BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencucian uang (disebut dengan istilah Money Laundering). Mahmoeddin As dalam bukunya Analisis Kejahatan Perbankan yang dikutip oleh Munir

1 Fuady mengemukakan bahwa dalam sejarah hukum bisnis munculnya money

  

laundering dimulai dari negara Amerika Serikat sejak tahun 1830. Pada waktu itu

  banyak orang yang membeli perusahaan dengan uang hasil kejahatan (uang panas) seperti hasil perjudian, penjualan narkotika, minuman keras secara illegal dan hasil pelacuran. Pusat-pusat gangster besar yang piawai masalah pencucian uang di Amerika Serikat yang terkenal dengan nama kelompok legendaries Al Capone (Chicago). Mayer Lansky memutihkan uang kotor milik kelompok Al Capone dengan mengembangkan pusat perjudian, pelacuran, serta bisnis hiburan malam di Las Vegas (Nevada). Lalu dikembangkan lagi offshore banking di Havana (Cuba) dan Bahama. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan oleh kelom-pok ini menjadikan Mayer Lansky dijuluki sebagai bapak Money Laundering Modern. Setelah memasuki tahun 1980 an kegiatan ini semakin jadi dengan banyaknya penjualan obat bius. Bertolak dari sini dikenal istilah narco dollar atau drug

  

money yang merupakan uang hasil penjualan narkotika. Perkembangan

selanjutnya uang panas itu disimpan di lembaga keuangan antaranya di bank.

  Penyimpanan uang panas ini dengan tujuan agar uang hasil dari kejahatan itu menjadi legal.

  Dunia internasional bersepakat melarang kejahatan yang berhubungan dengan narkotika dan pencucian uang. Kesepakatan ini dituangkan dalam sebuah konvensi the United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs

  

and Psycotropic Substances of 1988, yang biasa disebut dengan the Vienna

  Convention, disebut juga U N Drug Convention 1988 yang mewajibkan para anggotanya untuk menyatakan pidana terhadap pelaku tindakan tertentu yang

   berhubungan dengan narkotika dan money laundering.

  Apabila uang hasil kejahatan dipergunakan dan atau dimasukkan ke dalam dunia peredaran uang termasuk lembaga keuangan, berarti status uang itu identik dengan uang yang diperoleh dari kegiatan yang legal. Jika demikian berarti akan menumbuh subur-kan kejahatan yang bermotif uang baik kejahatan konvensional maupun modern, sehingga samar perbuatan yang legal dan illegal. Pencucian uang tidak dilakukan seperti kejahatan tradisional lainnya walaupun bentuk kejahatannya sama seperti penipuan atau penyuapan. Penipuan dan penyuapan ini merupakan tindak pidana kejahatan menurut KUHP. Apakah sama cara melakukan kedua tindak pidana ini dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi berlainan atau oleh orang yang satu dengan orang yang lain atau dapat terjadi pelakunya sama, akan tetapi objek dan korbannya tidak sama.

  Kejahatan berkembang seiring perkembangan IPTEK. Kegiatan pencucian uang akan menyesuaikan diri dengan perkembangan IPTEK. Penipuan, penyuapan secra tradisional akan langsung dilakukan dengan tunai. Akan tetapi penyuapan dan kegiatan penipuan dilakukan dengan kecanggihan teknologi tidak harus pada suatu tempat terten-tu. Praktik money laundering bisa dilakukan oleh seseorang tanpa harus berpergian ke luar negeri.

  Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan

  

  adanya kecakapan teknik membuatnya. leh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya.

  Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbangan- pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil,

   yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan.

  Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya.

3 Ahmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,

  Jakarta: Sinar Grafika, hal 94

  Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan

   tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

  Dalam penjatuhan pidana oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana, pada

  

  dasarnya haruslah mempertimbangkan segala aspek tujuan, yaitu sebagai berikut: 1.

  Sebagai upaya untuk melindungi masyarakat dari ancaman suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya;

  2. Sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat pelakunya jera dan tidak akan melakukan tindak pidana dikemudian hari;

  3. Sebagai upaya preventif agar masyarakat luas tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya;

  4. Mempersiapkan mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut, sehingga pada saatnya nanti pelaku tindak pidana dapat diterima dalam pergaulan masyarakat.

  Proses penjatuhan putusan yang dilakukan hakim merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit, sehingga memerlukan pelatihan, pengalaman, dan kebijaksanaan. Dalam proses penjatuhan putusan tersebut, seorang hakim harus meyakini apakah seorang terdakwa melakukan tindak pidana ataukah tidak, dengan tetap berpedoman pada pembuktian untuk menentukan kesalahan dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pidana. Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan, yang dinamakan dengan putusan hakim, pernyataan hakim yang merupakan sebagai pernyataan pejabat negara yang diberi wewenang untuk putusan itu. Jadi putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga

   didasarkan pada hati nurani.

B. Perumusan Masalah

  Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Bagaimana formulasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang

  (Money Laundry) ? 2. Bagaimana fakta hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencucian uang (Money Laudry) ?

  3. Apa Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry) dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 498/K/PIDSUS/2009?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

  Adapun tujuan dari yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a.

  Untuk mengetahui formulasi terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laundry) b.

  Untuk mengetahui fakta hukum dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku pencucian uang (Money Laudry) c.

  Untuk mengetahui Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry) dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 498/K/PIDSUS/2009

d. Manfaat Penelitian

  Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan baik secara praktis maupun teoritis yaitu: a.

  Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry) b. Secara teoritis penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laudry)

D. Keaslian Penelitian

  Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi yang ada penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry) belum pernah dilakukan oleh peneliti lain sebelumnya, walaupun penelitian menyangkut

  

money laundering dan perpajakan telah ada diteliti, namun pendekatan yang

  dilakukan berbeda. Sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertanggung jawabkan secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan 1.

  Sistem Pembuktian Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk

  

  keyakinannya. Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.

  Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses

  

  pemeriksaan persidangan adalah: a.

  Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. 8 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar b.

  Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.

  c.

  Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum/ terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.

  Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan.

  Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat (negara).

1. Sistem atau Teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Positif

  (Positief wetterlijk Bewijstheori) Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (positief wettelijk bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh

  

  undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie).

  Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti.

  Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa

   melakukan tindak pidana.

  Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang.

  Jika bukti itu terdapat, maka hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman, dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim. Pokoknya:

   kalau ada bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dan dihukum.

  Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga system ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah

  

  deprogram melalui undang-undang. Sistem pembuktian ini menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.

  Sistem ini yang dicari adalah kebenaran formal, sehingga sistem ini dipergunakan dalam hukum acara perdata.

  11 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit Alumni, Bandung, 2008, hal. 27 (buku 1) 12 Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi Dan Suap. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hal.

  2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu Menurut sistem ini, hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terikat dengan alat bukti yang ada. Darimana hakim menyimpulkan putusannya tidak menjadi masalah. Ia hanya boleh menyimpulkan dari alat bukti yang ada dalam

   persidangan atau mengabaikan alat bukti yang ada dalam persidangan.

  Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh karena

   itu, diperlukan bagaimana pun juga keyakinan hakim sendiri.

  Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa, hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada kriteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-cara hakim dalam membentuk keyakinanya itu. Disamping itu, pada sistem ini terbuka peluang yang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang sewenang-

   wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim telah yakin.

  Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan. 40Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu 14 Hari Sasangka dan Lily Rosita, op.cit, hal. 14 mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya tersebut.

  3. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Yang Logis (Laconviction Raisonnee)

  Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas tertentu (laconviction raisonnee) Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan satu kesimpulan (conclusie) yang berlandaskan kepada peraturan- peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu

   motivasi.

  Walaupun UU menyebutkan dan menyediakan alat-alat bukti, tetapi sistem ini dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat bukti tersebut terserah dalam pertimbangan hakim dalam hal membentuk keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam hal membentuk keyakinan hakim masuk

  

  akal, artinya dapat diterima oleh akal orang pada umumnya. Pembuktian ini masih menyandarkan kepada keyakinan hakim. Hakim harus mendasarkan putusan terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan yang logis dapat diterima oleh akal dan nalar.

  4. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Undang-undang secara Negatif (Negatief Wettelijk)

  Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh undang- undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak dipisahkan, yang tidak

   berdiri sendiri-sendiri.

  Menurut sistem ini untuk menyatakan orang itu bersalah dan dihukum harus ada keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus didasarkan kepada alat- alat bukti yang sah, bahwa memang telah dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan bahwa tertuduhlah yang melakukan perbuatan itu. Hukum acara pidana kita ternyata menganut sistem ini, seperti dapat ditarik kesimpulan dari

  Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. yang berbunyi:“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana

  

  benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam Pasal 184

  KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut. Sebenarnya, sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah ditetapkan dalam Undang-undang pokok tentang Kekuasaan Kehakiman (UUPK)

  Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:“ Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan, bahwa seseorang yang dianggap dapat

  

  bertanggung jawab atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.” Sistem pembuktian ini berpangkal tolah pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitative oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan hakim.

  5. Kedudukan Asas Pembuktian Terbalik di dalam KUHAP Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau

   menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa.

  Pasal 183 menyatakan: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

  

  melakukannya.” Sedangkan mengenai ketentuan alat bukti yang sah diatur dalam Pasal 184

24 KUHAP, yang berbunyi:

  21 Pasal 6 ayat 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 22 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang. 2005, Hal. 398 (buku 2)

  1. Alat bukti yang sah ialah: a.

  Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa.

  2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

  Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara terutama dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum dan penasehat hukun. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi, surat- surat dan keterangan tersangka (Pasal 188 ayat 2 KUHAP).

  Alat bukti petunjuk dalam hukum pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui tiga alat bukti dalam Pasal 188 ayat (2), melainkan dapat diperluas di luar tiga alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 26 A Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yaitu:

   a.

  Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapka, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

  Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang dirumuskan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo Undang- undang No. 29 Tahun 2001 merupakan perkecualian dari hukum pembuktian yang

   ada dalam KUHAP.

  Di dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183 sampai dengan Pasal 232 KUHAP), sehingga status hukum atau kedudukan asas pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP) tidak diatur.

  Sesuai dengan Pasal 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan asas pembuktian terbalik tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada umumnya (KUHAP), melainkan yang sering diterapkan dalam proses pembuktian dalam peradilan pidana yaitu teori jalan tengah yakni gabungan dari teori berdasarkan undang-undang dan teori berdasarkan keyakinan hakim.

6. Pengaturan Pembuktian Terbalik

  Dasar hukum munculnya peraturan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah Pasal 103 KUHP. Didalam Pasal tersebut dinyatakan:

  “ketentuan dari delapan bab yang pertama dari buku ini berlaku juga terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang lain, kecuali kalau ada undang-undang (wet) tindakan umum pemerintahan (algemene

   maatregelen van bestuur) atau ordonansi menentukan peraturan lain.

  Jadi, dalam hal ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengatur lain daripada yang telah diatur di dalam KUHP, dapat diartikan bahwa suatu bentuk aturan khusus telah mengesampingkan aturan umum (Lex specialis

  derogate Legi Generali ). Dengan kata lain Pasal 103 KUHP memungkinkan suatu

  ketentuan perundang-undangan di luar KUHP untuk mengesampingkan

   ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam KUHP.

F. Metode Penelitian

  1. Spesifikasi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana

  

  pencucian uang. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut 27 28 Pasal 103 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), R. Soesilo, Politeia, Bandung Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan

  Masalahnya , P.T. Alumni, Bandung. 2007. Hal. 155 (buku 2) 29 Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Perpustakaan Di

  mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang

   dikeluarkan oleh pemerintah.

  2. Sumber Data Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library

  research) . Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori

  dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari: 1.

  Bahan hukum primer, antara lain: a.

  Norma atau kaedah dasar b. Peraturan dasar Landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang- undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

2. Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana

  30 tindak pidana pencucian uang, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan,

  Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

  3. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat

  44 dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.

  Di samping itu untuk melengkapi data skunder, juga didukung dengan data primer yakni dilakukannya wawancara dengan informan yang dianggap memahami tentang tindak pidana pencucian uang yakni penyidik Polri pada Direktorat Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara. Data primer berupa wawancara kepada informan digunakan sebagai data pelengkap dan pendukung dari data skunder. Dengan kerangka teoritis merupakan alat untuk menganalisis data yang diperoleh baik berupa bahan hukum sekunder, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.

  3. Alat Pengumpulan Data Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian. Di samping dalam rangka mendukung bahan pada Direktorat Reskrim Polda Sumatera Utara dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara langsung dengan terlebih dahulu merumuskan pertanyaan- pertanyaan dalam tabel wawancaran sebagai pedoman wawancara terhadap informan yang selanjutnya penulis tuangkan ke dalam penelitian setelah terlebih dahulu memverifikasi terhadap jawaban-jawaban informan. Wawancara dengan informal dilakukan dengan cara menunjuk secara langsung informan yang mengetahui terhadap permasalahan.

4. Analisis Data

  Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana money laundry, kemudian membuat sistematika dari Pasal- Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini. G.

  Sistematika Penulisan

  BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan membahas tentang Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan BAB II SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY) Bab ini membahas mengenai Tindak Pidana dan Unsur-Unsurnya, Macam-Macam Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencucian Uang

  (Money Laundry)

  BAB III KENDALA YANG DIHADAPI HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY) Pada bagian ini akan membahas tentang objek dakwaan terlalu umum, bentuk dan jenis tindak pidana pencucian uang (money laundry) dan Integritas Moral Aparat Penegak Hukum

  BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUDRY) Pada bab ini akan membahas tentang Dasar Pertimbangan Hakim dalam dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang (Money Laundry) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundry) dan Sanksi Pidana

  BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini akan membahas kesimpulan dan saran dari hasil penelitian yang telah dilakukan

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Efektivitas Kerja Pegawai Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota

0 0 30

Pengaruh Kepemimpinan Terhadap Efektivitas Kerja Pegawai Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Kota

1 3 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Diabetes Mellitus 2.1.1. Pengertian Diabetes Mellitus - Gambaran Pola Makan dan Dukungan Keluarga Penderita Diabetes Melitus yang Menjalani Rawat Jalan di RSU Dr. Pirngadi Medan Tahun 2015

0 0 19

2.1. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan - Hubungan Faktor Sosiodemografi dan Sosiopsikologi terhadap Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek di Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama PT. Jamsostek (Pers

0 0 31

1.1. Latar Belakang - Hubungan Faktor Sosiodemografi dan Sosiopsikologi terhadap Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Rawat Jalan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Jamsostek di Pusat Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama PT. Jamsostek (Persero) Kantor Caban

0 0 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKOPERASIAN DI INDONESIA A. Pengertian Koperasi - Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Bagi Hasil pada Koperasi Pegawai Negeri Kencana II Medan

0 0 50

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Tinjauan Yuridis Tentang Pelaksanaan Bagi Hasil pada Koperasi Pegawai Negeri Kencana II Medan

0 0 13

BAB II PERMASALAHAN YANG MENGHAMBAT PEMBERDAYAAN USAHA KECIL DAN MENENGAH A. Pengertian Usaha dan Wirausa ha - Prinsip Permberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Dalam Ketentuan Pembatasan Kepemilikan Waralaba Restoran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Prinsip Permberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah Dalam Ketentuan Pembatasan Kepemilikan Waralaba Restoran Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah

0 0 15

Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering

0 0 19