BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peritonium - Karakteristik Pasien Tuberkulosis Peritoneal di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2008- Agustus 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peritonium Peritoneum merupakan membran serosa tipis yang melapisi dinding kapiti abdomen

  dan kapiti pelvis, serta meliputi visera abdomen dan pelvis. Peritoneum dapat dianggap sebagai sebuah “balon” yang kedalamnya organ-organ didorong ke dalam dari luar. Peritonium terdiri atas peritoneum parietal dan peritoneum visceral. Peritoneum parietal melapisi dinding kapitas abdomen dan kapitas pelvis, sedangkan peritoneum visceral meliputi organ-organ. Rongga potensial di antara peritoneum parietal dan visceral yang berfungsi sebagai bagian dalam dari balon dinamakan kavitas peritonealis. Pada laki-laki kavitas peritonealis merupakan ruang tertutup, tetapi pada perempuan terdapat hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterine, uterus, dan vagina (Snell, 2006) .

  Rongga peritoneum dapat dibagi dalam dua bagian, yaitu peritonealis yang merupakan ruang utama kavitas peritonealis yang terletak dari diaphragma ke bawah sampai pelvis dan bursa omentalis yang berukuran lebih kecil dan terletak di belakang lambung. Kavitas peritonealis dan bursa omentum ini berhubungan bebas satu dengan yang lainnya melalui sebuah jendela oval yang dinamakan foramen omentale atau foramen epiploicum. Sekret peritoneum berbentuk cairan serosa dalam jumlah kecil yang membasasi permukaan peritoneum dan memungkinkan pergerakan diantara visera (Snell, 2006) .

  Istilah intraperitoneal dan retroperitoneal dipergunakan utuk melukiskan hubungan berbagai organ dengan peritoneum yang meliputinya. Sebuah organ dikatakan intraperitoneal kalau hampir seluruh organ tersebut diliputi oleh peritoneum visceral. Gaster, jejunum, ileum,

  

dan lien merupakan contoh organ-organ intraperitoneal. Organ-organ retroperitoneal terletak

  dibelakang peritoneum dan hanya sebagian diliputi oleh peritoneum visceral. Prankreas, colon asendens, dan colon desendent merupakan contoh organ retroperitoneal (Snell, 2006) .

Gambar 2.1. Penempangan tranversal abdomen memperlihatkan susunan peritoneum.

  Peritoneum parietal peka terhadap rasa nyeri, suhu, raba, dan tekan. Peritoneum parietal dipersyarafi oleh enam nervi thoracici bagian bawah dan nervus lumbalis l yaitu syaraf yang meyarafi kulit dan otot-otot yang ada diatasnya. Bagian sentra peritoneum diaphragmatika dipersarafi oleh nervus phrenicus. Sedangkan di perifer, peritoneum diaphragmatika dipersarafi oleh enam nervi thoracici bagian bawah. Peritoneum parietal didalam pelvis terutama dipersararafi oleh nervus obturatorius, sebuah cabang plexus lumbalis (Snell, 2006) .

  Peritoneum visceral hanya peka terhadap regangan atau robekan, dan tidak peka terhadap rasa raba, tekan, dan suhu. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf aferen otonom yang mensarafi visceral atau yang berjalan melalui mesenterium. Peregangan yang berlebihan dari organ berongga menimbulkan rasa nyeri (Snell, 2006) .

  Cairan peritoneal yang berwarna kuning pucat dan sedikit kental, mengandung leukosit. Cairan ini disekresi oleh peritoneum dan menjamin visceral abdomen dapat bergerak dengan mudah satu sama lainnya. Sebagai akibat pergerakan diaphragma dan otot-otot abdomen, disertai dengan pergerakan peristaltik saluran pencernan, cairan peritoneal tidak statis (Snell, 2006) .

  Lipatan peritoneum memegang peranan penting untuk menggantungkan berbagai organ di dalam kavitas peritonealis dan memegang peranan sebagai tempat jalannya pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf-saraf ke organ-organ tersebut (Snell, 2006) .

2.2. Micobacterium tubercolosis 2.2.1. Ciri khas organisme

  Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri berbentuk batang aerob yang tidak

  membentuk spora. Pada jaringan, basil tuberkulosis adalah bakteri batang lurus berukuran sekitar 0,4x3µm. Mycobacterium tidak dapat diklasifikasikan menjadi gram negatif atau gran positif. Basil tuberkulosis sejati ditandai dengan tahan asam. Sifat tahan asam ini tergantung pada integritas selubung yang terbuat dari lilin. Teknik pewarnaan Ziehl-Neelsen digunakan untuk mengidentifikasi bakteri tahan asam (Jawezt, 2008) .

  2.2.2. Sifat pertumbuhan

  Mikrobakterium adalah aerob obligat dan mendapat energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Peningkatan tekanan CO mendukung pertumbuhan. Waktu

  2

  replikasi basilus tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofitik cendrung untuk tumbuh lebih cepat untuk berproliferasi lebih baik pada suhu 22-23ºC, untuk memproduksi pigmen, dan tidak terlalu tahan asam dibandingkan patogennya (Jawezt, 2008) .

  2.2.3. Biakan

  Medium untuk biakan primer mikobakterium harus meliputi medium nonselektif dan medium selektif. Medium selektif mengandung antibiotik untuk mencegah pertumbuhan berlebihan bakteri yang menkontaminasi dan fungi. Terdapat tiga formulasi umum yang dapat

  1. Medium agar semisintetik Medium ini mengandung garam, kofaktor, asam oleat, albumin, katalase, gliserol, glukosa, vitamin , dan malakit hijau.

  2. Medium telur inspissated Medium ini mengandung garam, gliserol, dan subtansi organik komplek ( misalnya, telur segar atau kuning telur, tepung kentang, dan bahan-bahan lainnya dalam berbagai macam kombinasi ). Malakit hijau dimasukan untuk menghambat bakteri lain.

  3. Medium Kaldu (Jawezt, 2008) .

  2.2.4. Penularan Micobacterium tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan nafas.

  Walaupun mungkin terjadi jalur penularan lain dan kadang-kadang terbukti, namun tidak satupun yang penting. Basilus tuberkel di sekret pernapasan membentuk nuclei droplet cairan yang dikeluarkan selama batuk, bersin, dan berbicara. Droplet keluar dalam jarak dekat dari mulut, dan sesudah itu basilus yang ada tetap berada di udara dalam waktu yang lama. Infeksi berkaitan dengan jumlah sputum yang dibatukkan, luas penyakit paru, dan frekuensi batuk. Bakteri ini rentan terhadap penyinaran ultraviolet, dan penularan infeksi di luar rumah jarang terjadi pada siang hari. Ventilasi yanhg memadai merupakan tindakan yang terpenting untuk mengurangi tingkat infeksi lingkungan (Harrison, 1999) .

  2.2.5. Patogenesis

  Jalan masuk awal bagi basilus tuberkel ke dalam paru atau ke tempat lainnya pada individu yang sebelumnya sehat meninbulkan respon peradangan akut nonspesifik yang jarang diperhatikan dan biasanya disertai dengan sedikit atau sama sekali tanpa gejala. Basilus kemudian ditelan oleh makrofag dan diangkut ke kelenjer limfa regional. Bila penyebaran organisme tidak terjadi pada tingkat kelenjer limfe regional, lalu basilus tuberkel mencapai aliran darah dan terjadi diseminata yang luas. Kebanyakan lesi tuberkulosis diseminata menyembuh, sebagaimana lesi paru primer, walau tetap ada fokus potensial untuk reaktifasi selanjutnya (Harrison, 1999) .

  Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, saat basilus terus berkembang di intraseluler, timbul hipersensitivitas penjamu yang terinfeksi. Limfosit akan menuju daerah monosit masuk kedaerah tersebut dan berubah menjadi makrofag kemudian melanjut menjadi yang khusus, yang akhirnya tersusun menjadi granuloma. Mikobakterium dapat

  histiosit

  bertahan dalam makrofag bertahun-tahun walaupun terjadi peningkatan lisozom dalam sel ini, namun multipikasi dan penyebarannya terbatas. Kemudian terjadi penyembuhan, sering kali dengan klasifikasi granuloma yang lambat yang akan kadang meninggalkan lesi sisa yang tampa pada foto rontsen paru. Kombinasi lesi paru perifer terklasifikasi dan kelenjer limfe hilus yang terklasifikasi dikenal sebagai komplek ghon (Harrison, 1999) .

2.2.6. Tes tuberkulin

  Uji kulit tuberkulin intrakutan merupakan cara handal untuk mengenali infeksi

  

mycobacterium dini. Antigen yang dipilih adalah defirat protein tuberkulin yang dimurnikan

  (tuberculin purified protein derivative,PPD), dan sebaiknya digunakan dosis intermedia (Harrison, 1999) .

  Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi (Kenyorini, 2006) .

Tabel 2.1. Hasil tes mantoux

  Indurasi (mm) Interpretasi 0-5 Mantoux negatif 6-9 Hasil meragukan 10-15 Mantoux positif >15 Mantoux positif kuat

  (Amin, 2009) 2.2.7.

   Uji laboratorium diagnostik

  Uji tuberkel yang positif bukan merupakan bukti adanya penyakit yang aktif akibat basil turberkel. Isolasi basil tuberkel dapat dijadikan bukti. Spesisme untuk uji ini dapat didapat dari sputum segar, hasil bilas lambung, urine, cairan pleura, serobrospinal, cairan sendi, materi biopsi, darah, atau materi lain yang dicurigai. Spesismen ini diperiksa dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (Jawezt, 2008) .

2.3. TB Peritoneal 2.3.1. Definisi

  TB peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini sering mengenai seluruh peritoneum dan alat-alat sistem gastrointestinal, mesenterium, serta organ ginetal interna (Zain, 2009) .

2.3.2. Patogenesis

  TB peritoneal dapat terjadi melalui beberapa cara: 1.

  Melalui penyebaran hematogen melalui paru-paru.

  2. Melalui dinding usus yang terinfeksi.

  3. Dari kelenjer limfe mesenterium.

  4. Melalui tuba fallopi yang terinfeksi (Zain, 2009) .

2.3.3. Patologi

  Diketahui tiga jenis tuberkulosis peritoneal 1.

  Bentuk eksudat Dikenal dengan bentuk basah atau bentuk asites yang banyak gejala yang meninjol adalah perut yang membesar dan berisi cairan asites. Turbekel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan. Nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga peritoneum. Bentuk ini paling banyak dijumpai.

2. Bentuk asedif Dikenal juga dengan bentuk kering atau palastik. Cairan asites sedikit dijumpai.

  Usus yang dibungkus olehperitoneum dan omentum yang mengalami reaksi fibrosis. Pada bentuk ini terdapat perleketan antara peritoneum dan omentum. Perlengketan yang luas antara peritoneum dan usus sering memberi gambaran seperti tumor, kadang-kadang terbentuk fistel.

3. Bentuk campuran

  Bentuk ini kadang disebut bentuk kista. Pembentukan kista terjadi melalui proses eksudasi dan adesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong perlekatan tersebut (Zain, 2009) .

2.3.4. Gejala klinis

  Gejala klinis dapat berupa: • Berat badan menurun, nafsu makan berkurang.

  • Nyeri perut,demam,keringat malam walaupun tidak sedang beraktifitas, diare, dan hilangnya siklus haid.
  • Adanya massa di abdomen, dan asites.
  • Batuk dan sputum (Harun, 2002).

Tabel 2.2. Gejala klinis dalam % pada pasien TB abdominal dan TB peritoneal menurut beberapa penelitian.

  Keluhan Uzunkoy, 2004 (11 pasien TB abdominal, 9 diantaranya TB peritoneal)

  Baloch, 2008 (86 pasien TB abdominal) Dinler, 2008 (9 pasien TB peritoneal)

  Sakit perut 72% 86% 55,5% Pembengkakan perut

  63% 70% 100% Batuk - - 33,3% Demam - 52% 44,4% Keringat malam 36% - 33,3% Anoreksia 45% - -

  • Kelelahan 81% Berat badan 81% 46% 33,3% menurun 2.3.5.

   Diagnosa

  Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya (tuberkulosi, pedoman diagnosa dan penatalaksanaanya di Indonesia, 2002).

  1. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik yang sering dijumpai adalah asites, demam, pembengkakan perut, nyeri perut, pucat, dan kelelahan.

  2. Laboratorium Pada pemeriksaan darah sering dijumpai anemia penyakit kronik, leukositosit ringan atau leukopenia, trombositosis dan sering laju endap darah yang meningkat.

  Sebagian pasien mungkin negatif uji tuberkulinya (Zain, 2009) .

  Pemeriksaan cairan asites umumnya memperlihatkan eksudat dengan protein > 3% g/dl. Jumlah sel diantara 100-3000 sel/ml, biasanya lebih dari 90% sel limfosit. Cairan asites purulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites dengan darah (serasanguineus). Basil tahan asam dapat didapati kurang dari 5% positif dan kultur cairan didapati kurang daari 20% yang positif. Perbandingan albumin pada caira asites ditemukan rasionya <1,1 gr/dl (IPD UI,2009). Analisa cairan asites dengan limposit yang dominan dan gradient albumin lebih kecil dari 1,1 gr/dL merupakan indicator baik untuk diagnosa TB peritoneal (Dinler,2008). Pemeriksaan cairan asites lainnya yaitu dengan pemeriksaan adeno deaminase activity (ADA), interferon gamma, dan PCR (Zain, 2009) .

  Serum Adenosine deaminase merupakan enzyme yang ditemukan di limfosit yang merupakan akibat respon dari tubuh. Jika kadarnya lebih dari >42 IU/L dan >33 U/L dalam cairan asites, ini sangat signifikan (Niaz,2010). Tingginya nilai adeno mendiagnosa TB peritoneal dengan sensitivitas 100% dan specificity 97%. Namun analisa ADA memerlukan biaya yang mahal dan terbatas pada daerah tertentu(Dinler, 2008) (Niaz, 2010) .

Tabel 2.3. Karakteristik cairan asites TB peritoneal

  Variabel Karakteristik Tampilan makroskopis Cairan bias jernih, keruh, hemoragik atau chylous Berat jenis Bervariasi, >1,061 (50%) Protein >25 g/L (50%) Eritrosit (>10.000/µL 7 % Leukosit >1000 /µL (70%), biasanya 70% limfosit

  ( Harison, 1999) Pemeriksaan lainnya adalah mengukur konsentrasi CA-125 (cancer antigen-

  125). CA-125 merupakan antigen yang terkait karsinoma ovarium. Antigen ini tidak

  ditemukan pada antigen ovarium dewasa normal. Namun, dijumpai juga meningkat pada kista ovarian, gagal ginjal kronik, penyakit auto imun, prangkeas, sirosis hati, dan TB peritoneal (Zain, 2009) .

3. Pemeriksaan penunjang a.

  Ultrasonografi Pada pemeriksaan ultrasonografi dapat dilihat adanya cairan dalam rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong) (Zain, 2009) .

  Selain itu juga dapat ditemukan penebalan peritoneal dan lympanodenopati (Umer, 2011) . USG merupakan metode yang mudah untuk mendeteksi cairan dan

  lympanodenopati . Oleh karena itu, USG dapat digunakan untuk step awal investigasi b.

  CT-scan Tidak ada gambaran yang khas,secara umum ditemukan gambaran peritoneum yang berpasir. Alat ini memiliki sensitivitas 69% (Niaz, 2010) . CT-scan lebih baik dari

  USG dalam menggambarkan densitas asites dan nekrosis dari limfa nodes (NO, 1997 dalam Umer, 2011) .

Tabel 2.4. Hasil CT-scan dari beberapa penelitian.

  Hasil CT-scan khan dkk, 2011 (45 pasien TB peritoneal) Uzunkoy dkk,2004 (11 pasien TB Peritoneal)

  Penebalan peritoneal 91% 18 % Asites 97,7% 100 %

  Mesenteric strand 66,7% 36 %

  Penebalan mesenterika 51 % - Penebalan omental 64,4 % - Omental strand 68,9 % 27%

  Retroperitoneal lympanodenopaty

  • 36 % Massa di pelvik - 45 % c.

  Peritoneoskopi Gambaran yang dapat dilihat berupa tuberkel kecil ataupun besar pada dinding peritoneum atau organ di dalam rongga peritoneum, Selain itu juga dapat dilihat adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus, penebalan omentum, lengketan diantara usus, omentum, hati, kendung empedu, dan peritoneum, penebalan peritoneum, dan adanya cairan eksudat mungkin purulen atau bercampur darah (Zain, 2009) .

  d.

  Laparoskopi Penebalan peritoneum, bercak keputihan dari tuberkel, asites, dan perlengketannya dapat dilihat dengan menggunakan laparoskopi (Dinler, 2008).

  Laparoskopi memiliki sensitivitas 82% (Niaz, 2010) .

Tabel 2.5. Hasil laparoskopi dari penelitian Fahmi Yousef Khan dkk tahun 2011 pada 43 penderita peritoneal TB.

  Variable Presentase 1.

  1. Asites 97,7% 2.

  2. Bercak keputihan dari tuberkel 60,4% 3.

  3. Adhesion 14% 4.

  4. Adhesion berhubungan dengan 25,6% tuberkel (Khan, 2011) 4. Biopsi

  Peritonium biopsi merupakan gold standar diagnosa TB peritoneal. Peritonium biopsi lebih reliable, cepat, aman untuk mendiagnosa TB peritoneal (Dinler, 2008). Biopsi memiliki sensitivitas 97%( Niaz, 2010) .

  Gambaran patologi hasil biopsi berupa tuberkulum yang biasanya besarnya 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di sekitar sekelompok basil TBC. Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit (Sjamsuhidajat, 2005) .

5. Tes serologi

  Serologi tes bertujuan untuk mendeteksi antibodi spesifik untuk bakteri yang mempunyai spesifik tinggi untuk TB peritoneal. PCR dapat digunakan untuk mendeteksi DNA mycobacterium. Selain itu terdapat cara baru yaitu dengan luciferase

  reseptor assay, restrintion fragment length polymorphism, dan tes T.spot (untuk melihat

  reaksi T-helper). Cara-cara tersebut mempunyai sensitivitas 98% dan spesifik 97% (Niaz, 2010) .

1.3.6. Pengobatan Pengobatan TB peritoneal sama dengan tuberkulosis paru (Zain, 2009) .

  Pengobatan tuberkulosis terbagi atas dua fase yaitu fase intensif 2 atau 3 bulan dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Obat Anti tuberkulosis (OAT) yang digunakan pada lini pertama adalah :

  • Rifampisin • INH
  • Pirazinamid • Streptomisim • Enthambutol jenis obat lainnya atau lini k
  • Kanamisin • Amikasin • Kuinolon • Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
  • Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain : o

  Kapreomisin o Sikloserino PAS (dulu tersedia) o Derivat rifampisin dan INH o Thioamides (ethionamide dan prothionamide) (tuberkulosis, pedoman diagnosa dan penata laksanaanya di Indonesia, 2002) .

Tabel 2.6. Mekanisme kerja dan efek samping beberapa obat TB.

  Obat untuk Mekanisme kerja Efek samping Tata laksana akibat tuberkulosis efek samping obat

  Isoniazid Menghambat biosintesis Ruam pada kulit Hentikan obat dan asam mikloat, unsur beri antihistamin penting pada dinding sel dan evaluasi ketat. mikroba, bersifat bakteriosid. Rifampin Menghambat Ruam,mual,muntah,syok,dan Hentikan pemberian pertumbuhan bakteri purpura rifampin

  (bakteriosid). Ethambutol Menekan pertumbuhan Neuritis optik Hentikan pemberian basil tuberkel yang enthambutol resisten dengan ishoniazid dan streptomisin, bersifat bakteriostatik.

  Sterptomisin Bersifat bekteriosid Tuli dan gangguan Ganti dengan untuk basil tuberkel keseimbangan ethambutol invitro dan pada konsentrasi 0.4µg/ml dapat menghambat pertumbuhan . Pirazinamida Bersifat bakteriosid Cedara hati Pirazinamida dihentikan Etionamida Menekan multifikasi Anaroksia,mual,dan muntah Hentikan obat bakteri Asam Bersifat bakteriostatik. Anemia hemolitik Hentikan obat aminosalisilat akut,demam tinggi mendadak

  (Goodman, 2008 ) Penggunaan OAT sekunder ditujukan pada pengobatan TB yang resisten terhadap atau secara klinis apabila terjadi kegagalan pengobatan atau kekambuhan. Regimmen yang disarankan dapat dilihat pada tabel.

Tabel 2.7. Regimen yang disarankan pada berbagai penderita dengan berbagai jenis resisten.

  Obat yang resisten Regimen yang disarankan Lama pengobatan minimal

  • INH -RIF,PZA,EMB,FQN -6 bulan
  • RIF -INH, PZA, EMB, FQN -9 bulan
  • INH, RIF -PZA, EMB, FQN, -18 bulan
  • INH, RIF, EMB AMK, PAS -18 b
  • PZA, FQN,AMK, PAS,
  • INH, RIF, EMB, beta-laktam -18 bulan PZA -FQN, AMK, PAS, ETA, beta-laktam

  (Muchtar, 2006) Dalam pengobatan tuberkulosis dapat digunakan terapi adjuvant yang digunakan untuk pencegahan, vaksin perlindungan terhadap bakteri dan untuk menghasilkan antibodi.

  Terapi adjuvant yang dapat digunakan yaitu OAT yang diberikan pada sebagian penderita tersangka TB yang tidak didukung oleh gambaran klinis, mikrobiologi ataupun patologi pemberian obat ini dapat dilakukan. Efek anti tuberkulosis ini paling sedikit dapat dilihat dalam 3 minggu (Sjamsuhidajat, 2005). Selain itu juga dapat digunakan Complete Freund’s

  

Adjuvant (CFA) yang akan menghasilkan antibodi humoral tubuh. CFA terdiri atas mineral

oil, mannide monooleate ( surfactant agent), dan komponen mikrobakterium (Stills, 2005) .

1.3.7. Prognosis

  Prognosis TB peritoneal cukup baik bila diagnosa dapat ditegakkan dan biasanya akan sembuh dengan pengobatan antituberkolosis yang adekuat (Zain, 2009) .