-Cerita Lain (kumpulan cerpen, 1950)
Teknik Mengarang (1951)
Teknik Menulis Skenario Film (1952)
Harta Karun (cerita anak, 1964)
Tanah Gersang (novel, 1966)
Senja di Jakarta (novel, 1970; diinggriskan Claire Holt dengan judul Twilight in Jakarta,
1963)
Judar Bersaudara (cerita anak, 1971)
Penyamun dalam Rimba (cerita anak, 1972)

Harimau! Harimau! (novel, 1975)
Manusia Indonesia (1977)
Berkelana dalam Rimba (cerita anak, 1980)
Kuli Kontrak (kumpulan cerpen, 1982)
Bromocorah (kumpulan cerpen, 1983)

Karya jurnalistik
Perlawatan ke Amerika Serikat (1951)
Perkenalan di Asia Tenggara (1951)
Catatan Korea (1951)
Indonesia di Mata Dunia (1955)
Lainnya ; Mochtar Lubis juga menjadi editor:
Pelangi: 70 Tahun Sutan Takdir Alisyahbana (1979)
Bunga Rampai Korupsi (bersama James C. Scott, 1984)
Hati Nurani Melawan Kezaliman: Surat-Surat Bung Hatta kepada Presiden Soekarno
(1986)

Pengarang

: Mochtar Lubis


Penerbit

: Pustaka Jaya

Tahun

: 1964; Cetakan II, 1982

7

Tiga pemuda dengan latar belakang kehidupan berbeda, merencanakan perampokan.
Sasarannya adalah toko emas Ciu Lan Fong. Joni, salah seorang di antaranya, bertindak
sebagai pengemudi; dua lainnya, yaitu Sukandar dan Yusuf, bertugas sebagai pelaksana;
beraksi menguras perhiasan yang ada di dalam toko emas itu. Operasi mereka berjalan sesuai
dengan rencana. Mereka berhasil kabur dengan hasil rampokannya. Itulah pengalaman
pertama bagi ketiga pemuda itu. Bagi Joni, tindak criminal itu sesungguhnya lebih merupakan
pelarian. Ia sebenarnya anak keluarga kaya. Ayahnya, Maimun Habsyah, adalah politikus
terkenal yang karena kesibukannya –baik yang menyangkut kegiatan partainya, maupun
kegiatan mengunjungi dua istri mudanya- menyerahkan pendidikan anak-anaknya hanya

dengan lembaran-lembaran uang. Nyonya Maimun Habsyah sendiri yang makin tak mendapat
perhatian suaminya, lebih banyak menimpakan kejengkelannya kepada kedua orang anaknya.
Dalam suasana keluarga yang demikian itulah, Joni merasa sebagai orang asing di tengah
keluarganya. Tambahan lagi, masa lalunya, saat Joni dititipkan pada pamannya di Sukabumi, di
Tasikmalaya, dan kemudian di Yogyakarta, telah menyeretnya untuk menemukan jati dirinya.
Kini, sungguhpun ia masih duduk di kelas satu SMA di sebuah sekolah di Jakarta, Joni merasa
hanya sebagai orang asing; tak ada yang memberikan perhatian khusus pada dirinya. “….
Tambah hari dia tambah yakin, bahwa dia harus hidup sendiri, dan memutuskan sendiri sesuatu
apa untuk dirinya” (hlm. 30). Dalam suasana hati yang penuh kekecewaan itu, Joni berkenalan
dengan Sukandar dan Yusuf; dua pemuda yang bekerja sebagai pencatut karcis di bioskop
Metropole. Berbeda dengan Joni, Yusuf yang kedua orang tuanya tewas dibunuh NICA,
terpaksa ikut bersama bibinya, Rafiah yang bersuamikan seorang pelaut. Untuk menghidupi
dirinya dan keponakannya itu, betapa bibinya tidak hanya perlu mendapatkan kehangatan lakilaki lain, tetapi juga perlu memperoleh penghasilan agar mereka tetap dapat hidup. Adapun
Sukandar lebih malang lagi. Ia sama sekali tak mengenal kedua orang tuanya karena sejak
masih bayi ia sudah dibuang ibunya. Beruntung, seseorang menemukannya dan membawanya
ke rumah sakit. Namun, sejak itu, ia tinggal di sebuah rumah panti asuhan. Hanya beberapa
tahun ia tinggal di sana. Kemudian, ia terpaksa kabur gara-gara berkelahi dengan sesama anak
panti asuhan. Sebelum kabur, ia sempat mencuri uang di kas panti itu. Namun, sial bagi
Sukandar, uang hasil curiannya itu dicuri lagi oleh orang lain. Dalam keadaan bingung, seorang
Tionghoa mengajaknya untuk bekerja di tokonya. Namun, juga tidak lama. Ia lalu bekerja di

rumah pelacuran hingga akrab dengan kehidupan dunia hitam. “Belajar bagaimana bisa hidup
dalam dunia yang keras dan penuh dengan kejahatan. Di dunia yang dikenalnya ini setiap
orang mesti menolong dirinya sendiri” (hlm. 79). Artikel Terkait Cerita Novel Online - Rafilus
Cerita Novel Online - Bukan Rumahku Cerita Novel Online - Olenka Cerita Novel Online Canting Cerita Novel Online - Anak Tanah Air Begitulahm masa lalu ketiga pemuda tanggung
itu, telah menghadirkan perasaan senasib pada diri masing-masing. Terutama Joni yang di
rumahnya selalu dikekang dan disalahkan, merasa mendapat kebebasan dan ketenangan,

8

apabila berada di rumah Yusuf. Terlebih lagi Rafiah, bibi Yusuf, benar-benar telah membuat
Joni merasa sebagai laki-laki. Maka, hubungan ketiga pemuda itu pun semakin akrab. Lalu,
ketika Joni –secara iseng-iseng- mengajaknya melakukan perampokan, mereka pun sepakat.
Joni pula yang kemudian menjadi pengaturnya. Jadi, perampokan toko emas Ciu Lan Fong
merupakan tindak criminal mereka yang dirancang Joni. Dalam suatu kesempatan, Joni
berkenalan dengan Lisa, seorang bintang film yang sedang naik daun. Reputasinya sebagai
artis cantik, banyak dimanfaatkan untuk menguras uang laki-laki yang tertarik kepadanya,
termasuk juga Joni. Dalam waktu singkat, uang hasil rampokan habis. Joni sendiri
menghabiskannya untuk sekedar dapat kencan dengan artis cantik itu. Namun, akibatnya,
pemuda itu selalu penasaran untuk dapat merasakan tubuh Lisa. Apa saja yang diminta artis itu
selalu diturutinya walaupun mesti mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Untuk itu pula, Joni
mencuri perhiasan ibunya. Dengan hasil penjualan perhiasan itu, ditambah uang hasil
rampokan pada beberapa penumpang oplet, Joni memang dapat memenuhi rasa
penasarannya pada diri Lisa. Namun, sikap Lisa yang dingin, makin menyadarkan dirinya
bahwa sesungguhnya ia sama sekali tidak mencintai artis itu. Itu artinya, tidak ada persoalan
jika ia menjauhi Lisa. Akan tetapi, hubungan dengan dua sahabatnya, Yusuf dan Iskandar,
kembali menyeretnya untuk memikirkan kejahatan baru. Sebuah rencana perampokan yang
berkedok penjualan sepeda selundupan, dirancang lagi. Mangsanya kali ini, seorang penadah
Tionghoa. Semula, semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Namun, ternyata orang Cina
yang jadi penadah itu, mengajak penadah Cina lainnya. Ketika mereka membawa kedua orang
Cina itu –dengan oplet sewaan- ke tempat yang sepi, baru diketahui bahwa penadah satunya
lagi adalah pemilik toko emas Ciu Lan Fong, korban perampokan pertama mereka. Tak ada
pilihan bagi Joni maupun kedua temanya, kecuali membunuh kedua orang Cina itu. Sukandarlah yang kemudian bertindak menghabisi nyawa kedua orang Cina yang malang itu. Kali ini,
kejahatan mereka benar-benar telah mengganggu pikiran masing-masing. Joni kembali
menekuni pelajarannya, sungguhpun ia merasa selalu dihantui mayat kedua orang Cina itu.
Kini, ia mulai jarang mendatangi kedua orang temannya. Begitu juga terhadap Lisa. Joni mulai
berusaha melupakannya. Lebih dari itu, sikapnya juga sudah jauh berbeda. Dalam suatu pesta
dansa, tanpa diduga, Joni bertemu dengan Dewi, adik Lisa. Pertemuan yang tak sengaja ini,
rupanya awal untuk pertemuan selanjutnya. Serangkaian pertemuan itu pula yang
menyebabkan keduanya jatuh cinta. Sementara itu, Lisa yang mengetahui adiknya
berhubungan dengan Joni, melarang keras hubungan itu. Lisa tak ingin adiknya menjadi korban
lelaki yang sudah sangat dikenalnya itu. Namun rupanya, larangan itu justru memicu keduanya
untuk berbuat nekad. “dengan tak disadari oleh Lisa, campur tangannya dalam hubungan
antara Dewi dan Joni telah mendorong kedua orang muda itu untuk mengambil putusan
mengenai perhubungan dan penghidupan mereka” (hlm. 189). Lalu, keputusan Joni adalah:
kawin lari. Keduanya kemudian sepakat untuk kabur ke Medan. Di Medan, berkat bantuan

9

Kapten Nizar, teman Joni, Joni melangsungkan pernikahan dengan Dewi. Bulan madu, mereka
tentukan di Prapat. Itulah hari-hari bahagia pengantin baru itu. Saat Joni benar-benar
merasakan kebahagiaan itu menjadi miliknya, ia tewas, tenggelam di Danau Toba karena
perahunya diterjang ombak. Sebelum itu, Joni sempat membaca sebuah surat kabar yang
memberitakan bahwa Yusuf dan Iskandar telah ditangkap polisi. Joni tenggelam bersama
ketakutannya, cintanya, dan sekaligus keinsafannya. Saat menjelang kematiannya itulah, Joni
untuk pertama kalinya menyebut nama Tuhan dan memohon ampun kepada-Nya.

Tanah Gersang merupakan novel Mochtar Lubis yang keempat.
Pertama kali terbit tahun 1964 –Ajip Rosidi menyebutnya tahu 1966oleh penerbit Pembangunan, Jakarta. Tanggapan yang
dikemukakan Ajip Rosidi, H.B. Jassin, maupun Teeuw, lebih bersifat
deskriptif daripada analitis. Bahkan, Th. Sri Rahayu Prihatmi sama
sekali tidak menyebut-nyebut novel ini. Studi novel ini, sejauh ini,
baru dilakukan Sunardi (FS UGM, 1969) dan sebuah lagi dilakukan
seorang mahasiswa FS Unej (1983).

Terima kasih telah

berkunjung di Novel Tanah Gersang. Pembaca yang baik selalu
memberikan komentar, kritik, dan saran karena sangat kami
butuhkan untuk membangun dan memberikan yang terbaik bagi
anda sahabat Imbas. Jangan lupa bookmark kami agar anda selalu
dapat memantau web edukasi materi bahasa indonesia dan karya
sastra ini. Terimakasih

10