EFEKTIVITAS UJIAN NASIONAL UN SEBAGAI ST

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

EFEKTIVITAS UJIAN NASIONAL (UN)
SEBAGAI STANDARD KELULUSAN SISWA
Oleh Pilipus M. Kopeuw *)
ABSTRAK
Ujian Nasional (UN) merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
untuk menentukan standar mutu pendidikan Negara Indonesia jika dibanding dengan
standar lulus internasional yang nilainya 6,0. Dalam mekanisme UN yang
diselenggarakannya, pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun
2002/2003 menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005.
Ditinjau dari tugas para guru di sekolah sebagai pendidik dan sudah menjadi
kewajiban guru dalam memberi penilaian terhadap prestasi belajar siswa. Dalam
penilaian prestasi belajar siswa guru telah melaksanakan ujian berupa tes formatif dan tes
sumatif yang nantinya akan dihitung untuk menentukan nilai akhir guna menentukan
kelulusan siswa terhadap mata pelajaran yang diikutinya. Dalam jenjang pendidikan SLTP
dan SLTA ada banyak mata pelajaran yang dipelajari. Sedangkan UN hanya tiga atau
empat mata pelajaran yang sesuai dengan POS UN yang akan diujikan dan sekaligus
sebagai syarat kelulusan siswa.
Kalau demikian mengapa selama ini siswa harus buang biaya, energi dan waktu
untuk mempelajari mata pelajaran yang lain ? ini berarti UN tidak efektif sebagai standar

kelulusan siswa. Ada hal-hal yang harus dibenahi oleh pemerintah sebelum melaksanakan
UN antara lain penyamaan fasilitas penunjang pendidikan di kota dan di desa dan
perlunya persebaran guru-guru berkualitas ke seluruh sekolah. selanjutnya standar
penilaian kelulusan UN harus mencakup aspek padagogis (kognitif, psikomotorik dan
afektif) secara menyeluruh.
Kata kunci : Ujian Nasional dan Standar Kelulusan
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan salah satu
sektor penting dalam pembangunan di
setiap Negara. Menurut Undang-Undang
No.20 Th 2004 pendidikan merupakan
usaha sadar dan terencana untuk
mengembangkan segala potensi yang
dimiliki peserta didik melalui proses
pembelajaran.
Pendidikan
bertujuan
untuk mengembangkan potensi anak agar
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian

diri,
berkepribadian,
memiliki kecerdasan, berakhlak mulia,
serta
memiliki
ketrampilan
yang
diperlukan sebagai anggota masyarakat
dan Negara. Untuk mencapai tujuan
pendidikan yang mulia ini disusunlah

kurikulum yang merupakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, bahan dan metode pembelajaran untuk
mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditentukan. Untuk melihat tingkat
pencapaian tujuan pendidikan, diperlukan
suatu bentuk evaluasi.
Dengan
demikian,

evaluasi
pendidikan merupakan salah satu
komponen utama yang tidak dapat
dipisahkan dari rencana pendidikan.
Namun perlu dicatat bahwa tidak semua
bentuk evaluasi dapat dipakai untuk
mengukur pencapaian tujuan pendidikan
yang telah ditentukan. Informasi tentang
tingkat keberhasilan pendidikan akan
dapat dilihat apabila alat evaluasi yang
digunakan sesuai dan dapat mengukur

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

1

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

setiap tujuan. Alat ukur yang tidak
relevan dapat mengakibatkan hasil

pengukuran tidak tepat bahkan salah sama
sekali.
Ujian Nasional (UN) merupakan
salah satu alat evaluasi yang dikeluarkan
pemerintah yang menurut pendapat saya,
merupakan
bentuk
lain
daripada
EBTANAS (evaluasi belajar tahap akhir
nasional) yang sebelumnya dihapus.
Benarkah UN merupakan alat ukur yang
sesuai
untuk
mengukur
tingkat
pencapaian tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan.
Pada dasarnya kita setuju akan
usaha-usaha yang dilakukan oleh

pemerintah dalam meningkatkan kualitas
anak didik dan sekolah. Sementara nilai
ujian nasional (UN) dijadikan sebagai
patokan kualitas siswa atau sekolah.
Sangat ironis sekali jika seorang siswa
dinyatakan lulus atau tidak hanya
berdasarkan beberapa mata pelajaran saja
seperti ; bahasa Indonesia, Matematika,
Ilmu Pengetahuan Alam, Bahasa Inggris,
Sejarah Nasional dan Geografi Nasional.
Bagaimana dengan mata pelajaran lainnya
yang tidak diikutkan dalam ujian nasional
(UN), untuk apa siswa belajar itu selama
tiga tahun? Kenapa nilai mata pelajaran
lain tidak turut diperhitungkan sebagai
ukuran kelulusan siswa ? apakah mata
pelajaran yang diujikan dalam ujian
nasional (UN) merupakan standar untuk
menentukan kualitas pendidikan suatu
Negara ataukah ujian nasional (UN)

hanyalah keputusan politik, Apakah
proposional UN jadi standar kelulusan
siswa? Efektifkah UN sebagai sebuah
standar kelulusan siswa?
UJIAN NASIONAL (UN)
Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional RI No. 45 Th 2006 tentang
Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran
2006/2007
dan
ditunjang
dengan

Prosedur Operasi Standar UN. Ujian
nasional (UN) merupakan kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan
untuk
menentukan
standar
mutu

pendidikan.
Kebijakan
tersebut
merupakan keputusan politik atau politik
pendidikan,
yang
menyangkut
kepentingan berbagai pihak, bahkan
dalam
batas-batas
tertentu
dapat
dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan
(Mulyasa, 2004:180).
Selaku tenaga
kependidikan kita setuju perlunya ujian
untuk mengetahui sejauhmana keefektifan
berbagai upaya yang dilakukan dalam
proses pendidikan, apakah telah membuahkan hasil yang memuaskan.
Pemerintah telah menetapkan nilai

standar kelulusan UN minimal yang harus
dicapai oleh peserta didik dalam
kelulusan. Tujuan pemerintah memang
baik untuk mendongkrak kualitas
pendidikan, dengan menentapkan standar
minimal kelulusan 4,01 karena standar
dunia-pun 6,0, jadi wajar kalau
pemerintah menetapkan hal tersebut.
melalui UAN pemerintah memiliki
kepentingan
untuk
mengetahui
kemampuan lulusan pendidikan dari
berbagai jenjang dalam bidang kajian
tertentu, sebagai indikator keberhasilan
system pendidikan. Kita juga ingin
mengetahui kemampuan anak-ank dalam
behitung, bahasa, ilmu pengetahuan alam,
dan sebagainya, paling tidak yang dapat
dijaring melalui UN, dan membandingkannya antar wilayah, kabupaten atau

kota bahkan antar sekolah. kepentingan
pemerintah untuk mengetahui hasil
pendidikan secara nasional merupakan
kepentingan lembaga bukan bersifat
pribadi, dan merupakan pesan UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional No.
20 Th 2003.
bahkan maksud dari
Undang-Undang tersebut bukan sekedar
UN, tetapi menyangkut penilaian kinerja
seluruh komponen sistem pendidikan.

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

2

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

UN berfungsi sebagai “quality
control” terhadap sistem pendidikan,
karena control terhadap proses, dan input pendidikan sudah semakin kecil,

bahkan saat sentralisasi pun sebenarnya
control pusat di bidang pendidikan tidak
dapat dilakukan sepenuhnya, karena
rapuhnya mental jaringan birokrasi akibat
berbagai faktor di luar masalah
pendidikan. Fungsi standar nasional
pendidikan adalah penyusunan strategi
dan rencana pengembangan sesudah
diperoleh data-data dari evaluasi belajar
secara nasional seperti Ujian Nasional
(UN).
Standar adalah patokan. Sewaktuwaktu tingkat pencapaian standar tersebut
perlu
diketahui,
sampai
dimana
efektivitasnya. Untuk pengetahuan itu
diperlukan sarana-sarana seperti ujian
atau evaluasi nasional. Ujian nasional
atau evaluasi nasional tentunya tidak

perlu meliputi seluruh standar isi,
tentunya hal tersebut meminta biaya dan
tenaga yang luar biasa. Karena sifatnya
sekedar untuk memberikan gambaran peta
permasalahan pendidikan secara nasional,
maka dipilihlah beberapa mata pelajaran
yang essensial. Mata-mata pelajaran itu
seperti bahasa Indonesia, Matematika,
Ilmu Pengetahuan Alam, bahasa Inggris,
Sejarah Nasional, Geografi nasional
(H.A.A.
Tilaar,
2006:110).
Sk
017/U/2003 menyebutkan Tujuan UN
adalah untuk mengukur pencapaian hasil
belajar siswa; mengukur mutu pendidikan
di tingkat nasional, provinsi, kabupaten
atau kota, dan sekolah/madrasah; dan
mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan secara nasional, provinsi,
kabupaten atau kota, dan sekolah/
madrasah,
kepada
masyarakat
(http://www.suara pembaruan.com/News/2005/01/24/Pendidik/UAN.htm).
UN tetap penting karena tidak
hanya untuk memetakan kualitas sekolah,
tetapi juga mengetahui kualitas murid dan

standarisasi pendidikan. UN adalah
sebuah tes yang dikategorikan sebagai
“high-stakes”(taruhan besar) karena
digunakan untuk menjadi penentu utama
dalam menilai siswa, dan bahkan menjadi
penentu utama untuk menetapkan apakah
seorang siswa
lulus atau tidak
(http://satriadharma.com/index.php/2007/
05/14/ujian-nasional-sebagai-keputusanpolitik/).
Dalam pelaksanaan UN 2007 ini,
Depdiknas.BNSP menerbitkan Prosedur
Operasi Standar Kelulusan UN 2007
SMP/MTs, SPMLB dan SMK yang juga
dituangkan dalam Permendiknas No. 2 Th
2007. Peserta UN dinyatakan lulus UA
jika memenuhi standar kelulusan sebagai
berikut:
a. memiliki nilai rata-rata minimal
5,0, untuk seluruh mata pelajaran
yang diujikan (termasuk nilai uji
kompetensi untuk smk), dengan
tidak ada nilai dibawah 4, 25 atau,
b. memiliki nilai minimal 4,00 pada
salah satu mata pelajaran, dengan
nilai mata pelajaran lainnya yang
diujikan pada UN masing-masing
minimal 6,00 (http://groups.yahoo.com/group/cfbe/messages/2
6915?xm=1&m=e&1=1).
Pemerintah telah mengambil
kebijakan untuk menerapkan UN sebagai
salah satu bentuk evaluasi pendidikan.
Menurut Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No.153/U/2003 tentang UN
tahun pelajaran 2003/2004 disebutkan
bahwa tujuan UN adalah untuk mengukur
pencapaian hasil belajar peserta didik
melalui pemberian tes pada siswa SLTP
dan siswa SLTA. Selain itu UN bertujuan
untuk mengukur mutu pendidikan dan
mempertanggungjawab-kan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional,
provinsi, kabupaten, sampai tingkat
sekolah.
UN berfungsi sebagai alat
pengendalian mutu pendidikan secara

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

3

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

nasional, pendorong peningkatan mutu
pendidikan secara nsional, bahan dalam
menentukan kelulusan peserta didik, dan
sebagai bahan pertimbangan dalam
seleksi
penerimaan
pada
jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. UN
merupakan salah satu bentuk evaluasi
belajar pada akhir tahun pelajaran yang
diterapkan pada beberapa mata pelajaran
yang dianggap “penting”, walaupun
masih ada perdebatan tentang mengapa
mata pelajaran itu penting dan apakah itu
berarti yang lain tidak penting. Benarkah
bahwa matematika, IPA dan bahasa
Inggris merupakan tiga mata pelajaran
yang paling penting?
UJIAN AKHIR SEKOLAH (UAS)
Kita perlu mengetahui lebih
dahulu apa itu UN dan UAS. UN adalah
ujian akhir nasional yang hanya menguji
tiga mata pelajaran bahasa Indonesia,
matematika, bahasa inggris dan IPA, yang
kemudian diatur dalam Prosedur Operasi
Standar(POS) UN mata pelajaran yang
akan di-UN-kan berdasar kan masingmasing jurusan. Sedangkan UAS adalah
ujian yang dilaksanakan oleh sekolah, dan
mata pelajaran yang diujikan dtentukan
oleh sekolah sendiri. Dengan demikian,
kita bisa katakan bahwa siswa harus
mengikuti dua macam ujian yaitu UN dan
UAS.
Untuk dinyatakan lulus, bukan
hanya lulus UN berarti dinyatakan lulus.
Tetapi harus UAS-nya juga dinyatakan
lulus. Hasil lulus UN dan UAS ini sangat
penting dalam kelulusan siswa. Bisa jadi,
UN-nya lulus, tapi UAS-nya tidak lulus,
atau sebaliknya. Jika salah satunya tidak
lulus sama dengan tidak lulus.

TES DAN PRINSIP
PELAKSANAANNYA
Penilaian hasil belajar siswa
memerlukan penggunaan tes buatan guru
secara intensif. Tes yang dibakukan
(standardized test) sering kurang pekah
(sensitif) untuk menilai pencapaian
tujuan-tujuan instruksional tertentu bagi
kelas-kelas tertentu. Di samping itu,
karena tes yang dibakukan itu digunakan
untuk berbagai maksud, kecil kemungkinan bagi guru untuk menyusun
standardized test
yang sekaligus
memenuhi berbagai maksud tersebut. oleh
karena itu, guru perlu sekali menyusun tes
yang cocok digunakan untuk kelas-kelas
tertentu dan maksud-maksud yang
tertentu pula.
Ditinjau dari pelaksanaannnya, tes
dibagi menjadi tiga jenis yaitu: tes
tertulis, tes lisan dan tes perbuatan
(performance test).
Macam-macam bentuk item tes
untuk menilai tujuan instruksional khusus
(TIK) di dalam sisitem pengajaran PPSI
(test formatif), dan untuk menentukan
angka atau hasil belajar siswa dalam
tahap-tahap tertentu (tes sumatif), dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu
bentuk uraian (tes essay) dan bentuk
objektif (tes objektif).
Hasil penilaian tes formatif akan
dijadikan dasar bagi penyempurnaan
proses belajar mengajar. Sendangkan tes
sumatif untuk menilai prestasi siswa,
sampai dimana penguasaan siswa
terhadap bahan pelajaran yang telah
diajarkan selama ini dalam jangka waktu
tertentu. Oleh karena itu, pada umumnya
jumalh item atau soal-soal tes sumatif
lebih banyak dari pada tes formatif.
Penentuan
skor
hasil
tes
mengunakan standar dan cara mengolah
hasil tes sumatif. Skor mentah yang
diperoleh oleh siswa dari suatu tes
sumatif yang terdiri atas beberapa macam

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

4

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

bentuk tes merupakan jumlah skor dari
tiap-tiap bentuk tes tersebut yang telah
dihitung menurut rumus masing-masing
(Ngalim, 2006:109)
Guru sudah tahu bagaimana cara
mengisi nilai dalam rapor siswa. Hasilhasil tes formatif atau kata lainnya tes
subsumatif tidak dibuang oleh guru, tatapi
disimpan dan akan dipakai untuk
perhitungan nilai akhir yang akan diisi
dalam rapor. Caranya ialah dengan
merata-ratakan
hasil
rata-rata
tes
formatif/subsumatif, kemudian dijumlahkan dengan nilai tes sumatif lalu dibagi
dua, maka akan diperoleh nilai akhir.
BATAS / STANDAR KELULUSAN
Sistem penilaian biasa digunakan,
yakni penilai acuan norma (PAN) dan
penilaian acuan patokan (PAP). Batas
kelulusan hasil penilaian mempunyai
kaitan dengan kedua sistem penilai
tersebut. Dengan demikian, ada batas
kelulusan yang berorientasi pada PAN,
yakni batas lulus aktual dan batas lulus
ideal. Di samping itu ada batas kelulusan
yang berorientasi kepada sistem PAP,
yakni batas lulus purposif. Deskripsi
ketiga batas kelulusan di atas sebagai
berikut.
Batas lulus aktual.
Batas lulus aktual didasarkan atas
nilai rata-rata yang dapat dicapai oleh
kelompok siswa. Unsur yang diperlukan
untuk menentukan batas lulus actual
adalah nilai rata-rata aktual dan
simpangan baku aktual. Biasanya skor
yang dinyatakan lulus adalah skor di atas
( X + 0,25 SD ) dimana X adalah nilai
rata-rata kelas dan SD adalah simpangan
baku. Misalnya siswa kelas III SMA
diberi tes bahasa Inggris dengan
menggunakan bentuk pilihan ganda
sebanyak
60
pertanyaan.
Setiap
pertanyaan yang dijawab benar diberi

skor satu, sehingga skor maximal yang
mungkin dicapai adalah siswa sebanyak
60. kemudian dihitung nilai rata-ratanya
(X) dari semua siswa yang ada di kelas
tersebut, misalnya 25 dan simpangan
bakunya (SD) adalah 8,0. dengan
demikian, skor yang dinyatakan lulus
adalah 25 + 0,25 (8,0) = 27, Skor-skor di
atas 27 dinyatakan lulus sedangkan skor
di bawah 27 dinyatakan gagal atau tidak
lulus.
Batas lulus ideal
Batas lulus ideal sama dengan
batas lulus aktual, yaitu menentukan batas
lulus dengan menggunakan nilai rata-rata
dan simpangan baku ideal. Nilai rata-rata
dan simpangan baku dalam batas lulus
ideal mudah dihitung menggunakan
aturan sebagai berikut: Nilai rata-rata
ideal adalah setengah dari maksimum
skor. Simpangan baku ideal adalah
sepertiga dari nilai rata-rata ideal.
Misalnya, kembali pada contoh dalam
batas lulus aktual. Skor maksimum yang
mungkin dicapai dari tes bahasa Inggris
adalah 60. rata-rata idealnya adalah
setengah dari 60, yakni 30, sedangkan
simpangan bakunya adalah sepertiga dari
rata-rata ideal, yakni 10. batas lulusan
idealnya adalah 30 + 0,25 (10) = 32,50.
skor dia atas 32,50 dinyatakan lulus,
sedangkan skor di bawah 32,50
dinyatakan gagal atau tidak lulus.
Batas lulus purposif
Batas lulus purposif mengacu
pada PAP sehingga tidak perlu
menghitung nilai rata-rata dan simpangan
baku. Dalam hal ini ditentukan kriterianya, misalnya 75%. Artinya skor yang
dinyatakan lulus adalah skor di atas 75 %
dari skor maksimum. Dalam contoh di
atas maka batas lulusnya adalah 75% dari
60, yakni 45. skor yang besarnya di atas
45 dinyatakan lulus dan yang berada di
bawahnya dinyatakan gagal atau tidak

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

5

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

lulus. Makin tinggi kriteria kelulusannya,
maka makin tinggi pula kualitas hasil
belajar yang dituntutnya. Sebaliknya,
makin rendah kriterianya, makin rendah
pula kualitas hasil belajar yang
dihasilkannya (Sudjana, 2001:106-107).
Penjelasan di atas tidak berbeda
dengan penjelasan Ngalim Purwanto
(2006:109), menurutnya ada dua jenis
standar penilaian yang dapat digunakan
oleh guru dalam mengola hasil penilaian:
Pertama, Standar mutlak: hasil yang
dicapai
masing-masing
siswa
dibandingkan dengan kriteria yang telah
ditetapkan sebelumnya. Sebagai contoh:
untuk dapat lulus dalam suatu tes tertentu,
siswa harus menyelesaikan dengan benar
sekurang-kurangnya 75% dari soal-soal
yang diberikan, tanpa melihat hasil yang
dicapai oleh siswa-siswa lain dalam
kelompok
yang
sama
(criterionreferenced evaluation). Kedua, Standar
relatif: hasil yang dicapai oleh masingmasing siswa dibandingkan dengan
norma kelompok, yaitu hasil yang dicapai
oleh siswa-siswa lain dalam kelompok
yang sama (norm-referenced evaluation).
Dengan menggunakan standar yang
rekatif, dapat terjadi bahwa siswa yang
presentase jawabannya benar hanya 50%
dinyatakan lulus karena kebanyakan
teman-temannya yang lain mencapai
angka presentase yang lebih rendah.
STANDAR KELULUSAN UN
Standar kriteria kelulusan dalam
UAN sudah ditetapkan dalam POS
kelulusan UN yaitu 4,25. Artinya skor di
atas 4,25 dinyatan lulus, sedangkan skor
di bawah 4, 25 dinyatakan gagal atau
tidak lulus. Sebelun tahun 2008, standar
kelulusannya adalah 4,01. Rupanya batas
kelulusan yang digunakan dalam UN
adalah menggunakn sistem penilaian
acuan patokan (PAP), yakni batas lulus

purposif. Sebab hasil UN digunakan
sebagai salah satu pertimbangan untuk:
1. pemetaan mutu satuan dan/atau
program pendidikan;
2. seleksi masuk jenjang berikutnya;
3. penentuan kelulusan peserta didik dari
suatu satuan pendidikan;
4. akreditasi satuan pendidikan;
5. pembinaan dan pemberian bantuan
kepada satuan pendidikan dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan
(Permen Diknas No.46 Th 2006)
KONTROVERSI UJIAN NASIONAL
Kontroversi
mengenai
UN
sebenarnya sudah terjadi saat kebijakan
tersebut mulai digulirkan pada tahun
2002/2003. UN pada awalnya bernama
Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi
pengganti kebijakan Evaluasi Belajar
Tahap Akhir Nasional (EBTANAS).
Hanya, sementara EBTANAS berlaku
pada semua level sekolah, UN hanya pada
sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP),
madrasah tsanawiyah (MTs), sekolah
menengah umum (SMU), madrasah
aliyah (MA), dan sekolah menengah
kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar
(SD), sekolah dasar luar biasa (SDLB),
sekolah luar biasa setingkat SD (SLB),
dan madrasah ibtidaiyah (MI), Ebtanas
diganti dengan ujian akhir sekolah.
Perdebatan muncul tidak hanya karena
kebijakan
UN
yang
digulirkan
Departemen Pendidikan Nasional minim
sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada
hal yang bersifat fundamental secara
yuridis dan pedagogis. Dari hasil kajian
Koalisi Pendidikan, setidaknya ada empat
penyimpangan dengan digulirkannya UN.
Pertama, aspek pedagogis. Dalam
ilmu kependidikan, kemampuan peserta
didik mencakup tiga aspek, yakni
pengetahuan (kognitif), keterampilan
(psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi
yang dinilai dalam UN hanya satu aspek

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

6

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan
kedua aspek lain tidak diujikan sebagai
penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis. Beberapa
pasal dalam UU Sistem Pendidikan
Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah
dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang
menyatakan bahwa standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi, proses,
kompetensi lulusan, tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, pengelolaan,
pembiayaan, dan penilaian pendidikan,
yang harus ditingkatkan secara berencana
dan berkala. UN hanya mengukur
kemampuan pengetahuan dan penentuan
standar pendidikan yang ditentukan
secara sepihak oleh pemerintah.
Pasal 58 ayat 1 menyatakan,
evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan oleh pendidik untuk memantau
proses, kemajuan, dan perbaikan hasil
belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Kenyataannya,
selain
merampas hak guru melakukan penilaian,
UN mengabaikan unsur penilaian yang
berupa proses.
Selain itu, pada pasal 59 ayat 1
dinyatakan, pemerintah dan pemerintah
daerah melakukan evaluasi terhadap
pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan. Tapi dalam UN pemerintah
hanya melakukan evaluasi terhadap hasil
belajar siswa yang sebenarnya merupakan
tugas pendidik.
Ketiga,
aspek
sosial
dan
psikologis. Dalam mekanisme UN yang
diselenggarakannya, pemerintah telah
mematok standar nilai kelulusan 3,01
pada tahun 2002/2003 menjadi 4,01 pada
tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun
2004/2005. Ini menimbulkan kecemasan
psikologis bagi peserta didik dan orang
tua siswa. Siswa dipaksa menghafalkan
pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan
di sekolah ataupun di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara
ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan

biaya. Tahun lalu, dana yang dikeluarkan
dari APBN mencapai Rp 260 miliar,
belum ditambah dana dari APBD dan
masyarakat.
Pada
2005
memang
disebutkan pendanaan UN berasal dari
pemerintah, tapi tidak jelas sumbernya,
sehingga
sangat
memungkinkan
masyarakat kembali akan dibebani biaya.
Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas
untuk menangkal penyimpangan finansial
dana UN. Sistem pengelolaan selama ini
masih sangat tertutup dan tidak jelas
pertanggungjawabannya. Kondisi ini
memungkinkan terjadinya penyimpangan
(korupsi) dana UN.
Selain itu, pada penyelenggaraan
UAN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi
Pendidikan
menemukan
berbagai
penyimpangan, dari teknis hingga
finansial.
Pertama,
teknik
penyelenggaraan. Perlengkapan ujian
tidak disediakan secara memadai.
Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa
Inggris, salah satu kemampuan yang
diujikan adalah listening. Supaya bisa
menjawab soal dengan baik, peserta ujian
memerlukan alat untuk mendengar (tape
dan
earphone).
Pada
prakteknya,
penyelenggara ujian tidak memiliki
persiapan peralatan penunjang yang baik.
Kedua,
pengawasan.
Dalam
penyelenggaraan
ujian,
pengawasan
menjadi bagian penting dalam UAN
untuk memastikan tidak terjadinya
kecurangan yang dilakukan oleh peserta.
Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada
guru dengan sistem silang--pengawas
tidak berasal dari sekolah yang
bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Tapi,
pada kenyataannya, terjadi kerja sama
antarguru untuk memudahkan atau
memberi peluang siswa menyontek.
Kasus di beberapa sekolah, guru,
terutama untuk mata pelajaran yang
dibuat secara nasional seperti matematika,
bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan
berbagai modus memberi kunci jawaban

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

7

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

kepada siswa. Selain itu, pada tingkat
penyelenggara pendidikan daerah seperti
dinas
pendidikan,
usaha
untuk
menggelembungkan (mark-up) hasil ujian
pun terjadi. Caranya dengan membuat tim
untuk membetulkan jawaban-jawaban
siswa.
Ketiga, pembiayaan. Dalam dua
kali
UAN,
penyelenggaraannya
dibebankan pada pemerintah pusat dan
daerah melalui APBN dan APBD.
Artinya, peserta ujian dibebaskan dari
biaya mengikuti UAN. Tapi, pada
tingkatan sekolah, tidak jelas bagaimana
sistem penghitungan dan distribusi dana
ujian (baik APBN maupun APBD). Posisi
sekolah hanya tinggal menerima alokasi
yang
sudah
ditetapkan
oleh
penyelenggara di atasnya. Akibatnya,
walau
menerima
dana
untuk
menyelenggarakan
UAN,
sekolah
menganggap jumlahnya tidak mencukupi,
sehingga kemudian membebankannya
pada peserta ujian. Caranya dengan
menumpangkan pada biaya SPP atau
biaya acara perpisahan.
Sebenarnya, dalam pertemuan
dengan Koalisi Pendidikan pada 4
November 2004, Menteri Pendidikan
sudah menyatakan ketidaksetujuannya
pada UAN dan akan menggantinya
dengan ujian masuk pada sekolah-sekolah
yang dianggap elite. Apalagi dukungan
DPR pun tidak ada. Sebagai bentuk
ketidaksetujuannya, Komisi Pendidikan
DPR tidak mengalokasikan dana untuk
UAN pada tahun 2005.
Sayangnya, tiba-tiba Menteri
Pendidikan
menggulirkan
Peraturan
Menteri Pendidikan Nomor 1 Tahun 2005
sebagai dasar Departemen Pendidikan
Nasional menyelenggarakan UN. Karena
secara substansial tidak ada perbedaan
signifikan antara UN tahun ajaran
2004/2005 dan UAN tahun ajaran
2002/2003 dan 2003/2004, perdebatan
yang sama terjadi kembali.

Pemborosan biaya
Berbagai masalah sudah terdata
dalam pelaksanaan evaluasi nasional
maupun daerah yang diselenggarakan
pemerintah menunjukkan, pemerintah
belum
berhasil
menggunakan
kekuasaannya dengan bijak, seimbang
dan sesuai tanggungjawabnya. Berbagai
persoalan
lain
(misalnya,
tidak
dipenuhinya alokasi anggaran 20 persen,
belum berlakunya pendidikan dasar
gratis, ambruknya bangunan-bangunan
sekolah di banyak tempat, mutu
pendidikan
yang
terus
menurun)
merupakan contoh kegagalan pemerintah
dalam menunaikan tanggungjawabnya.
Kita melihat terjadi kesenjangan antara
tanggung jawab dan kekuasaan Negara
dalam sistem pendidikan nasional.
Seyogyanya, kewajiban dan layanan
public oleh pemerintah berjalan seiring
kekuasaan dan wewenang. Namun, ketika
pemerintah tidak mampu menyediakan
pendidikan bermutu secara gratis bagi
tiap warga dan masyarakat mengambil
alih peran pemerintah dalam mengelolah
sekolah secara swadaya, kekuasaan dan
wewenang yang diberikan.
Guru tidak diberdayakan dalam UN
Ditinjau dari pemberdayaan guru,
UN sama sekali tidak berguna. Otoritas
guru untuk merencanakan, menyusun,
dan memberikan penilaian kepada siswasiswanya sebagai bagian integral dari
tugasnya telah direbut. Seperti dimasamasa lalu guru tetap tidak dipercaya
sebagai
orang
yang
mampu
melakukannya dengan baik. Akhirnya UN
menjadi semacam pusat perhatian dalam
proses pembelajaran. Seluruh proses
pembelajaran dipusatkan kepada upaya
untuk sukses dalam UN, sehingga hakikat
proses belajar menjadi terabaikan. Karena
guru cenderung kurang kreatif. Guru
hanya menerima soal yang berasal dari
pusat. Dengan kata lain, guru hanya

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

8

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

berkutat pada soal-soal yang berhubungan
dengan UN, tidak berfikir bagaimana
mengembangkan pembelajaran yang
menarik bagi siswa. Sebenarnya guru
yang mengetahui kemampuan anak
didiknya, sehingga apakah anak itu layak
lulus atau tidak, yang paling tahu adalah
guru. Tetapi guru tidak berdaya sebab
fungsinya diambil alih oleh pemerintah.
Sekolah dan para guru mengerahkan
hampir semua sumberdayanya untuk
mengajarkan bagaimana agar lulus UN.
Akibatnya mata pelajaran yang tidak
diujikan dinomorduakan. Sebenarnya
hasil UN tidak menentukan kualitas
sekolah, sekalipun masyarakat menilai
dari hasil UN-nya. Sebab nilai UN bukan
representatif kualitas siswa. Kualitas
siswa sebenarnya itu dinilai oleh guru,
dari apa yang telah dipelajarinya selama
ia belajar di sekolahnya.
Untuk dapat meluluskan siswanya
ada indikasi terjadi rekayasa hasil UN di
lapangan. Pembentukan tim sukses oleh
guru dan kepala sekolah.
Dampak UN kepada para siswa
Ditinjau dari pemberdayaan siswa,
UN sama sekali tidak berguna. Karena
UN tidak representatif. Sebab kelulusan
mereka masa hanya ditentukan empat
mata pelajaran saja. Kalau demikian
ketentuan lulusnya, mengapa mesti
buang-buang waktu, biaya dan energi
untuk mempelajari mata pelajaran
lainnya. Dengan hadirnya UN menjadi
suatu momok yang sangat menakutkan.
Selain itu, orang tua para siswa juga
menjadi ikut bingung, bagaimana
anaknya dapat lulus. Akhirnya, daripada
nanti tidak lulus, orang tua menambah
dengan mengundang guru privat atau
mengikuti bimbingan belajar. Sebab
banyak siswa dan orang tua yang takut,
sehingga sebelum UN berlangsung,
banyak siswa/orang tua mendatangi
Pendeta/Kiai dan orang pintar untuk

minta bekal doa/mantra agar lulus.
Ternyata banyak siswa yang tidak lulus.
Mengapa mereka berpikiran seperti itu,
itu menunjukkan bahwa mereka telah
kehilangan kepercayaan diri dan memilih
jalan pintas. Sebenarnya bagi para siswa
UN tidak representatif karena terbukti
banyak siswa yang lulus UN, tidak bisa
mengaplikasikan dalam kehidupan seharihari. UN tidak bisa dijadikan sebagai
standar kelulusan. Karena kemampuan
siswa tidak hanya dilihat dari 3-4 mata
pelajaran yang di UN-kan dan dinilai
secara kognitif saja. Sebab kemampuan
siswa dapat dilihat juga dari mata
pelajaran lain dan dari segi afektif dan
psikomotor.
Standar kelulusan yang ditentukan
dalam UN itu secara tidak langsung telah
mematikan karakter siswa. Mesti diingat,
hasil ujian itu bukan penentu kualitas
pendidikan, tetapi hanya sebatas alat ukur
saja.
Pemerintah belum menyamahkan
fasilitas yang mendukung pendidikan
Pelaksanaan
Ujian
secara
Nasional dengan melihat kualitas siswa
secara makro sama sekali tidak adil.
Dengan kondisi sekolah Indonesia yang
sangat beragam dan lebarnya jurang
pemisah (disparitas) mutu pendidikan
antara kota dengan desa, sekolah di Papua
dengan diluar Papua, sudah pasti akan di
dapat hasil yang tidak sama.
Pemerintah seharusnya terlebih
dahulu menyamakan fasilitas pendukung
pendidikan dan persebaran guru-guru
berkualitas ke setiap sekolah. Bila semua
proses yang diperlukan berjalan baik, hal
itu akan mendorong pada kualitas yang
ingin dicapai.

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

9

IMAGO DEI Jurnal Pendidikan dan Teologi Kristen

TANGGAPAN PEMERINTAH
TERHADAP KONTROVERSI
UJIAN NASIONAL
Ujian Nasional (UN) masih tetap
dilaksanakan ditengah protes dari
beberapa kelompok yang menentangnya.
Mekipun UN menuai banyak kritik,
namun
pada
kenyataannya
UN
merupakan faktor penting dalam menilai
standar pendidikan nasional. Oleh karena
itu UN tetap dilaksanakan, “kata Menteri
Pendidikan Nasional”. Untuk menepis
keraguan banyak pihak mengenai kualitas
UN, BNSP telah melakukan sejumlah
kajian. Salah satunya adalah peningkatan
kualitas soal UN dan adanya Tim
Pemantau UN yan independen. Tim
Pemantau sekaligus pengawas ini terdiri
dari para dosen, kata Mendiknas. Sistem
penilaian tetap diambil alih oleh
pemerintah, jika diberikan kepada guru,
maka penilaian akan sama dengan
evaluasi belajar tahap akhir nasional
(EBTANAS).

UN lebih tepat sebagai alat ukur
bagi penentuan kualitas pendidikan secara
nasional di mata internasional. UN
sebagai standar kelulusan belumlah tepat.
DAFTAR PUSTAKA
H.A.A.

Tilaar, 2006. Standarisasi
pendidikan
nasional
suatu
tinjauan kritis. Jakarta: Rineka
Cipta.

http://www.suara pembaruan.com/News/2005/01/24/Pendidik/UAN.htm
http://satriadharma.com/index.php/2007/
05/14/ujian-nasional-sebagaikeputusan-politik/
http://groups.yahoo.com/group/cfbe/mess
ages/26915?xm=1&m=e&1=1
Mulyasa, 2004. Implementasi kurikulum
2004 panduan pembelajaran
KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.

PENUTUP
Ditinjau dari efektivitas Ujian
Nasional (UN) sebagai standar kelulusan
siswa, sebenarnya baik, namun UN tidak
efektif sebagai standar kelulusan. Untuk
itu pemerintah perlu terlebih dahulu
menyamakan
fasilitas
pendukung
pendidikan di kota dan di desa, dan
penyebaran guru-guru berkualitas ke
seluruh sekolah, setelah itu baru UN
dapat
digunakan
sebagai
standar
kelulusan siswa.
UN untuk sekarang ini tidak
efektif sebagai standar kelulusan, karena
tugas guru diambil alih oleh pemerintah,
dan UN tidak representative sebagai
standat kelulusan siswa karena hanya
menguji empat mata pelajaran dan hanya
menilai aspek kognitif.

Prosedur
Operasi
Standar
Nasional 2006/2007

Ujian

Purwanto, Ngalim. (2006). Prinsipprinsip dan teknik evaluasi
pengajaran. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Sudjana, Nana. (2001). Penilaian hasil
proses
belajar
mengajar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Salinan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia
Nomor 45 Tahun 2006 tentang
UN.

Efektivitas Ujian Nasional Sebagai Standar Kelulusan Siswa

10